• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I. PENDAHULUAN

A. Pembebanan Pembuktian

A.3. Hal-hal Yang Mengharuskan Sistem Pembebanan

Banyaknya tindak korupsi yang dilakukan pejabat negara dan atau pegawai negeri pada birokrasi selama ini dan sebagian menjadi sorotan media publik dan dari sekian perkara yang dipublikasikan, ternyata hanya sedikit perkara tindak pidana

korupsi yang bisa dibuktikan secara hukum oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) maupun Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Lalu mengapa pihak berwenang sulit membuktikan tindak korupsi yang dilakukan oleh pejabat negara dan atau pegawai negeri.

Kesulitan pembuktian tersebut juga diakui oleh pejabat KPK, Tumpak Hatorangan Panggabean ketika Komisi III DPR mengkritik kinerjanya. Kinerja KPK dinilai mengendur dalam tahun 2006 karena pemberantasan korupsi tidak sehebat di tahun 2005 lalu Korupsi merupakan salah satu kejahatan yang terorganisasi dan bersi- fat lintas batas teritorial transnasional, disamping pencucian uang, perdagangan manusia, penyelundupan migrant dan penyelundupan senjata api. Demikian bunyi ketentuan dalam Konvensi Kejahatan Transnasional Terorganisasi. Konvensi tahun 2000 ini sudah ditandatangani namun belum diratifikasi oleh pemerintah Indonesia, sedangkan Konvensi Anti Korupsi tahun 2003 telah diratifikasi dengan Undang- Undang Nomor 7 Tahun 2006.72

Ditempatkannya korupsi sebagai salah satu kejahatan terorganisasi dan bersi- fat transnasional karena pertama, modus operandi korupsi te1ah menyatu dengan sistem birokrasi hampir di semua negara, termasuk dan tidak terbatas pada negara-- negara di Asia dan Afrika, dan dilakukan secara besar-besaran oleh sebagian terbesar pejabat tinggi, bahkan seorang Presiden seperti di Filipina dan Nigeria dan beberapa

72

negara Afrika lainnya. Kasus terbaru menyangkut mantan Perdana Menteri Thaksin di Thailand. Alasan kedua, korupsi terbukti telah melemahkan sistem pemerintahan dari dalam alias merupakan virus berbahaya dan penyebab proses pembusukan dalam kinerja pemerintahan serta melemahkan demokrasi.

Alasan ketiga pemberantasan korupsi sangat sulit diperangi adalah karena didalam sistem birokrasi yang juga koruptif sehingga memerlukan instrument hukum yang luar biasa untuk mencegah dan memberantasnya. Alasan keempat, korupsi tidak lagi merupakan masalah dalam negeri atau masalah nasional suatu negara, melainkan sudah merupakan masalah antar negara atau hubungan antara dua negara atau lebih, sehingga memerlukan kerjasama aktif antara negara-negara yang berkepentingan atau dirugikan karena korupsi. Hal ini disebabkan sangat banyak bukti bahwa aset hasil korupsi ditempatkan di negara yang dianggap aman oleh pelakunya seperti, Kepulauan Caymand, Swiss, Austria, dan beberapa negara di Asia dan Afrika. Kecanggihan modus operandi korupsi dan perlindungan asset hasil korupsi didukung oleh teknlogi informasi modern telah diakui sangat menyulitkan pemberantasan korupsi hampir di semua negara terutama dalam proses pembuktiannya.73

Perkembangan praktik tersebut di beberapa negara telah memunculkan suatu gagasan baru dalam menyikapi hambatan dalam proses pembuktian korupsi. Teori pembuktian yang selama ini diakui adalah asas pembuktian "beyond reasonable doubt", yang dianggap tidak bertentangan dengan prinsip praduga tak bersalah (presumption of innocence), akan tetapi disisi lain sering menyulitkan proses

73

pembuktian kasus-kasus korupsi. Terbukti dalam praktik sistem pembuktian tersebut atau dikenal dengan istilah, ”pembuktian negatif” tidak mudah diterapkan.

Kedalaman ilmu pengetahuan dan akal manusia (logika hukum) memang ti- dak terbatas, sehingga muncullah alternatif asas pembuktian baru yang justru berasal dari penelitian negara maju dan dipandang tidak bertentangan baik dengan perlindungan hak asasi tersangka maupun konstitusi; namun sangat efektif dalam membuka secara luas akses pembuktian asal usul harta kekayaan yang diduga di- peroleh karena korupsi. Alternatif sistem pembebanan pembuktian yang diajukan dan digagas oleh pemikir di negara maju adalah, teori "keseimbangan kemungkinan pembuktian" (balanced probability of principles), yaitu mengedepankan keseimbangan yang proporsional antara perlindungan kemerdekaan individu di satu sisi, dan perampasan hak individu yang bersangkutan atas harta kekayaannya yang diduga kuat berasal dari korupsi. Model baru asas pembebanan pembuktian terbalik ini ditujukan terhadap pengungkapan secara tuntas asal usul aset-aset yang diduga dari hasil korupsi itu sendiri, dengan menempatkan hak atas kekayaan pribadi seseorang pada level yang sangat rendah, akan tetapi secara bersamaan menempatkan hak kemerdekaan orang yang bersangkutan pada level yang sangat tinggi dan sama sekali tidak boleh dilanggar.

UU Nomor 20 Tahun 2001 (Pasal 12 B) dan UU Nomor 15 Tahun 2002 (Pasal 37) telah memuat ketentuan mengenai sistem pembebanan pembuktian terbalik (reversal burden of proof atau onus of). Ketentuan di dalam kedua undang-undang tersebut masih belum dilandaskan kepada justifikasi teoritis sebagaimana telah

diuraikan di atas, melainkan hanya menempatkan ketentuan pembebanan pembuktian terbalik tersebut semata-mata sebagai sarana untuk memudahkan proses pembuktian saja tanpa dipertimbangkan aspek hak asasi tersangka/terdakwa berdasakan UUD 1945. Kini dengan munculnya dua model pembebanan pembuktian terbalik dengan keseimbangan kemungkinan tersebut, maka telah terdapat referensi teoritik dan praktik dalam masalah pembuktian terbalik.

Konvensi Anti Korupsi 2003 yang telah diratifikasi telah memuat ketentuan mengenai pembebanan pembuktian terbalik (Pasal 31 ayat 8) dalam konteks proses pembekuan (freezing), perampasan (seizure), dan penyitaan (confiscation). Pascara- tifikasi Konvensi Anti Korupsi 2003 sudah tentu berdampak terhadap hukum pem- buktian yang masih dilandaskan kepada Undang-undang Hukum Acara Pidana Nomor 8 Tahun 1981 dan ketentuan mengenai penyelidikan, penyidikan dan pe- nuntutan serta pemeriksaan pengadilan di dalam UU Nomor 31 Tahun 1999.

Yang terpenting dalam hukum pembuktian kasus korupsi, sudah seharusnya unsur kerugian negara yang nyata bahkan yang masih diperkirakan akan nyata keru- giannya, sudah tidak pada tempatnya dan tidak proporsional lagi untuk dijadikan unsur pokok dalam suatu tindak pidana korupsi, dan karena nya tidak perlu harus dibuktikan lagi. Bahkan kerugian masyarakat luas terutama pihak ketiga yang diru- gikan karena korupsi sudah seharusnya diakomodasi di dalam UU baru pemberan- tasan korupsi.

Senin 24 Juli 2006 Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan menyangkut judicial review yang diajukan oleh Ir.Dawud Djatmiko, salah satu isi

putusan MK yakni menyatakan bahwa pembuktian dalam tipikor harus dengan menggunakan delik formil. Konsekwensi dari keputusan MK ini bagi KPK adalah KPK akan lebih sulit dalam upaya pembuktian. Keputusan MK menyimpulkan bahwa dalam pembuktian terhadap tindak pidana korupsi KPK harus menggunakan delik formil berupa peraturan perundang-undangan, dan bukan delik materiil yang merujuk pada hukum tidak tertulis dalam ukuran kepatutan, kehati-hatian dan kecermatan yang hidup dalam masyarakat sebagai suatu norma keadilan. MK berpendapat bahwa penggunaan hukum materiil merupakan ukuran yang tidak pasti. Keputusan MK ini sejalan dengan asas nullum delictum sine praevia lege poenali yang artinya, "Tiada suatu perbuatan dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang- undangan pidana yang telah ada sebelumnya".

Korupsi yang telah disadari sebagai extra ordinary crime yang berdampak secara multiplier terhadap seluruh sendi kehidupan masyarakat, menuntut penindakan yang extra ordinary juga. Olehnya, kehadiran Pembuktian Terbalik secara mutlak (penuh) dalam sistem pembebanan pembuktian menjadi sesuatu yang sangat dibutuhkan dalam upaya pemberantasan korupsi.74

Pemberantasan korupsi harus dengan legalitas, artinya hukum formil satu- satunya ukuran yang dapat dikenakan pada seseorang yang diduga melakukan tindak pidana korupsi, alasannya adalah suatu kebenaran bahwa asas nullum delictum sine

74

http://www.transparansi.or.id, Fauziah Rasad, Pemberantasan Korupsi Bermula dan Berakhir Berdasar Legalitas, Agustus, 2006

praevia lege poenali ditujukan untuk menjamin kepastian hukum, dan didalam kepastian hukum tersebut dengan sendirinya terkandung rasa keadilan masyarakat.

Adapun beberapa temuan penulis dalam legal opini ini, secara umum dapat digambarkan sebagai berikut : Mantan Presiden Abdurrahman Wahid mencetuskan sistem pembuktian terbalik (omkering van bewijslast atau shifting burden of proof) dalam kasus KKN secara selektif. Bahwa dalam sistem pembuktian terbalik, tersangka atau terdakwalah yang harus membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah atas apa yang disangkakan atau dituduhkan kepadanya. Oleh karena itu pembuktian terbalik merupakan pengingkaran, penyimpangan, pengecualian terhadap "presumption of innocence" dan "non self incrimination" dan ataupun bertentangan dengan asas yang berlaku. Dalam sistem pembuktian terbalik yang bersifat berimbang dan menyeluruh ini akan tertuang dalam Rancangan Amandemen Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Dengan sistem pembuktian terbalik ternyata masih kurang efektif untuk upaya penanggulangan korupsi sebab masih ada kelemahan di dalamnya yaitu Pembuktian terbalik juga bertentangan dengan asas praduga tidak bersalah karena tersangka atau terdakwa dianggap telah terbukti bersalah kecuali ia bisa membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah. Menyangkut pelanggaran hak asasi manusia dalam kategori hak untuk diakui sebagai pribadi di depan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut, walaupun peraturan tentang pelaporan harta kekayaan pejabat sudah ada, apabila penerapan asas ini tidak secara professional hal tersebut dapat timbul. Di tunjang dengan kurangnya bukti atau kurang kuatnya bukti yang ada

maka akan dapat memudahkan terdakwa lepas dari jerat hukum. Disamping adanya kelemahan-kelemahan tersebut kekurangan efektifan dari sistem pembuktian terbalik ini juga di karenakan adanya kendala-kendala yang ada dalam sistem pembuktian terbalik tersebut, seringkali dimanfaatkan terdakwa untuk menyatakan bahwa ia tidak bersalah melakukan korupsi, kurangnya ahli untuk mengusut kasus korupsi, masih banyaknya jumlah hakim dan jaksa yang tidak bersih, kurangnya peran serta masyarakat.

Dengan demikian, masalah pembuktian memang sangat penting dalam proses pemeriksaan suatu perkara pidana. Untuk itu penulis menganggap bahwa masalah pembutian ini benar-benar harus dilakukan secara cermat selain itu yang harus juga diperhatikan adalah perlunya perbaikan-perbaikan dalam upaya penanggulangan korupsi. Karena korupsi mempunyai implikasi yang luas dan dapat mengganggu pembangunan serta menimbulkan kerugian negara yang sangat besar yang pada gilirannya dapat berdampak pada timbulnya krisis diberbagai bidang maka untuk upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi perlu semakin ditingkatkan

Undang-undang ini juga mengatur penerapan pembuktian terbalik yang bersifat terbatas atau berimbang. Yakni terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa apabila terdakwa tidak melakukan tindak pidana korupsi dan wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istrinya atau suaminya, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan dan penuntut umum tetap berkewajiban membuktikan dakwaannya (sesuai dengan pasal 28 dan Pasal 37)

Presiden Abdurrahman Wahid akhir Maret lalu menunjukkan sikap yang lebih nyata untuk memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Di depan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Presiden menawarkan pemberlakuan asas pembuktian terbalik. Dengan pembuktian terbalik, seorang tersangka kasus korupsi atau peredaran narkotika harus mampu membuktikan asal kekayaannya. Kalau tidak bisa, dia langsung dinyatakan bersalah dan bisa dikenai sanksi.

Praktisi hukum Frans Hendra Winarta mengakui, sistem pembuktian terbalik (omkering van de bewijslast) merupakan cara yang jitu untuk "mematikan" pelaku korupsi. "Dalam pembuktian terbalik, orang yang dituduh melakukan tindak pidana itulah yang harus membuktikan di depan pengadilan, bahwa ia tidak bersalah. Berbeda dengan pembuktian biasa, di mana jaksa yang harus membuktikan seseorang bersalah atau tidak dalam hal terjadi tindak pidana," ungkap anggota Tim Persiapan Pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Antikorupsi) itu, pada lokakarya Antikorupsi di Jakarta, akhir Maret lalu.

Walaupun demikian, Frans mengakui, tak sedikit ahli hukum yang menentang penerapan asas pembuktian terbalik ini karena dianggap melanggar hak asasi manusia (HAM). Akan tetapi, karena korupsi sudah mengakar dalam masyarakat dan bisa merusak kehidupan berbangsa, tak ada jalan lain pembuktian terbalik harus diterapkan. Apalagi sudah banyak negara yang berhasil menekan korupsi dengan menggunakan asas pembuktian terbalik.75

75

http://www.kompas.com, Tri Agung Kristanto, Pembuktian Terbalik: Perpu atau Amandemen UU 31/1999.

Pembuktian terbalik sebenarnya bukanlah hal yang baru di negeri ini. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 mengenai Pengelolaan Lingkungan Hidup maupun UU Nomor 8 Tahun 1999 mengenai Perlindungan Konsumen, secara tegas mengatur penerapan asas pembuktian terbalik itu walaupun berbeda alasan yang mendasarinya dan penerapannya pada persidangan.

Misalnya penerapan asas pembuktian terbalik dalam UU Nomor 8/1999, adalah sebab konsumen tidak mengetahui bahan untuk proses produksi dan ketentuan distribusi yang dilakukan produsen. Konsumen perlu dilindungi, kalau dirugikan oleh produsen. Di pengadilan produsen yang harus membuktikan bahwa bahan produksi dan proses distribusi yang dilakukannya tak akan merugikan konsumen. Kalau produsen bisa membuktikan dirinya tidak "mencurangi" konsumen, dia bisa terbebas dari tuntutan ganti rugi.

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Antikorupsi) yang kini berlaku pun memberikan tempat pada asas pembuktian terbalik itu. Namun, penerapannya masih amat terbatas. Keterbatasan itu karena jaksa juga masih berkewajiban membuktikan tindak pidana yang dilakukan terdakwa, sekalipun dia (terdakwa) telah gagal menjelaskan asal kekayaannya.

Secara jelas, ini disebut dalam Pasal 37 Ayat (1) UU Nomor 31/ 1999, terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi. Kalau dia dapat membuktikan asal kekayaanya maka keterangan tersebut dapat menjadi hal yang meringankannya. Akan tetapi, Ayat (4)

menyebutkan, dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaannya yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya, maka keterangan tersebut dapat digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi.

Pembuktian terbalik pun secara "tak langsung" dimungkinkan dalam Ketetapan (Tap) Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN), dan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang hal yang sama. Pada kedua perundangan itu, setiap penyelenggara negara wajib melaporkan kekayaannya, baik sebelum, selama, dan sesudah menjabat. Laporan kekayaan pejabat ini sebenarnya bisa menjadi "jendela" untuk melihat, apakah seorang pejabat memiliki kekayaan melebihi penghasilannya.

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 pun memberikan amanat agar penyelenggara negara menjelaskan asal kekayaannya apabila dimintai keterangan oleh Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN). Masyarakat pun bisa berperan mengawasi, sebab kekayaan pejabat akan diumumkan. Sayang, ini pun belum bisa berjalan sesuai harapan.

Harus diakui, pembuktian terbalik yang terbatas itu, yang juga diatur dalam UU Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi-UU Antikorupsi lama dan digantikan UU Nomor 31 Tahun 1999, namun untuk kasus korupsi sebelum UU Antikorupsi baru berlaku tetap dipergunakan-tidak memuaskan banyak pihak. Korupsi tetap merajalela. Ini yang mendorong pemerintah berpaling

pada asas pembuktian terbalik. Sekalipun lontaran usul pembuktian terbalik dari Presiden ini dinilai bernuansa politis, karena disampaikan saat Dewan Perwakilan Rakyat sedang meneguhkan niat untuk mengeluarkan memorandum kedua.

Seperti berteriak di dalam gua, usul penerapan asas pembuktian terbalik dari Presiden bergema di mana-mana. Seperti seragam, hampir tidak ada orang yang menyatakan keberatan dengan usulan itu. Kalangan Dewan yang biasanya berseberangan dengan Presiden pun satu suara, mendukung mewujudkan usulan tersebut. Artinya, memang banyak orang merasakan betapa korupsi atau narkotika sudah merongrong dan hampir meluluh-lantakkan negeri ini.

Sebenarnya Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (F-PPP) DPR pun sudah melangkah untuk mewujudkan ide penerapan asas pembuktian terbalik itu. Pada tanggal 23 Februari 2001, 40 anggota F-PPP sudah memberikan Rancangan Undang- Undang (RUU) tentang Pembentukan Komisi Antikorupsi kepada pimpinan DPR untuk dibahas, sehingga menjadi RUU inisiatif Dewan.

Pasal 8 Ayat (1) draf RUU usul wakil rakyat itu menandaskan, dalam melakukan penyidikan, Komisi Pemberantasan Korupsi dapat menerapkan Pasal 28 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagai pembuktian terbalik sepanjang terdapat petunjuk, tersangka patut diduga telah melakukan tindak pidana korupsi. Pasal 28 UU Nomor 31/ 1999 mengemukakan, dalam penyidikan tersangka wajib menerangkan seluruh hartanya, harta istri atau suaminya, harta anak-anaknya, dan harta korporasi yang terkait dengan perkara itu. Dalam penjelasan draf RUU Komisi

Antikorupsi usulan F-PPP DPR disebutkan, bila tersangka tak bisa menjelaskan asal kekayaannya, itu cukup untuk mendakwanya di pengadilan.76

Perdebatan asas pembuktian terbalik memang tak lagi menyangkut perlu atau tidak perlu diterapkan di Indonesia. Hampir tak ada yang keberatan asas itu diberlakukan. Persoalannya adalah dengan bentuk perundangan yang bagaimana asas pembuktian terbalik tersebut akan diterapkan. Bahkan, masyarakat lebih berharap, asas pembuktian terbalik itu bisa diberlakukan surut, sehingga bisa menjerat pelaku korupsi di masa lalu pula.

Pemberlakuan surut itu rasanya tidak akan terwujud. Sebab, akan bertentangan dengan asas hukum universal, yakni seseorang tidak bisa dipidana berdasarkan peraturan yang belum ada sebelumnya. Pasal 28i Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pun tegas menyatakan, hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di depan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. Perdebatan mengenai pembuktian terbalik akhirnya mengarah pada sebuah persoalan, yakni bentuk aturan yang mewadahi asas itu, sehingga harapan masyarakat yang menginginkan pemberantasan KKN bisa lebih nyata dan tegas.

76

http://www.kompas.com, Tri Agung Kristanto, Pembuktian Terbalik: Perpu atau Amandemen UU 31/1999.

Bulan November 2006, KPK mengusulkan perlunya ketentuan tentang pembuktian terbalik penanganan perkara korupsi dalam UU Pemberantasan Korupsi. Menurut KPK, dalam Pembuktian terbalik, yang melakukan pembuktian adalah terdakwa, Artinya, terdakwa harus membuktikan dirinya tidak bersalah. Pernyataan tersebut mengingatkan kembali pada wacana pembuktian terbalik. Dimana sebelumnya pada Desember 2004, KPK meminta Pemerintah segera menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) tentang pembuktian terbalik. Menurut KPK, perpu ini dibutuhkan untuk mempercepat pemberantasan tindak pidana korupsi.77

Kemudian pada bulan Desember 2005, KPK juga pernah mendesak pemerintah untuk segera membuat rancangan undang-undang pembuktian terbalik agar pemberantasan korupsi mengalami peningkatan. Pembuktian terbalik sebenarnya telah disebutkan didalam pasal 37 UU No. 31 Tahun 1999. Di dalam bagian penjelasan umum, disebutkan bahwa pembuktian terbalik bersifat terbatas atau berimbang, yakni terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi dan wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda isteri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan, dan penuntut umum tetap berkewajiban membuktikan dakwaannya.

77

http://www.komisihukum.go.id, Komisi Hukum Nasional, Pembuktian Terbalik dalam Revisi UU Pemberantasan Korupsi, April , 2007

Ketentuan dalam pasal 37 tersebut merupakan suatu penyimpangan dari pasal 66 KUHAP yang menyebutkan bahwa tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian. Juga merupakan penyimpangan dari pasal 14 ayat (3) huruf g kovenant internasional tentang hak-hak sipil dan politik, yang telah diratifikasi dengan UU No. 12 Tahun 2005 tentang pengesahan international covenant on civil and political rights, yang menyebutkan “dalam penentuan tuduhan pelanggaran pidana terhadapnya, setiap orang berhak untuk tidak dipaksa memberi kesaksian terhadap diri sendiri atau mengaku bersalah”. Apabila terdakwa dapat membuktikan hal tersebut, tidak berarti ia tidak terbukti melakukan korupsi, sebab penuntut umum masih tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya.78

Pembuktian terbalik yang bersifat terbatas sebagai mana tersebut diatas, hanya terjadi disidang pengadilan. Jika pembuktian terbalik diwajibkan pada saat berstatus sebagai tersangka, maka dikhawatirkan pembuktian terbalik itu dapat menjadi timbulnya permasalahan baru bagi penegakan hukum pemberantasan korupsi itu sendiri. Dapat saja terjadi, pembuktian terbalik tersebut disalah gunakan oleh penyidik. Penyidik dapat melakukan penyalahgunaan wewenang, dengan memeras seseorang yang telah menjadi tersangka yang diduga telah melakukan korupsi. Kekhawatiran itu selalu ada dalam wacana pembuktian terbalik sejak lama.

J.E.Sahetapy mengatakan bahwa lebih kurang tiga puluh tahun yang lalu, problematik beban pembuktian terbalik sudah menjadi wacana di dunia fakultas hukum: omkering van de bewijlast, begitulah problematik pembahasan pada waktu

78

itu. Dirasakan dan dipikirkan pada waktu itu bahwa beban pembuktian terbalik sangat tidak tepat dengan berbagai argumentasi yang tidak jauh berbeda secara substansial dengan apa yang dirasakan dewasa ini.

Masih menurut J.E.Sahetapy, pembuktian terbalik lebih layak hanya digunakan oleh hakim, dan sama sekali tidak boleh digunakan oleh penyidik. Hal itu karena pemeriksaan yang transparan hanya terdapat di persidangan pengadilan, terlepas dari praktik yang sudah tercemar dewasa ini di kepolisian dan atau kejaksaan, penerapan beban pembuktian terbalik dalam penyidikan itu dapat menjadikan pembuktian terbalik sebagai sarana pemerasan.79

Meski demikian, yang menyetujui pembuktian terbalik terhadap tersangka perkara korupsi, beranggapan bahwa jika pembuktian terbalik dilaksanakan secara benar, maka dapat lebih mempercepat atau mengoptimalkan pemberantasan korupsi. Hal itu karena, jika tersangka perkara korupsi diwajibkan membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah, maka bukti-bukti yang diajukannya dapat menjadi bahan bagi penyidik untuk menentukan apakah perkara dapat dilanjutkan pada tahap penuntutan di sidang pengadilan atau tidak. Jika dilanjutkan, bukti-bukti yang diajukan tersangka dapat menjadi bahan bagi jaksa penuntut umum untuk menguatkan dakwaan di sidang Pengadilan.

Selain itu, pembuktian yang selama ini diakui, yaitu terdapat dua alat bukti yang sah ditambah keyakinan hakim, serta tersangka atau terdakwa tidak dibebani

Dokumen terkait