• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tortor Dalam Pesta Horja Pada Kehidupan Masyarakat Batak Toba: Suatu Kajian Struktur Dan Makna

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Tortor Dalam Pesta Horja Pada Kehidupan Masyarakat Batak Toba: Suatu Kajian Struktur Dan Makna"

Copied!
277
0
0

Teks penuh

(1)

TORTOR DALAM PESTA HORJA

PADA KEHIDUPAN MASYARAKAT BATAK TOBA: SUATU KAJIAN STRUKTUR DAN MAKNA

T E S I S Oleh

SANNUR D.F. SINAGA NIM. 097037013

PROGRAM STUDI

MAGISTER (S2) PENCIPTAAN DAN PENGKAJIAN SENI FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N

(2)

TORTOR DALAM PESTA HORJA

PADA KEHIDUPAN MASYARAKAT BATAK TOBA: SUATU KAJIAN STRUKTUR DAN MAKNA

T E S I S

Untuk memperoleh gelar Magister Seni (M.Sn.)

dalam Program Studi Magister (S-2) Penciptaan dan Pengkajian Seni pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara

Oleh

SANNUR D.F. SINAGA NIM. 097037013

PROGRAM STUDI

MAGISTER (S2) PENCIPTAAN DAN PENGKAJIAN SENI FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N

(3)

Judul Tesis : TORTOR DALAM PESTA HORJA

PADA KEHIDUPAN MASYARAKAT BATAK TOBA: SUATU KAJIAN STRUKTUR DAN MAKNA Nama : Sannur D.F. Sinaga

Nomor Pokok : 097037013

Program Studi : Magister (S2) Penciptaan dan Pengkajian Seni

Menyetujui

Komisi Pembimbing,

Dra. Rithaony, M.A. NIP. 196311161997032001

Ketua

Yusnizar Heniwaty, SST., M.Hum.

NIP. 196510211992032003 Anggota

Program Studi Magister (S-2) Penciptaan dan Pengkajian Seni Ketua,

Drs. Irwansyah, M.A. NIP 196212211997031001

Fakultas Ilmu Budaya Dekan,

(4)

Tanggal lulus: Telah diuji pada Tanggal

PANITIA PENGUJI UJIAN TESIS

Ketua : Drs. Irwansyah, M.A. (………..)

Sekretaris : Drs. Torang Naiborhu., M.Hum. (..…..………..)

Anggota I : Dra. Rithaony, M.A. (….… ………)

Anggota II : Yusnizar Heniwaty, SST., M.Hum. (...………)

(5)

ABSTRACT

This research discusses about Tortor in Horja ceremony for Batak Toba’s society. How the Tortor presented in Horja ceremony, and what is it mean and the floor’s pattern?

Tortor is a dancing that is moving all body with Gondang Sabangunan music and it is central moving from feet, hand, fingers, feet palm, back and shoulder. Tortor has spirit of togetherness, brotherhood, or solidarity principles to common interest. Tortor is about custom ceremony, ritual ceremony and also entertainment amusement. In this research, researcher focused for Horja ceremony in Rahut Bosi village, Pangaribuan, North Tapanuli.

Tortor is danced equal with the status of Dalihan Na Tolu. From it is moving we will know who is hula-hula, dongan tubu and also boru.

Tortor from Batak Toba’s society are still coherent in their life wherever they live. The activity of manortor is dancing in every activity in Batak Toba’s custom society life. Though, the using of Tortor has many growth after christian’s, but the basic motif of Tortor dancing is still pure, even though the context has changed the limits that is equivalent with the Christian’s religion.

The presented of Tortor that are the basic dancing, danscript of Tortor dancing, the floor’s pattern and also the clothes are focuses of discussed by researcher about the Tortor in Horja ceremony.

(6)

ABSTRAK

Penelitian ini merupakan bahasan tentang Tortor dalam Pesta Horja pada masyarakat Batak Toba. Bagaimana bentuk penyajian Tortor dalam Pesta Horja, dan bagaimana makna maupun pola lantainya?

Tortor adalah tarian yang menggerakkan seluruh badan dengan iringan Gondang Sabangunan dengan pusat pola gerakan terletak pada kaki, tangan, jari, telapan kaki, punggung dan bahu. Tortor memiliki prinsip semangat kebersamaan, rasa persaudaraan, atau solidaritas untuk kepentingan bersama. Tortor berhubungan dengan upacara adat, upacara ritual, maupun hiburan.

Dalam penelitian ini penulis memfokuskan pada Pesta Horja di Desa Rahut Bosi, Pangaribuan, Tapanuli Utara.

Tortor ditarikan sesuai dengan kedudukannya dalam Dalihan Natolu. Dari gerakan Tortor kita akan mengetahui siapa hula-hula, dongan tubu maupun boru.

Tortor bagi masyarakat Batak Toba tetap melekat dalam kehidupannya di manapun mereka berada. Aktivitas manortor dilakukan dalam setiap kegiatan dalam kehidupan adat masyarakat Batak Toba. Meskipun pemakaian/penggunaan Tortor banyak mengalami perkembangan setelah era kekristenan, tetapi motif dasar gerak Tortor tersebut masih tetap dilakukan yang sebenarnya, meskipun konteksnya sudah mengalami batasan-batasan yang disesuaikan pada ajaran kekristenan, tetapi motif dasar gerak Tortor tersebut masih tetap dilakukan yang sebenarnya, meskipun konteksnya sudah mengalami batasan-batasan yang disesuaikan pada ajaran kekristenan.

Bentuk penyajian dari gerak Tortor yang meliputi motif gerak dasar, danskrip gerak Tortor, pola lantai maupun busana merupakan pembahasan penulis tentang Tortor dalam Pesta Horja tersebut.

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala

berkat, rahmat dan karunia-Nya yang membimbing dan menyertai penulis dalam

penyelesaian studi di Program Studi Magister (S-2) Penciptaan dan Pengkajian

Seni, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara Medan.

Tulisan dalam bentuk tesis ini adalah untuk memenuhi salah satu syarat

memperoleh gelar Magister Seni (M.Sn.) pada Program Studi Magister (S-2)

Penciptaan dan Pengkajian Seni, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera

Utara Medan.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada kedua orang tua penulis, yaitu Bapak A. Sinaga dan Ibu (Oma)

R. Napitupulu (alm), nasehatmu ibu senantiasa mengiringi langkahku di manapun

aku berada. Segala yang Bapak berikan (doa dan nasehat) membawaku mencapai

jenjang pendidikan yang lebih tinggi, saya tidak mampu membalasnya dengan

apapun.

Kepada suami saya tercinta, Drs. Aipda. Saut Gultom, yang tidak pernah

lelah mendukung dan memotivasi saya dengan moril maupun materil dalam

perkuliahan hingga selesainya penulisan tesis ini. Hanya tesis ini yang dapat saya

persembahkan sebagai tanda terima kasih atas cinta dan kasih sayangmu

kepadaku.

Tidak lupa kepada kedua anakku yang sangat kucinta dan kusayangi,

(8)

mama termotivasi dalam penyelesaian tesis ini, tanpa kalian mama tidak ada

semangat dan kekuatan.

Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya juga saya haturkan kepada

kedua mertua saya, M. Gultom dan L. Br. Sinaga.

Tidak lupa saya berterima kasih kepada abang, Ir. Mardi Sinaga, MBA,

Sahala Adhel Sinaga, SE, dan adik saya, Imelda Sinaga, SP. Atas dorongan,

motivasi dan doa kalian mendukung terselesaikannya pembuatan tesis ini. Semoga

kalian selalu diberkati Tuhan Yesus Kristus Juru Selamat kita.

Secara akademik penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof.

Dr. dr. Syahril Pasaribu., DTM & H, M.Sc. (CTM), Sp.A(K)., selaku Rektor

Universitas Sumatera Utara, dan Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A., sebagai Dekan

Fakultas Ilmu Budaya, yang telah memberi fasilitas, sarana dan prasarana belajar

bagi penulis sehingga dapat menuntut ilmu di kampus Universitas Sumatera Utara

ini dengan baik.

Penulis juga mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Ketua

Program Studi Magister (S-2) Penciptaan dan Pengkajian Seni, Fakultas Ilmu

Budaya, Universitas Sumatera Utara, Drs. Irwansyah, M.A., dan Sekretaris,

Bapak Drs. Torang Naiborhu, M.Hum, atas bimbingan akademis dan arahan yang

diberikan.

Terima kasih yang sebesar-besarnya juga saya ucapkan kepada Ibu Dra.

Rithaony, M.A., selaku Dosen Pembimbing I dan Ibu Dra. Yusnizar Heniwaty,

M.Hum., sebagai Dosen Pembimbing II atas semua tuntunan, nasehat serta

(9)

tidak menyerah. Juga saya ucapkan terima kasih kepada Dosen Penguji Drs.

Kumalo Tarigan, M.A., yang memberikan koreksi dan kritikan demi perbaikan

penulisan tesis ini.

Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada semua dosen Program Studi

Magister (S-2) Penciptaan dan Pengkajian Seni, antara lain: Prof. Drs. Mauly

Purba, M.A., Ph.D., Drs. Kumalo Tarigan, MA, Dra. Rithaony, M.A., Drs. Setia

Dermawan Purba, M.Si., Dra. Frida Deliana, M.Si., Drs. Bebas Sembiring, M.Si.,

atas ilmu yang telah diberikan selama ini. Begitu juga kepada Bapak Drs. Ponisan

sebagai pegawai adminsitrasi, terima kasih atas segala bantuannya selama ini.

Penulis berharap kiranya tulisan ini bermanfaat bagi pembaca. Selain itu juga

dapat menjadi sumbangan dalam ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang

Penciptaan dan Pengkajian Seni, serta Etnomusikologi.

Tentu tesis ini masih jauh dari kesempurnaannya, karena itu kepada semua

pihak penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun

pada tesis ini.

Medan, Januari 2012 Penulis

(10)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

IDENTITAS DIRI

1. Nama : Sannur D. F. Sinaga

2. Tempat/Tgl. Lahir : Parapat, 22 Juli 1971

3. Jenis Kelamin : Perempuan

4. Agama : Kristen Protestan

5. Kewarganegaraan : Indonesia

6. Nomor Telepon : 081361776034

7. Alamat : Villa Mutiara III, Blok H-16

Jl. Bajak II H, Marindal-Medan

8. Pekerjaan : PNS Guru SMK Negeri 11 Medan

PENDIDIKAN

1. Sekolah Dasar Negeri 091463 Parapat lulus tahun 1984

2. Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Parapat lulus tahun 1987

3. Sekolah Lanjutan Tingkat Atas Parapat lulus tahun 1990

4. Sarjana Seni Jurusan Etnomusikologi Fakultas Sastra Universitas Sumatera

(11)

5. Akta Mengajar IV Bidang Kependidikan Fakultas Keguruan dan Ilmu

Pendidikan Universitas Negeri Medan lulus tahun 2003

6. Mahasiswa Program Studi Magister (S2) Penciptaan dan Pengkajian Seni di

Fakultas Budaya Universitas Sumatera Utara

PENGALAMAN KERJA

1. Tahun 2004-2009

PNS Guru di SMA Negeri 2 Yayasan Sopo Surung Balige

2. Tahun 2009-sekarang

PNS Guru di SMK Negeri 11 Medan

PENGALAMAN PROFESI

1. Tahun 2005 Juri Festival Tortor Se Kabupaten Toba Samosir

2. Tahun 2009 - Pengurus Lembaga Pengembangan Paduan

Suara Daerah Kabupaten Toba Samosir

- Pengurus Dewan Kesenian Daerah Kabupaten

Toba Samosir

- Juru Festival Paduan Suara Wanita Se Gereja

HKBP Distrik Humbang Hasundutan

- Juri Festival Paduan Suara Gerejawi Se

Kabupaten Deli Serdang

- Juri Festival Vocal Group dan Paduan Suara

(12)

- Juri PORSENI SD Tk. Provinsi Sumatera Utara

- Juri Festival Paduan Suara TB. Silalahi Center

Toba Samosir

- Juri Festival Paduan Suara Gerejawi Se

Kabupaten Toba Samosir

- Juri PORSENI Tk. I SMP Provinsi Sumatera

Utara

- Pengurus Lembaga Pengembangan Musik

Gereja Sumatera Utara

- Juri Festival Vocal Group dan Paduan Suara Se

Kabupaten Tapanuli Utara

- Panitia Pagelaran Musik Gereja Bernuansa Etnis

Se Sumatera Utara

- Peserta Festival Paduan Suara Gerejawi Tingkat

Nasional Utusan Sumatera Utara di Samarinda

3. Tahun 2010-2012 - Juri Tari Tk. SLTA Se Provinsi Sumatera Utara

- Juri Vocal Group Tk. SLTA Se Provinsi

Sumatera Utara

- Juri Vocal Solo Tk. SLTA Se Provinsi Sumatera

Utara

- Juri Festival Paduan Suara Gerejawi Se

(13)

- Juri Festival Paduan Suara HKBP Se Humbang

Hasundutan dalam rangka Jubileum HKBP ke

150 tahun

- Tim Kesenian Toba Samosir ke Taman Mini

Indonesia Indah

- Juri Vocal Group Perparawi Se Kabupaten

Simalungun

- Juri Paduan Suara, Vocal Group, Solo Se

(14)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang

pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi,

dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang

pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu

dalam naskah ini dan disebutkan di dalam daftar pustaka.

Medan, Januari 2012

(15)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

ABSTRACT ... v

ABSTRAK ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... x

DAFTAR ISI ... xiv

DAFTAR TABEL ... xviii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Pokok Permasalahan ... 15

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 15

1.3.1 Tujuan Penelitian ... 15

1.3.2 Manfaat Penelitian ... 16

1.3.3 Fokus Penelitian ... 17

1.4 Studi Kepustakaan ... 17

1.5 Landasan Teori ... 19

1.6 Metodologi Penelitian ... 23

1.7 Teknik Mengumpulkan dan Menganalisis Data ... 25

1.7.1 Observasi ... 25

(16)

1.7.3 Perekaman ... 26

1.7.4 Kerja laboratorium ... 27

BAB II TINJAUAN UMUM MASYARAKAT DAN BUDAYA BATAK TOBA ... 28

2.1 Geografi Batak Toba ... 28

2.2 Asal-Usul Masyarakat Batak Toba ... 30

2.2.1 Pengertian Batak ... 30

2.2.2 Sejarah Batak ... 31

2.2.3 Mitologi Suku Batak Toba ... 35

2.3 Etnografi Kabupaten Tapanuli Utara ... 36

2.4 Sistem Kekerabatan Pada Masyarakat Batak Toba ... 44

2.4.1 Hula-hula ... 47

2.4.2 Dongan Sabutuha ... 48

2.4.3 Boru ... 49

2.4.4 Sistem Sapaan ... 50

2.5 Mata Pencaharian ... 54

2.6 Kampung dan Desa ... 54

2.7 Agama dan Kepercayaan ... 56

2.7.1 Islam ... 60

2.7.2 Kristen ... 62

2.7.3 Parmalim ... 64

2.7.4 Siraja Batak ... 67

(17)

2.8.1 Seni Tari dan Seni Suara ... 68

2.8.2 Seni Rupa ... 72

2.8.3 Seni Sastra ... 73

2.8.4 Seni Musik ... 75

BAB III TORTOR DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT BATAK TOBA ... 78

3.1 Tortor Pada Saat Upacara ... 78

3.2 Penggunaan dan Fungsi Tortor ... 93

3.2.1 Penggunaan Tortor ... 93

3.2.2 Fungsi Tortor ... 96

3.3 Busana Tortor dalam Upacara ... 104

3.4 Perkembangan Tortor ... 106

BAB IV TATA CARA PENYELENGGARAAN PESTA HORJA ... 108

4.1 Latar Belakang Pelaksanaan Pesta Horja ... 108

4.2 Tujuan Pelaksanaan Pesta Horja ... 113

4.3 Hal-hal yang Dilaksanakan Sebelum Pesta Horja ... 117

4.3.1 Mamanggil Pargonsi ... 117

4.3.2 Adat Tu Pargonsi ... 118

4.3.3 Maniti Ari ... 120

4.3.4 Menentukan Tempat ... 121

4.4 Tortor yang Disajikan Pada Saat Penyelenggaraan Pesta Horja ... 122

(18)

Pihak yang Manortor ... 123

4.6 Hubungan Tortor Dengan Gondang Sebagai Musik Pengiring ... 125

4.7 Tortor Sipitu Gondang Dalam Pesta Horja ... 168

4.7.1 Tortor Mula-mula ... 168

4.7.2 Tortor Somba ... 169

4.7.3 Tortor Mangaliat/Siuk-siuk ... 169

4.7.4 Tortor Sibane-bane ... 170

4.7.5 Tortor Saudara/Parsaoran ... 170

4.7.6 Tortor Simonang-monang ... 171

4.7.7 Tortor Hasahatan-Sitio-tio ... 171

4.8 Mangido Tuani Gondang ... 172

4.9 Pantun (Umpasa) Dalam Meminta Gondang ... 173

BAB V STRUKTUR DAN MAKNA PENYAJIAN TORTOR SIPITU GONDANG ... 182

5.1 Struktur dan Makna ... 182

5.2 Motif dan Makna Gerak Dasar Dalam Tortor ... 183

5.3 Aturan-aturan Dalam Gerakan Tortor ... 194

5.3.1 Pangurdot ... 194

5.3.2 Pangeal ... 194

5.3.3 Pandenggal ... 195

5.3.4 Siangkup na (siakkup na) ... 195

(19)

5.4 Danskrip Tortor Dalam Pesta Horja ... 199

5.5 Pola Lantai ... 203

BAB VI PENUTUP ... 219

6.1 Kesimpulan ... 219

6.2 Saran ... 221

DAFTAR PUSTAKA ... 222

LAMPIRAN: GLOSSARIUM ... 225

DAFTAR INFORMAN ... 231

TAROMBO NI OMPU I GURU TOLOAN GULTOM ... 234

(20)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Penduduk Batak Toba di Sumatera Utara ... 29

Tabel 2.2 Luas wilayah Kecamatan Pangaribuan menurut Desa/Kelurahan ... 33

Tabel 2.3 Letak Koordinat Desa di Kecamatan Pangaribuan ... 42

Tabel 2.4 Luas Tanah Desa Rahut Bosi ... 43

Tabel 2.5 Jumlah Penduduk Desa rahut Bosi ... 43

Tabel 2.6 Luas Tanaman Palawija ... 43

(21)

ABSTRACT

This research discusses about Tortor in Horja ceremony for Batak Toba’s society. How the Tortor presented in Horja ceremony, and what is it mean and the floor’s pattern?

Tortor is a dancing that is moving all body with Gondang Sabangunan music and it is central moving from feet, hand, fingers, feet palm, back and shoulder. Tortor has spirit of togetherness, brotherhood, or solidarity principles to common interest. Tortor is about custom ceremony, ritual ceremony and also entertainment amusement. In this research, researcher focused for Horja ceremony in Rahut Bosi village, Pangaribuan, North Tapanuli.

Tortor is danced equal with the status of Dalihan Na Tolu. From it is moving we will know who is hula-hula, dongan tubu and also boru.

Tortor from Batak Toba’s society are still coherent in their life wherever they live. The activity of manortor is dancing in every activity in Batak Toba’s custom society life. Though, the using of Tortor has many growth after christian’s, but the basic motif of Tortor dancing is still pure, even though the context has changed the limits that is equivalent with the Christian’s religion.

The presented of Tortor that are the basic dancing, danscript of Tortor dancing, the floor’s pattern and also the clothes are focuses of discussed by researcher about the Tortor in Horja ceremony.

(22)

ABSTRAK

Penelitian ini merupakan bahasan tentang Tortor dalam Pesta Horja pada masyarakat Batak Toba. Bagaimana bentuk penyajian Tortor dalam Pesta Horja, dan bagaimana makna maupun pola lantainya?

Tortor adalah tarian yang menggerakkan seluruh badan dengan iringan Gondang Sabangunan dengan pusat pola gerakan terletak pada kaki, tangan, jari, telapan kaki, punggung dan bahu. Tortor memiliki prinsip semangat kebersamaan, rasa persaudaraan, atau solidaritas untuk kepentingan bersama. Tortor berhubungan dengan upacara adat, upacara ritual, maupun hiburan.

Dalam penelitian ini penulis memfokuskan pada Pesta Horja di Desa Rahut Bosi, Pangaribuan, Tapanuli Utara.

Tortor ditarikan sesuai dengan kedudukannya dalam Dalihan Natolu. Dari gerakan Tortor kita akan mengetahui siapa hula-hula, dongan tubu maupun boru.

Tortor bagi masyarakat Batak Toba tetap melekat dalam kehidupannya di manapun mereka berada. Aktivitas manortor dilakukan dalam setiap kegiatan dalam kehidupan adat masyarakat Batak Toba. Meskipun pemakaian/penggunaan Tortor banyak mengalami perkembangan setelah era kekristenan, tetapi motif dasar gerak Tortor tersebut masih tetap dilakukan yang sebenarnya, meskipun konteksnya sudah mengalami batasan-batasan yang disesuaikan pada ajaran kekristenan, tetapi motif dasar gerak Tortor tersebut masih tetap dilakukan yang sebenarnya, meskipun konteksnya sudah mengalami batasan-batasan yang disesuaikan pada ajaran kekristenan.

Bentuk penyajian dari gerak Tortor yang meliputi motif gerak dasar, danskrip gerak Tortor, pola lantai maupun busana merupakan pembahasan penulis tentang Tortor dalam Pesta Horja tersebut.

(23)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tari adalah suatu pertunjukan yang melibatkan seluruh elemen masyarakat

pendukungnya. Tari merupakan warisan budaya leluhur dari beberapa abad yang

lampau. Tari diadakan sesuai dengan kebudayaan setempat dengan cara dalam

konteks yang berbeda-beda. Tari diadakan untuk upacara-upacara yang berkaitan

dengan adat dan kepercayaan, namun ada juga yang melaksanakannya sebagai

hiburan atau rekreasi. Sistem sosial dan lingkungan alam mempengaruhi bentuk

dan fungsi tari pada suatu komunitas suku dan budaya.

Tari1

Dalam kehidupan masyarakat Batak Toba, Tortor berhubungan erat

dengan upacara adat, upacara ritual, maupun untuk hiburan. Dalam tulisan ini ada

beberapa subyek pembahasan yaitu tentang konteks, makna maupun

perkembangan Tortor dalam kehidupan masyarakat Batak Toba.

dalam kehidupan masyarakat Batak Toba disebut Tortor, sedangkan

penari biasa disebut dengan Panortor. Tortor memiliki prinsip semangat

kebersamaan, rasa persaudaraan, atau solidaritas untuk kepentingan bersama.

1

(24)

Dalam kehidupan masyarakat tradisional Batak Toba, tari (Tortor)

mempunyai peranan penting dalam aktivtas kehidupan mereka yang berkaitan

dengan kehidupan spiritual mereka dan juga untuk hubungan sosial

kemasyarakatannya. Tortor dilakukan dengan berbagai kegiatan ritual maupun

upacara keagamaan dan juga dapat dipertunjukkan dalam konteks adat.

Tortor ditarikan sesuai dengan kedudukan masing-masing warga

masyarakat di dalam kehidupan adat masyarakat Batak Toba yang disebut sebagai

sistem kekerabatan. Sistem ini disebut dengan Dalihan Na Tolu. Dalihan Na Tolu

terdiri dari Hula-hula (pihak pemberi istri), Boru (pihak keluarga istri), Dongan

Sabutuha (kerabat semarga).

Adat Batak Toba yang dimaksud ialah rangkaian atau tatanan

norma-norma sosial dan religius yang mengatur kehidupan sosial, hubungan manusia

dengan leluhurnya, hubungan vertikal kepada Sang Pencipta, serta pelaksanaan

upacara-upacara ritual keagamaan (Purba, 2003: 1).

Tortor adalah “seni tari dengan menggerakkan seluruh badan dengan

dituntun irama gondang, dengan pusat gerakan pada tangan dan jari, kaki dan

telapak kaki/punggung dan bahu.” (Malau, 2000: 215)

“Setiap gerakan pada Tortor Batak yang berekspresi disebut urdot.

Mangurdot berarti menggerakkan badan dan anggota tubuh secara ekspresif.

Urdot ini dilakukan sesuai dengan iringan gondang. Gondang dan Tortor adalah

perpaduan bunyi dan gerak tubuh yang sedang dibawakan.” (Lumbantobing,

(25)

Tortor dalam upacara ritual maupun adat biasanya diiringi Gondang

Sabangunan (musik tradisional masayarakat Batak Toba). Manortor yang

dilakukan oleh muda-mudi adalah bentuk penyampaian hasrat hati kepada lawan

jenisnya, dan pada dulunya tarian ini dilakukan pada malam bulan purnama.

Artinya aktivitas manortor ini dilakukan sebagai sarana penyampaian isi

batin baik kepada roh-roh leluhur maupun kepada orang-orang yang dihormati

maupun yang disayangi (sesama manusia) yang ditunjukkan dalam bentuk

tarian/Tortor.

Tortor senantiasa diiringi gondang sabangunan. Setelah paminta gondang

(orang yang meminta repertoar gondang dimainkan yang sekaligus juga berperan

sebagai pemimpin kelompok penari) menyerukan untuk maminta gondang

(meminta gondang) dimainkan dimulailah gerakan mangurdot, seiring dengan

bunyi ritme dari gong (ogung) dan gendang (taganing). Dalam hitungan 2 x 8 atau

3 x 8 dengan dimulainya bunyi suara sarune (alat tiup berlidang ganda) maka

panortor mulai membuka tangan dan melakukan gerak tortor sesuai yang diminta.

Urdot selalu dimulai dengan kaki kanan dalam hitungan untuk memulainya. Kaki

kanan itu melambangkan keberhasilan dari sesuatu hal yang kita kerjakan. Dalam

bahasa Batak biasa disebut dengan parlangka siamun.

Hertz menyatakan bahwa pada berbagai suku bangsa di Indonesia upacara

kematian terdiri dari atas tiga tingkat, yaitu: (1) sepelture provisorie; (2) periode

intermediaire; dan (3) ceremonie finale. Mula-mula mayat diberi suatu sepulture

proisoire yaitu pemakaman sementara. Kemudian ada suatu periode intermediaire

(26)

memberikan suatu kedudukan yang baru untuk roh orang mati dengan jalan

ceremonie finale yaitu suatu upacara penggalian tulang belulang dan sisa jasmani

dari jenazah, lalu ditempatkan di tempat yang tetap (Koentjaraningrat,

1980:72-73).

Kepercayaan tradisional masyarakat Batak Toba menyatakan bahwa

apabila seseorang ingin mendapatkan kebahagiaan dalam hidupnya, maka dia

harus melakukan berbagai hal dalam kehidupannya, antara lain sebagai berikut:

- Harus menghormati, menyembah dan memuja orang tua dan roh nenek

moyang dengan mengadakan upacara-upacara.

- Memberi perhatian yang khusus kepada roh-roh pengetua adat (harajaon)

maupun dukun (datu).

- Menyajikan persembahan dalam bentuk sesajen dan memelihara roh.

- Menuruti kehendak roh.

- Mentaati tata cara adat di dalam segala aktivitas dalam kehidupan.

Dalam kepercayaan Batak Toba manusia mempunyai tiga unsur yaitu:

tondi (jiwa), mudar (darah) dan sibuk (daging). Dalam hal ini tondi akan

menyertai manusia selama manusia masih hidup. Tetapi bila manusia meninggal,

maka tondi akan meninggalkannya dan tondi akan menjadi penghuni (mempunyai

kuasa) dunia tengah yang didiami roh-roh nenek moyang.

Dilihat dari sudut kepercayaan, peristiwa kematian manusia pada

masyarakat Batak Toba adalah hal yang sangat penting dan sangat dihargai dari

peristiwa-peristiwa dalam siklus kehidupan (life cycle), misalnya kelahiran,

(27)

tentang tondi, begu, sahala, sombaon, dan sumangot orang Batak Toba (biasanya

untuk nenek moyang). Menurut keyakinan masyarakat mereka, segala

aspek-aspek ini selalu berhubungan erat dengan keyakinan terhadap datangnya berkat

kebahagiaan (pasu-pasu), maupun keselamatan. Hal ini akan diterima dengan

sendirinya apabila seseorang itu hidup dalam ketaatan adat maupun penghormatan

kepada seseorang sebelum maupun sesudah kematiannya.

Masyarakat Batak Toba meyakini roh orang yang sudah meninggal dapat

melihat keadaan orang-orang yang masing hidup dan keluarga yang

ditinggalkannya dan mempunyai hubungan mendatangkan keselamatan dan

mendatangkan malapetaka. Ada kepercayaan yang menyatakan bila suatu

keluarga atau sekelompok marga dapat melaksanakan upacara atau pesta horja ini

maka mereka akan memperoleh keselamatan, dan sebaliknya jika tidak

dilaksanakan akan mendatangkan malapetaka. Dengan demikian masyarakat

Batak Toba akan berusaha melaksanakan pesta tersebut sebagai tanda

penghormatan kepada nenek moyang mereka.

Tingkat ketiga dari upacara kematian tersebut, yakni ceremonie finale

terdapat pada masyarakat Batak Toba yang diawali dengan penyatuan tulang

belulang nenek moyangnya. Kemudian disatukan ke satu tempat yang dibangun

khusus. Upacara ini bermaksud untuk menghormati, memperingati, dan

meninggikan roh nenek moyang (leluhur) yang dipandang sebagai penentu adat.

Monang Naipospos selaku pengetua adat menyatakan Tortor Batak yang

(28)

banyak, lingkungan dan penciptaannya sifatnya bukan sebagai hiburan. Tortor

adalah gerakan tubuh mengiringi atau diiringi irama gondang.

Biasanya jenis gondang yang dimainkan adalah sama dengan nama Tortor

yang akan ditarikan. Misalnya dalam Gondang Mula-mula yang ditarikan adalah

Tortor Mula-mula artinya bahwa semua yang ada di bumi ini pada mulanya ada

yang menciptakan (dalam kehidupan masyarakat Batak Toba dikenal dengan

Mula Jadi Na Bolon), dan segala sesuatu yang dimulai dengan baik maka hasilnya

akan baik pula. Begitu juga dengan Gondang Somba yang ditarikan adalah Tortor

Somba (gerakan menyembah kepada Tuhan dan kepada masyarakat sekeliling),

dan masih banyak lagi jenis Tortor yang diiringi Gondang Sabangunan.

Dalam sebuah aktivitas Tortor yang diiringi Gondang Sabangunan

biasanya salah satu dari penari (panortor) tersebut akan bertindak sebagai paminta

gondang. Paminta Gondang ini adalah orang yang meminta Gondang (lagu)

untuk dimainkan dan sekaligus berperan sebagai pemimpin dari kelompok penari

(panortor) tersebut. Sebagai seorang paminta gondang, orang tersebut harus

punya pengetahuan tentang gondang yang akan dimainkan dan harus mengetahui

umpasa (pantun, petatah-petitih) yang selalu mengiringi aktivitas manortor

(menari pada kehidupan masyarakat Batak Toba). Jenis-jenis Tortor disesuaikan

dengan musik (gondang) yang akan dimainkan.

Seni tari Batak Toba pada zaman dahulu merupakan sarana utama

pelaksanaan upacara ritual keagamaan. Menari/manortor juga dilakukan dalam

acara gembira seperti sehabis panen, perkawinan, yang pada waktu itu masih

(29)

Gondang Sabangunan (dengan perangkat musik yang lengkap) sangat erat

hubungannya dengan pemujaan para dewa dan roh-roh nenek moyang (leluhur)

pada zaman dahulu.

Tata cara memulai tortor dilaksanakan dengan mengikuti persyaratan

tertentu. Sebelum acara dilakukan terbuka terlebih dahulu tuan rumah (hasuhuton)

melakukan acara khusus yang dinamakan mangido tua ni gondang (yang artinya

pihak yang punya hajatan/hasuhutan meminta kepada pemain gondang dalam hal

ini taganing untuk memainkan gondangnya menggunakan kata-kata yang sopan

dan santun. Begini bunyinya:

“Amang Panggual Pargonci …(wahai pemusik...)

- Alualuhon damang majo tu omputta Mula Jadi Nabolon, na jumadihon

nasa na adong, na jumadihon manisia dohot sude isi ni portibion

(sampaikanlah permohonan kami kepada maha pencipta, yang

menjadikan segala yang ada, menjadikan manusia serta seluruh isi

dunia ini). Gondang pun dimainkan...

- Alualuhon ma muse tu sumangot ni omputta sijolo-jolo tubu, sumangot

ni omputta paisada, omputta paidua sahat tu papituhon (Sampaikan

juga kepada roh-roh leluhur, leluhur yang pertama, kedua, hingga

leluhur tingkat ke tujuh). Gondang dimainkan...

- Alualuhon majolo tu sahala ni angka amanta raja na liat nalolo

(Mohonkan jugalah kepada hadirin yang terhormat). Lalu gondang pun

(30)

Demikianlah, setiap selesai satu permintaan selalu diselingi dengan

pukulan gondang dengan ritme tertentu dalam beberapa saat. Setelah ketiga

permintaan seruan (alu-alu) tersebut dilaksanakan dengan baik, maka barisan

keluarga suhut yang telah siap manortor (menari) mengatur susunan tempat

berdirinya untuk memulai menari. Kembali juru bicara dari hasuhutan meminta

jenis gondang yang harus dilakukan hasuhutan untuk mendapatkan tua ni

gondang. Para penari/panortor menari dengan gembira dan sukacita. Jenis

permintaan gondang yang dibunyikan adalah permohonan kepada dewa-dewa dan

para arwah leluhur agar keluarga suhut yang mengadakan upacara diberi

keselamatan, kesejahteraan, kebahagiaan, rejeki yang berlimpah ruah, dan upacara

adat yang akan dilaksanakan menjadi sumber berkat bagi suhut dan seluruh

keluarga, serta para undangan. Gondang terakhir yang dimohonkan adalah

Gondang Hasahatan. Artinya selesailah sudah upacara adat yang diharapkan pasti

membawa kebahagiaan dan kesejahteraan.

Dalam aktivitas manortor banyak pantangan yang tidak diperbolehkan,

seperti tangan si penari tidak boleh melewati batas setinggi bahu ke atas, karena

bila itu dilakukan berarti si penari sudah siap menantang siapapun dalam bidang

ilmu pendukunan, atau adu pencak silat, atau ada tenaga dalam.

Yang umum dilakukan dalam aktivitas dalam manortor adalah:

1. Gondang Mula-mula dengan Tortor Mula-mula

2. Gondang Somba-somba, dengan Tortor Somba-somba

3. Gondang Sampur Marmeme dengan Tortor Sampur Marmeme

(31)

5. Gondang Saudara dengan Tortor Saudara

6. Gondang Sitiotio dengan Tortor Sitio dilanjutkan dengan

7. Gondang Hasahatan dengan Tortor Hasahatan

Atau

1. Gondang Mula-mula

2. Gondang Somba-somba

3. Gondang Sibane-bane

4. Gondang Simonang-simonang

5. Gondang Didang-didang

6. Gondang Hasahatan Sitio-tio

Gerak tari sebagai bagian dari seni budaya refleksi dan perwujudan dari

sikap, sifat, perilaku dan perlakuan serta pengalaman hidup masyarakat itu

sendiri. Tarian atau gerak adalah bahasa tubuh yang menggambarkan identitas

bangsa atau daerah. Dalam tarian atau gerak tergambar cita rasa, daya cipta dan

karsa dari sekelompok orang. Tortor menggambarkan pengalaman hidup orang

Batak dalam kehidupan keseharian, gembira atau senang, bermenung, berdoa,

menyembah, menangis, bahkan keinginan dan cita-cita maupun harapan

tergambar dalam tortor. Tortor adalah tarian seremonial yang secara fisik

merupakan tarian namun makna yang lebih dari gerakan-gerakannya

menunjukkan tortor adalah sebuah media komunikasi, karena melalui media

gerakan yang disajikan terjadi interaksi antara partisipan upacara (Purba,

(32)

Struktur adalah bagaimana bagian-bagian dari sesuatu yang berhubungan

satu dengan yang lain atau bagaimana sesuatu tersebut disatukan. Struktur adalah

sifat fundamental bagi setiap sistem. Identifikasi suatu struktur adalah suatu tugas

obyektif karena tergantung pada asumsi kriteria bagi pengenalan

bagian-bagiannya dan hubungan mereka. Sifat struktur adalah totalitas, transformatif, dan

otoregulatif. Struktur ini dapat kita lihat dalam penyajian tortor pada kehidupan

masyarakat Batak Toba yang terdiri dari makna gerakan, motif gerakan, pola

lantai, maupun busana yang dipergunakan.

Struktur penyajian tortor ada empat, yaitu: motif dasar gerak, danskrip

tortor dalam pesta horja, pola lantai dan busana tortor.

Dalam semantik, juga dikenal teori tiga makna. Odgen and Richards

(1923) menyebutkan sebagai symbol, reference, dan referent. Morris Morgan

(1955) menyebutkan sign, signal, dan symbol. Brodbeck (1963) menyebutnya

sebagai (1) makna referensial, makna suatu istilah mengenai obyek, pikiran, ide

atau konsep yang ditunjukkan oleh istilah itu sendiri, (2) makna yang

menunjukkan arti suatu istilah sejauh dihubungkan dengan konsep-konsep lain,

dan (3) makna intensional, yakni arti suatu istilah atau lambang tergantung pada

apa yang dimaksud oleh si pemakai (dalam Kusuma, 2007).

Coumming (1999) menyatakan teori makna melalui tiga pendekatan.

Ketiga bagian itu yaitu simbol dalam bahasa yang dilihat dari:

1. Perspektif referensial (makna dalam dunia) berarti entitas dalam dunia luar

2. Perspektif psikologi (makna dalam pikiran) berarti referensi dalam pikiran

(33)

Makna tersebut terlihat dari setiap makna gerak yang terdapat dalam tortor Batak

Toba yang terdiri dari gerakan kepala, mata, hidung, wajah, kaki, badan dan

tangan, semua itu memiliki makna dan aturan yang terdapat dalam kehidupan

masyarakat Batak Toba.

Tari adalah salah satu ekspresi budaya yang sangat kaya, tetapi paling sulit

untuk dianalisis dan diinterpretasikan. Mengamati gerak laku sangat mudah, tetapi

tidak mengetahui maknanya. Tari dapat diinterpretasikan dalam berbagai tingkat

persepsi. Untuk memahami maksud yang hendak dikomunikasikan dari sebuah

tarian, orang perlu tahu tentang kapan, kenapa, dan oleh siapa tari dilakukan.

Dalam mengukur kedalaman sebuah tarian atau menjelaskan sebuah pertunjukan

dari kebudayaan lain, dituntut pemahaman cara dan pandangan hidup masyarakat

yang menciptakan dan menerima tarian tersebut (Kuper via Snyder, 1984:5).

Selanjutnya dalam pembicaraan tentang estetika atau keindahan tari,

jenis-jenis tari yang dilakukan sebagai pelepas kekuatan emosional dan fisik tidak akan

dibahas, karena dalam tingkat ini keperluan teknik gerak belum disadari.

Keterampilan gerak biasanya dikuasai secara instingtif dan intuituf. Tari sebagai

ungkapan seni mulai hadir ketika orang mulai sadar akan pentingnya teknik atau

keterampilan gerak, dan ketika itu orang mulai mengatur gerak, artinya mulai ada

tuntutan keteraturan atau bentuk. Sejalan dengan pertumbuhan itu mulai tumbuh

kepekaan nilai pengalaman dan perasaan yang dihayati secara lebih mendalam.

Masalah dasar dalam kesenian adalah pengaturan yang terkendali dari suatu

medium dalam rangka mengkomunikasikan imaji-imaji dari pengalaman manusia

(34)

Medium tari adalah gerak, sedangkan alat yang digerakkan adalah tubuh.

Oleh karena itu, untuk dapat memahami tari, orang harus memahami bagaimana

menggunakan “alat” tersebut. Esensi tari adalah integrasi tubuh dan jiwa, serta

integrasi antara pengalaman batiniah dan pengalaman lahiriah secara konseptual

dan estetika. Proses sebuah tarian diawali dengan pengalaman jasmaniah yang

secara naluriah mengatur dirinya secara ritmik. Dengan demikian pengaturan

ritmik merupakan unsur pokok tari. Seorang penari harus mendengarkan bunyi

gendang, dan bila benar-benar memperhatikan dan mendengarkan bunyi gendang,

maka dalam dirinya akan hadir gema gendang dan baru dapat benar-benar menari

(Thompson, 1974:262; Snyder, 1974:9).

Proses percampuran dua kebudayaan atau lebih dan saling mempengaruhi

disebut akulturasi (acculturation) yang bermakna masuknya pengaruh

kebudayaan asing terhadap suatu masyarakat. (Websteris, 1994:9).

Perkembangan dalam kelangsungan kehidupan tradisi tortor pada

masyarakat Batak Toba dimulai dengan masuknya agama Kristen di Tanah Batak.

Kedatangan para missionaris Kristen di Tanah Batak telah membuat batasan

penggunaan tortor dan gondang Batak Toba, dan dalam beberapa hal ada yang

bahkan dilarang untuk dilaksanakan. Hal ini diberlakukan dan dikenakan pada

masyarakat Batak Toba yang telah beralih ke agama Kristen.

Gereja membuat batasan bahwa tortor yang diiringi gondang sabangunan

hanya boleh dimainkan atau dilakukan pada acara-acara tertentu yang berkaitan

dengan kegiatan sosial, misalnya dalam upacara adat, perkawainan dan inipun

(35)

gereja. Artinya kegiatan ini akan terhindar dari kegiatan kepercayaan lama

masyarakat Batak Toba yang menurut faham kekristenan bertentangan dengan

ajaran kekristenannya.

Dengan kedatangan para missionaris Kristen ke Tanah Batak telah

memperkenalkan jenis ensambel musik tiup logam (brass band) dari Barat

(Jerman) kepada masyarakat Batak Toba. Jenis musik inipun dibunyikan sesuai

dengan perkembangan musik Batak Toba asli yang digabungkan dan

dikolaborasikan dengan musik tiup Barat tadi.

Dengan sendirinya musik yang dimainkan seiring dengan dilakukannya

gerakan Tortor yang ditarikan sesuai dengan sistem kekerabatan dalam kehidupan

masyarakat Batak Toba. Gondang Sabangunan dan musik tiup dari barat

merupakan jenis musik yang memiliki keterikatan yang cukup erat dalam tradisi

masyarakat Batak Toba karena karakteristik bunyi yang dihasilkan terdapat

penyesuaian satu sama lainnya. Dalam Gondang Sabangunan, Tortor dilakukan

sesuai karakteristik bunyi yang dihasilkan, demikian juga dengan brass band.

Lagu-lagu yang dibawakan dalam brass band merupakan lagu-lagu gereja

yang dibunyikan sesuai karakteristik musik (Gondang) pada kehidupan

masyarakat Batak Toba. Kemudian masyarakat sebagai pelaku aktivitas tersebut

juga manortor sesuai bunyi musik yang dimainkan dan tetap masih dalam aturan

sistem kekerabatan yang terdapat pada masyarakat Batak Toba. Kadangkala lagu

gereja yang dimainkan pemusik Gondang Sabangunan digabung dengan musik

brass band tadi, yang hasilnya membuat aktivitas tortor semakin meriah dan

(36)

Proses percampuran dua kebudayaan atau lebih dan saling mempengaruhi

disebut akulturasi (acculturation) yang bermakna masuknya pengaruh

kebudayaan asing terhadap suatu masyarakat (Websteris, 1994:9). Perlahan-lahan

Gondang yang mengiringi Tortor berubah menjadi brass band mengiringi Tortor.

Hal ini dimulai dari masyarakat yang hidup diperkotaan. Lagu-lagu yang

dibawakan sudah lebih banyak diambil dari buku lagu gereja dan lagu-lagu

populer. Di sisi lain yang tidak kalah problematis dan nyata adalah ketika kita

hendak berbicara yang berkaitan dengan musik di tanah air, namun yang kita

miliki justru dasar-dasar pengetahuan dan referensi kita tentang ‘ilmu’ musik,

baik dari sudut pandang teoritik analitik, maupun sejarah, sebagian besar berasal

dari predominasi pengetahuan Barat – yang/dan belum tentu pas dengan untuk

diaplikasikan pada persoalan musik di Indonesia, baik secara pengalaman maupun

dalam konteks kajian bangsa. (Hardjana, 2002). Perubahan maupun penyesuaian

yang terjadi akibat pengaruh masuknya kekristenan pada masyarakat Batak Toba

adalah bahwa masyarakat Batak Toba semakin tidak tahu tentang reportoar

gondang yang berkaitan dengan ritual kepercayaan lama, terjadinya pergeseran

fungsi tortor dengan iringan Gondang Sabangunan dari kepercayaan lama

menjadi lebih sekular seperti penggunaan dalam konteks perayaan dan pesta

pembangunan gereja. Akibat larangan dari pihak gereja tentang aktivitas musik

gondang mengakibatkan berkurangnya kuantitas penyajian musik tradisi gondang

dengan tortor yang mengakibatkan berkurangnya pengetahuan tentang musik

gondang dan tortor khususnya bagi generasi muda Batak Toba. Dengan adanya

(37)

menggeser fungsi maupun penggunaan musik gondang meskipun reportoar lagu

yang dibawakan masih memiliki kedekatan yang cukup erat dengan karakteristik

musik yang terdapat dalam musik tradisi gondang. Begitu pula dengan gerakan

tortor yang pada saat ini sudah banyak menghilangkan unsur-unsur tradisi

kepercayaan lama. Seiring dengan perubahan musik tradisi gondang (dari

kepercayaan tradisi lama) menjadi jenis musik yang lebih bersifat sekular,

demikian pula dengan gerakan tortor yang dilakukan tidak terlalu kaku lagi atau

sudah lebih bebas meskipun masih tetap dalam konteks adat yang menganut

sistem kekerabatan Dalihan Na Tolu, artinya aturan dalam manortor itu masih

tetap dilaksanakan meskipun nilai kesakralannya sudah mulai hilang.

1.2 Pokok Permasalahan

Agar pembahasan lebih terarah maka ditentukan pokok permasalahan.

Dalam tesis nantinya, masalah yang akan dibahas adalah:

(1) bagaimana struktur tortor dalam kehidupan masyarakat Batak Toba;

(2) sejauh mana fungsi dan makna tortor dalam konteks kebudayaan

masyarakat Batak Toba(pesta Horja).

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian

(38)

(1) Untuk mengetahui dan memahami bagaimana struktur tortor dalam

kehidupan sosial adat masyarakat Batak Toba.

(2) Untuk mengetahui dan memahami makna tortor.

(3) Untuk mengetahui fungsi sosiobudaya dan makna tortor dalam

kebudayaan masyarakat pendukungnya,

(4) Untuk mengetahui struktur musik baik dimensi ruang maupun waktu yang

dipergunakan dalam musik tortor.

1.3.2 Manfaat Penelitian

Manfaat yang di ambil dari penelitian yang diwujudkan dalam bentuk Tesis

ini adalah sebagai berikut:

(1) Menambah referensi tentang kesenian (khususnya tortor).

(2) Sebagai bahan masukan bagi pembaca khususnya mahasiswa seni tari dan

musik, agar dapat mengetahui penyajian tortor dan musik dalam konteks

horja.

(3) Sebagai bahan masukan bagi pemerintah dalam menentukan kebijakan yang

berkaitan dengan budaya daerah.

(4) Menambah pengetahuan bagi penulis dan peneliti-peneliti lain, baik

mencakup teori maupun uraian tentang bentuk penyajian tortor.

(5) Penelitian ini akan bermanfaat untuk pengembangan seni-seni tradisional

yang dalam konteks dunia kepariwisataan di Sumatera Utara pada

(39)

1.3.3 Fokus Penelitian

Yang menjadi fokus dan tempat penelitian ialah Tortor dalam pesta Horja2

Acara pesta ini dimulai dari musyawarah keluarga dalam penentuan hari

yang disebut dengan maniti ari, kemudian dilanjutkan dengan pengumpulan dana

dari seluruh keturunan yang melaksanakan pesta ini.

dari keluarga marga Gultom di Desa Rahut Bosi, Kecamatan Pangaribuan adalah

pesta Horja yang dilaksanakan sebagai penghormatan kepada leluhur mereka.

Kemudian mereka mencari pemain musik (pargondang) atau disebut juga

pargonsi. Pihak penyelenggara pesta (hasuhuton) melakukan adat kepada

pargonsi. Acara ini dilaksanakan selama 3 hari, dari tanggal 7 Juli 2011 sampai

dengan 9 Juli 2011.

Di dalam acara ini terdapat acara pembukaan yang disebut mangido tuani

gondang kemudian dilanjutkan dengan acara manortor oleh seluruh peserta yang

hadir dalam pesta Horja tersebut.

1.4 Studi Kepustakaan

Sebelum penulis mengadakan studi lapangan, terlebih dahulu penulis

mengadakan studi kepustakaan antara lain: Skripsi Irwansyah yang berjudul

“Analisis Komparatif Bentuk (Penggarapan) dan Teknik Permainan dari sebuah

Gondang yang disajikan oleh Tujuh Partaganing”, Skripsi S1 Etnomusikologi

Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara, menyatakan salah satu aspek

kehidupan tradisi seni masyarakat Batak Toba berkisar pada tradisi margondang,

2

Adat feasts are divided into two categories: horja and pesta bius. In general, a horja is

(40)

yaitu suatu aktifitas masyarakat yang melibatkan tradisi musikal dan aturan-aturan

adat di dalam suatu pelaksanaan upacara. Menganalisa hubungan peristiwa musik

gondang, memberi makna lain dari kata ini, berarti juga sebagai menunjukkan

satu bagian dari kelompok kekerabatan, tingkat usia, atau orang-orang dalam

tingkatan status sosial tertentu yang sedang menari (manortor) pada saat upacara

berlangsung. (Irwansyah, 1990:12), yang disajikan dalam upacara masyarakat

Batak dengan kegiatan musikal dalam upacara adat Batak Toba masa sekarang ini,

merupakan penelitian cross-disipliner antara musikologi dengan antroplogi

kebudayaan/etnologi yang mencermati perubahan struktur, gaya dalam penyajian

musiknya.

Mengacu pada pendapat Dibia, tortor merupakan sebuah tari komunal

(segala aktivitas tari yang melibatkan instrumen atau struktur sosial

kemasyarakatan, baik atas dasar kepentingan bersama dalam komunitas maupun

kepentingan individual (dalam buku Tari Komunal oleh I Wayan Dibia, FX.

Widaryanto, Endo Suanda, 2006:53).

Dimensi waktu juga telah mengundang seni karawitan ikut serta

mengiringi seni tari, dengan peran yang sangat menentukan. Di samping

menunjang seni geraknya dalam seni tari dengan menentukan ritme dan tempo

yang mewujudkan suasana yang sesuai dengan apa yang ditarikan (Djelantik,

1990:23).

Sumaryono dan Endo Suanda dalam buku Tari Tontonan (2005)

mengatakan tradisi mengalami proses keberlangsungan dan perubahan-perubahan

(41)

mengingat perubahan adalah hal yang alamiah dan niscaya terjadi di berbagai sisi

kehidupan dan kebudayaan manusia. Perubahan yang terjadi dalam kebudayaan

pada awalnya berlangsung dalam pertemuan panjang lewat persilangan

kebudayaan masa lalu dan berlangsung berabad-abad. Hal inilah yang kemudian

melahirkan tradisi-tradisi yang menjadi latar budaya yang berkembang di setiap

daerah (Sumaryono dan Suanda, 2005:132).

Hutasoit menulis dalam buku Ende Dohot Uning-uningan yang

menjelaskan tentang musik tradisional Batak Toba dan dalam bukunya yang

berjudul Gondang Dohot Tortor Batak yang membahas tentang makna-makna

gerak dan aturan-aturan gerak dalam tortor.

Batara Sangti dalam bukunya yang berjudul Sejarah Batak juga banyak

menjelaskan tentang musik tradisional Batak Toba (Gondang) dan tortor.

1.5 Landasan Teori

Dalam rangka penelitian ini, teori yang peneliti pergunakan adalah sebagai

berikut: Untuk mengkaji konteks penulis mengacu pada tulisan Merriam dengan

mengacu pada pendapat (1) musik di dalam konteks kebudayaan (Hood,

1969:298) dan (2) musik dalam kebudayaan (Mariam, 1977:202). Dari dua

pendapat di atas bahwa penelitian ini berkaitan dengan perilaku musik,

pertunjukan musik dan pengalaman terhadap musik serta mempelajari sekaligus

menganalisis keberadaan musik tersebut dalam masyarakat pendukungnya.

Sehubungan dengan aktifitas gerak tari (tortor) Anthony V. Shay

(42)

Society” (1971) ada enam fungsi tari yaitu: (1) sebagai refleksi organisasi sosial,

(2) sebagai sarana ekspresi untuk ritual, sekuler dan keagamaan, (3) sebagai

aktivitas rekreasi atau hiburan, (4) sebagai refleksi ungkapan estetis, (5) sebagai

ungkapan serta pengendoran psikologis, (6) sebagai refleksi dari kegiatan

ekonomi (terjemahan R. M. Soedarsono).

Untuk mengkaji perkembangan tortor dengan iringan gondang

sabangunan penulis mengacu pada teori Webster yang menyatakan: dua

kebudayaan atau lebih dan saling mempengaruhi disebut akulturasi

(acculturation) yang bermakna masuknya pengaruh kebudayaan asing terhadap

suatu kelompok masyarakat. (Webster’s, 1994:9) walaupun beberapa di antaranya

kebudayaan itu terserap sedikit dan sebagian justru berusaha menolaknya.

Keadaan problematik dan nyata ketika pengaruh yang secara sistematis itu

berkaitan dengan pemakaian musik di masyarakat Batak Toba, namun yang kita

miliki justru dasar-dasar pengetahuan dan referensi kita tentang ‘ilmu’ musik,

baik predominasi pengetahuan Barat yang belum dapat diaplikasikan pada

persoalan musik di daerah pendukung kebudayaan itu, baik secara pengalaman

maupun dalam konteks kajian budaya. (Hardjana, 2002)

Tortor merupakan pertunjukan untuk dinikmati penonton. J. Maquet dalam

Metodologi Seni Pertunjukan dan Seni Rupa (Soedarsono, 1999:56-57)

mengemukakan seni yang diciptakan oleh masyarakat bagi kepentingan mereka

sendiri disebut sebagai art by destination, sedangkan seni yang dikemas buat

masyarakat asing (wisatawan) disebut sebagai art by metamorphosis atau art of

(43)

Menurut Lorimer, et.al., teori fungsionalisme adalah salah satu teori yang

dipergunakan pada ilmu sosial, yang menekankan pada saling ketergantungan

antara institusi-institusi (pranata-pranata) dan kebiasaan-kebiasaan pada

masyarakat tertentu. Analisis fungsi menjelaskan bagaimana susunan sosial

didukung oleh fungsi institus-institusi seperti: negara, agama, keluarga, aliran dan

pasar terwujud. Sebagai contoh, pada masyarakat yang kompleks seperti Amerika

Serikat, agama dan keluarga mendukung nilai-nilai yang difungsikan untuk

mendukung kegiatan politik demokrasi dan ekonomi pasar. Dalam masyarakat

yang lebih sederhana, masyarakat tribal, partisipasi dalam upacara keagamaan

berfungsi untuk mendukung solidaritas sosial di antara kelompok-kelompok

manusia yang berhubungan dengan kekerabatannya. Meskipun teori ini menjadi

dasar bagi para penulis Eropa abad ke-19, khususnya Emile Durkheim,

fungsionalisme secara nyata berkembang sebagai sebuah teori yang

mengagumkan sejak dipergunakan oleh Talcott Parsons dan Robert Merton tahun

1950-an. Teori ini sangat berpengaruh kepada para pakar sosiologi

Anglo-Amerika dalam dekade 1970-an. Broinslaw Malinowski dan A.R.

Radcliffe-Brown, mengembangkan teori ini di bidang antroplogi, dengan memusatkan

perhatian pada masyarakat bukan Barat. Sejak dekade 1970-an, teori fungsional

dipergunakan pula untuk mengkaji dinamika konflik sosial (Lorimer, et.al.

1991:112-113).

Selain itu dalam seni tradisi dipergunakan pula teori evolusi. Pada

(44)

dengan perkembangan ruang dan waktu, dari yang berbentuk sederhana menjadi

lebih kompleks.

Kesenian sebagai proses kreatif seniman dalam olahan renungan intuisi,

kepekaan seni dan nurani kesenimanan ketika berhadapan dengan problematika

masyarakat, persoalan hidup ataupun gugatan rasa religiositas serta kejujuran

untuk senantiasa setia pada nurani, barang tentu akan berkreasi mengolah

inspirasi-inspirasi ini ke bentuk-bentuk pengucapan seni entah itu puisi, drama,

lukisan, film atau tari dan sebagainya (Sutrisno, Verhaak, 1993:157).

Penyusunan gerak dalam seni tari, gerak dari masing-masing penari

maupun dari kelompok penari bersama, ditambah dengan penyesuaiannya dengan

ruang, sinar, warna dan seni sastranya, kesemuanya merupakan suatu

pengorganisasian seni tari yang disebut “koreografi” (Djelantik, 1990:23)

Fungsi utama tarian komunal pada umumnya untuk keperluan ritus

spiritual, sosial, dan kultural dari masyarakat setempat. Tarian komunal

merupakan ekspresi komunal, yakni perwujudan rasa kebersamaan (Dibia,

Widaryanto Suanda, 2006:52).

Secara terminologis (Burhan, 2007), semiotik dapat didefinisikan sebagai

ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh

kebudayaan sebagai tanda, mengartikan semiotik sebagai ilmu tanda (sign) dan

segala yang berhubungan dengannya: cara berfungsinya, hubungannya dengan

kata lain, pengirimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang

(45)

Tanda dan makna memiliki konsep dasar dari semua model makna dan di

mana secara lugas memiliki kemiripan. Di mana masing-masing memerhatikan

tiga unsur yang selalu ada dalam setiap kajian tentang makna. Ketiga unsur itu

adalah (1) tanda, (2) acuan tanda, dan (3) pengguna tanda.

1.6 Metodologi Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif. Teknik

penyajian dalam bentuk tulisan adalah deskriptif analitik. Dengan menggunakan

metode ini hasil penelitian akan dideskripsikan dan dianalisis, dengan fokus

utama pada bidang budaya dan sosialnya.

Denzin dan Lincoln menyatakan secara eksplisit tentang penelitian

kualitatif sebagai berikut.

QUALITATIVE [sic.] research has a long and distinguished history in human disciplines. In sociology the work of the “Chicago school” in the 1920s and 1930s established the importance of qualitative research for the study of human group life. In anthropology, during the same period, … charted the outlines of the field work method, where in the observer went to a foreign setting to study customs and habits of another society and culture. …

Qualitative research is a field of inquiry in its own right. It crosscuts disciplines, fieldsm and subject matter. A complex, interconnected, family of terms, concepts, and assumtions surround the term qualitative research (Denzin dan Lincoln, 1994:1).

Sedangkan Nelson menyatakannya sebagai berikut.

(46)

the multimethod approach. They are commited to the naturalistic perspective approach. They are commited to the naturalistic perspective, and to the interpretive understanding of human experience. At the same time, the field is inherently political and shaped by multiple ethical and political positions (Nelson dan Grossberg, 1992:4).

Dari kedua kutipan di atas secara garis besar dapat dinyatakan bahwa

penelitian kualitatif umumnya ditujukan untuk mempelajari kehidupan kelompok

manusia. Biasanya manusia di luar kelompok peneliti. Penelitian ini melibatkan

berbagai jenis disiplin, baik itu dari ilmu humaniora, sosial, ataupun ilmu alam.

Para penelitinya mempercayakan kepada perspektif naturalistik, serta

menginterpretasi untuk mengetahui pengalaman manusia, yang oleh karena itu

biasanya inheren dan dibentuk oleh berbagai nilai etis posisi politik.

Namun demikian, penelitian ini juga melibatkan data-data yang bersifat

kuantitatif, dengan melihat kepada pernyataan Nasution bahwa setiap penelitian

(kualitatif dan kuantitatif) harus direncanakan. Untuk itu diperlukan desain

penelitian. Desain penelitian merupakan rencana tentang cara pengumpulan dan

menganalisis data agar dapat dilaksanakan secara ekonomis serta serasi dengan

tujuan penelitian itu. Dalam desain antara lain harus dipikirkan: (a) populasi

sasaran, (b) metode sampling, (c) besar sampling, (d) prosedur pengumpulan data,

(e) cara-cara menganalisis data setelah terkumpul, (f) perlu tidaknya

menggunakan statistik, (g) cara mengambil kesimpulan, dan sebagainya.

(Nasution, 1982:29). Karena penelitian yang penulis lakukan bersifat kualitatif,

maka fokusnya adalah kepada para seniman tortor (komponis dan pemain) etnis

(47)

Edi Sedyawati juga mengungkapkan perlunya tahapan-tahapan dalam

meneliti seni tari, seperti berikut:

Penelitian seni tari juga dapat kita bagi ke dalam tiga macam atau tahap, yakni (1) pengumpulan; (2) penggolongan; dan (3) penganalisaan dan penulisan. Khusus untuk seni tari, ada satu lagi yang dapat kita sebut sebagai tahap nomor empat, yaitu pengolahan atau pemanggungan. (Sedyawati, 1984:116)

1.7 Teknik Mengumpulkan dan Menganalisis Data

Untuk mengumpulkan data, dilakukan penelitian lapangan. Penelitian

lapangan yang dimaksud di sini adalah kegiatan yang penulis lakukan yang

berkaitan dengan pengumpulan data di lapangan, yang terdiri dari observasi,

wawancara, dan perekaman.

1.7.1 Observasi

Observasi yang dilakukan adalah observasi langsung: yaitu melihat

langsung pertunjukan tortor. Untuk menjaring data-data yang diperlukan penulis

melakukan studi lapangan dengan cara observasi. Observasi dilakukan untuk

memperoleh informasi tentang kelakuan manusia seperti yang terjadi dalam

kenyataan. Dengan observasi dapat kita peroleh gambaran yang lebih jelas tentang

kehidupan sosial, yang sukar diperoleh dengan metode lain. Berdasarkan jenisnya,

maka observasi yang penulis lakukan dalam penelitian ini adalah dengan

partisipasi pengamat sebagai partisipan (insider) yaitu sebagai anggota

masyarakat Batak Toba. Keuntungan cara ini adalah peneliti telah merupakan

bagian yang integral dari situasi yang dipelajarinya, sehingga kehadirannya tidak

(48)

1.7.2 Wawancara

Untuk memperoleh data-data yang tidak dapat dilakukan melalui observasi

tersebut (seperti konsep etnosainsnya tentang estetika dan teknis musikalnya),

penulis melakukan wawancara. Wawancara yang dilakukan adalah wawancara

yang sifatnya terfokus yaitu terdiri dari pertanyaan yang tidak mempunyai struktur

tertentu, tetapi selalu terpusat kepada satu pokok yang tertentu.

Nasution membagi jenis wawancara sebagai berikut: Berdasarkan

fungsinya: (a) diagnostik, (b) terapeutik, (c) penelitian. Berdasarkan jumlah

respondennya: (a) individual, (b) kelompok. Berdasarkan lamanya wawancara: (a)

singkat, (b) panjang. Berdasarkan pewawancara dan responden: (a) terbuka, tak

berstruktur, bebas, non direktif atau client centered; (b) tertutup, berstruktur.3

Dalam melakukan penelitian ini, berdasarkan fungsinya penulis memakai

jenis wawancara penelitian. Berdasarkan jumlah responden adalah wawancara

individual dan kelompok. Berdasarkan lamanya adalah wawancara panjang.

Berdasarkan peranan peneliti dan nara sumber adalah wawancara terbuka, tak

berstruktur, bebas, dan non-direktif. Pada saat wawancara ini penulis melakukan

catatan-catatan yang berkaitan dengan penjaringan data, serta merekamnya secara

auditif dan audiovisual.

1.7.3 Perekaman

Untuk mendokumentasikan data yang berkaitan dengan struktur umum tari

dan musik tortor etnis Batak, maka penulis melakukan perekaman. Perekaman

3

(49)

musik dan wawancara dilakukan dengan menggunakan tape recorder merk Sony

TCM 70, yang diproduksi oleh PT. Sony Amc Graha Jakarta, dengan

menggunakan kaset feroksida BASF dengan ukuran waktu 60 menit (C-60).

Untuk dokumentasi audiovisual, dipergunakan Handycam Sony.

1.7.4 Kerja Laboratorium

Pada tahapan kerja laboratorium, seluruh hasil kerja yang telah diperoleh

dari studi kepustakaan dan dari penelitian lapangan diolah, diseleksi, disaring

untuk dijadikan sebagai data dalam penelitian ini. Data mana yang dapat

dipergunakan untuk mendukung topik penelitian, data mana yang tak dapat

dipergunakan dilakukan dalam kerja laboratorium.

Tortor dan gondang sabangunan (musik) yang dijadikan sampel, dan yang

telah direkam di atas pita kaset BASF dan CD handycam, selanjutnya

ditranskripsikan dan dianalisis di laboratorium. Kemudian karena pendekatan

etnomusikologi untuk mendeskripsikan dan menganalisis struktur musik etnis

memakai pendekatan-pendekatan yang ada pada musikologi barat, maka penulis

juga mengikuti langkah itu, namun dengan menyertakan konsep-konsep

etnosainsnya. Semua ini penulis lakukan di dalam laboratorium (etnomusikologi).

Laboratorium di sini berarti khas etnomusikologi, sepert peralatannya: tape

rekorder, video, metronome maelzel (MM), peralatan fotografi, peralatan gambar,

(50)

BAB II

TINJAUAN UMUM MASYARAKAT DAN BUDAYA BATAK TOBA

2.1 Geografi Batak Toba

Wilayah Batak Toba atau yang sering disebut dengan istilah Tanah Batak,

meliputi wilayah yang cukup luas, yang terdiri dari: Daerah Tepi Danau Toba,

Pulau Samosir, Dataran Tinggi Toba, dan Silindung, Daerah Pegunungan Pahae,

dan Habinsaran. Wilayah ini luasnya lebih kurang 10.000 km2 dan berada pada

ketinggian 700-2.300 m di atas wilayah ini luasnya lebih kurang 10.000 km2 dan

berada pada ketinggian 700-2.300 meter di atas permukaan laut (Siahaan, t.t.)

Dilihat dari segi persebaran penduduk, masyarakat Batak Toba telah

tersebar di berbagai kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara, bahkan juga di

daerah lain di Nusantara serta mancanegara, jumlah yang pasti masyarakat Batak

Toba juga tidak dapat dipastikan, tetapi jumlah masyarakat Batak Toba yang

terdapat di Sumatera Utara lebih kurang 2.948.264 jiwa, jadi kira-kira 30% dari

jumlah penduduk Sumatera Utara yang berjumlah 10.250.027 jiwa, berdasarkan

sensus penduduk 2001.4

Jumlah masyarakat Batak Toba yang berada di luar wilayah yang disebut

Tanah Batak lebih besar lagi, dibanding tanah asal ini. Dengan berdasarkan hal

tersebut dapat dilihat bahwa masyarakat Batak Toba ada suatu kebiasaan untuk

merantau (meninggalkan tanah asal). Hal ini disebabkan berbagai faktor, di

antaranya untuk mencari kehidupan yang lebih layak, atau pendidikan.

4

(51)

Persebaran masyarakat Batak Tobadi Provinsi Sumatera Utara, dapat

[image:51.595.157.491.212.543.2]

dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 2.1 Penduduk Batak Toba di Sumatera Utara (Sumber: BPS Sumatera Utara 2001)

No. KABUPATEN/KOTA JUMLAH PENDUDUK

1 Nias 2.423

2 Mandailing Natal 10.880

3 Tapsel 195.309

4 Taput 178.828

5 Tapteng 393.480

6 Tobasa 294.149

7 Labuhan Batu 255.030

8 Asahan 208.261

9 Simalungun 265.984

10 Dairi 195.314

11 Karo 31.433

12 Deli Serdang 259.978

13 Langkat 40.668

14 Sibolga 54.695

15 Tanjung Balai 56.219

16 Pematang Siantar 114.807

17 Tebing Tinggi 18.131

18 Medan 335.758

19 Binjai 15.917

Nalom Siahaan mengatakan di rantau suku Batak selalu peduli dengan

identitas sukunya, seperti berusaha mendirikan perhimpunan semarga atau

sekampung dengan tujuan untuk menghidupkan ide-ide adat budayanya. Suku

Batak mengadakan pertemuan secara berkala dalam bentuk adat ataupun

(52)

2.2 Asal-Usul Masyarakat Batak Toba

Dalam mengaji asal-usul masyarakat Batak Toba, dapat ditinjau dari

berbagai hal (disebabkan minimnya data-data yang tertulis). Dalam mengaji

tentang asal-usul masyarakat Batak Tobadapat dilihat dari tiga hal, yaitu: (1)

Pengertian Batak; (2) Catatan sejarah mengenai Batak, dan; (3) Kisah/cerita yang

berkembang di masyarakat, yang dalam penulisan ini disebut mitologi tentang

lahirnya suku Batak.

2.2.1 Pengertian Batak

Pengertian kata Batak sampai sekarang belum dapat dijelaskan dengan

pasti dan memuaskan. Menurut J. Warneck, Batak berarti “penunggang kuda yang

lincah” tetapi menurut H.N. Van dier Tuuk batak berarti ‘kafir’, dan ada juga yang

mengartikan ‘budak-budak yang bercap atau ditandai’ (Lumbantobing, 1996:1).

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Batak mempunyai dua arti, yang

pertama adalah orang-orang dari sub-etnis yang tinggal di Provinsi Sumatera

Utara dan arti yang kedua adalah (sastra) petualang, pengembara, sedang

membatak berarti berpetualang, pergi mengembara, menyamun, merampok dan

arti dari pembatak adalah perampok/penyamun.

Keterangan tersebut di atas tidak memastikan yang mana arti Batak yang

sesungguhnya. Jelasnya apabila orang mendengar kata Batak, tanggapannya

(53)

2.2.2 Sejarah Batak

Catatan sejarah mengenai asal-usul suku bangsa Batak tidak banyak

ditemukan, sehingga sulit memperkirakan kapan sebenarnya suku bangsa Batak

mulai mendiami wilayah Sumatera Utara sekarang. Beberapa catatan sejarah yang

umumnya telah dikutip berbagai penulis, yang dapat membuat suatu prediksi

tentang asal-usul masyarakat Batak akan dikemukakan sebagai berikut.

Sehubungan dengan asal-usul suku bangsa Batak, Brahma Putro

mengemukakan bahwa pada zaman batu terjadi perpindahan bangsa dari

Tiongkok Selatan ke Hindia Belakang, dan bangsa-bangsa Hindia Belakang

terdesak dan banyak pindah ke selatan, antara lain Campa, Siam, Kamboja. Lalu

bertebaran ke Nusantara setelah melalui Malaya, dan sebahagian mereka-mereka

ini masuk ke Pulau Sumatera termasuk wilayah Sumatera Utara sekarang.

Berdasarkan pendapat dari Brahma Putro tersebut maka suku bangsa Batak adalah

berasal dari bangsa-bangsa Hindia Belakang (Putro, 1978:20).

Tentang waktu perpindahan ini Brahma Putro juga mengutip berbagai

pendapat, di antaranya pendapat G. Gerrad, V. H. Geldern, Kern, Mhd. Yamin,

sebagai berikut:

Menurut G. Gerrad,

(54)

V.H. Geldern mengatakan,

Perpindahan pertama terjadi 2000 tahun sebelum Masehi, dan perpindahan kedua terjadi kira-kira 300 tahun sebelum Masehi.

Dr. Kern menyebutkan,

Perpindahan ras Proto Malay terjadi kira-kira 4000 tahun sebelum Masehi, dan perpindahan ras Deutro Malay, terjadi kira-kira 2000 tahun sebelum Masehi.

Mhd. Yamin, sependapat dengan teori Prof. Dr. Kern, yang menyebutkan bahwa perindahan pertama terjadi kira-kira 4000 tahun sebelum Masehi, dan perpindahan kedua terjadi kira-kira 2000 tahun sebelum Masehi.

Berdasarkan berbagai pendapat yang telah dikutip oleh Brahma Putro di

atas, maka dapat diperkirakan bahwa suku bangsa Batak telah lama mendiami

wilayah Sumatera Utara sekarang. Dapat diperkirakan bahwa suku bangsa Batak

adalah termasuk ras Proto Melayu (Melayu Tua), karena desakan dari ras Deutro

Melayu maka melakukan migrasi ke daerah pedalaman Sumatera Utara, sehingga

suku bangsa Batak lebih banyak mendiami wilayah pegunungan dan pedalaman,

sedang wilayah pesisir pantai didiami oleh suku bangsa Melayu yang

kemungkinan besar adalah ras Deutro Malay.

Namun seorang putra Batak Toba yang pernah menjadi pendeta di

berbagai gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) yang tertarik juga

mendalami sejarah, Andar M. Lumbantobing mengutip pendapat yang

mengemukakan sebagai berikut.

(55)

sebagai nenek moyang suku Batak yang kini mendiami daerah itu. (Lumbantobing, 1996:1)

Berbagai pendapat yang berbeda dilihat berdasarkan tarombo (silsilah

tertulis) orang Batak, yang mengatakan bahwa nenek moyang suku bangsa Batak

adalah satu yaitu Si Raja Batak. Dari Si Raja Batak inilah berkembang sub-sub

suku Batak yang mengembara ke wilayah-wilayah teritorial di atas sejalan dengan

perkembangan pemukiman baru atau perkotaan yang semakin meluas. Setiap

pembukaan kampung baru biasanya diiringi dengan penabalan marga baru

terhadap orang yang membuka perkampungan tersebut. Cara ini terutama

dilaksanakan di lingkungan sub-sub suku Batak To

Gambar

Tabel 2.1 Penduduk Batak Toba di Sumatera Utara (Sumber: BPS Sumatera Utara 2001)
Tabel 2.2 Luas wilayah Kecamatan Pangaribuan Menurut Desa/Kelurahan
Tabel 2.3 Letak Koordinat Desa di Kecamatan Pangaribuan
Tabel 2.4
+2

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana keberadaan folklor pada masyarakat Batak Toba dan untuk mengetahi bagaimana “ Rekonstruksi Folklor Batak Toba

Setelah analisis dilakukan, ditemukanlah bahwa faktor yang menyebabkan digunakan Gondang Batak pada pesta masyarakat Jawa di Kabupaten asahan adalah karena musik

Debora (2014) dalam skripsinya yang berjudul Makna Simbolik Upacara Adat Mangulosi (Pemberian Ulos) pada Siklus Kehidupan Masyarakat Batak Toba di Kecamatan

Penulis juga mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Ketua Program Studi Magister (S-2) Penciptaan dan Pengkajian Seni, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera

Selanjutnya, makna verba gerakan agentif dalam bahasa Batak Toba di bentuk oleh dua makna asali MELAKUKAN dan TERJADI yang berkombinasi membentuk sintaksis.. makan universal ‛

makna simbolik dan nilai-nilai dari umpasa bahasa Batak Toba yang sudah jarang.. dipakai dalam pesta

Tortor Mangondas adalah suatu ekspresi dukacita yang diciptakan untuk memenuhi kebutuhan adat yang bermakna menghormati yang meninggal (serta roh/tondi orang itu dan

Hasil penelitian berdasarkan data-data yang telah terkumpul dapat diketahui bahwa Tortor Sibunga Jambu memiliki makna sebagai simbol yang menandakan kedewasaan diri pada