• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III UPAYA YANG DILAKUKAN PEMKOT SURABAYA TERHADAP

4.1 Hambatan Internal

Dalam melaksanakan suatu kebijakan, khususnya kebijakan dalam penataan pedagang kaki lima pasti tidak terlepas dari adanya hambatan-hambatan yang dapat menghalangi bagi terlaksananya suatu kebijakan secara efektif, sehingga pelaksanaan kebijakan sector informal PKL belum terlaksana sesuai yang diharapkan. Salah satu hambatan internal dalam penataan pedagang kaki lima yakni Ketersediaan Lahan dan Kurang Tegasnya Sikap Pemkot Kota Surabaya.

4.1.1 Ketersedian Lahan

Hambatan lain yang cukup signifikan untuk disebut adalah ketersediaan lahan yang diperuntukkan bagi upaya relokasi bagi para Pedagang Kaki Lima. Sebagaimana pernah terjadi salah satu upaya persoalan yang kerapkali dikemukakan oleh Pedagang Kaki Lima ketika dilakukan tindakan penertiban adalah persoalan relokasi. Tidak jarang mereka mengharapkan adanya upaya penanganan dan penataan yang bijaksana dari pihak Pemerintah Kota Surabaya agar relokasi

yang dilakukan memberikan prospek yang bagus bagi perkembangan usaha mereka. Permasalahan yang muncul berikutnya adalah sulitnya menyediakan lahan karena keterbatasan ruang yang ada di tiap wilayah Kecamatan atau Kelurahan. Di samping itu mempertemukan kepentingan dan aspirassi tentang lokasi antara Pedagang Kaki Lima dan pihak Pemerintah Kota Surabaya tentu tidaklah mudah. Oleh sebab itu perlu adanya pemikiran jernih dan perencanaan yang tepat melalui kegiatan-kegiatan diskusi yang intens dengan berbagai pihak agar ketika relokasi dilakukan sesuai dengan kepentingan dan aspirasi PKL

4.1.2 Kurang Tegasnya Sikap Pemkot Surabaya

Pemerintah Kota Surabaya yang kurang bersikap tegas dalam memberikan sanksi bagi Pedagang Kaki Lima yang melanggar aturan-aturan yang ada dalam Perda No.17 Tahun 2003, khususnya pada pasal 10 dan pasal 11 yang isinya :

1. Pasal 10 : Pelanggaran terhadap ketentuan pasal 2 ayat 5, pasal 4 ayat 1, pasal 5 dan pasal 6, Kepala Daerah berwenang memberikan peringatan-peringatan dan atau membongkar sarana usaha dan atau mengeluarkan barang dagangan yang dipergunakan untuk usaha PKL dari fasilitas umum yang dikuasai oleh Pemerintah Daerah.

2. Pasal 11 : Setiap orang yang melanggar ketentuan pasal 2 ayat 5, pasal 4 ayat 1, pasal 5 dan pasal 6 dalam Peraturan Daerah ini diancam dengan pidana kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan dan atau denda sebanyak-banyak Rp. 5.000.000

4.2 Hambatan Eksternal

Dalam melaksanakan suatu kebijakan, khususnya kebijakan dalam penataan pedagang kaki lima pasti tidak terlepas dari adanya hambatan-hambatan yang dapat menghalangi bagi terlaksananya suatu kebijakan secara efektif, sehingga pelaksanaan kebijakan sector informal PKL belum terlaksana sesuai yang diharapkan. Salah satu hambatan eksternal dalam penataan pedagang kaki lima yakni Persoalan Data atau Identifikasi Pedagang Kaki Lima dan Kurangnya Keterlibatan Antar Stakeholder.

4.2.1 Persoalan Data atau Identifikasi Pedagang Kaki Lima

Salah satu hambatan penting yang perlu di kemukakan dalam

upaya penataan Pedagang Kaki Lima (PKL) adalah Persoalan Data yang tersedia. Untuk mengetahui tentang darimana asal Pedagang Kaki Lima (PKL) yang menempati Ruang Terbuka Hijau (RTH), berapa omzetnya, berapa kemampuan mereka membayar retribusi, bahkan data tentang jumlah yang pasti tentang Pedagang Kaki Lima yang menempati seluruh area Ruang Terbuka Hijau yang ada di wilayah Surabaya Timur ini pun belum ada catatan pasti. Padahal, jika upaya penataan terhadap Pedagang Kaki Lima benar-benar hendak dilakukan secara terarah, maka langkah awal yang perlu dilakukan adalah melakukan identifikasi tentang jumlah Pedagang Kaki Lima yang ada, wilayah sebaran serta yang berkaitan dengan kondisi Pedagang Kaki Lima itu sendiri.

Informasi ini penting selain untuk memperjelas arah dan pola penataan juga untuk mempertegas sasaran pembinaan dan wilayah persebarannya. Bagaimana pun juga upaya untuk melakukan penataan Pedagang Kaki Lima secara efektif dan efisien salah satunya ditentukan oleh ketepatan sasaran.

4.2.2 Kurangnya Keterlibatan Antar Stakeholder

Sejauh ini keterlibatan atau partisipasi antar stakeholder yang terdiri dari Pemerintah, Masyarakat serta Pihak Swasta dalam menangani Pedagang Kaki Lima nampaknya masih belum maksimal. Selama Ini, ada kesan bahwa pihak yang bertanggungjawab dalam upaya penataan pedagang kaki lima hanyalah Pemerinta Kota Surabaya, sementara keterlibatan Masyarakat dan pihak Swasta belum terlalu menonjol, bahkan nyaris tidak ada. Kiranya sensitivitas Masyarakat dan pihak Swasta sangat diperlukan.

Kesadaran bahwa masalah pedagang kaki lima merupakan problema bersama dan oleh karena perlu dilakukan penataan secara lebih baik agar eksistensi pedagang kaki lima benar-benar fungsional sebagai bagian dari kehidupan ekonomi di Kota. Tidak seperti terlihat sekarang ini oleh pihak swasta pedagang kaki lima kerapkali dipandang sebagai penyebab kekumuhan dan kesemrawutan serta mengganggu aktifitas ekonomi mereka, tetapi di saat yang sama mereka tampaknya tidak memiliki keinginan untuk memberikan kontribusi pemikiran dan dukungan financial bagi upaya penanganan

yang lebih manusiawi. Misalnya pihak Pengusaha Mall memberikan fasilitas bagi Pedagang Kaki Lima (PKL), sebab seringkali keberadaan Pedaganng Kaki Lima sangat dibutuhkan para pegawai Mall yang berpenghasilan relative terbatas pada saat jam-jam tertentu.

BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan

a. Pedagang Kaki Lima tidak mengindahkan aturan perda no.7 tahun 2002 dan tetap melakukan aktifitas berjualan.

b. Pedagang Kaki Lima lebih menginginkan penataan yang berkonsep relokasi ketempat yang strategis, rombongnisasi, tendanisasi, dan pembuatan sentra pedagang kaki lima.

c. Sampai saat ini Pemerintah Kota kesulitan mencari lahan yang peruntukkannya sebagai relokasi pedagang kaki lima

d. Kurangnya keterlibatan dari Pihak Swasta dalam peran serta penataan pedagang kaki lima,

5.2 Saran

a. Di tengah situasi dan kondisi lahan kota besar seperti Surabaya yang relatif terbatas, sudah barang tentu perkembangan Pedagang Kaki Lima tidak bisa dibiarkan lepas kendali, melainkan pelu ditata sedemikian agar tidak mengganggu ketertiban dan keindahan Ruang Terbuka Hijau sebagai ruang publik.

b. Ke depan ada baiknya jika pihak Eksekutif dan Legislatif Kota Surabaya segera menyusun Perda yang mengatur peran serta Swasta dalam upaya penataan Pedagang Kaki Lima (pkl),

c. Untuk mengeliminasi perkembangan jumlah pedagang kaki lima yang berlebihan di Kota Surabaya, ada baiknya jika Pemkot Surabaya mencoba mengembangkan semacam mekanisme deteksi dini yang efektif melalui keterlibatan dan peran aparat di tingkat Kelurahan dan Kecamatan,

d. Bagi pedagang kaki lima yang menempati sekitar Ruang Terbuka Hijau yang masih memugkinkan untuk ditoleransi, maka kebijakan penataan yang realities adalah dengan konsep rombongnisasi atau tendanisasi, e. Ke depan, agar koordinasi antar dinas benar-benar tercipta, sselain

dibutuhkan pembagian kerja yang jelas, juga dibutuhkan konsistensi antara kebijakan dan aturan hukum yang berlaku dengan implementasinya di lapangan.

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Alisjahbana. Sisi Gelap Perkembangan Kota. LaskBang PRESSindo. Yogyakarta

2005.

A.Masyur Effendi dan Taufani S. Evandri. Dalam Dimensi/ Dinamika Yuridis,

Sosial, Politik, dan Hak Asasi Manusia Dalam Masyarakat.Ghalia Indonesia. 2007.

Badan Perencanaan Pembangunan Kota. Upaya Penataan Pedagang Kaki Lima

Di Kota Surabaya. Pemkot Surabaya. 2003.

Evers Hans-Dieter & Rudiger Korft, Urbanisasi di Asia Tenggara, Makna dan Kekuasaan Dalam Ruang-Ruang Sosial.Yayasan Obor Indonesia, Jakarta 2002.

Ikhwan Beladdinilma. Konsep Pengembangan Taman Kota.Tugas Akhir.ITS, Surabaya,2009. 

Irwan,Zoer’aini. Tantangan dan Lansekap Hutan Kota. Bumi Aksara, Jakarta.2005.  John Portman.The American Institute Of Architects, The American Institute Of

Architects Press, 1990.

Kartono K, dkk. Pedagang Kaki Lima.Universitas Katolik Parahyangan,Bandung,1980.

Rinawati, Tri J. Penerapan Arahan Kebijaksanaan Ruang Terbuka Hijau menurut

Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), Tesis MPK-ITS. Surabaya,2002.

Sarjono Soekamto dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan

Singkat), Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1983.

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum. Cetakan III, Universitas

Peraturan PerUndang-Undangan :

Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Ruang Terbuka Hijau.

Undang-Undang Republik Indonesia No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.

Imendagri No. 14 Tahun 1988 Tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau Di Wilayah Perkotaan.

Perda Kota Surabaya No. 17 Tahun 2003 Tentang Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima.

Perda Kota Surabaya No. 7 Tahun 2002 Tentang Pengelolaan Ruang Terbuka Hijau.

Perda Kota Surabaya No. 10 Tahun 1987 Tentang Pengaturan Tempat Usaha dan Pembinaan Sektor Informal.

Keputusan Walikota Surabaya No. 34 Tahun 2005 Tentang Penetapan Lokasi, Waktu Kegiatan, Jumlah Pedagang Kaki Lima, dan Barang yang di Perdagangkan pada Usaha Pedagang Kaki Lima Di Kota Surabaya.

Lain – Lain :

Norma Standart Pedoman Manual Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan Tahun 1987.

Kitab Suci Al Qur’an Al Furqan (25) : 24, Ibrahim (14) : 23, Ar R’ad (13) : 35

Indrati Rini. Handout Metode Penelitian Hukum. Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional ”veteran” Jawa Timur

 

Majalah :

Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya. Dinas Pertamanan Daerah. Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau. 1995.

Dokumen terkait