• Tidak ada hasil yang ditemukan

Model Penyelesaian Sengketa dalam Kasus Lex

Saat ini pihak yang bersengketa di bidang komersial lebih me- nyukai penyelesaian sengketa mereka melalui alternative penyelesaian sengketa misalnya melalui negosiasi, mediasi dan juga arbitrase. Hal ini seperti yang telah dijelaskan dalam bab sebelumnya dikarenakan metode alternatif ini memiliki beberapa keuntungan dibandingkan dengan penyelesaian sengketa melalui pengadilan. Misalkan penye- lesaian sengketa melalui mediasi, para pihak dapat terlibat langsung dalam menyelesaikan permasalahan mereka dan bebas memilih me- diator yang menurut mereka mampu untuk membantu penyelesaian sengketanya dengan hasil yang win-win solution.54 Sementara di sisi

lain, keuntungan dari arbitrase adalah biaya yang pasti, lebih cepat dari pengadilan dan tentunya kerahasiaan pihak yang bersengketa leb- ih terjaga. Selain itu sifat putusan yang final dan binding serta inter- nationally enforceable juga menjadi salah satu alasan mengapa pihak yang bersengketa lebih memilih jalur ini.55

Seiring dengan perkembangan zaman dan juga kebutuhan para pebisnis maka alternative penyelesaian sengketa dan arbitrase juga

54 Achmad Romsan, Tehnik Penyelesaian Sengketa di luar pengadilan: Negosiasi dan Mediasi, TB. Anggrek Palembang, 2007. hlm 25.

55 Abdurrasyid Priyatna, Arbitral Awards, BANI Quarterly Newsletter Number 5/2008.published by BANI Arbitration Center. hlm. 2

mengalami beberapa perkembangan baik dalam bentuk maupun prosedurnya. Selain Melalui jalur litigasi dan non litigasi seperti ne- gosiasi, mediasi, konsiliasi dan arbitrase maka untuk mengisi kekuran- gan dari mediasi dimana hasilnya hanya merupakan kesepakatan yang

morality enforceable dan proses arbitrase yang hampir mirip dengan pengadilan yaitu para pihak menyerahkan putusan sepenuhnya ke- pada arbiter, maka terdapat pengembangan dari dua metode ini yang disebut dengan hybrid nature of arbitration berupa med-arb dan arb- med-arb.56

Perkembangan di bidang teknologi juga telah membawa dampak berkembangnya metode penyelesaian sengketa. Para pihak tidak har- us bertemu muka dalam menyelesaikan sengketa mereka tetapi dapat menggunakan metode mediasi online atau arbitrase online dengan menggunakan internet sebagai media.

Hal lain yang berkembang dalam penyelesaian sengketa alter- natif ini adalah adanya penyelesaian sengketa melalui arbitrase syariah yang khusus digunakan oleh pihak yang beragama Islam. Dan juga ada small amount claim procedure untuk pihak yang bersengketa di bawah 150 juta rupiah.

56 Pada saat ini BANI telah pula melaksanakan hybrid arbitrase ini yang disebut dengan arb-med-arb.

BAB 4

MEMORANDUM OF

UNDERSTANDING

D

alam melaksanakan bisnisnya para pihak tidak pernah ter- lepas dari negosiasi dengan pihak lain, dan kemudian hasil dari negosiasi tersebut dituangkan dalam suatu persetujuan atau suatu kontrak bisnis yang disetujui oleh para pihak. Kemudian setelah kontrak disetujui maka timbulah hak dan kewajiban dari para pihak untuk melaksanakan isi dari kontrak tersebut.

Keadaan seperti yang disebutkan diatas adalah keadaan yang umumnya terjadi apabila para pihak akan menyusun suatu kontrak bisnis. Akan tetapi keadaan seperti ini tidak selalu lancar, kadangkala terjadi suatu masalah dimana salah satu pihak mengingkari hasil nego- siasi yang telah dilakukan.

Dalam sistem hukum Anglo Saxon57 mewajibkan para pihak

yang terlibat dalam negosiasi untuk memperhatikan kepentingan dari pihak lain atau dengan mengutamakan reasonabless dan equity. Hal ini juga mengutamakan para pihak untuk saling memikirkan kondisi yang ada. Aturan yang ada dalam sistem hukum ini juga menyebut- kan bahwa ketika para pihak telah terlibat dalam negosiasi tetapi kon- trak belum dibuat maka hasil dari negosiasi tersebut masih memiliki pengaruh yang cukup kuat bagi para pihak. Dengan kata lain bahwa apabila para pihak telah melaksanakan negosiasi maka para pihak ter- sebut harus melaksanakan negosiasi yang dilakukannya, atau apabila

57 Sistem hukum didunia ini dibagi dalam tiga besar yaitu sistem hukum eropa continental yang umunya dikenal dengan civil law system, sistem hukum anglo saxon atau yang dikenal dengan common law system, dan sistem hukum islam atau islamic law system, untuk lebih jelas mengenai sistem hukum ini akan di- jelaskan infra. E.H. Hondius. Precontractual Liability. Deventer: Kluwer, 1991, hlm.63.

ternyata hasil negosiasi tersebut tidak dilaksanakan atau para pihak ingkar maka dia berkewajiban untuk membayar ganti kerugian, term- asuk juga penggantian terhadap keuntungan yang mungkin dihasilkan apabila kesepakatan dalam negosiasi tesebut dilaksanakan.

Dasar pertimbangan sistem hukum anglo saxon ini adalah bahwa para pihak yang melakukan negosiasi mungkin telah menginvestasikan sebagian hartanya demi terlaksananya hasil negosiasi, atau misalnya te- lah juga membuat kerja sama dengan pihak lain untuk mengantisipasi seandainya hasil dari negosiasi tersebut akan dituangkan dalam suatu kontrak. Kasus yang pernah terjadi adalah “Swimming Pool Case” tahun 1982 yaitu suatu perusahaan Konstruksi di Inggris bernegosiasi dengan Dewan Kota untuk membangun sebuah kolam renang untuk kota tersebut. Dari hasil negosiasi disepakati bahwa pihak yang akan membangun kolam renang adalah perusahaan konstruksi tersebut, dan hasil ini telah diketahui oleh Walikota. Kemudian dengan tanpa alasan Dewan Kota mengingkari hasil negosiasi dan membatalkan pembua- tan kontrak untuk membangun kolam renang tersebut. Merasa dirugi- kan secara moril dan materiel karena malu dan juga kerugian karena perusahaan telah bekerja sama dengan pihak lain untuk membuat kolam renang tersebut maka perusahaan konstruksi menuntut ganti kerugian dan juga penggantian terhadap keuntungan yang mungkin terjadi apabila hasil negosiasi tersebut dilaksanakan. Dan hasilnya adalah Perusahaan konstruksi menang dan mendapat ganti rugi dan penggantian terhadap keuntungan yang mungkin dibuat.58

Disatu sisi yang lain menurut sistem hukum Eropa Continental maka sebelum kontrak ditandatangani oleh para pihak maka pihak- pihak yang terlibat dalam negosiasi tersebut tidak memiliki kewajiban untuk melaksanakan hasil dari negosiasi yang ada, dan juga tidak da- pat dituntut untuk mengganti kerugian kepada pihak yang lain karena

58 Swimming Pool Case adalah kasus yang terjadi di Inggris. Pengadilan mengabul- kan tuntutan dari perusahaan konstruksi dan kasus ini adalah kasusu pertama menjadi acuan bagi negara-negara di common law system terhadap ganti keru- gian karena tidak melaksanakan hasil negosisasi dan juga penggantian terhadap

loss profit yang mungkin dihasilkan. Swimming Pool Case, HR 18-6-1982, NJ 1983, 723.

ia telah mengingkari hasil dari negosiasi. Pihak yang memutuskan ne- gosiasi tidak dapat dituntut karena telah memutuskan negosiasi yang telah dibuat.59

Hubungan bisnis yang terjadi pada saat ini tidak hanya dalam satu negara saja, tetapi juga bekerja sama dengan negara lain. Seh- ingga yang akan menjadi suatu permasalahan yang rumit seandainya para pihak dalam negosiasi tersebut berasal dari dua sistem hukum yang berbeda, misalnya Negosiasi antara warga negara Indonesia yang memiliki sistem hukum Civil Law dan Warga negara Australia yang memiliki sistem hukum Common Law. Apakah para pihak yang me- mutuskan negosiasi dapat dituntut untuk membayar kompensasi atau ganti kerugian, bahkan mengganti keuntungan yang mungkin terjadi apabila hasil dari negosiasi dilaksanakan.

Permasalahan ini di jembatani dengan adanya MoU atau Memmorandum of Understanding dan LoI atau Letter of Intent. Ha- sil negosiasi dituangkan dalam dua bentuk tertulis baik dalam bentuk Memorandum of Understanding atau Letter of Intent. Akan tetapi permasalahan yang kembali akan timbul adalah sejauh manakah ke- wajiban para pihak dalam MoU atau LoI ini, dapatkan para pihak mundur dari hasil negosiasi yang dilakukan, bagaimanakah kekuatan hukum dari MoU atau LoI.