• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I : PENDAHULUAN

A. Hambatan Hukum

2. Hambatan dari Sisi Struktur Hukum

Kemudian dalam Undang Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dalam Pasal-pasalnya tidak menyebutkan dengan tegas mengenai kewajiban ini, tetapi dalam penjelasan Pasal 41 ayat (1), secara tersirat dimasukkan sebagai pihak pelapor.

Praktek penegakan hukum tindak pidana pencucian uang bukanlah hal yang mudah, seperti yang disebutkan oleh Kabareskim Polri dalam makalahnya bahwa tindak pidana pencucian uang terjadi karena faktor internal penyedia jasa keuangan atau penyedia barang dan jasa lainnya sebagai akibat dari longgarnya penerapan prinsip mengenal nasabah dan lemahnya data atau sistem dalam analisa transaksi keuangan mencurigakan sehingga belum mampu menangkal dari awal penempatan dana hasil kejahatan ke dalam sistem perbankan.128

127Yunus Husein, “Urgensi Pengesahan Rancangan Undang-Undang tentang Pencegahan

dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang” , disampaikan dalam Rapat Umum Denger Pendapat Panitia Khusus RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU dengan Kepala PPATK tanggal 6 Mei 2010 di Dewan Rerwakilan Rakyat, Jakarta. hal. 12

128

Anonim, “Optimalisasi Peran Kepolisian Dalam Meningkatkan Efektivitas Kerjasama Penanganan Tindak pidana Penucian Uang”, Mabes POLRI, Kabareskrim, Makalah, disampaikan pada seminar sosialisasi Pencegahan dan Pemberantasan Tindak pidana Pencucian Uang, Medan, 14 April 2011, hal. 8

Kemudian lambannya informasi intelijen tentang transaksi keuangan mencurigakan dan kurangnya kerjasama antar lembaga129

Selain itu, permasalahan penegakan hukum juga dipengaruhi oleh banyaknya perkembangan produk perbankan, jasa, investasi dan sistem pembayaran yang kompleks. Semua hal ini menyebabkan munculnya modus-modus baru yang rumit dalam sistem pembuktian tindak pidana pencucian uang.

baik antara penyedia jasa keuangan maupun penyedia barang dan jasa lainnya dengan aparat penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan) demikian juga dengan PPATK.

130

Penyidikan akan semakin sulit ketika melibatkan penggunaan jasa wire system, hal ini nampaknya dikarenakan tuntutan efisiensi, kecenderungan ekonomi, teknologi dan tuntutan kebutuhan pasar terbuka. Sejak 1989 dihampir semua negara telah menerapkan wire transfer system

secara internal, antar bank dan lembaga keuangan (transffering fund by electronic messages between banks-wire transfer), ini merupakan cara untuk memindahkan dana ilegal dengan cepat dan tidak mudah untuk dilacak oleh jangkauan hukum, dimana sekaligus pada saat yang sama terjadilah pencucian uang dengan cara mengacaukan audit trail.131

129

Ibid

130Ibid

131Yenti Garnasih, Op. cit., tanpa halaman, cara ini juga sering disebut sebagai Electronic

Fund Transfer (EFT) atau cyber payment yang merupakan salah satu jasa yang diberikan oleh electronic banking, yang memungkinkan pembayaran transfer berlangsung dengan mobilitas tinggi dengan mengoptimalkan jaringan perbankan international (International Offshore Banking Centers) sebagai lembaga intermediasi.

Berkenaan dengan tugas penyidikan polisi harus memperoleh alat bukti yang akan diajukan pada jaksa untuk selanjutnya diungkapkan di persidangan, dan untuk perkara pencucian uang bukanlah masalah mudah, apalagi harus dikaitkan dengan kejahatan asalnya. Peran polisi juga sangat dominan manakala berkaitan dengan pengembalian harta kekayaan hasil tindak pidana ini di luar negeri. Kemajuan dibidang teknologi informasi memungkinkan kejahatan pencucian uang bisa terjadi melampaui batas kedaulatan suatu negara, untuk mencegah dan memberantasnya memerlukan kerjasama antara negara.

Selain itu polisi juga harus menemukan fakta untuk dibuktikan jaksa yang meliputi unsur subyektif atau mens rea dan unsur obyektifnya atau actus reus. Mens rea yang harus dibuktikan yaitu knowledge (mengetahui atau patut menduga) dan

intended (bermaksud). Kedua unsur tersebut berkaitan dengan unsur terdakwa mengetahui bahwa dana tersebut berasal dari hasil kejahatan dan terdakwa mengetahui tentang atau maksud untuk melakukan transaksi. Untuk memenuhi unsur yang harus dibuktikan jaksa tersebut sangat sulit, mengetahui atau cukup menduga apalagi bermaksud untuk menyembunyikan hasil kejahatan, benar-benar harus didukung berbagai faktor terutama dari perilaku dan kebiasaan pelaku.

Hal ini nantinya pasti juga akan menimbulkan akibat hukum yang akan melibatkan pihak penyedia jasa, PPATK demikian juga aparat penegak hukum. Untuk mengatasi hal ini maka dibutuhkan pengaturan yang lebih lanjut dengan memperhatikan peraturan di bidang pencucian uang maupun pelaksanaan pembuktiannya.

Dalam menangani tindak pidana pencucian uang, ada 2 faktor yang harus diperhatikan yaitu Tindak Pidana Asal dan Keberadaan Harta Hasil Kejahatan.132

1. Faktor Tindak Pidananya

Bahwa tindak pidana pencucian uang dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan, penuntutan dan sidang pengadilan tidak perlu dibuktikan terlebih dahulu,133

Dalam hal ini perlu diperhatikan tentang adanya perluasan penyidik tindak pidana pencucian uang yang terdiri dari Polri, Kejaksaan, KPK, BNN, Ditjen Bea dan Cukai, Ditjen Pajak.

namun pemeriksaan tersebut mempunyai tujuan yakni untuk memutuskan siapa yang bersalah. Keputusan pengadilan dilakukan atas perbuatan melawan hukum yakni perbuatan menempatkan, menghibahkan, memindahkan atau menyamarkan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil dari tindak pidana.

134

Metode penelusuran harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana pencucian uang adalah merupakan metode yang lebih mudah dan resiko lebih kecil dalam upaya penegakan hukumnya, tetapi yang menjadi kendala dalam proses ini adalah bagaimana kalau tindak pidana pencucian uang sebagai ternyata tidak terbukti, sedangkan terhadap asset telah dilakukan pemblokiran, maka hal ini dapat dikatakan sebagai hambatan dalam penerapan hukum oleh aparat penegak hukum.

Semua unsur ini harus mengharmonisasikan langkah dalam upaya penyidikan guna menghindari terjadinya tumpang tindih kewenangan dalam proses penyidikan terhadap subyek yang sama.

132Anonim, Op. cit., hal. 9-10 133

Yenti Garnasih, Op. cit., tanpa halaman

134

Perluasan penyidik dalam tindak pidana pencucian uang, yang berlaku sejak disahkannya Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang

2. Keberadaan harta hasil kejahatan

Diperlukan kecepatan dan ketepatan dalam menentukan harta hasil kejahatan, yang nantinya diikuti oleh pemblokiran dan penyitaan.135

Kelemahan dalam penerapan undang-undang tindak pidana pencucian uang juga terjadi akibat adanya:

Dalam pelaksanaannya sangat dibutuhkan pedoman pelaksanaan penghentian transaksi, pemblokiran transaksi dan kemudian penyitaan.

136

Indonesia merupakan tempat strategis dalam peta politik global baik dari aspek ekonomi internasional, politik internasional dan keamanan maupun pertahanan regional. Efektifitas penanganan tindak pidana pencucian uang sangat ditentukan oleh kerjasama berbagai pihak, sebagai implementasi nota kesepahaman (MoU) antara Polri, Kejaksaan, KPK, BNN, Ditjen Bea dan Cukai, Ditjen Pajak.

Sistem birokrasi di Indonesia sangat lemah dalam segi manajemen administrasi, koordinasi, dan pengawasan pelaksanaan tugas yang dibebankan oleh undang-undang. sistem birokrasi di Indonesia masih sangat lemah dari sisi profesionalisme, integritas, dan akuntabilitas sehingga potensial muncul penyalahgunaan wewenang serta korupsi, kolusi, dan nepotisme.

137

135

Upaya yang dibenarkan oleh Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, guna menghindari dipindahkan atau dialihkannya harta hasil kejahatan tersebut.

136

Romli Atmasasmita, Op. cit. tanpa halaman

137Yunus Husein , “Mutual Legal Assistance: Suatu Keharusan Dalam Penegakan Hukum”

http://Yunushusein.wordpress.com/2007/13_mutual-legal–assistance-suatu-keharusan–dalam-penegakan-hukum.x.pdf, diakses tanggal 29 Maret 2012.

Hal ini diperlukan untuk meningkatkan upaya penegakan hukum tindak pidana pencucian uang dan menyita harta hasil kejahatan.

Dalam hal adanya keharusan mengenali Pengguna Jasa (customer due diligence), maka hal ini tentunya ada beberapa dampak yang muncul yaitu: seperti diperlukan adanya kesiapan mental, pengetahuan, sistem pengenalan nasabah, sistem pelaporan dan arsip, keterampilan dan pengamanan bagi kalangan perbankan untuk melaksanakan undang-undang dan Peraturan Bank Indonesia ini.

Di samping itu, mengingat money laundering paling banyak dilakukan melalui jasa-jasa perbankan,138

Untuk dapat memaksimalkan penegakan hukum tindak pidana pencucian uang, maka perlu adanya penyesuaian beberapa undang-undang terkait, seperti Peraturan Bank Indonesia, Undang-Undang Perbankan, Undang-Undang Pasar Modal khususnya yang berkaitan dengan ketentuan kerahasiaan. Bank harus mengubah caranya beroperasi agar terhindar dari penyalahgunaan oleh penjahat dan terhindar juga dari hukuman pidana.

maka sudah tentu industri perbankan akan sangat terpengaruh oleh undang-undang Money laundering dan industri perbankan sangat berperan di dalam pencegahan money laundering.

139

Keseragaman kualitas pelaksanaan penerapan prinsip mengenal nasabah pada seluruh penyedia jasa keuangan, khususnya pada seluruh perbankan nasional serta komitmen dan pandangan yang sama dari perbankan dan nasabah terhadap pentingnya penerapan ketentuan anti money laundering.

138Yunus Husein, “Beberapa Petunjuk Bagi Bank Dalam Mewaspadai Kejahatan Pencucian

Uang”, http:// Yunushusein.wordpress.com /2007/26_beberapa_petunjuk-bagi-bank_yhx.pdf, diakses tanggal 29 Maret 2012.

139Yunus Husein, “Kebijaksanaan Bank Indonesia Tentang Pencucian Uang (Money

laundering)”, http://yunushusein.files.wordpress.com/2007/07/27_kebijakan-bank-indonesia_yh_x.pdf hal. 9-10. Diakses tanggal 29 Maret 2012.