• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hal-Hal Umum Mengenai Pelaksanaan Keputusan

NO.1 TAHUN 1980.

Akhirnya untuk mengatasi ketidakpastian hukum di Indonesia, maka masalah mengenai pengakuan dan pelaksanaan putusan asing diatur kemudian oleh Peraturan MA No.1 Tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing. (Selanjutnya akan disebut PERMA No.1 Tahun 1990)

Eksekusi Putusan Arbitrase Asing (Internasional) mengikuti tata cara eksekusi acara biasa. Mengenai tata cara eksekusi putusan arbi- trase asing diatur dalam Pasal 6 ayat (3) Perma No. 1 Tahun 1990, yang mengikuti Pasal 195 sampai dengan 224 HIR. Penegasan Pasal 6 ayat (3) Perma sama dengan yang dirumuskan Pasal 639 Rv, yang mengatakan putusan arbitrase dieksekusi, menurut tata cara yang bia- sa berlaku terhadap eksekusi putusan pengadilan. Baik ketentuan tata cara eksekusi putusan arbitrase dalam negeri dan putusan arbitrase as- ing tidak ada perbedaan, sama-sama tunduk pada Ketentuan Pasal 195 sampai Pasal 224 HIR atau Pasal 206 sampai Pasal 258 RBG. Mulai dari tindakan “aanmaning” (peringatan), serta eksekusi, pelelangan

101 Sudargo gautama, Perkembangan Arbitrase Dagang Internasional di Indonesia (Huala adolf hal 93), Bandung Eresco, 1989, hlm.57.

(executorial verkoop) sampai dengan pelaksanaan eksekusi riil, dilaku- kan berdasarkan ketentuan-ketentuan dimaksud.102

Permasalahan eksekusi meliputi ruang lingkup yang sangat luas. Dalam hal ini yang menjadi pokok pembahasan dalam eksekusi putu- san arbitrase asing hanya menyangkut hal-hal yang telah diuraikan, mulai dari tindakan pendeponiran, pemberian exequatur, dan penola- kan exequatur. Masalah pendeponiran dan exequatur putusan sedikit berbeda dengan permohonan eksekusi putusan arbitrase nasional. Masalah-masalah tersebut merupakan permasalahan khusus yang ada sangkut pautnya dengan eksekusi putusan arbitrase dan merupakan tahap awal pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase, yang sama sekali tidak berlaku terhadap eksekusi putusan pengadilan.

Dalam eksekusi putusan arbitrase asing (internasional) juga per- lu diperhatikan masalah pendelegasian eksekusi. Mengenai pendele- gasian eksekusi juga disinggung dalam Perma No. 1 Tahun 1990, yaitu Pasal 6 ayat (2) yang menyatakan “dalam hal eksekusi harus dilakukan di luar daerah hukum Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, pelaksanaan eksekusi didelegasikan kepada Pengadilan Negeri yang secara relatif berwenang untuk menjalankannya. Pendelegasian ini berpedoman ke- pada Ketentuan Pasal 195 ayat (2) HIR atau Pasal 206 ayat (2) RBG. Seperti yang dicantumkan dalam Pasal 6 ayat (2) Perma tersebut, pen- delegasian eksekusi mesti diterapkan oleh Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, apabila ternyata barang yang hendak di eksekusi berada di luar daerah hukumnya.

Adapun tujuannya adalah agar tidak timbul pengertian yang keliru tentang pelampauan batas-batas kewenangan relatif dimaksud. Dengan demikian, diharap pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase as- ing terhindar dari saling pertentangan antara Pengadilan Negeri Jakar- ta Pusat dengan Pengadilan Negeri lain apabila barang yang hendak di eksekusi terletak di luar wilayah hukum Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

102 Ahmaturrahman, Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Umum,

Untuk pelaksanaan eksekusi diperlukan tindakan sita eksekuto- rial (exequtorial beslag) guna memenuhi pembayaran sejumlah uang kepada pihak claimant, penyitaan dapat dilakukan terhadap semua harta kekayaan serta barang-barang milik termohon eksekusi (pihak

respondent). Hal itu ditegaskan pada Pasal 6 ayat (3) Perma No. 1 Tahun 1990, yang menyatakan bahwa sita eksekutorial dapat dilaku- kan atas harta kekayaan serta barang-barang milik termohon eksekusi. Pasal 196 HIR juga menegaskan, guna memenuhi pelaksanaan ekseku- si yang berkenaan dengan pembayaran atas sejumlah uang, dapat dil- etakkan sita eksekutorial atas semua harta milik kekayaan tereksekusi sampai tercapai jumlah yang harus dibayarkan kepada pemohon ek- sekusi. Sesuai dengan doktrin ilmu hukum, semua harta kekayaan se- orang debitur dapat dituntut untuk memenuhi pelunasan hutang terh- adap pihak kreditur. Oleh karena itu walaupun Pasal 6 ayat (3) Perma tersebut tidak menegaskan hal itu, tata cara atau penetapan sita ekse- kutorial terhadap semua harta kekayaan guna memenuhi pelunasan terhadap pihak pemohon eksekusi atas putusan arbitrase, merupakan kebolehan yang dibenarkan hukum. Patokan atas kebolehan tersebut hanya berlaku asal putusan arbitrase yang bersangkutan menyangkut pembayaran sejumlah uang untuk membayar ganti kerugian atas dasar perbuatan wanprestasi maupun perbuatan melawan hukum. Adapun batas kebolehannya adalah sampai penyitaan dapat diperkirakan men- capai jumlah yang hendak dibayar kepada pihak claimant melalui ex- equtorial verkoop (penjualan lelang) yang dilakukan.

Kewenangan dalam menangani masalah putusan arbitrase asing terjawab dalam pasal 1 PERMA No1 tahun 1990. yaitu Badan yang diberi wewenang untuk menangani masalah-masalah yang berhubun- gan dengan pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing ada- lah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Pasal 2 PERMA No.1 tahun 1990 memberi batasan arti Putusan Arbitrase Asing. Yakni putusan yang dijatuhkan oleh suatu badan Ar- bitrase ataupun arbitrator perorangan di luar wilayah hukum Repub- lik Indonesia ataupun putusan-putusan suatu Badan Arbitrase atau- pun arbitrator perorangan yang menurut hukum Indonesia dianggap sebagai suatu arbitrase asing, yang berkekuatan hukum tetap sesuai dengan Keppres No.34 tahun 1981.

Pasal 3 memuat tentang syarat-syarat untuk dapat dilaksana- kannya suatu putusan arbitrase asing Pasal ini merupakan guideline dalam menguji untuk dilaksanakannya atau ditolaknya suatu putusan arbitrase. Suatu Putusan arbitrase asing untuk dapat dilaksanakan di Indonesia harus memenuhi syarat sebagai berikut:

Putusan itu harus dijatuhkan oleh suatu badan arbitrase 1.

ataupun arbiter perorangan di suatu negara yang dengan negara Indonesia ataupun bersama-sama dengan Negara In- donesia terikat dalam Konvensi Internasional perihal Pen- gakuan serta Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing;

Putusan-putusan arbitrase asing di atas hanyalah terbatas 2.

pada putusan-putusan yang menurut ketentuan Hukum In- donesia termasuk dalam ruang lingkup Hukum Dagang. Putusan-putusan arbitrase asing di atas hanya dapat dilak- 3.

sanakan di Indonesia terbatas pada putusan-putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum;

Suatu putusan arbitrase asing dapat dilaksanakan di Indo- 4.

nesia setelah memperoleh Exequatur dari mahkamah agung RI.

Pasal 4 dijelaskan lebih lanjut bahwa pihak yang berhak mem- berikan aquatur adalah ketua MA atau wakil Ketua MA. Selanjutnya ditentukan bahwa exequatur tidak dapat diberikan apabila putusan Arbitrase Asing itu nyata-nyata bertentangan dengan sendi-sendi asasi dari seluruh sistem hukum dan masyarakat di Indonesia (Ketertiban Umum). Dalam perkembangannya arbitrase di Indonesia diatur oleh Undang-undang No.30 tahun 1999.

B. HAL-HAL UMUM MENGENAI PENGAKUAN DAN