• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV TATA CARA PENYELENGGARAAN PESTA HORJA

4.1 Latar Belakang Pelaksanaan Pesta Horja

Pesta Horja adalah pesta merayakan selesainya pembangunan makam nenek moyang atau leluhur dalam hal ini sebagai penyelenggara pesta adalah marga Gultom. Pedersen (1975:22) mengatakan bahwa: “Masyarakat Batak Toba harus memperhatikan adat dan melaksanakannya karena diancam hukum-hukum bencana seperti penyakit, wabah kelaparan dan lain-lain sebagainya.”

Dengan latar belakang ini membuat masyarakat Batak Toba berusaha melaksanakan upacara-upacara yang berhubungan dengan penghormatan kepada arwah-arwah leluhur (sumangot ni daompung). Berbeda dengan keadaan setelah kekristenan masuk ke Tanah Batak yang dibawakan missionaris gereja. Aturan dalam kekristenan menekankan bahwa hubungan yang mati dan hidup sudah tidak ada lagi. Kekuatan alam di muka bumi ini adalah hasil ciptaan Tuhan Yang Maha

Kuasa yang saat ini dimanifestasikan masyarakat Batak Toba sebagai Debata Mula Jadi Nabolon. Kalau dulu Debata Mula Jadi Nabolon dipercaya bisa mendatangkan keburukan dan kebaikan bila disembah dan diberi sesajen di suatu tempat yang diyakini tempatnya bermukin (gunung, pohon besar, gua-gua dan sebagainya).

Manusia dan kebudayaan memiliki keterikatan yang sangat erat satu sama lainnya. Secara keseluruhan unsur dalam kebudayaan Batak Toba tersebut mempunyai sifat keterikatan dengan adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan para leluhurnya dan secara otomatis, masyarakat Batak Toba itu sendiri berusaha mempertahankan kebiasaan-kebiasaan tersebut dalam kehidupan mereka. Salah satu bentuk adat istiadat yang masih sering dilaksanakan oleh masyarakat Batak Toba adalah Pesta Horja atau sering juga disebut pesta peresmian tugu yaitu setelah nenek moyang mereka bisa bersatu ataupun disatukan permanen maka diadakanlah suatu pesta perayaannya dengan mengundang semua unsur-unsur yang terlibat dalam sistem kekerabatan Dalihan Na Tolu dalam kehidupan masyarakat Batak Toba. Secara totalitas kegiatan ini tidak terlepas dari unsur kehidupan lainnya misalnya religi, adat istiadat maupun ekonomi.

Salah satu yang melatarbelakangi diadakannya Pesta Horja ini adalah karena tuntutan adat. Hukum adat adalah norma-norma yang mengatur sistem kehiduan manusia yang pada awalnya adalah hasil pemikiran manusia dan telah menjadi kebiasaan hidup yang menguasai kehidupan manusia itu sendiri (masyarakat) dalam lingkungan adat tersebut. Norma dan kebiasaan tersebut

menjadi pedoman yang bisa mengarahkan kehidupan masyarakat tersebut. Hal ini berhubungan dengan yang disebutkan Schreiner (1978:20) yaitu:

Adat sebenarnya merangkum semua lapangan kehidupan agama dan peradilan, hubungan-hubungan keluarga, kehidupan dan kematian. Maka adat atau hukum itu bukan hanya memberikan penetapan dengan seksama untuk setiap hal satu persatu…

Tuntutan adat yang telah dilaksanakan turun-temurun adalah berlandaskan petuah dari para leluhur yang mengatakan:

Tuatma na dolok martungkot siala gundi, napinungka ni na dijolo adat dohot uhumi ihutonon ni na dipudi. (Turunlah menelusuri gunung atau bukit bertongkatkan kayu siala gundi, leluhur atau nenek moyang yang menciptakan adat dan hukum, kita keturunannya yang akan melanjutkan berikutnya).

Pesta Horja dilaksanakan karena tuntutan adat pada masyarakat Batak Toba. Karena meskipun orang Batak telah jauh merantau ke mana pun ke ujung bumi ini, bila pesta ini tidak diadakan mereka akan merasa ada sesuatu yang kurang lengkap dalam hidupnya. Ada kekuatiran akan terjadi sesuatu apabila pesta ini tidak dilaksanakan. Artinya merasa masih kurang menghormati nenek moyang atau leluhurnya, dan masyarakat pun akan menilai keturunan ini na somaradat (tidak beradat), dan akan dicemooh dalam lingkungan masyarakat sekitarnya. Selain itu masyarakat Batak Toba mempercayai bila menghormati leluhur dengan menjalankan adat dengan baik akan mendatangkan kebaikan dan keselamatan.

Faktor yang berikutnya adalah faktor ekonomi. Dalam melaksanakan pesta ini dibutuhkan pesta ini dibutuhkan biaya yang tidak sedikit. Keluarga yang selama ini mencari nafkah baik yang di kampung maupun yang di perantauan

belum tentu dapat mengumpulkan biaya untuk pesta ini. Maka pada suatu saat diadakanlah rapat keluarga yang dipromotori keluarga yang berada di kampung dan mengundang beberapa perwakilan anggota keluarga yang berada di perantauan. Diputuskanlah pesta horja ini harus terlaksana. Anggota keluarga yang lebih mapan diminta untuk lebih banyak menyumbang demi terselenggaranya pesta tersebut. Dalam pesta horja ini yang berperan sebagai pekerja (pelaksana) kegiatan yang disebut sebagai Parhobas adalah Paidua Suhut (anggota keluarga) yang masih satu keturuan dari Ompung paling atas garis keturunannya. Jadi yang berperan di sini adalah keturunan dari yang enam (6) Ompung yang telah disebutkan sebelumnya. Mereka saling membantu sesuai dengan kemampuan yang dimiliki masing-masing. Dari hasil informasi yang saya terima dari masyarakat setempat, pada dasarnya upacara ini didukung oleh keturunannya yang sudah berpenghasilan di perantauan.

Bila dilihat dari besarnya biaya yang harus dikeluarkan dalam melaksanakan pesta horja ini sangat bertentangan dengan hukum ekonomi, karena yang dirayakan adalah orang-orang yang sudah mati, padahal biaya itu dapat dipergunakan untuk biaya hidup maupun untuk pendidikan keluarga yang kurang mampu. Tetapi hukum adat dalam kehidupan masyarakat Batak Toba tidak dapat diukur secara rasio dan hukum-hukum ekonomi. Masyarakat Batak Toba selalu berusaha meningkatkan taraf hidup dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dan untuk pemenuhan kebutuhan adat yang harus dilakukan. Selain faktor ekonomi, faktor ‘prestise’ atau gengsi sosial dalam kehidupan bermasyarakat merupakan

faktor yang paling penting yang melatarbelakangi terselenggaranya pesta horja ini.

Ada tiga jenis aktualisasi hidup dalam kehidupan sosial orang Batak Toba yaitu: hamoraon, hagabeon, dan hasangapon. Hamoraon artinya kekayaan. Dengan kekayaan ini marga Gultom dapat menuntukkan kepada marga lain bahwa marga Gultom ini mampu secara materi melaksanakan pesta ini karena keturunannya mempunyai kekayaan yang cukup untuk itu. Hal ini dapat kita lihat cara memberi makan para undangan, hewn yang dikurbankan, pakaian dan perhiasan yang mereka pergunakan. Bila mereka mampu menunjukkan kekayaannya dalam pesta tersebut maka masyarakat setempat akan kagum dan hormat kepada orang yang melaksanakan pesta horja tersebut.

Hagabeon artinya baik dalam berketurunan. Seseorang dalam kehidupan masyarakat Batak Tobadikatakan sempurna bukan hanya karena umur dan kekayaan materi, tetapi dilihat dari jumlah keturunannya. Keturunan adalah dasar penilaian bagi seseorang supaya dapat dihormati dan dipestakan. Artinya bila banyak keturunannya, maka pesta akan terlihat ramai dan meriah.

Dalam pesta Horja marga Gultom ini dikumpulkan dari enam (6) keturunan Ompu, sehingga jumlah keturunan dari Ompu Uluan Gultom beristrikan boru Pasaribu menjadi ramai dan banyak, sehingga mereka dapat menunjukkan kepada masyarakat bahwa mereka adalah keluarga yang diberkati/dipasu-pasu oleh nenek moyang atau para leluhur.

Hasangapon berarti kemuliaan. Hal ini ditujukan kepada yang dipestakan atau dihorjakan. Keenam (6) Ompu itulah yang mendapat penghargaan bahwa

mereka sudah mendapatkan “Hasangapon” dari keturunannya sampai tingkat ketiga dan keempat. Semakin tercapai hamoraon dan hagabeon dari setiap keturunan yang dihorjakan tadi, maka semakin ‘sangap’ lah (mulialah) dia dalam pandangan masyarakat sekelilingnya.

Dokumen terkait