• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. ANALISIS STRUKTUR-PERILAKU-KINERJA INDUSTRI SUSU DI INDONESIA INDUSTRI SUSU DI INDONESIA

5.1 Analisis Struktur Industri Susu

5.1.2 Hambatan Masuk Pasar

Sebelum kebijakan persusuan di Indonesia dihapuskan, ada anggapan bahwa kebijakan tersebut akan menghambat masuknya perusahaan-perusahaan susu baik lokal maupun asing untuk masuk dan menanamkan modalnya dalam industri susu. Sejak tahun 1978 yang merupakan tonggak dari kebijakan proteksi produksi susu dalam negeri, pemerintah terus menerbitkan peraturan mengenai persusuan di Indonesia, salah satunya melalui mekanisme Bukti Serap dan penghitungan rasio susu. Selain itu, kebijakan susu mengenai tarif bea masuk impor susu dan pelaku Importir Terbatas (IT) pun ditetapkan pemerintah sebagai salah satu cara untuk membatasi impor susu.

Dalam rangka reformasi dan restrukturisasi perekonomian nasional yang bertujuan untuk meningkatkan efesiensi dan efektivitas industri susu nasional dan kelancaran arus barang, pemerintah kemudian menetapkan Keppres mengenai mekanisme rasio penyerapan susu dinyatakan tidak berlaku lagi. Selanjutnya mekanisme perdagangan susu nasional dilakukan berdasarkan mekanisme pasar. Akan tetapi pada kenyataannya, mekanisme pasar tidak sesuai dengan kenyataannya dimana kesepakatan yang terjadi adalah kesepakatan antara produsen susu. Dalam mekanisme pasar, pemerintah tentu saja tetap menjadi regulator terhadap perkembangan industri susu. Pemerintah dapat mengawasi perkembangan industri susu agar tidak terjadinya iklim persaingan yang tidak sehat, untuk menjaga perilaku-perilaku pasar yang dapat mengeksploitasi pasar. Pemerintah membuka lebar persaingan yang terjadi dalam industri susu di Indonesia. Kesempatan ini menyebabkan perusahan-perusahaan baru lebih mudah untuk masuk dalam industri susu. Dalam persaingan ini, tentu saja hanya pesaing potensial saja yang dapat menguasai pangsa pasar susu.

Untuk mempertahankan keberadaan perusahaan susu dalam industri susu, para competitor harus memiliki Minimum Efficiency Scale (MES). Penghitungan MES didapatkan dari perbandingan output perusahaan terbesar dengan output total. Pada Tabel 14, Skala Efisiensi Minimum industri susu tahun 1998 sampai 2002 cenderung mengalami fluktuasi. Pada tahun 1998, MES industri susu sebesar 26,87 persen. Di tahun berikutnya MES industri susu mengalami kenaikan hingga senilai 38,75 persen. Pada tahun 2000 MES industri susu cenderung menurun pada nilai 21,35 persen, begiu pula pada tahun berikutnya menjadi 15,22

persen. Pada tahun 2002 MES industri susu mengalami kenaikan yang tidak begitu besar yaitu 20,27 persen. Perubahan MES industri susu ini disebabkan oleh kondisi entry perusahaan susu ke dalam industri susu yang cukup bersaing. Selain persaingan antar perusahaan susu, ada beberapa faktor lain yang menyebabkan nilai MES industri susu mengalami naik turun, antara lain adalah biaya investasi yang besar, penguasaan teknologi atau dan tingkat produksi minimal yang tinggi. Beberapa faktor ini didukung oleh keadaan perekonomian Indonesia yang pada saat itu mengalami krisis.

Tabel 14. Skala Efisiensi Minimum Industri Susu Tahun 1998-2002

Tahun MES (%) 1998 26,87 1999 38,75 2000 21,35 2001 15,22 2002 20,27 Rata-rata 24,49 Sumber : BPS, 1998-2002

Menurut Comanor dan Wilson (1967) dalam Lubis (1997), jika MES lebih besar dari 10 persen maka hambatan masuk pada suatu industri tersebut cukup tinggi. Berdasarkan Tabel 14, dapat diketahui nilai rata-rata MES dari tahun 1998 hingga 2002 sebesar 24,49 persen. Dari nilai rata-rata MES dapat diketahui bahwa angka tersebut merupakan patokan output minimal bagi pesaing baru untuk bersaing dalam industri susu. Apabila pesaing baru memasuki industri susu dengan nilai output dibawah nilai MES, maka pesaing tersebut tidak dapat bersaing dengan perusahaan-perusahaan yang sudah eksis di industri susu tersebut. Pelaku usaha baru yang masuk dalam industri susu dengan nilai output

lebih kecil dari MES akan menanggung biaya unit yang lebih besar untuk bersaing dengan perusahaan-perusahaan yang mempunyai output besar.

Salah satu cara yang dapat dilakukan pesaing baru untuk memasuki industri susu ini adalah dengan menghasilkan output besar yang ditunjang dengan kapasitas produksi yang besar, fasilitas yang menunjang serta modal yang mencukupi. Utilitas kapasitas produksi industri susu dapat dijelaskan pada Tabel 15.

Tabel 15. Utilitas Kapasitas Produksi Industri Susu Tahun 1998-2003 Susu

Tahun Kapasitas Produksi

(Ton) Produksi (Ton) Utilitas Kapasitas Produksi (%)

1998 462 469 360 120 77,87 1999 462 469 352 902 76,31 2000 478 834 383 068 80,00 2001 489 785 411 996 82,60 2002 506 968 423 470 83,53 2003 517 107 444 644 85,99 Rata-rata 81,05 Sumber : Departemen Perdagangan, 1998-2003

Pada tahun 1998, kapasitas produksi industri susu nasional sebesar 462 469 ton dan utilitas kapasitas produksi sebesar 77,87 persen. Pada tahun berikutnya, dengan kapasitas produksi yang tetap, utilitas kapasitas produksinya berubah dengan nilai 76,31 persen. Perubahan utilitas ini disebabkan perubahan produksi susu yang menurun. Tahun 2000, kapasitas produksi meningkat menjadi 478 834 ton yang juga meningkatkan utilitasnya sebesar 80 persen. Di tahun-tahun berikutnya, kapasitas produksi yang meningkat menyebabkan peningkatan utilitasnya. Rata-rata utilitas kapasitas produksi industri susu cukup tinggi sebesar 81,05 persen.

Utilitas kapasitas produksi ini berpengaruh pada persaingan usaha dalam industri susu di Indonesia. Peningkatan utilitas kapasitas produksi perusahaan susu yang sudah ada akan mengancam keberadaan pesaing dalam industri susu. Peningkatan utilitas kapasitas produksi akan meningkatkan jumlah produk susu di pasar bahkan jumlah produk susu ini akan lebih beragam dengan inovasi-inovasi baru yang akan menarik konsumen. Dengan meningkatnya jumlah produk susu, maka akan menyebabkan para pesaing baik yang baru maupun pesaing potensial akan merasa terancam karena rasa cemas akan produknya yang kalah bersaing dengan produk lain yang sudah lebih dikenal.

Tabel 16. Struktur Biaya Input Industri Susu Tahun 1998-2002

(dalam ribuan) Tahun Biaya Input 1998 1999 2000 2001 2002 Bahan Baku dan Penolong 1 225 887 157 1 978 485 460 2 276 751 591 2 947 195 710 3 620 032 284 Bahan Bakar, Tenaga Listrik dan Gas 46 338 605 38 064 255 27 547 554 27 547 554 131 137 314 Barang Lainnya 125 172 719 205 098 636 363 865 666 553 110 509 439 878 563 Pemeliha-raan dan Jasa Industri 1 798 038 7 677 260 22 613 734 - - Sewa Gedung, Mesin dan Alat-alat 2 673 289 2 673 289 290 530 335 92 038 971 5 730 783 Jasa Non Industri 47 023 135 123 233 854 109 562 768 - - Total 1 465 082 943 2 355 300 3 090 871 648 3 626 709 108 4 196 778 944 Sumber : BPS, 1998-2002

Industri susu di Indonesia merupakan industri padat modal dimana biaya input bahan baku dan modalnya lebih besar daripada pengeluaran tenaga kerja. Selain itu, industri susu juga merupakan industri padat energi karena dalam biaya inputnya terdapat biaya untuk bahan bakar, tenaga listrik dan gas. Penjelasan biaya input dapat dilihat pada Tabel 16.

Faktor penguasaan sumber daya susu dilihat dari proses produksi susu yang dilakukan pada suatu lokasi pabrik tertentu. Penempatan lokasi pabrik didasarkan pada pertimbangan tertentu baik itu dilihat dari bahan baku yang mendukung produksi susu, biaya transportasi dan lain-lain.

5.2 Analisis Perilaku Industri Susu