• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I. PENDAHULUAN

F. Kerangka Teoritis

F.3. Pidana (Sanksi) dan Pemidanaan

Didalam kehidupan masyarakat, seseorang atau sekelompok orang akan berhadapan dengan anggapan-anggapan perbuatan yang sedikit banyak mengikat mereka. Anggapan-anggapan itu memberi petunjuk tentang bagaimana seseorang/masyarakat harus berbuat atau tidak berbuat. Anggapan-anggapan itu lazim disebut norma atau kaidah.30

Tiap masyarakat atau golongan menghendaki agar normanya dipatuhi. Kenyataan yang terjadi tidak semua orang bisa dan mau mematuhi norma tersebut, agar norma tersebut dipatuhi, masyarakat atau golongan itu membuat/menerapkan sanksi.31

Sebagian dari norma adalah norma hukum. Norma hukum menjadi aturan apabila norma tersebut berbentuk suatu rumusan tertentu. Salah satu norma hukum

29

Barda Nawawi Arif, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan, Op Cit, Hal 73 dan 74

30

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, (Yogyakarta: Liberty, 1991), Hal 13

31

adalah norma pidana. Norma hukum pidana mengatur tentang perbuatan-perbuatan yang merupakan tindak pidana dan mengatur tentang sanksi-sanksi yang akan diterima oleh orang yang melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang dalam norma pidana tersebut.

Sanksi dalam hukum pidana yang berupa pidana merupakan sanksi negatif dan hal inilah yang membedakan sanksi hukum pidana dengan sanksi bidang-bidang hukum lain. Istilah pidana sama dengan hukuman dalam arti sempit, yakni penghukuman dalam perkara pidana.

Para sarjana mengemukakan pendapatnya tentang pengertian pidana, diantaranya sebagai berikut:32

1).Sudarto

Yang dimakksud dengan pidana ialah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.

2).Roeslan Saleh

Pidana adalah reaksi atas delik, dan ini berwujud suatu nestapa yang sengaja ditimpakan negara pada pembuat delik.

3). Ted Honderich

Pidana adalah suatu pengenaan yang dijatuhkan oleh penguasa (berupa kerugian atau penderitaan) kepada pelaku tindak pidana. (punishment is an authorities infliction of penalty something involving deprivation or distress on an offender for on offence)

32

Muhari Agus Santoso, Paradigma Baru Hukum Pidana, (Malang: Averroes Press, 2002), Hal 20

4).H.L.A. Hart Pidana harus:

a. Mengandung penderitaan atau konsekwensi-konsekwensi lainnya yang tidak menyenangkan;

b. Dikenakan kepada seseorang yang benar-benar atau disangka benar melakukan tindak pidana;

c. Dikenakan berhubungan suatu tindak pidana yang melanggar ketentuan hukum;

d. Dilakukan dengan sengaja oleh orang selain pelaku tindak pidana;

e. Dijatuhkan dan dilaksanakan oleh penguasa sesuai dengan ketentuan suatu sistem hukum yang dilanggar.

5). Alf Ross

Pidana adalah reaksi sosial yang:

a. Terjadi berhubungan dengan adanya pelanggaran terhadap aturan hukum;

b. Dijatuhkan dan dilaksanakan oleh orang-orang yang berkuasa sehubungan dengan tertib hukum yang dilanggar;

c. Mengandung penderitaan atau paling tidak konsekwensi-konsekwensi lain yang tidak menyenangkan;

d. Menyatakan pencelaan terhadap pelanggar.

Dari beberapa definisi diatas dapat disebutkan unsur-unsur atau ciri-ciri yang terkandung dalam pidana yaitu:

1). Pidana itu pada hakikatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat tidak menyenangkan;

2). Pidana itu memang diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang)

3). Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang.33

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana kita, masalah tindakan ini penerapannya hanya dalam batas-batas tertentu saja yang terlebih dahulu harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang terutama terhadap anak-anak seperti yang diatur dalam pasal 45 KUHP dan terhadap orang-orang yang jiwanya tumbuh dengan tidak sempurna atau karena tergangu kejiwaannya (sakit jiwa). Sanksi yang berupa tindakan ini bertujuan untuk perlindungan masyarakat dan pengobatan, perbaikan dan pendidikan. Jadi bukan untuk menambah penderitaan kepada yang bersangkutan, tetapi apabila tindakan itu masih menimbulkan penderitaan, hal tersebut bukanlah tujuan utama dari pengenaan pidana/sanksi tersebut.

Menurut Rose, perbedaan antara “punishment”dengan “treatment” didasarkan pada ada atau tidak nya unsur penderitaan. Herbert L.Packerr berpendapat bahwa perbedaan antara punishment dengan treatment haruslah dilihat dari tujuannya dan seberapa jauh peranan dari perbuatan si pelaku terhadap adanya pidana atau tindakan

33

perlakuan.34Jadi perbedaan itu bukanlah didasarkan pada derajat ketidak kenaan atau kekejaman.

Menurut Packer, dasar pembenaran dari treatment ialah pandangan bahwa orang yang bersangkutan akan mungkin menjadi baik. Jadi, tujuan utama dari treatment adalah untuk memberikan keuntungan atau untuk memperbaiki orang yang bersangkutan. Fokusnya pada tujuan untuk memberikan pertolongan kepadanya bukan pada perbuatannya yang telah lalu atau yang akan datang. Jelas bahwa tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan kesejahteraannya. Masih menurut H.L packer, pembenarannya didasarkan pada dua tujuan yaitu untuk mencegah terjadinya kejahatan atau perbuatan yang tidak dikehendaki atau perbuatan yang salah dan untuk mengenakan penderitaan atau pembalasan yang layak kepada sipelanggar.35

Jadi, dalam hal pidana, perbuatan mempunyai hal yang besar dan merupakan syarat yang harus ada, untuk adanya punishment tersebut. Dengan demikian, punishment memperlakukan seseorang karena orang tersebut telah melakukan suatu perbuatan yang salah, dengan tujuan untuk mencegah terulangnya perbuatan itu dan untuk menderitakan sipelaku. Berbeda halnya dengan punishment, treatment tidak memerlukan adanya hubungan dengan perbuatan. Salah satu contoh yang dikemukakan Packer adalah memasukkan seseorang penderita sakit jiwa kerumah sakit jiwa adalah merupakan treatment tetapi bila tindakan itu atas tuntutan keluarganya dengan alasan agar tidak mengganggu tanpa suatu harapan akan menjadi

34

Ibid, Hal 5

35

baik, tindakan demikian adalah suatu punishment. Mengenai perbedaan pidana dengan tindakan ini, Sudarto mengemukakan bahwa pidana itu adalah pembalasan atas kesalahan sipembuat, sedangkan tindakan semata-mata dilakukan untuk perlindungan masyarakat dan untuk pembinaan atau perawatan sipelaku pidana.36

Secara dogmatis dapat dikatakan bahwa pidana itu ditujukan pada orang yang mampu bertanggung jawab, sebab orang yang mampu bertanggung jawablah yang mempunyai kesalahan. Bagi orang yang tidak mampu bertanggung jawab tidak mempunyai kesalahan, oleh karena itu ia tidak dapat dipidana. Maka alternatif yang lain adalah tindakan. Dilihat secara empiris, memang pidana itu merupakan suatu penderitaan walaupun bukan merupakan suatu keharusan, hal ini disebabkan ada pidana tanpa penderitaan.

Berdasarkan uraian diatas, terlihat adanya perkembangan sanksi dalam hukum pidana, yaitu berupa tindakan, ini berarti bahwa sanksi dalam hukum pidana makin dihumanisasikan terhadap pelaku tindak pidana, sementara pidana khususnya pidana perampasan kemerdekaan menjadi semakin tidak populer dan ketinggalan zaman. Jadi, sanksi yang merupakan tindakan serta rehabilitas narapidana menjadi semakin dianggap penting karena dianggap lebih manusiawi.

2. Aliran-aliran dalam ilmu Hukum Pidana

Tujuan mengupas tentang aliran-aliran ilmu hukum pidana adalah unutuk mencari dan menemukan sistem dan teori hukum pidana yang praktis dan bermanfaat. Secara garis besar, aliran-aliran dalam ilmu hukum pidana dapat dibagi dalam:

36

a. Aliran Klasik

Aliran klasik ini muncul sebagai reaksi terhadap ancient regime yang menimbulkan ketidakpastian hukum, ketidaksamaan hukum, ketidakadilan. Aliran ini terutama menghendaki hukum pidana yang tersusun secara sistematis, aliran ini ingin mengobjektifkan hukum pidana dari sifat-sifat pribadi sipelaku.37

Cesare Beccaria, yang merupakan salah satu tokoh aliran klasik, menulis essaya yang terkenal dei deliti edele pene berjudul on crimes and punishment. Menurut Beccaria, prinsip yang terpenting ialah:

a). Bahwa pidana harus ditentukan sebelumnya oleh undang-undang dan bahwa hakim terikat pada undang-undang ini, dan bahwa pidana yang kejam tidak ada gunanya;

b). Hakim tidak boleh menginterpretasikan undang-undang untuk menjaga kezaliman; c). Pembuat undang-undang bertugas menetapkan apa yang diancam dengan pidana dengan bahasa yang dapat dimengerti;

d). Dalam mengadili setiap kejahatan hakim harus menarik kesimpulan dari dua pertimbangan, yang pertama dibentuk oleh undang-undang dengan batas berlakunya, yang kedua adalah pertanyaan apakah perbuatan konkrit yang akan dia adili itu bertentangan dengan undang-undang atau tidak.38

Pada kesempatan lain Beccaria menghendaki agar susunan hukum pidana tetap ada dan tidak berubah-ubah dengan cara hukum pidana harus tertulis seehingga

37

Andi Hamzah dan Siti Rahayu, Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo, 1983), Hal 38

38

perlindungan hukum terhadap individu dapat terlindungi. Dalam hal ini Beccaria mengemukakan tujuan pemidanaan hanyalah untuk menghindari supaya sipenjahat/sipelaku jangan sampai merugikan masyarakat untuk kedua kalinya dan untuk menakuti orang lain supaya jangan melakukan kejahatan seperti itu yang sangat penting adalah akibat yang ditimbulkan oleh rakyat.39

Tokoh lain dari aliran klasik adalah Jeremmy Bentham, ia adalah seorang filsuf Inggris yang diklasifikasikan sebagai penganut Utilitarian Hedonist. Salah satu teorinya yang sangat penting adalah dinamakan felcific calculus. Teori ini menyatakan bahwa manusia adalah makhluk rasional yang akan memilih secara sadar kesenangan dan menghindari kesusahan. Oleh karena itu, suatu pidana harus ditetapkan atau diberikan pada setiap kejahatan sedemikian rupa sehingga kesusahan akan lebih kuat dari pada kesenangan yang ditimbulkan oleh kejahatan. Hal ini merupakan sumber pemikiran yang menyatakan bahwa pidana harus cocok dengan kejahatannya, sebagai mana yang ditegaskan oleh Hide Filsafat mengenai Let the punishment fit the crime, sebagai seorang pembaharu hukum pidana Bentham mengemukakan beberapa tujuan dari pidana diantaranya yaitu:

a) Mencegah semua pelanggaran;

b) Mencegah pelanggaran yang paling kuat; c) Menekan kejahatan;dan

d) Menekan kerugian/biaya sekecil-kecilnya.40

39

Ibid, Hal 30

40

Masih menurut Bentham, huku pidana jangan digunakan sebagai sarana pembalasan terhadap penjahat, tetapi harus digunakan untuk mencegah kejahatan. Aliran Klasik berpijak pada tiga tiang berikut:

a) Asas Legalitas, yang menyatakan bahwa tiada tindak pidana tanpa undang-undang dan tiada penuntutan tanpa undang-undang;

b) Asas Kesalahan, yang menyatakan bahwa orang hanya dapat dipidana untuk tindak pidana yang dilakukannya dengan sengaja atau karena kealpaan;

c) Asas Pengimbalan yang sekuler, yang menyatakan bahwa pidana secara konkrit tidak dikenakan dengan maksud untuk mencapai hasil yang bermanfaat.

b. Aliran Modern

Aliran Modern ini lahir pada akhir abad -19 dan yang menjadi pusat perhatiannya adalah usaha-usaha untuk menemukan sebab kejahatan dengan menggunakan metode ilmu alam dan bermaksud untuk langsung mendekati dan mempengaruhi penjahat secara positif sejauh dia masih dapat diperbaiki.

Aliran modern ini dipelopori Lambroso, Ferri, dan Garofalo. Lambroso dalam karyanya uomo delin quente menyampaikan bahwa penjahat adalah manusia yang dilahirkan sebagai penjahat yang karena keturunan tetap tinggal pada tingkat manusia primitif. Menurut pemeriksaan yang dilakukan 2/5 dari penjahat adalah penjahat karena keturunan, sedangkan yang 3/5 lagi faktor lingkungan lah yang memainkan peranan disamping telah ditentukan secara biologis. Lambroso percaya bahwa setiap penjahat mempunyai kebutuhan yang berbeda sehingga merupakan kebodohan.

3. Tujuan Pemidanaan

Setelah kita membahas pengertian pidana dan aliran dalam hukum pidana maka selanjutnya, akan dibicarakan tujuan pemidanaan. Tujuan pemidanaan dapat dikemukakan dalam dua sudut pandangan, yaitu didasarkan pada tujuan pemidanaan yang tradisional dan tujuan pemidanaan sebagai perlindungan masyarakat.

a. Tujuan Pemidanaan yang Tradisional

Secara tradisional tujuan pemidanaan pada umumnya dibagi dalam tiga kelompok teori, yaitu sebagai berikut:

a). Teori Absolut atau teori Pembalasan

Menurut teori absolut (retributive/ver-gelding theorien), pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana. Pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan.41 Dasar pembenaran dari pidana menurut teori absolut ini terletak adanya atau terjadinya kejahatan itu sendiri.

Hugo de Grootius sebagai salah satu penganut teori absolut mengatakan bahwa adalah merupakan kehendak alam barang siapa yang telah melakukan sesuatu yang bersifat jahat, maka sudah layak akan diperlakukan secara jahat pula.42

Penganut teori absolut lainnya ialah Immanuel Kant, Kant mengatakan bahwa dasar pembenaran dari suatu pidana itu terdapat didalam apa yang disebut Kategorischen Imperative, yakni menghendaki agar setiap perbuatan melawan hukum itu harus

41

Sholehuddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2003), Hal 12

42

dibalas. Keharusan menurut keadilan dan menurut hukum tersebut bersifat mutlak, sehingga setiap pengecualian atau setiap pembalasan yang semata-mata didasarkan pada suatu tujuan itu harus di kesampingkan.43

Tuntutan keadilan bersifat absolut ini terlihat dengan jelas dalam pendapat Immanuel Kant didalam bukunya Philosophy of Law sebagaimana dikutip Muladi, beliau mengatakan,

“Pidana tidak pernah dilaksanakan semata-mata sebagai sarana untuk mempromosikan tujuan/kebaikan lain, baik bagi sipelaku itu sendiri maupun bagi masyarakat, tetapi dalam semua hal harus dikenakan hanya karena orang yang bersangkutan telah melakukan suatu kejahatan. Hal ini harus dilakukan karena setiap orang seharusnya menerima ganjaran dari perbuatannya, dan perasaan balas dendam tidak boleh tetap ada pada anggota masyarakat karena apabila demikian mereka semua dipandang sebagai orang yang ikut ambil bagian dalam pelanggaran terhadap keadilan umum.”

Tokoh lain penganut teori absolut ialah Hegel, beliau berpendapat bahwa pidana merupakan keharusan logis sebagai konsekwensi dari adanya kejahatan. Kejahatan adalah pengingkaran terhadap ketertiban umum negara yang merupakan perwujudan dari cita-susila maka pidana merupakan peniadaan atau pengingkaran terhadap pengingkaran (negation der negation).44

43

Ibid, Hal 13

44

Seorang tokoh lagi yang menganut teori absolut ini ialah Polak, beliau menyatakan bahwa kesamaan antara sesama manusia membawa akibat bahwa kebahagiaan dan penderitaan harus dibagi antara mereka secara nyata. Tiap-tiap kejahatan mengganggu usaha pembagian ini. Penderitaan yang dialami oleh tiap-tiap individu yang menghormati hukum dituangkan menjadi pidana maksimum yang diancamkan terhadap suatu kejahatan. Masih menurut beliau, keuntungan yang semula diperoleh seorang penjahat harus diobjektifkan, karena itulah teorinya disebut “teori yang mengobjektifkan” atau objectiverings theorie.45

Pendapat-pendapat penganut teori absolut ini pada intinya menyatakan bahwa pidana mengandung nilai moral. Cateris Paribus, dunia akan menjadi baik, bila mana nilai-nilai moral dilindungi dengan memberikan penderitaan atas penjahat. Dengan pernyataan ini, pendapat retributif dikategorikan sebagai teori pembalasan.

b. Teori Relatif atau Teori Tujuan

Teori relatif (utilitarian atau doeltheorieen) berusaha mencari dasar pembenaran dari suatu pidana, semata-mata pada suatu tujuan tertentu. Para penganut teori relatif ini tidak melihat pidana itu sebagai pembalasan, dan karena itu, tidak mengakui bahwa pemidanaan itulah yang menjadi tujuan utama, melainkan pemidanaan itu adalah suatu cara untuk mencapai tujuan yang lain dari pemidanaan itu sendiri. Pemidanaan dengan demikian mempunyai tujuan, oleh karena itu teori ini sering juga disebut dengan teori tujuan (utilitarian theory). Jadi, dasar pembenaran

45

adanya pidana menurut teori tujuan terletak pada tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan karena orang berbuat jahat melainkan supaya orang jangan melakukan kejahatan.46

Berdasarkan tujuan yang hendak dicapai dari pemidanaannya, maka teori relatif ini masih dibagi menjadi dua, yaitu sebagai berikut:

i) Teori Pencegahan Umum

Menurut teori ini, tujuan yang ingin dicapai adalah membuat jera setiap orang agar mereka itu tidak melakukan kejahatan. Dengan perkataan lain, pencegahan kejahatan itu ingin dicapai oleh pidana yang akhirnya dapat mempengaruhi tingkah laku anggota masyarakat untuk tidak melakukan tindak pidana.

Menurut Andenaes, ada tiga bentuk pengaruh dalam pengertian general prevention, yaitu:

a) Pengaruh Pencegahan

b) Pengaruh untuk memperkuat larangan-larangan moral

c) Pengaruh untuk mendorong kebiasaan perbuatan patuh pada hukum

Dalam pengertian general prevention tidak hanya tercakup pengaruh pencegahan (deterrent effect) tetapi juga termasuk didalamnya pengaruh moral atau pengaruh yang bersifat pendidikan sosial dari pidana (the moral of social paedagigcal influence of punishment)

ii) Teori Pencegahan Khusus (bijzondere preventie theorieen)

Para sarjana yang menganut teori ini ialah Grolman, Von List dan Karl O.Christiansen.

46

Menurut Grolman, tujuan dari pemidanaan adalah untuk melindungi masyarakat, dengan membuat penjahatnya menjadi tidak berbahaya atau dengan membuat penjahatnya itu menjadi jera untuk melakukan sesuatu kejahatan kembali.

Von List mengemukakan bahwa hukum itu gunanya untuk melindungi kepentingan hidup manusia, yang oleh hukum telah diakui sebagai kepentingan- kepentingan hukum dan mempunyai tugas untuk menentukan batas-batas dari kepentingan-kepentingan hukum yang dimiliki oleh orang yang satu dengan orang yang lain. Hukum telah menetapkan norma-norma yang harus ditegakkan oleh negara, dan negara harus menjatuhkan pidana bagi setiap orang yang telah melanggar norma-norma tersebut. Lebih lanjut dikatakan bahwa ancaman pidana itu sifatnya memperingatkan dan mempunyai sifat yang menjerakan, sedangkan pidana itu adalah untuk kepentingan semua warga masyarakat.

Berkenaan dengan teori relatif, Christiansen mengemukakan secara terperinci tentang ciri-ciri pokok atau karakteristik dari teori tersebut sebagai berikut:

1) Tujuan pidana adalah pencegahan (prevention)

2) Pencegahan bukan tujuan akhir tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan masyarakat

3) Hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan kepada sipelaku yang memenuhi syarat untuk adanya pidanya

4) Pidana harus ditetapkan berdasarkan tujuannya sebagai alat untuk mencegah kejahatan

6) Pidana dapat mengandung unsur pencelaan, tetapi baik untuk pencelaan maupun unsur pembalasan tidak dapat diterima apabila tidak membantu pencegahan kejahatan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat.

iii). Teori Gabungan

Sebagai pelopor teori gabungan (vereniging theorieen) adalah Pellegrino Rossi (1787-1884). Menurut pandangan teori gabungan, selain dimaksudkan sebagai upaya pembalasan atau pengimbalan atas perbuatan jahat yang telah dilakukan oleh seseorang, pidana tersebut tidak boleh melampaui suatu pembalasan yang adil. Dengan menyimak pandangan teori gabungan ini terlihat gambaran bahwa teori ini mempunyai kecenderungan yang sama dengan yang dikatakan oleh Muladi sebagai retributivisme teleologis atau aliran integratif. Pandangan ini menganjurkan untuk mengintegrasikan beberapa fungsi sekaligus dan bersifat utilitarian, misalnya pencegahan dan rehabilitasi yang kesemuanya harus dicapai oleh suatu rencana pemidanaan. Pidana dan pemidanaan terdiri dari proses kegiatan terhadap pelaku tindak pidana yang dengan satu cara tertentu diharapkan untuk dapat mengasimilasikan kembali narapidana dalam masyarakat.

b. Tujuan pemidanaan Sebagai Perlindungan Masyarakat

Perbuatan jahat atau tindak pidana merupakan gejala sosial yang perlu ditanggulangi secara serius. Usaha-usaha untuk menanggulangi kejahatan biasa disebut sebagai politik kriminal.

Politik kriminal adalah usaha yang rasional untuk menanggulangi kejahatan.47 Politik kriminal atau kebijakan penanggulangan kejahatan merupakan bentuk dari kebijakan mengenai perencanaan perlindungan sosial (social defence planning), yang tujuan akhirnya adalah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.48

Kebijakan penanggulangan kejahatan dapat dilaksanakan dengan sarana hukum pidana (penal) ataupun dengan sarana tidak menggunakan hukum pidana (non penal). Dengan demikian, pelaksanaan politik kriminal dengan sarana hukum pidana (penal) pada akhirnya juga tidak dapat dilepaskan dengan tujuan untuk mewujudkan kebijakan penyelenggaraan perlindungan dan kesejahteraan masyarakat.49

Menurut Ancel, ada dua konsepsi atau interpretasi pokok mengenai social defence (perlindungan masyarakat), yaitu interpretasi tradisional dan interpretasi modern.50

Secara tradisional, pengertian perlindungan masyarakat yaitu “penindasan kejahatan” (repression of crime). Jadi, menurut penafsiran pertama ini social defence diartikan sebagai perlindungan masyarakat terhadap kejahatan (the protection of society againts crime). Oleh karena itu, penindasan kejahatan merupakan “the essential needs of social defence”, sedangkan interpretasi modern tentang perlindungan masyarakat

47

Sudarto, Hukum Pidana, (Semarang: Fakultas Hukum UNDIP, 1975), Hal 38

48

Muladi & Arif Barda Nawawi, Loc Cit, Hal 54-55

49

Ibid, Hal 55

50

dalam arti pencegahan kejahatan dan pembinaan para pelanggar (the prevention of crime and the treatment of offenders)

Senada dengan pendapat Ancel tentang makna perlindungan masyarakat dalam penafsiran yang modern, Bassiouni mengemukakan tujuan yang ingin dicapai oleh pidana, yaitu kepentingan-kepentingan sosial yang ingin dilindungi oleh hukum pidana, yaitu:

a) Pemeliharaan tertib masyarakat;

b) Perlindungan warga masyarakat dari kejahatan, kerugian atau bahaya- bahaya yang tidak dapat dibenarkan, yang dilakukan oleh orang lain; c) Memasyarakatkan kembali (resosialisasi) para pelanggar hukum;

d) Memelihara atau mempertahankan integritas pandangan-pandangan dasar tertentu mengenai keadilan sosial, martabat kemanusiaan dan keadilan individu.51

Menurut Arief, tujuan pemidanaan berupa perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahtaraan masyarakat merupakan induk dari keseluruhan pendapat atau teori-teori mengenai tujuan pidana (pemidanaan). Lebih lanjut Arief mengemukakan secara ringkas tujuan pemidanaan yang mengandung dua aspek pokok, yaitu: (1) aspek perlindungan masyarakat terhadap tindak pidana dan (2) aspek perlindungan terhadap individu atau pelaku tindak pidana. Aspek pokok pertama meliputi tujuan- tujuan: mencegah, mengurangi/mengendalikan tindak pidana, dan memulihkan keseimbangan masyarakat yang perwujudannya antara lain: menyelesaikan konflik,

51

mendatangkan rasa aman, memperbaiki kerugian atau kerusakan yang timbul, memperkuat nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Aspek pokok yang kedua bertujuan memperbaiki sipelaku, seperti: melakukan rehabilitasi dan memasyarakatkan kembali sipelaku, mempengaruhi tingkah laku sipelaku untuk tertib dan patuh pada hukum, melindungi sipelaku dari pengenaan sanksi atau pembalasan yang sewenang-wenang diluar hukum.52

Masih berkaitan dengan tujuan pemidanaan berupa perlindungan dan kesejahteraan masyarakat, Roeslan Saleh mengemukakan ada tiga tujuan yang harus diperhatikan hakim dalam menjatuhkan pidana, yang pertama koreksi, kedua resosialisasi, ketiga pengayoman kehidupan masyarakat.53 Koreksi artinya bahwa terhadap orang yang melanggar suatu norma, pidana yang dijatuhkan itu sebagai peringatan bahwa perbuatan seperti itu tidak boleh berulang lagi. Resosialisasi adalah

Dokumen terkait