• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hal-hal yang Dilaksanakan Sebelum Pesta Horja

BAB IV TATA CARA PENYELENGGARAAN PESTA HORJA

4.3 Hal-hal yang Dilaksanakan Sebelum Pesta Horja

Mamanggil Pargonsi adalah unsur utama sebelum pesta Horja dimulai. Menghormati dan menghargai adalah unsur yang terdapat dalam adat Dalihan Na tolu. Masyarakat Batak Toba selalu mengaplikasikan adat ini dalam kehidupan sosial kemasyarakatnya. Mamanggil Pargonsi ini adalah salah satu bentuk penghormatan dan penghargaan kepada pemain musik sebagai pendukung terselenggaranya pesta. Dalam kepercayaan masyarakat Batak Toba, Pargonsi disebut sebagai Batara Guru (dianggap Dewa) dan berhubungan dengan Tuhan (Debata Mula Jadi Na Bolon).

Sebelum pesta Horja diadakan, terlebih dahulu pihak hasuhuton (pelaksana pesta Horja) sebagai tuan rumah yaitu keturunan dari Ompu Uluan Gultom mengadakan musyawarah untuk membicarakan hal-hal yang dibutuhkan dalam melaksanakan Pesta Horja ini. Salah satunya adalah memanggil Pargonsi. Pihak hasuhuton yang diwakili J. Gultom memanggil Pargonsi dengan membawa “napuran tiar untuk melakukan pangelekan” (sirih dengan isinya sebagai permohonan dengan membujuk pargonsi supaya mau memenuhi panggilan hasuhuton) untuk mengiringi tortor dengan memainkan musik Gondang Sabangunan. Saat itu yang dijumpai adalah pemain sarune (parsarune) atau

13

pemain gondang (partaganing) yang diteruskan memanggil teman-temannya yang lain. Meskipun secara utuh pemberian napuran tiar (sirih bersama sejumlah uang) untuk melakukan pangelekan (membujuk) ini tidak semuanya menurut tradisi kepercayaan lama, tetapi tujuannya adalah sama yaitu membujuk pargonsi supaya mau memainkan musiknya pada saat pelaksanaan pesta. Karena keturunan dari Ompu Uluan Gultom itu telah banyak menganut agama Kristen, maka perlakuan terhadap Pargonsi ini dilakukan seijin gereja dengan hanya memberikan napuran tiar sebagai tanda penghormatan kepada pargonsi.

Hal ini disebabkan karena peraturan gereja yang terdapat dalam “The Order of Dicipline of Church” (Pengawasan Peraturan dalam Gereja [Protestan]), yang salah satu larangannya adalah tidak boleh memberi buah pinang dan daging pada saat memanggil pargonsi sesuai dengan cara pra-Kristen (Purba, 1998: 282). Oleh karena itulah pihak hasuhuton marga Gultom ini berusaha mengambil jalan tengah dalam cara pemanggilan pargonsi.

Tujuan memberikan napuran tiar ini kepada pargonsi adalah supaya pemain musik itu baik dalam memainkan musiknya, kemudian dilakukan dengan benar dan penuh semangat. Hasuhuton yang menyelenggarakan pesta Horja ini pun akan merasa bahwa tujuan yang mereka harapkan akan tercapai melalui musik yang dibawakan pargonsi.

4.3.2 Adat Tu Pargonsi

Pesta Horja yang diadakan oleh keluarga marga Gultom di Desa Rahut Bosi ini dilangsungkan selama 3 (tiga) hari. Sebelum pesta dimulai, beberapa hari

sebelumnya pargonsi datang ke tempat diselenggarakannya pesta tempat pargonsi dibangun sebuah pentas di sebelah kanan rumah hasuhuton siampudan (penyelenggaraan pesta dari keturunan anak yang paling kecil dari yang dipestakan yaitu anak siampudan (anak paling bungsu) dari Ompu Radot Gultom yang bernama Juara Gultom, karena kebetulan beliau tinggal di kampung Rahut Bosi tempat diselenggarakannya pesta Horja itu. Biasanya Pargonsi ditempatkan di bonggar-bonggar ni ruma14

Pada pesta Horja ini adat yang dilaksanakan kepada pargonsi adalah dengan memberikan napuran tiar (sirih yang lengkap) sebagai pangelekan (membujuk) pargonsi mau melaksanakan tugasnya baik meskipun pargonsi dibayar untuk itu.

atau di panca-panca ni sopo yang berpesta sudah ada pada setiap rumah adat tradisional Batak Toba. Tetapi karena pihak hasuhuton yang berpesta sudah tidak memiliki rumah adat tradisional di sekitar lokasi pesta, maka dari itu dibuatlah pentas dari kayu yang dibangun kira-kira satu meter lebih tingginya. Tujuannya juga supaya pargonsi dapat melihat seluruh yang hadir pada pesta dan dapat melihat orang-orang yang manortor (menari).

Tradisi lama bagi masyarakat Batak Toba masih mengadakan upacara untuk panangkok pargonsi (mengantar pargonsi naik ke tempat mereka memainkan musiknya). Upacara itu adalah pemberian pinggan sapa panungkunan yang dilakukan pihak hasuhuton kepada pargonsi. Pinggan panukkunan tersebut ialah piring berisi napuran tiar (sirih lengkap dengan isinya), boras sakti (beras),

14

Ruma adalah bentuk rumah tradisional Batak Tobayang memiliki ukiran-ukiran yang menggambarkan budaya Batak Toba, sedangkan sopo adalah rumah tradisional Batak Tobayang tidak memiliki ukiran. Tempat pargonsi pada ruma adalah bonggar-bonggar dan tempat pargonsi pada sopo adalah panca-panca.

gambiri (kemiri), tolor ni manuk (telur ayam), gundur (semangka), ansimun (mentimun) dan ringgit sitio soara (uang). Napuran tiar mengandung makna mengucapkan terima kasih kepada Tuhan Yang Menciptakan Langit dan Bumi (mandok mauliate tu Amanta Debata), boras sakti bermakna segala sesuatu yang dikerjakan berhasil dengan baik (gabe naniula), gambiri melambangkan kemakmuran (marmiak), tolor ni manuk diberikan kepada raja (pengulu balang), gundur mempunyai makna untuk keseluruhan segala penyakit (pamalumi), ansimun berarti penyejuk hati (pangalamboki), ringgit sitio soara berarti segala perkataan yang dipergunakan dalam upacara supaya sopan dan berkharisma. Setelah itu pargonsi akan menanyakan hasuhuton, upacara atau pesta apa yang akan dilaksanakan, kemudian hasuhuton menjelaskan secara rinci hal-hal yang akan dilakukan selama pesta berlangsung. Tetapi pada pesta Horja ini, tradisi lama yang tersebut di atas tidak dilakukan lagi secara utuh, karena keluarga ini (hasuhuton ini) sudah menganut agama Kristen pada umumnya.

Pada akhir acara pesta Horja ini hasuhuton hanya memberikan napuran tiar (sirih yang melambangkan segala sesuatu yang berhubungan dengan pesta sudah berhasil dan berjalan baik tanpa kurang suatu apapun).

4.3.3 Maniti Ari

Maniti ari adalah menentukan waktu penyelenggaraan pesta Horja. Hasuhuton melihat dari kesediaan semua keturunan dari Ompu Uluan Gultom ini. Kegiatan ini sudah direncanakan sejak tahun 2009 yang lalu, tujuannya supaya seluruh keturunannya dapat mengumpulkan uang untuk pulang kampung dan

mengumpulkan toktok ripe (partisipasi dana dari setiap masing-masing keluarga dan besarnya ditentukan dalam rapat musyawarah oleh keluarga yang tinggal di kampung dan yang ada di perantauan).

Melihat dari segi penanggalan masyarakat Batak bahwa penanggalan ganjil itu merupakan penanggalan yang baik, maka dari itu pesta Horja ini dilangsungkan dari tanggal 7 Juli 2011 sampai dengan 10 Juli 2011 di Desa Rahut Bosi, Kecamatan Pangaribuan, Kabupaten Tapanuli Utara. Panitia memilih tanggal dan bulan ini adalah karena pada saat itu bertepatan sekolah masih dalam keadaan libur (artinya anak-anak tidak akan terganggu masa belajarnya meskipun anak-anak tidak diikutsertakan dalam pesta ini).

Pada saat itu pula, keluarga di kampung habis panen (artinya ada hasil yang akan dipergunakan sebagai makanan pada acara pesta) dan bila habis panen masyarakat belum mulai bekerja ataupun belum mulai menanam padi kembali dan ada waktu luang untuk menyelenggarakan pesta tersebut. Bila dilihat secara kekristenan yang tertulis dalam buku Almanak Gereja Kristen Protestan Indonesia bahwa tanggal 7 Juli 2011 itu memiliki makna atau berisikan ayat Alkitab yang tertulis dalam Amsal 16 ayat 3 Serahkanlah perbuatanmu kepada Tuhan, maka terlaksanalah segala rencanamu.

Hal-hal tersebutlah yang menjadi pedoman bagi panitia (hasuhuton) untuk menentukan waktu penyelenggaraan pesta Horja tersebut.

4.3.4 Menentukan Tempat

Menurut hasil musyawarah keluarga, bahwa tempat yang tepat untuk mengadakan pesta Horja ini adalah di tengah-tengah kampung marga Gultom yang di Desa Rahut Bosi. Rumah hasuhuton adalah yang ditempati Juara Gultom/istri Boru Panjaitan (Ama Dewi), dan areal tempat manortor seluruh yang hadir tepat di depan rumah hasuhuton tersebut. Hal ini juga dikarenakan tugu/kuburan yang akan dipestakan berada tepat di ujung areal pemukiman penduduk mengarah ke tombak (hutan kemenyaan) yang ada di kampung tersebut.

Dokumen terkait