• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KEBERADAAN PEDAGANG KAKI LIMA DI RUANG TERBUKA

C. Jenis Barang Dagangan

Mengingat latar belakang dan keadaan Pedagang Kaki Lima (PKL) serta motivasi kegiatan usaha mereka, maka wajar apabila barang dagangan yang dijualnya sangat bervariasi. Namun hamper semua jenis barang dagangan yang dijualbelikan oleh Pedagang Kaki Lima yang menempati Ruang Terbuka Hijau (RTH) bernilai ekonomis atau murah. Dengan memiliki modal dan ketrampilan yang sangat terbatas, mereka berjualan seadanya saja yang mudah diperoleh serta dijual kembali. Jenis barang dagangan yang diperjualbelikan sangat bervariasi mulai dari makanan yang berupa pentol, pecel, jagung bakar, soto ayam ataupun daging dan bakso,dan minuman, pakaian, rokok, persewaan rental mobil mini, mainan anak-anak, dokar.

d. Waktu Kegiatan/Berjualan

Sesuai dengan prinsip kegiatan usaha yang dilakukan oleh Pedagang Kaki Lima agar barang dagangannya laku yaitu adanya orang-orang berkerumun atau berkelompok yang melakukan aktifitas baik itu pagi hari maupun siang hari diharapkan pembeli membeli barang dagangannya, Dengan demikian maka yang terjadi ialah pada saat lalulalangnya orang-orang di sekitar ruang tebuka hijau atau taman kota, pada saat itu pula Pedagang Kaki Lima melaksanakan kegiatan-kegiatannya, sehingga keadaan menjadi semakin padat dan sesak bahkan sampai menimbulkan kemacetan yang ditimbulkan oleh pedagang kaki lima yang sampai memakan badan bahu jalan.

Saat-saat sibuk terutama pada pagi hari, Namun kenyataannya secara keseluruhan kegiatan Pedagang Kaki Lima (PKL) dapat ditemukan selama 24 jam. Dalam rangka upaya membatasi atau mengurangi kepadatan lokasi-lokasi tersebut, maka pemerintah daerah telah mengatur waktu-waktu kegiatan dan tempat-tempat sebagaimana yang diatur dalam Surat Keputusan Walikota Nomor 188.45/70/436.1.2/2006. Adanya solusi yang diberikan oleh Pemerintah Kota Surabaya sesuai dengan Surat Keputusan tersebut maka waktu yang diberikan oleh para Pedagang Kaki Lima (pkl) pada jam 18.00 sampai dengan jam 05.00 WIB. Pada kenyataannya di lapangan banyak Pedagang Kaki Lima yang melanggar dan waktu berjualan tidak teratur, terkesan kumuh atau cenderung seenaknya saja. Hal inilah yang menjadi tugas dan tanggungjawab dari Satuan Polisi Pamong Praja (SATPOL PP) Kota Surabaya untuk menertibkan Pedagang Kaki Lima yang melanggar Perda tersebut. Hal tersebut sesuai dengan hasil wawancara dengan Kepala Bagian Tata Usaha Dinas Koperasi dan Sektor Informal, Bapak Sapto Hadi, Solusi jam kegiatan Pedagang Kaki Lima (PKL) sudah ada yaitu dari jam 18.00 sampai dengan jam 05.00 WIB, namun itu teorinya, prakteknya ya yang ada dilapangan bisa lihat sendiri kenyataannya. Kalau adan yang melanggar itu tugasnya Satpol PP yang menertibkannya.15

      

15

hasil wawancara dengan Kepala Bagian Tata Usaha Dinas Koperasi dan Sektor Informal

e. Alat Peraga

Yang dimaksud dengan alat peraga ialah segala macam dan bentuk alat atau sesuatu benda yang dipergunakan sebagai alat untuk menjual atau menjajakan barang, makanan dan minuman oleh para Pedagang Kaki Lima (PKL). Bentuk serta jenis alat peraga kegiatan usaha Pedagang Kaki Lima sangat bervariasi, namun dapat dibedakan dalam dua (2) jenis yang penting yaitu :

1. Bersifat menetap (tidak dapat digerakkan),

Seperti : meja atau tanpa tempat duduk maupun dengan tempat duduk dan seringkali dilengkapi dengan alat peneduh (atap dari terpal atau gubuk. Alat peraga jeni ini sangat dilarang untuk dipergunakan.

2. Bersifat mobil (memiliki roda), mudah digerakan atau didorong

untuk sewaktu-waktu dapat dipindahkan, karena alat peraga ini memang semacam kereta dorong yang dimodifikasikan menjadi rombong berjalan.

Bahwa akibat dari keterbatasan dana, kesederhanaan cara berpikir dan berbuat dalam melaksanakan kegiatan usaha yang dilakukan oleh pedagang kaki lima yang berjualan disekitar ruang terbuka hijau, maka sarana atau alat sebagai tempat berjualan yang dipergunakan oleh Pedagang Kaki Lima untuk menggelar barang dagangannya sangat sederhana, baik bentuk, bahan, serta kerapiannya. Bahkan dapat dikatakan bahwa mereka menggelar barang

dagangannya dengan seadanya atau asal-asalan saja. Bagi pedagang kaki lima yang memilih kawasan berjualan di Ruang Terbuka Hijau sebagai tempat mereka berjualan, sudah barang tentu bukan tanpa alasan.

Salah satu pertimbangan utama memilih kawasan Ruang Terbuka Hijau (RTH) sebagai tempat usaha adalah karena potensi pembelinya yang luar biasa, meski mereka juga sadar bahwa hal itu melanggar aturan. Dengan uang dan aset yang terbatas sudag barang tentu mustahil Pedagang Kaki Lima (PKL) mampu menyewa lahan-lahan atau ruang-ruang yang resmi seperti layaknya pemilik took yang biasa berjualan di Plaza atau Mal serta Pasar Semi Modern. Satu-satunya cara yang bisa dilakukan Pedagang Kaki Lima (PKL) untuk mendekati pembeli sekaligus menggelar dagangannya, akhirnya adalah dengan berdagang atau berjualan di sekitar Ruang Terbuka Hijau, dipinggir jalan yang mengakibatkan mengganggu kelancaran arus lalu linta dan merusak estetika Ruang Terbuka Hijau tersebut. 2.2 Implementasi Perda Nomor 7 Tahun 2002

a. Perda Nomor 7 Tahun 2002 tentang Pengelolaan Ruang Terbuka Hijau

1. Pasal 1,

Ketentuan Umum yang berbunyi sebagai berikut:

1) Daerah adalah Kota Surabaya

2) Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Kota Surabaya

4) Dinas Pertamanan adalah Dinas Pertamanan Kota Surabaya 5) Jalur Hijau adalah jalur tanah terbuka yang meliputi taman,

lapangan olahraga, taman monument dan taman pemakaman yang pembinaan, pengelolaan dan pengendalian yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan rencana kota.

6) Taman adalah ruang terbuka dengan segala kelengkapan

yang dipergunakan dan dikelola untuk keindahan dan antara lain sebagai paru-paru kota,

7) Kawasan adalah suatu area yang dimanfaatkan untuk

kegiatan tertentu dengan fungsi utama,

8) Ruang Terbuka Hijau adalah ruang kota yang berfungsi

sebagai Kawasan Hijau Pertamanan Kota,Kawasan Hutan Kota, Kawasan Rekreasi Kota, Kawasan Jalur Hijau. 2. Pasal 2

Perencanaan, yang berbunyi sebagai berikut :

1) Perencanaan Ruang Terbuka Hijau merupakan bagian dari

rencana tata ruang yang telah ditetapkan dan dilakukan dengan mempertimbangkan keserasian, keselarasan, dan keseimbangan fungsi lingkungan

3) Dinas Pertamanan berkewajiban menjabarkan perencanaan

dalam bentuk rancangan/desain yang dapat digunakan sebagai dasar dalam Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau. 3. Pasal 4

2) Setiap orang atau badan dapat melakukan pengelolaan dan

pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau atas izin dari Kepala Daerah.

4. Pasal 9

Dalam rangka pembinaan dan pengelolaan Ruang Terbuka Hijau, Pemerintah Daerah berkewajiban mewujudkan, menumbuhkan, mengembangkan dan meninngkatkan kesadaran, tanggungjawab dan kemitraan semua pihak baik pejabat Pemerintah Daerah, Swasta, dan Masyarakat dalam upaya pengelolaan dan pelestarian Ruanng Terbuka Hijau.

5. Pasal 10

1) Guna pengendalian, pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau,

setiap usaha atau kegiatan oleh dan/atau untuk kepentingan perorangan atau badan yang memakai lokasi Ruang Terbuka Hijau tidak boleh menyimpang dari fungsinya dan harus memperoleh izin dari Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

6. Pasal 14

1) Barang siapa memanfaatkan Ruang Terbuka Hijau tanpa

memperoleh izin sebagaimana dimaksud pada pasal 4 ayat (2) dan pasal 10 ayat (1) maka orang atau badan tersebut harus menghentikan, mengosongkan dan mengembalikan sesuai keadaan semula atas beban yang bersangkutan.

2) Dalam hal ketentuantersebut tidak dipenuhi maka Kepala

Daerah atau Pejabat yang ditunjuk berwenang melaksanakan penghentian kegiatan secara paksa, pengosongan lokasi Ruang Terbuka Hijau dan mengembalikan sesuai dengan keadaan semula.

b. Kenyataan dalam Lapangan (prakteknya)

Sekitar 1 bulan lebih penulis melakukan penelitian dibeberapa Ruang Terbuka Hijau (RTH) khususnya di kawasan Surabaya Timur, menemukan tindakan pelanggaran dan perilaku masyarakat ekonomi bawah yang dengan sengaja memanfaatkan Ruang Terbuka Hijau tersebut untuk melakukan aktifitas berjualan sebagai pedagang kaki lima, khususnya pada jam-jam tertentu mulai pukul 18.30-22.00 WIB mulai melakukan aktifitas sehari-hari sebagai pedagang yang menjual aneka dagangannya dari penjual makanan, mainan, minuman bahkan sampai ada pula yang memakan badan bahu jalan seperti jasa naik dokar yang mengelilingi sekitar Ruang Terbuka Hijau tersebut seperti yang terjadi di Taman Sulawesi dan Taman Lansia yang berada

dijalan Sulawesi dan Jalan Kalimantan yang dahulunya merupakan bekas tempat pengisisan bahan bakar, meskipun sudah jelas aturannya bahwa pemanfaatan ruang terbuka hijau tidak boleh menyimpang dari fungsinya yang sesuai dengan bunyi pasal 14 ayat 1, barang siapa memanfaatkan Ruanng Terbuka Hijau tanpa izin maka orang atau badan tersebut harus menghentikan, mengosongkan dan mengembalikan sesuai dengan keadaan semula, akan tetapi masyarakat khususnya ekonomi bawah seakan tidak peduli dengan aturan tersebut.

menurut penuturan salah satu pedagang kaki lima yang (namanya minta untuk dirahasiakan) menempati ruang terbuka hijau tersebut bahwa darimana lagi saya akan mencari uang kalau tidak dengan berjualan disekitar ruang terbuka hijau, hanya untuk makan sehari-hari saja sulit16.

Bagi kebanyakan pedagang kaki lima, tidak peduli apakah yang mereka lakukan itu melanggar hukum atau tidak, tetapi yang terpenting bagi mereka bisa berjualan dan menempati lahan usaha sesuai kepentingan mereka.

Para pedagang kaki lima merupakan warga kota, baik yang merupakan penduduk tetap ataupun pendatang / musiman. Dengan demikian semakin bertambah besarnya jumlah penduduk, ternyata menjadi semakin besar pula jumlah pedagang kaki lima yang menempati sebagian ruang terbuka hijau. Sementara itu, keadaan kota juga semakin padat, baik padatnya lalu lintas berbagai jenis kendaraan maupun oleh semakin padatnya para pejalan kaki. Kenyataan itulah       

16

yang menyebabkan semakin semrawutnya keadaan Kota Surabaya khususnya didaerah Surabaya Timur yang banyak sekali Ruang Terbuka Hijau yang ditempati oleh para Pedagang Kaki Lima (pkl). Sebagaimana yang dikemukakan oleh Kepala Dinas Koperasi dan Sektor Informal Kota Surabaya, Bapak Hadi Mulyono,

PKL ya mempunyai potensi tapi keberadaan mereka juga mengganggu. Apalagi mereka menggunakan trotoar-trotoar untuk pejalan kaki bahkan ada yang sampai memakan sebagian badan bahu jalan. Kita sudah berusaha memandang PKL untuk dibina bukan dibinasakan. Dengan pertimbangan tidak mengganggu arus lalu lintas, karena tugas kami juga adalah dengan mengembalikan fungsi jalan yang telah dipakai oleh pkl.17

Bahwa selain memiliki potensi, keberadaan PKL juga membawa permasalahan bagi kota Surabaya. Namun untukmenghadapi kenyataan sebagai akibat dari keberadaan Pedagang Kaki Lima yangmenimbulkan berbagai gangguan kehidupan kota, seperti gangguan kebersihan, Ketertiban dan keindahan kota, Pemerintah Kota Surabaya telah mengeluarkan peraturan daerah, Keputusan / Instruksi Walikota dan sebagainya yang mengatur kegiatan usaha Pedagang Kaki Lima yang mencangkup mengenai izin usaha, penentuan lokasi, waktu, alat peraga berjualan serta operasi-operasi penertibannya. Salah satu upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Surabaya adalah dengan melakukan pembinaan dan pemberdayaan pedagang kaki lima. Pedagang Kaki Lima (PKL) merupakan usaha perdagangan sektor informal yang perlu       

17

 hasil wawancara dengan kepala Dinas Koperasi dan Sektor Informal Kota Surabaya pada

tanggal 10 Mei 2011

diberdayakan agar menunjang pertumbuhan perekonomian masyarakat dan sekaligus sebagai salah satu pilihan dalam penyediaan barang dagangan yang dibutuhkan oleh masyarakat dengan harga yang relatif terjangkau.

Pembinaan dan pemberdayaan pedagang kaki lima mempunyai maksud yaitu untuk memberikan kepastian usaha, perlindungan serta mengembangkan usaha pedagang kaki lima yang tertib, aman, selaras dan serasi serta seimbang dengan lingkungannya. Tujuan dari pembinaan dan pemberdayaan pedagang kaki lima yaitu mewujudkan pedagang kaki lima sebagai usaha kecil yang berhak mendapat perlindungan dan pembinaan, sehingga dapat melakukan kegiatan usahanya pada lokasi yang ditetapkan sesuai peruntukkannya dengan kriteria yang ditetapkan, tetapi implementasinya di lapangan ternyata tak semudah yang tertulis dalam peraturan, banyak kebijakan penataan kota yang diterapkan tidak mencapai hasil yang diharapkan.

Dokumen terkait