• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR

A. Tinjauan Pustaka

3. Hakikat Pendekatan Psikologi Sastra

Psikologi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) (2003: 392) adalah ilmu yang berkaitan dengan proses-proses mental baik normal maupun abnormal dan pengaruhnya pada perilaku atau ilmu pengetahuan tentang gejala dan kegiatan-kegiatan jiwa.

Menurut Abu Ahmadi (dalam artikel Teguh Wirwan) psikologi berasal dari perkataan Yunani „psyche‟ yang artinya jiwa, dan „logos‟ yang artinya ilmu pengetahuan. Jadi secara etimologis (menurut arti kata) psikologi artinya ilmu yang mempelajari tentang jiwa, baik mengenai macammacam gejalanya,

commit to user prosesnya, maupun latar belakangnya.

Pengertian Psikologi menurut Jalaluddin (2009: 7) psikologi secara umum mempelajari gejala-gejala kejiwaan manusia berkaitan dengan pikiran (cognisi), perasaan (emotion), dan kehendak (conasi).

Menurut Robert H. Thouless (dalam Jalaluddin, 2009: 10) psikologi sekarang dipergunakan secara umum untuk ilmu tentang tingkah laku dan pengalaman manusia. Maksud dari definisi ini adalah secara umum psikologi mencoba meneliti dan mempelajari sikap tingkah laku manusia sebagai gambaran dari gejala-gejala kejiwaan yang berada di belakangnya. Karena jiwa itu sendiri bersifat abstrak, maka untuk mempelajari kehidupan kejiwaan manusia hanya mungkin dilihat dari gejala yang tampak, yaitu pada sikap dan tingkah laku yang ditampilkannya.

Menurut Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir (2001: 1) pengertian psikologi memiliki tiga pengertian. Pertama, adalah studi tentang jiwa (psyche) dan tentang kesadaran mental yang berkaitan dengan jiwa. Definisi ini dipelopori oleh Wilhelm Wundt, Kedua, psikologi adalah ilmu pengetahuan tentang kehidupan mental, seperti pikiran, perhatian, persepsi, intelegensi, kemauan, dan ingatan. Definisi yang terakhir ini dipelopori oleh John Watson, Ketiga, psikologi adalah ilmu pengetahuan tentang perilaku organisme, seperti perilaku kucing terhadap tikus, perilaku manusia terhadap sesamanya, dan sebagainya.

Bimo Walgito (dalam Zainuddin Fananie, 2002: 177) mengemukakan psikologi adalah salah satu cabang ilmu pengetahuan yang objek studinya adalah manusia, karena perkataan psyche atau psicho mengandung pengertian “jiwa”. Dengan demikian, psikologi mengandung makna “ilmu pengetahuan tentang jiwa”.

Pengertian psikologi menurut Zulkifli L (1987: 5) psikologi berasal dari kata psyche dan logos, masing-masing kata itu mempunyai arti “jiwa” dan “ilmu”. Psikologi adalah ilmu yang menyelidiki dan membahas tentang perbuatan dan tingkah laku manusia.

Kartini Kartono (1990: 13) menjelaskan psikologi pada dasarnya untuk memahami semua tingkah laku manusia. Dengan studi terhadap tingkah laku, kita

commit to user

berusaha menemukan arti sebenarnya dari wujud kehidupan manusia dalam konteksnya.

Psikologi menurut Kartini Kartono (1990: 1) adalah ilmu pengetahuan tentang tingkah laku dan kehidupan psikis (jiwani) manusia. Jiwa secara harifiah berarti daya hidup. Oleh karena jiwa merupakan pengertian yang abstrak, maka orang cenderung mempelajari bentuk tingkah laku manusia sepanjang hidupnya.

Penggunaan psikologi dapat lebih mengenal penjiwaan, pergolakan jiwa, serta konflik batin tokoh-tokoh sebuah karya sastra secara lebih tuntas.

1) Pengertian Psikologi Sastra

Pendekatan psikologi sastra yang diterapkan dalam penelitian ini adalah psikologi yang lebih menekankan pada penyelidikan hal-hal umum pada semua jiwa dan tokoh yang terdapat dalam karya sastra. Psikologi sastra memberikan perhatian pada masalah yang berkaitan dengan unsur-unsur kejiwaan tokoh-tokoh fiksional yang terkandung dalam sastra. Aspek-aspek kemanusiaan inilah yang merupakan objek utama psikologi sastra sebab semata-mata dalam diri manusia itulah aspek kejiwaan dicangkokkan dan diinvestasikan.

Menurut Atar Semi (dalam Sangidu, 2004: 30) psikologi sastra adalah suatu disiplin yang memandang karya sastra sebagai suatu karya yang memuat peristiwa-peristiwa kehidupan manusia yang diperankan oleh tokoh-tokoh imajiner yang ada di dalamnya atau mungkin juga diperankan oleh tokoh-tokoh faktual. Hal ini merangsang untuk melakukan penjelajahan ke dalam batin atau kejiwaan untuk mengetahui lebih jauh tentang seluk beluk manusia yang beraneka ragam. Dengan kata lain, psikologi sastra adalah suatu disiplin yang menganggap bahwa sastra memuat unsur-unsur psikologis.

Quthub (dalam Sangidu, 2004: 30) berpendapat bahwa pendekatan psikologi terhadap sastra adalah suatu pendekatan yang menggambarkan perasaan dan emosi pengarangnya. Wrigth menambahkan pendapat Quthub bahwa untuk menganalisis teks sastra yang mengandung perasaan dan emosi pengarang diperlukan bantuan ilmu psikologi. Dengan demikian, untuk mengungkap unsur-unsur psikologis dalam karya sastra, diperlukan bantuan teori-teori psikologi.

commit to user

Pendekatan psikologi dalam penelitian terhadap karya sastra berpijak pada psikologi kepribadian yang dikembangkan oleh Sigmund Freud ataupun teori-teori psikologi lainnya bergantung pada karya sastra yang diteliti. Oleh karena teori yang dimanfaatkan di dalam analisis suatu karya sastra adalah teori psikologi sastra, maka metodenya pun juga bersifat psikologi sastra. Karena itu, Scott (dalam Sangidu, 2004: 30) menyatakan secara umum metode psikologi sastra yang dapat dimanfaatkan untuk menganalisis suatu karya sastra ada tiga macam. Pertama, menguraikan hubungan ketidaksengajaan antara pengarang dan pembaca. Kedua, menguraikan kehidupan pengarang untuk memahami karyanya. Ketiga, menguraikan karakter para tokoh yang ada dalam karya yang diteliti. Ketiga metode di atas dapat diterapkan semuanya dalam analisis suatu karya sastra ataupun hanya dimanfaatkan salah satu saja tergantung pada objek material (karya sastra) yang diteliti.

Andre Hardjana (dalam artikel Teguh Wirwan) menguraikan pendapatnya bahwa psikologi dengan sastra, keduanya terdapat hubungan yang cukup erat, keduanya sama-sama berobjekkan manusia. Psikologi mempelajari tingkah laku dan jiwa manusia, sedangkan sastra berbicara tentang kehidupan manusia. Karena memiliki persamaan objek, maka keduanya memungkinkan untuk saling membantu. Kaitan psikologi dan sastra adalah bahwa psikologi merupakan ilmu bantu yang sangat relevan, karena dari proses pemahaman karya sastra dapat ditimba mengenai ajaran dan kaidah psikologi.

Menurut Yant Mujiyanto (dalam artikel Solopos) psikologi sastra merupakan bagian dari ilmu jiwa yang meneliti keberadaan aspek kejiwaan dalam sosok karya sastra. Bagaimana karya sastra itu dalam proses kreatif dan pengolahan subject-matter-nya, penghadiran materi cerita dan unsur-unsur intrinsik lainnya, selalu bergumul dengan persoalan-persoalan psikologis, problem-problem kehidupan yang tak terpisah dari jiwa manusia. Di samping itu, psikologis sastra bisa diartikan psikologi yang memadukan harmonis dirinya dengan nilai-nilai sastra yang dulce et utile, yang indah menyenangkan dan berguna, membawa nikmat dan hikmah, ekspresif dan sugestif, kontemplatif serta terbuka terhadap kesadaran dan kebijakan.

commit to user

Dick Hartoko dan B Rahmanto (1986: 126) menjelaskan bahwa psikologi sastra sebagai cabang ilmu sastra yang mendekati sastra dari sudut psikologi. Perhatiannya dadapt diarahkan kepada pengarang dan pembaca (psikologi komunikasi sastra) atau kepada teks sendiri.

Hubungan antara karya sastra dan psikologi yaitu karya sastra dipandang sebagai gejala psikologis, akan menampilkan aspek-aspek kejiwaan melalui tokoh-tokoh jika kebetulan teks berupa prosa atau drama sedangkan jika dalam bentuk puisi akan disampaikan melalui larik-larik dan pilihan kata khas.

Psikologi dalam karya sastra bukanlah sesuatu yang sama sekali baru, karena tokoh-tokoh dalam karya sastra harus dihidupkan, diberi jiwa yang dapat dipertanggungjawabkan secara psikologi juga. Pengarang baik sadar maupun tidak memasukkan jiwa manusia ke dalam karyanya. Hal ini akan terlihat dalam diri tokoh cerita di mana cerita itu terjadi (Rene Wellek dan Austin Warren, 1989: 41).

Andre Hardjana (dalam artikel Teguh Wirwan) berpendapat bahwa ilmu jiwa menelaah jiwa manusia secara mendalam dari segi sifat dan sikap manusia. Lewat tinjauan psikologis akan menampakkan bahwa fungsi dan peranan sastra adalah untuk menghidangkan citra manusia yang seadil-adilnya dan sehidup-hidupnya. Atau paling sedikit untuk memancarkan bahwa karya sastra pada hakikatnya bertujuan untuk melukiskan kehidupan manusia.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa daya tarik psikologi sastra adalah pada masalah manusia yang melukiskan potret jiwa. Tidak hanya jiwa sendiri yang muncul dalam sastra, tetapi juga bisa mewakili jiwa orang lain. Setiap pengarang sering menambahkan pengalaman diri dalam karyanya. Namun, pengalaman kejiwaan pribadi itu sering kali dialami orang lain pula. Kondisi ini merupakan daya tarik penelitian psikologi sastra. Dalam hal ini penelitian ini tidak akan meneliti jiwa pengarang, melainkan jiwa dari tokoh yang terdapat dalam karya sastra.

Tujuan psikologi sastra adalah memahami aspek-aspek kejiwaan yang terkandung dalam suatu karya (dalam artikel Ahmad Thontowi). Pada dasarnya psokologi sastra memberikan perhatian dalam kaitannya dengan unsur-unsur

commit to user

kejiwaan tokoh fiksional yang terkandung dalam karya. Psikologi sastra memiliki peranan penting dalam pemahaman sastra.

Menurut Atar Semi (dalam artikel Ahmad Thontowi) ada beberapa kelebihan penggunaan psikologi sastra yaitu (1) sangat sesuai untuk mengkaji secara mendalam aspek perwatakan, (2) pendekatan ini dapat memberikan umpan balik kepada penulis tentang permasalahan perwatakan yang dikembangkannya, dan (3) sangat membantu dalam menganalisis karya sastra dan dapat membantu pembaca dalam memahami karya sastra. Dari fungsi-fungsi tersebut, dapat diketengahkan bahwa daya tarik psikologi sastra adalah pada masalah manusia yang melukiskan potret jiwa. Tidak hanya jiwa sendiri yang muncul dalam sastra, tetapi juga bisa mewakili jiwa orang lain. Setiap pengarang sering menambahkan pengalaman diri dalam karyanya. Namun, pengalaman kejiwaan pribadi itu sering kali dialami orang lain pula. Kondisi ini merupakan daya tarik penelitian psikologi sastra.

2) Teori Psikoanalisis

Psikoanalisis termasuk dalam golongan ilmu jiwa, bukan ilmu jiwa kedokteran dalam arti kata yang lama, bukan ilmu jiwa tentang proses penyakit jiwa, melainkan semata-mata ilmu jiwa yang luar biasa. Sudah pasti bahwa psikoanalisis tidak merupakan keseluruhan dari ilmu jiwa biasa, tetapi merupakan suatu cabang dan mungkin malahan dasar dari keseluruhannya “ilmu jiwa” (dalam artikel Ahmad Thontowi).

Teori ini menganalisis kehidupan jiwa manusia sampai pada alam bawah sadar, karena sebagai makhluk individu, seorang manusia selalu mengalami konflik batin dalam keresahan dan ketekanan jiwa.

Psikologi merupakan ilmu yang mempelajari perilaku dan aspek kejwaan manusia. Terdapat beberapa kajian psikologi dan yang berkaitan dengan penelitian ini adalah psikologi kepribadian. Hal itu mengingat bahwa penelitian ini menganalisis tentang tingkah laku manusia (tokoh) guna memperoleh tipologi kepribadian tertentu berdasarkan karakter tokoh tersebut.

commit to user

Teori psikoanalisis Sigmund Freud (dalam Albertine Minderop, 2010: 10-11) membandingkan jiwa manusia dengan gunung es yaitu bagian yang lebih kecil yang timbul di permukaan air menggambarkan daerah ketidaksadaran. Di dalam ketidaksadaran yang sangat luas ditemukan dorongan-dorongan, nafsu-nafsu, ide-ide dan perasaan-perasaan yang ditekan suatu dunia bawah yang besar berisi kekuatan-kekuatan vital dan tak kasat mata yang melaksanakan control penting atas pikiran-pikiran dan perbuatan-perbuatan sadar individu.

Sigmund Freud (dalam Albertine Minderop, 2010: 20-21) membagi susunan kepribadian manusia menjadi tiga system, yaitu:

1. Das Es atau Id, merupakan aspek biologis dan sebagai lapisan kejiwaan yang paling dasar. Id berisikan hal-hal yang dibawa sejak lahir, yaitu naluri-naluri bawaan (seksual dan agresif), termasuk keinginan-keinginan yang direpresi. Id berfungsi untuk mencapai kepuasan bagi keinginan nalurinya sesuai prinsip kesenangan. Oleh karenanya id tidak mengenal hukum akal dan id tidak memiliki nilai etika atau akhlak. Hanya ada dua kemungkinan bagi proses id yaitu berusaha memuaskan keinginan atau menyerahkan kepada pengaruh ego.

2. Das Ich atau Ego, merupakan aspek psikologi dari kepribadian yang timbul karena kebutuhan untuk berhubungan dengan dunia kenyataan (realita). Ego adalah devirat id yang bertugas menjadi perantara kebutuhan instingtif dengan keadaan lingkungan untuk mencari objek yang tepat guna mereduksi tegangan. Sebagai aspek ekskutif kepribadian, ego mempergunakan energi psikis yang dikuasai untuk mengintegrasikan ketiga aspek kepribadian, agar timbul keselarasan batin sehingga hubungan antara pribadi dengan dunia luar dapat mempergunakan energi psikis secara baik maka akan timbul konflik internal atau konflik batin, yang diekspresikan dalam bentuk tingkah laku yang pathologis dan abnormal.

3. Das Ueber Ich atau The Superego, merupakan aspek psikologi kepribadian yang fungsi pokoknya menentukan benar salahnya atau

commit to user

susila tidaknya sesuatu. Dengan demikian, pribadi dapat bertindak sesuai dengan moral masyarakat. Superego dibentuk melalui jalan internalisasi, artinya larangan/ perintah dari luar diolah sedemikian rupa sehingga akhirnya terpancar dari dalam. Fungsi pokok superego terlihat dalam hubungannya dengan ketiga sistem kepribadian, yaitu merintangi impuls-impuls id terutama impuls seksual dan agresif, mendorong ego untuk lebih mengejar hal-hal moralitas dan mengejar kesempurnaan. Aktivitas superego menyatakan diri dalam konfik dengan ego yang dirasakan dalam emosi-emosi, seperti rasa bersalah, menyesal dan sikap observasi diri dan kritik diri (dalam artikel Ahmad Thontowi).

Superego (das Uber Ich) merupakan sistem kepribadian yang berisikan nilai-nilai dan aturan-aturan yang sifatnya evaluatif (menyangkut baik buruk). Superego adalah termasuk aspek sosiologi, merupakan wakil dari nilai tradisional serta cita-cita masyarakat sebagaimana ditafsirkan orang tua kepada anak-anaknya, yang diajarkan dengan perintah dan larangan.

Menurut Sigmund Freud, superego terbentuk melalui internalisasi nilai-nilai atau aturan-aturan oleh individu dari sejumlah individu yang berperan, berpengaruh atau berarti bagi individu tersebut, seperti orang tua dan guru. Adapun fungsi utama adalah

a. Merintangi impuls-impuls naluri id, terutama impuls seksual dan agresif yang kenyataannya sangat ditentang masyarakat.

b. Mendorong ego untuk lebih mengejar hal-hal yang moralitas daripada yang realistis.

Superego cenderung menentang baik id maupun ego, dan membuat dunia menurut konsepsi yang ideal. Aktivitas superego terutama apabila bertentangan dengan ego, menyatakan diri dalam rasa bersalah, penyelesaian, dan sebagainya, yang sebelumnya didahului sikap koreksi diri dan observasi diri.

Dinamika kepribadian menyangkut masalah penggunaan energi yang bersumber pada id, Sigmund Freud sependapat dengan hukum kelangsungan energi, yaitu energi dapat berubah dari suatu keadaan atau bentuk ke keadaan

commit to user

yang lain, tetapi tidak akan hilang dari sistem secara keseluruhan. Berdasarkan hukum ini Sigmund Freud mengajukan gagasan bahwa energi fisik bisa diubah menjadi energi psikis dan sebaliknya, yang menjembatani energi fisik dengan kepribadian adalah id dengan naluri dan keinginannya.

Energi seperti dikemukakan di atas berasal dari id. Dalam dinamikanya terjadi pemindahan sekaligus perebutan energi antara id, ego, superego. Apabila ternyata suatu sistem memperoleh energi yang lebih banyak maka yang lain akan kekurangan energi, sampai energi baru ditambahkan kepada sistem keseluruhan. Dengan demikian dapat diterangkan mengenai keadaan pribadi tertentu. Artinya apabila energi banyak digunakan oleh id, maka yang terjadi adalah kepribadian yang hanya mengejar keinginan tanpa melihat kenyataan yang ada. Bila yang mendominasi adalah superego, maka yang terlihat orang tersebut cenderung merepresi sebagian besar keinginannya untuk menjadi orang yang selalu taat pada norma dan adat istiadat yang berlaku di lingkungannya. Maka kondisi yang ideal ialah apabila terdapat keseimbangan energi antara id, dan superego. Jadi ego berfungsi dengan baik. Bila demikian maka individu dapat memenuhi kebutuhannya tanpa meninggalkan norma yang ada di lingkungannya.

Berdasarkan uraian di atas, dinamika kepribadian ini sebagian besar dikuasai oleh keharusan untuk memuaskan kebutuhan dengan cara berhubungan dengan dunia luar. Untuk itu selain menekankan faktor genetis atau pembawaan, Sigmund Freud tidak mengabaikan peranan lingkungan di dalam pembentukan kepribadian individu. Peranan atau pengaruh lingkungan itu ditunjukkan oleh fakta bahwa di samping bisa memenuhi kebutuhan individu, lingkungan juga bisa membahayakan dan memfrustasikannya. Dalam menghadapi stimulus yang membahayakan individu, biasanya individu tersebut akan menunjukkan sikap ketakutan, apabila stimulus yang membahayakan itu terus menghantui maka individu akan mengalami kecemasan (anxiety).

Sigmund Freud selain menggolongkan struktur kepribadian manusia, juga mengemukakan adanya kecemasan yaitu :

commit to user

b. Kecemasan neurotis; kecemasan kalau-kalau insting-insting tidak dapat dikendalikan dan menyebabkan orang berbuat sesuatu yang dapat dihukum.

c. Kecemasan moral; kecemasan yang dialami sebagai suatu perasaan bersalah atau malu dalam ego, ditimbulkan oleh sesuatu pengamatan mengenai bahaya dari hati nurani.

Kecemasan meskipun menyebabkan individu dalam keadaan tidak senang, namun juga bisa berfungsi sebagai peringatan bagi individu agar mengetahui adanya bahaya, sehingga individu bisa mempersiapkan langkah-langkah yang akan diambil untuk mengatasi bahaya yang mengancam tersebut. Apabila langkah yang diambil bisa mengatasi kecemasan-kecemasan yang dihadapi, maka kepribadian individu akan berkembang ke arah yang lebih positif. Namun apabila kecemasan atau ketakuan tidak dapat diatasi dengan tindakan-tindakan yang efektif, maka individu akan mengalami gejala traumatis.

Kepribadian individu berkembang dalam hubungan dengan bermacam-macam sumber tegangan yang berupa konflik maupun ancaman. Sebagai akibat dari meningkatnya tegangan karena sumber itu, maka orang terpaksa harus belajar cara yang baru untuk mereduksi tegangan. Belajar mempergunakan cara-cara baru dalam mereduksi tegangan disebut perkembangan kepribadian.

Cara individu mereduksikan tegangan dan kecemasan,yaitu dengan :

a. Identifikasi, sebagai metode yang dipergunakan orang dalam menghadapi orang lain dan membuatnya menjadi bagian dari kepribadiannya. Dia belajar mereduksikan tegangannya dengan cara bertingkah laku seperti tingkah laku orang lain.

b. Pemindahan objek, apabila objek sesuatu insting yang asli tidak dapat dicapai karena rintangan (anti cathexis) baik rintangan dari dalam maupun dari luar, maka terbentuklah cathexis yang baru, kecuali kalau terjadi penekanan yang cukup kuat. Insting adalah sumber perangsang somatic dalam yang dibawa sejak lahir.

c. Mekanisme pertahanan das ich

commit to user

(1) Penekanan atau represi adalah pengertian yang mula-mula sekali dalam psikoanalisis. Mekanisme yang dilakukan individu dalam hal ini adalah ego, untuk meredakan kecemasan dengan jalan menekan dorongan atau keinginan yang menjadi sebab kecemasan tersebut ke alam tak sadar.

(2) Proyeksi adalah mekanisme yang dipergunakan untuk mengubah ketakutan neurotis dan ketakutan moral menjadi ketakutan realistis. Pengubahan ini mudah dilakukan, karena ketakutan neurotis dan ketakutan moral dua-duanya sumber aslinya adalah ketakutan akan hukuman dari luar.

(3) Pembentukan reaksi adalah penggantian impuls atau perasaan yang menimbulkan ketakutan atau kecemasn dengan lawannya di dalam kesadaran.

d. Fiksasi dan Regresi, pada perkembangan yang normal, kepribadian akan melewati fase-fase yang sedikit bnyak sudah tetap dari lahir sampai dewasa. Hal ini akan menimbulkan sejumlah frustasi dan ketakutan.

Dokumen terkait