• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1.8. Hambatan – Hambatan yang Dihadapi Hakim Pengadilan Agama

Berdasarkan tujuan penelitian tentu saja selama proses mediasi, selama hakim mempersuasi, dan hakim berusaha mengubah sikap para pihak yang di mediasi tentu mengalami hambatan. Hambatan yang mengganggu proses mediasi.

Berdasarkan hasil wawancara dan onbservasi yang peneliti lakukan peneliti menemukan hambatan – hambatan yang dialami oleh mediator.Hambatan tersebut adalah sebagai berikut.

Informan I

Nama : Wafa’, S.Hi

Tanggal Wawancara : 7 April 2015

Tempat : Ruang Hakim Wanita Pengadilan Agama Kisaran

Pukul : 10.50 WIB

Ketika menjalankan tugasnya menjadi mediator dalam kasus perceraian, tidak semua hal berjalan mulus dan sederhana.Tidak jarang sikap dari para pihak juga membuat mediator menjadi ikut terpancing emosinya.Setiap mediator selalu berusaha untuk berkomunikasi dengan baik namun perbedaan penerimaan dan juga tanggapan masih tidak bisa di hindarkan.Mengajukan gugatan ke pengadilan merupakan sebuah cerminan bahwa seseorang sedang berada dalam sebuah masalah.Oleh karena itu emosi para pihak yang di mediasi juga mudah terpancing dan kadang tidak terkendali.

“Jadi tanggapan dari setiap pasangan itu berbeda, tergantung bagaimana cara mediatornya dan setiap mediator berbeda caranya, karena tidak ada pedoman baku untuk melakukan mediasi ya jadi bisa bisa sendiri. Ya mananya orang lagi ada masalah jadi pandai pandai mediatornya biar suasananya nyaman tenang dan tidak emosi, tidak jarang juga pasangan yang di mediasi itu emosi.”

Dalam beberapa kasus perceraian yang di mediasi, tidak jarang Ibu Wafa’ juga terpancing emosinya melihat sikap salah satu pihak yang di mediasi. Apalagi naluri Ibu Wafa’ sebagai seorang wanita yang melihat sikap suami yang tidak bertanggung jawab dan menyakiti istrinya baik secara fisik ataupun mental.Namun Ibu Wafa’ menyadari bahwa sikap seperti itu salah, karena pada dasarnya mediator tidak boleh memihak dan memojokkan para pihak yang sedang dimediasi.Mediator harus bersikap netral dalam memediasi masalah perceraian.

“Kadang kalau hakimnya perempuan kesel juga kita liat pihak yang misalkan suaminya mabuk di siksa segala macam kebawa juga kita kesal,

Universitas Sumatera Utara tapi sebenarnya gak boleh, gak boleh kita memojokkan atau berpihak pada satu orang tetap aja kita harus sama perasaan kita ke mereka.”

Hambatan lain yang dihadapi oleh para mediator adalah para pihak yang di mediasi tidak mengetahui apa itu mediasi dan tujuan dari mediasi ini. Sehingga pada saat mediasi, mediator harus menjelaskan lagi apa itu mediasi dan tujuan mediasi ini. Para pihak masuk ke ruang mediasi dan menjalani mediasi karena disarankan oleh majelis hakim saat mengahadiri sidang perceraian mereka.Setiap pasangan yang keduanya hadir pada sidang pertama harus mematuhi untuk mediasi.

“Sebenarnya mereka banyak yang tidak tahu apa itu mediasi, jadi ketika kedua belah pihak hadir maka langsung di perintahkan oleh majelis hakim untuk mediasi.Kita mediasi mau ngobrol aja, mau curhat aja di ruang mediasi itu. Jadi kalau sidang pertama tidak datang maka nanti akan di panggil lagi untuk memanggil suaminya. Karena ini proses persidangan maka semua harus mematuhi untuk mediasi.”

Perbedaan prasangka setiap pasangan juga juga menjadi salah satu hambatan yang dihadapi oleh Ibu Wafa’, para pihak yang di mediasi akan menilai buruk terhadap pasangannya sehingga akan sulit bagi mereka menerima penjelasan yang disampaikan saat mediasi berlangsung. Mediator juga tidak mengetahui apakah hubungan mereka membaik atau tidak setelah mediasi. Masalah lain yang dihapai oleh para mediator adalah saat para pihak yang di mediasi mencabut perkara hanya karena salah satu pihak, misalnya suami tidak bisa memenuhi tuntutan istrinya sehingga ia memilih mencabut perkara, bukan untuk rujuk tetapi untuk menghindar dari tanggung jawab.

“Masih ada juga yang begitu, tapi ya itulah semua itu tergantung dari mediatornya, namanya suami istri yang sedang ada dalam masalah.Prasangka mereka buruk terhadap para pasangannya.”

Informan II

Nama : Hj. Wardiyah, S.Ag.

Tangal Wawancara : 7 April 2015

Tempat : Ruang Hakim Wanita PA Kisaran

Dalam proses mediasi, tidak jarang mediator mengalami hambatan. Ibu Wardiyah pun pernah mengalami hambatan dalam memediasi pasangan yang akan bercerai. Hambatan yang dialami Ibu Wardiyah biasanya beliau harus menghadapi sikap ingin menang sendiri dari pihak yang di mediasi, pihak yang dimediasi merasa bukan dirinya lah yang bersalah namun pasangannya. Ketika hal tersebut terjadi, Ibu Wardiyah mempertimbangkan kembali bagaimana keadaan para pihak yang sedang di mediasi. Jika keadaan masih belum begitu sulit dan masih bisa di perbaiki maka Ibu Wardiyah menyarankan untuk memperbaiki namun jika keadaan antara kedua belah pihak sudah begitu rumit dan keputusan untuk bercerai sudah dipilih, makaIbu Wardiyah juga tidak bisa menghalanginya.

“Harus kita perhatikan Kadang kadang ada itu nanti yang mau menang sendiri. Kayak membela dirinya sendiri, misalnya bapak, tetap dibilangnya sayang tapi tetap gak di nafkahinya. Nanti dirumah ibu nya jualan untuk menghidupi anak ini jadi tetap kita perhatikan yang kayak gitu, tapi nanti kalau kita lihat yang udah parah kali, diapun kayaknya udah tersiksa kali lah mungkin, ya jadi gagal lah kita buat tapi kalau dia masih ragu ragu nanti kita kasih kesempatan.”

Ibu Wardiyah pun menuturkan, tidak jarang dirinya menjadi sasaran para pihak yang dimediasi dalam melampiaskan emosinya. Salah seorang dari mereka, misalkan saja si istri yang yang merasa kesal dan emosi dengan pernyataan suaminya dan ketia Ibu Wardiyah mencoba menengahi atau menenangkan, si istri justru memarahi dan tidak jarang juga memaki Ibu Wardiyah. Sebagai medior,Ibu Wardiyah harus bersikap sabar dan tenang ketika menghadapi situasi tersebut, karena bila mediator pun tidak tenang dan turut terbawa emosi, maka yang ada justru akan memperburuk keadaan. Ketika dalam kondisi seperti itu pun, Ibu Wardiyah tetap mencoba memberi nasehat kepada para pihak yang di mediasi. Untuk menciptakan suasana yang kondusif, Ibu Wardiyah selalu dengan tegas meminta kepada pihak yang dimediasi untuk berbicara ketika diberikan kesempatan dan tidak memotong ketika pihak yang satunya sedang berbicara.

“Dia marah dengan suaminya di lampiaskannya ke kita “ibu kan gak merasakan, ibukan perempuan juga”, kan emosi kita kan kalau kita turutkan emosi kita kan udah kita bilang “keluarlah kau!”. Tapi gak kan itulah yang kita tahan. Kita bilang lah “jadi kayak mana, satu satu lah dulu

Universitas Sumatera Utara ya, jangan jawab menjawab disitu. Bapak dulu saya Tanya ya bapak aja yang jawab jangan ibu jawab juga, nanti ibu juga gitu kalau ibu saya Tanya bapak gak boleh jawab ya pak ya”, kalau udah jawab menjawab kayak pajak lah nanti jadinya rame.Jadi kita buat gitu, kita dengarkanlah dulu kata penggugat ini, baru dia cerita begini begitu.

Tidak jarang juga, ada beberapa pihak yang menurut Ibu Wardiyah sulit untuk terbuka ataupun tidak mau bercerita sama sekali mengenai masalah yang melatarbelakangi keputusan mereka untuk bercerai. Pihak yang dimediasi merasa sudah menjelaskan semuanya didalam catatan berkas ketika mengajukan gugatan cerai. Untuk mengatasinya, Ibu Wardiyah selalu menegaskan kepada pihak yang dimediasi bahwa dirinya hanya mau tahu mengenai kejadian yang sesungguhnya langsung dari kedua pihak. Pihak yang dimediasi pun sering bersikeras meminta kepada Ibu Wardiyah untuk membaca saja berkas yang sudah ada padanya, namun Ibu Wardiyah selalu berusaha sabar, tidak menuruti emosi kedua pihak yang dimediasi. Apabila Ibu Wardiyah pun turut tidak dapat mengatur emosinya, maka akan sulit bagi dirinya untuk menyampaikan pesan kepada pihak yang dimediasi dan pihak yang dimediasi pun akan sulit menerima makna pesan yang disampaikan oleh Ibu Wardiyah.

Ada juga yang bilang “baca ibu lah situ!” bilang gitu pula dia, ya kalau gitu saya bilang “ saya gak mau baca, saya gak mau periksa perkara ini, saya mau tau apa yang terjadi”, “ udahlah itu kan udah di tulis disitu” kan kalau dengar gitu emosi kita kan, kalau kita turutkan udah kita bilang “udah keluar ajalah kau”, tapi kan gak boleh kita gitu, namanya kita mau nasehati ya kan.”

Proses mediasi dilakukan hanya boleh ada mediator dan kedua pasangan yang akan dimediasi. Jika salah satunya berhalangan hadir, maka proses mediasi tidak dapat dilaksanakan. Hal ini juga merupakan salah satu hambatan yang pernah dihadapi oleh Ibu Wardiya. Pihak yang akan dimediasi mengkuasakan semuanya kepada kuasa hukumnya. Pihak tersebut enggan dimediasi dengan alasan apapun yang di katakan oleh pasangannya dia menerima semua itu dengan lapang dada dan tidak ada pembelaan sedikit pun. Meskipun begitu, Ibu Wardiyah juga memberikan nasehat kepada orang tersebut dan nasehat tersebut pun terkadang hanya ditanggapi seadanya oleh pihak yang dimediasi. Itulah kesulitan yang sering dialami oleh Ibu Wardiyah.

“Yang tadi ibu mediasi itu dia pakai kuasa hukum, seharusnya kalau kita mediasi itukan orangnya langsung tapi udah di kuasakan. “udahlah saya terima apapun yang di tuduhkan istri saya” di bilang kuasa hukumnya “tapi selama ini juga bapak tidak memberi nafkah sampai anaknya umur 20 tahun” terus di blang bapak itu “udahlah buk, apa yang di tuduhkan istri saya ya saya terima, selama ini saya beri nafkah tapi udahlah biar Allah aja yang tau”. Ya kita nasehatin juga lah yak an “ sekalipun cerai tapi anak itu tetap tanggung jawab ayahnya, untuk nafkahi anaknya walaupun di asuh sama ibunya nanti anak itu bisa dendam sama kita” “iya iya saya tau”.

Informan III

Nama : H. Armansyah, Lc. MH

Tangal Wawancara : 10 April 2015

Tempat : Ruang Mediasi Pengadilan Agama Kisaran

Waktu : 10.39 WIB

Dalam menangani mediasi percereraian memang lebih sulit jika dibandingkan dengan mediasi masalah perdata umum. Menurut Pak Armansyah, masalah yang dihadapi dalam perdata umum jelas dan tampak, misalnya saja masalah hutang piutang, pihak yang satu merasa belum dibayar hutangnya dan pihak yang satunya lagi mengakui hal tersebut. Penyelesaian masalah tersebut hanyalah bagaimana antara pihak yang memiliki hutang dengan yang memiliiki piutang bersepakat dalam menyelesaikan hutang piutang tersebut. Sementara dalam mediasi perceraian, masalah yang dihadapi rata – rata menyangkut masalah perasaan yang notabennya sulit untuk dilihat dan dihapus bekasnya. Ini menjadi kesulitan tersendiri bagi Pak Armansyah dalam memediasi. Sulit untuk digeneralisasikan permasalahannya karena menyangkut perasaan.

“ Kalau dalam perceraian tidak begitu karena ini melibatkan perasaan. Kalau kita tanya bagaimana ‘oh iya Pak saya mengakui saya sudah memukul istri saya’, insyaf dia tapi kan istrinya sudah terlanjur terluka perasaannya, ini kan bukan utang piutang di bayar pun dia kan nggak bisa lupa. Bagaimana proses mediasi perceraian dengan perdata biasa tidak bisa kita generalisasikan karena ini juga menyangkut perasaan”

Konflik pun sering mewarnai proses mediasi. Emosi dan amarah dari pihak yang mediasi mudah meluap – luap ketika mereka membeberkan keburukan dan kesalahan masing – masing pasangannya ketika menjalani rumah tangga bersama.

Universitas Sumatera Utara Dalam keadaan seperti ini, Pak Armansyah biasanya tetap menjaga tutur katanya agar tetap halus dan sopan untuk menenangkan kedua pihak yang dimediasi, setelah itu Pak Armansyah pun menasehati keduanya untuk menahan ego dan emosi masing – masing. Pak Armansyah juga selalu menegaskan kepada kedua pihak yang dimediasi bahwa dalam mediasi ini dilakukan bukan untuk mengumbar keburukan ataupun kesalahan masing – masing pasangan, melainkan untuk mencari win win solution agar keduanya senang dan tidak jadi bercerai.

Pak Armansyah juga mengungkapkan, tidak selamanya proses mediasi berjalan lancar. Terkadang Pak Armansyah menawarkan kepada pasangan yang akan bercerai ini untuk merundingkan keputusan tersebut dengan keluarga, karena Pak Armansyah menilai, keluarga merupakan orang terdekat dari pasangan tersebut. Setelah berunding dengan keluarga barulah Pak Armansyah memediasi pasangan tersebut. Ada juga yang setelah berunding dengan keluarganya masing – masing, namun mereka masih tetap enggan untuk berbaikan, sehingga Pak Arman pun memulai proses mediasi. Setelah mediasi pertama pun tidak jarang ada beberapa pasangan yang masih enggan untuk berbaikan, sehingga menyebabkan proses mediasi yang terus berluang. Proses mediasi yang berulang – ulang pun dapat menghambat keberhasilan proses mediasi, dikarenakan proses yang terus terulang dapat membuat pasangan yang dimediasi tersebut jenuh dan putus asa karena merasa sudah tidak ada lagi titik tengahnya.

“ Ada pernah itu mediasinya ditunda sampai beberapa kali. Bagaimana kalau kalian mediasi dulu ke keluarga di rundingkan dulu ‘iya Pak’ pulang lagi mereka tapi belum baikan ini, seminggu kemudian dimediasi lagi gak juga, ya diulang lagi mediasinya, pernah ada yang begitu dan akhirnya ngga berhasil juga”

Informan IV

Nama : Drs. Said Safnizar, MH

Tangal Wawancara : 10 April 2015

Tempat : Ruang Wakil Ketua Pengadilan Agama Kisaran

Menjadi mediator bukanlah hal yang mudah dilakukan, dibalik usaha yang telah dilakukan untuk membantu para pihak yang di mediasi meyelesaikan masalah dan mencari jalan keluarnya, akan timbul pertanyaan tentang kebehasilan mediasi untuk menunjukkan kredibilitas seorang hakim. Menurut Pak Said mediasi masalah perceraian sangan sulit keberhasilannya karena mediasi masalah perceraian menyangkut soal perasaan para pihak yang di mediasi. Pak Said merasa bersyukur ketika ia berhasil memediasi masalah perceraian, namun dibalik itu ada rasa kekhawatiran ketika mereka kembali ke lingkungannya dan timbul kembali masalah yang sama, semakin buruk ketika mereka mengajukan lagi gugatan ke pengadilan.

“Kadang timbul pertanyaan berapa yang berhasil, mediasi itu sulit berhasilnya karena menyagkut soal hati dan perasaan. Jadi kalau mediasi itu berhasil ya kita bersyukur kan. Tapi nanti kalau dia udah kembali ke lingkungannya mulailah lagi masalah – masalah itu muncul kan tidak mungkin baik terus. Ada nanti yang udah baik 4 atau 5 bulan udah ribut lagi ngajukan lagi.”

Bagi seorang mediator ia perlu untuk membangun persepsi pada para pihak yang di mediasi bahwa mediasi ini penting, meskipun beberapa pasangan merasa enggan untuk melakukannya karena telah di mediasi di keluarganya. Hal ini banyak terjadi di kampung, karena ikatan kekeluargaan masih kuat. Sehingga jika ada masalah dalam rumah tangganya, biasanya akan di damaikan di kampung oleh keluarga hingga kepala lingkungan. Sehingga jika mediasi di kampung gagal dan meraka memutuskan untuk mengajukan gugatan ke pengadilan, oleh karena itu meraka merasa tidak perlu lagi melakukan mediasi di pengadilan.

“Kadang ada yang datang dari kampung bilang kami udah di mediasi pak di kampung, ya disini harus tetap di mediasi lagi.”

Menurut Pak Said keadaan ruang mediasi yang nyaman akan membuat suasana rileks dan santai, seharusnya suasana ruang mediasi tidak boleh memperlihatkan suasana kantor, jika para pihak yang di mediasi memasuki ruang mediasi ia seperti istrahat sebentar dari pikirannya. Jika suasana rileks dan dan sejuk maka akan memperngaruhi perasaan para pihak yang di medeiasi sehingga dia lebih mudah untuk bercerita. Namun di Pengadilan Agama Kisaran ruang mediasi belum sesuai dengan yang diharapkan, ini karena tidak ada anggaran dari

Universitas Sumatera Utara Mahkamah Agung untuk ruang mediasi jadi mengubah ruang mediasi ini merupakan inisiatif pengadilan.

“Jadi saya kalau di sigli itu, saya buat ruang mediasinya dindingnya gambar gambar pedesaan gambar orang disawah, ada AC, dindingnya tertutup semua, di dinding gambar di kampung ada gambar anak bermain sama ayahnya, gambar anak lagi lari lari, ada kayak gtu disana, dan di aceh budayanya mereka tidak duduk di kursi jadi lesehan. Jadi mediasi itu ruangannya gak boleh menampakkan kantor, jadi ketika orang masuk situ dia harus sejuk, karena kalau masuk ke ruang sidang ini sakit kepala dia terutama takut sama hakim, yang kedua marah. Tapi kalau dia masuk ke ruang mediasi seakan akan dia seperti istirahat sebentar, sebenarnya mahkamah agung tidak ngasih anggaran ke kita jadi kita usaha sendiri. Jadi begitu lah seharusnya ruang mediasi itu. Jadi kalau di Amerika di Australi dia di sediakan minum jadi kalau orang kesitu gak terasa kalau di kantor jadi kalau orang masuk pun rileks. Jangan kayak disini pakai kipas angin aja udah. Kan kayak gitu kan. Jadi harus memang sejuk suasanya. Jadi memang ada kadang kadang pengadilan yang inisiatif membuat ruangan itu senyaman mungkin bagi orang mediasinya.”

Tabel 4.5 Klasifikasi Hambatan – Hambatan yang dihadapi Hakim Pengadilan Agama Kisaran dalam Melakukan Mediasi

Tujuan Penelitian

No. Nama Informan Hambatan – Hambatan yang dihadapi Hakim Pengadilan Agama Kisaran dalam Melakukan Mediasi

1 Wafa’, S.Hi 1. Perbedaan tanggapan dari pihak yang di

mediasi.

2. Emosi yang kurang bisa di kendalikan oleh

para pihak yang di mediasi.

3. Terbawa perasaan sebagai perempuan ketika

memediasi.

4. Para pihak yang akan di mediasi tidak

mengetahui apa sebenarnya mediasi

5. Prasangka yang buruk terhadap pasangannya.

2 Hj. Wardiyah, 1. Terkadang ada salah satu pasangan yang

S.Ag 2. Emosi salah satu pihak yang tidak terkendali sehingga marah – marah saat dimediasi

3. Selalu memotong atau membantah pernyataan

dari pihak yang lainnya saat membuat pernyataan

4. Mediasi di wakilkan oleh kuasa hukum.

3 H. Armansyah,

Lc. MH

1. mediasi lebih banyak melibatkan perasaan sehingga untuk mediasi perceraian lebih sulit di bandingkan perkara lain

2. Konflik dan Amarah yang mewarnai jalannya komunikasi dalam mediasi juga dapat menghambat proses mediasi

3. Proses mediasi yang secara terus menerus terulang mudah membuat pihak yang dimediasi merasa jenuh dan putus asa.

4 Drs. Said

Safnizar, MH

1. Mediasi perceraian sulit di damaikan karena

menyangkut perasaan.

2. Pasangan yang akan bercerai enggan dimediasi

di pengadilan karena merasa sudah dimediasi oleh keluarga dan lingkungan sekitarnya.

3. Ruang mediasi yang kurang memadai

Sumber : Hasil Wawancara dan Pengamatan Penenliti

Informan Tambahan

1. Epy Wahyuni

Suami : Ajianto

Usia : 31 Tahun

Pendidikan : SMA

Anak : 1. Zivy Muhammad Fathin

Universitas Sumatera Utara

2. Suryani

Suami : Azrai

Usia : 39 Tahun

Pendidikan : SD

Anak : 1. Nur Sya’adah 2. Arba’in

Status : Cerai Talaq

3. Marina Setiawati

Suami : Muhammad Faisal Sinaga

Usia : 28 Tahun

Pendidikan : S1

Anak : 1. Meisya Anindya Naufal

Status : Cerai Gugat

Informan Tambahan 1

Nama : Epy Wahyuni

Tanggal Wawancara : 29 April 2015

Pukul : 11.51 WIB

Tempat : Ruang Tunggu Sidang Pengadilan Agama Kisaran

Peneliti bertemu dengan kak epy di PA Kisaran, kak epy merupakan informan tambahan pertama yang peneliti wawancara.Pada awalnya peneliti dikenalkan oleh salah satu pegawai PA Kisaran, karena setelah hampir tiga minggu peneliti belum menemukan orang yang bersedia untuk di wawancara.Peneliti telah janji bertemu di pengadilan untuk wawancara sembari menunggu panggilan sidang kak epy.

Melalui pembicaraan yang peneliti lakukan dengan kak epy peneliti mengetahui kak epy memiliki seorang anak laki – laki bernama Zivy Muhammad Fathinhasil dari pernikahannya dengan suaminya. Kak epy telah menikah sejak januari 2009.Setelah 6 tahun pernikahan kak epy mengajukan gugatan perceraian

ke Pengadilan Agama Kisaran Karena masalah rumah tangga yang sudah tidak bisa di selasaikan.Saat ini untuk membiayai hidup anaknya kak epy bekerja di sebuah toko yang menjual keramik.

Hingga proses perceraian berlangsung, suami kak epy juga masih sering menelepon juga sms untuk membujuk agar kak epy mengubah keputusannya. Kak epy juga menunjukkan isi sms yang di terima dari suaminya kepada peneliti.Tidak jarang suami kak epy menunggu di pinggir jalan untuk melihat kak epy lewat saat pulang kerja dan memastikan bahwa kak epy pulang sendirian.

Sambil menunggu waktu sidang kak epy bercrita tentang pengalamannya, masalah di dalam rumah tangganya semakin pelik karena suaminya sudah tidak lagi menafkahi kak epy dan anaknya karena malas bekerja.Sementara kebutuhan rumah tangga sudah tidak bisa di tutupi dengan pengahasilan kak epy.Setelah menunggu selama tiga tahun akhirnya kak epy mengajukan gugatan ke pengadilan. Pada saat wawancara kak epy membertitahu kalau pada hari ini adalah sidang ketiganya, pada hari itu kak epy di minta membawa saksi, sambil menunggu wawak (abang ibunya kak epy) untuk menjadi saksi, pada saat di telepon wawaknya sedang berada dirumah sakit menunggu istrinya yang baru selesai di operasi. Namun hingga panggilan sidang kak epy, wawaknya tidak kunjung datang sehingga sidangnya harus di tunda.

Kak epy menjalani mediasi di pengadilan karena suaminya tidak ingin bercerai dengan alasana masih cinta kepada kak epy dan anaknya, namun ia tidak menunjukkan tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga. Kak epy juga

Dokumen terkait