• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dalam pelunasan suatu kredit antara nasabah dengan bank bahwa banyak cara dan macam yang dapat menghapuskan perjanjian, misalnya dengan cara membayar harga barang yang dibeli atau dengan jalan mengembalikan barang yang dipinjam. Bisa juga dengan jalan pembebasan hutang dan sebagainya yang sebagaimana ditentukan oleh KUHPerdata.

Adapun cara penghapusan perjanjian yang telah diatur oleh Pasal 1381 KUHPerdata. yaitu;

1. Karena pembayaran.

2. Karena penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan atau

penitipan.

3. Karena pembaharuan hutang.

4. Karena perjumpaan utang atau kompensasi.

5. Karena percampuran hutang.

6. Karena pembebasan hutang.

7. Karena musnahnya barang yang terutang.

8. Karena kebatalan atau pembatalan.

9. Karena berlakunya syarat batal.

Perjanjian dapat berakhir dengan cara seperti disebutkan dalam Pasal 1381 KUHPerdata. Namun, dalam perjanjian kredit pada umumnya dapat hapus dengan 4 (empat) cara, yaitu:

1. Pembayaran.

Artinya perjanjian kredit menjadi berakhir dengan pembayaran lunas hutang pokok beserta bunga, denda maupun biaya-biaya lainnya oleh debitur.

2. Subrogasi.

Artinya perjanjian kredit menjadi berakhir sebagai akibat adanya penggantian kedudukan dari kreditur lama kepada pihak ketiga sebagai kreditur yang baru. Jadi, segala hak-hak kreditur yang lama beralih kepada kreditur yang baru.

Berdasarkan Pasal 1401 KUHPerdata bahwa subrogasi disebutkan sebagai penggantian hak-hak si berpiutang oleh seorang pihak ke-3 (tiga) yang membayar kepada si berpiutang itu. Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa subrogasi dapat terjadi apabila ada penggantian hak-hak oleh seorang pihak ke-3 (tiga) yang mengadakan pembayaran. Pasal 1401 KUHPerdata menentukan bahwa subrogasi ini dapat terjadi dengan persetujuan:

a. Apabila si berpiutang dengan menerima pembayaran itu dari

seorang pihak ke-3 (tiga), menetapkan bahwa orang ini akan menggantikan hak-haknya si berpiutang.

b. Apabila si berpiutang meminjam sejumlah uang untuk melunasi hutangnya dan menetapkan bahwa orang yang meminjamkan uang itu akan menggantikan hak-hak si berpiutang.

3. Pembaharuan hutang (novasi).

Artinya perjanjian kredit berakhir dengan jalan mengganti hutang lama dengan hutang baru, debitur lama dengan debitur baru maupun kreditur baru. Pada umumnya pembaharuan hutang terjadi pada perjanjian kreditnya itu sendiri sehingga secara otomatis perjanjian kredit lama menjadi tidak berlaku dan diganti dengan perjanjian kredit yang baru. Yang dimaksud dengan pembaharuan hutang (novasi) adalah dibuatnya suatu perjanjian kredit yang baru untuk sebagai pengganti perjanjian kredit yang lama. Dengan demikian perjanjian kredit yang lama hapus atau berakhir. Sedangkan yang berlaku bagi bank dan

debitur adalah perjanjian kredit yang baru.47

Pasal 1413 KUHPerdata disebutkan ada 3 (tiga) jalan yang dapat dilakukan untuk suatu novasi, yaitu:

a. Apabila seseorang yang berhutang membuat suatu perikatan hutang

baru guna orang yang menghutangkan kepadanya, yang menggantikan hutang-hutangnya yang lama, dan yang dihapuskan karenanya.

47

b. Apabila seseorang berhutang baru ditunjuk untuk menggantikan orang berhutang lama, yang oleh si berpiutang dibebaskan dari perikatannya.

c. Apabila sebagai akibat suatu persetujuan baru, seorang berpiutang

baru dittunjuk untuk menggantkan orang berpiutang lama, terhadap si berhutang dibebaskan dari perikatannya.

4. Perjumpaan hutang (kompensasi).

Artinya perjanjian kredit berakhir bila hutang debitur oleh bank dikompensasikan dengan barang jaminan milik debitur.

Pada dasarnya kompensasi yang dimaksudkan oleh Pasal 1425 KUHPerdata adalah suatu keadaan dimana 2 (dua) orang atau pihak saling berhutang satu sama lain, yang selanjutnya para pihak sepakat untuk mengkompensasikan hutang-hutang tersebut sehingga perikatan hutang itu menjadi hapus. Dalam kondisi demikian ini dijalankan oleh bank, dengan cara mengkompensasikan barang jaminan debitur dengan hutangnya kepada bank, sebesar jumlah jaminan yang diambil alih tersebut.48

48

Bank merupakan salah satu lembaga keuangan yang mempunyai peranan penting dalam masyarakat. Oleh karena itu hampir setiap orang pasti mengetahui mengenai peranan bank adalah sebagai penghimpun dan menyalurkan dana dari dan ke masyarakat. Peranan sebagai penghimpun dana, dilakukan bank dengan melayani masyarakat yang ingin menabungkan uangnya di bank, sedangkan peranan bank sebagai penyalur dana dilakukan bank dengan melayani masyarakat yang membutuhkan pinjaman uang (kredit) dari bank, misalnya untuk pembayaran pembiayaan keperluan modal usaha, keperluan pembangunan, dan

keperluan-keperluan lainnya.1

Bank adalah lembaga keuangan yang menjadi tempat bagi orang-perorangan, badan-badan usaha swasta, badan-badan usaha milik negara, bahkan lembaga-lembaga pemerintah menyimpan dana-dana yang dimilikinya. Melalui kegiatan perkreditan dan berbagai jasa yang diberikan, bank melayani kebutuhan

pembiayaan, melancarkan sistem pembayaran bagi semua sektor perekonomian.2

Bank merupakan lembaga keuangan yang menjadi wadah badan usaha, lembaga pemerintah, swasta maupun orang pribadi selain sebagai tempat menyimpan dana juga sebagai sarana dalam melakukan berbagai transaksi keuangan. Lewat pengumpulan dana tersebut, bank dapat menyalurkannya

1 Herman Darmawi, Manajemen Perbankan, Bumi Aksara, Jakarta, 2011, hal. 11

2 Rudyanti Dorotea Tobing, Hukum Perjanjian Kredit Konsep Perjanjian Kredit Sindikasi

kembali dana yang sudah terkumpul tersebut kepada masyarakat melalui pranata

hukum perkreditan.3

Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan menyebutkan bahwa bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Dapat dikatakan, bahwa bank dapat melayani kebutuhan pembayaran pembiayaan serta melancarkan mekanisme sistem pembayaran terhadap segala aspek lalu lintas perekekonomian diantaranya melalui kegiatan perkreditan.

Berdasarkan Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain, yang mewajibkan pihak lain untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.

Berdasarkan pengertian kredit yang sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 11 Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, bahwa dalam pelaksanaan kredit antara bank dengan calon nasabah (debitur) maka para pihak-pihak tersebut

3

harus sepakat dan menuangkan kesepakatan kredit dalam suatu perjanjian yang tertulis.

Perjanjian kredit menjadi sangat penting sekali dalam pemberian pinjaman kredit kepada nasabah karena tanpa adanya perjanjian kredit yang disepakati antara bank dan nasabah maka pemberian pinjaman kredit mustahil untuk dapat terlaksana. Perjanjian kredit adalah merupakan ikatan antara bank sebagai kreditur dengan nasabah sebagai debitur yang mengatur hak dan kewajiban diantara kedua belah pihak tersebut berdasarkan adanya penetapan jangka waktu tertentu dengan sejumlah bunga, imbalan, atau pembagian hasil keuntungan yang ditetapkan dan disetujui.

Umumnya, praktik perjanjian kredit diperbankan dituangkan kedalam perjanjian standar (contract standard), dimana perjanjian standar (contract standard) tersebut memuat klausula-klausula yang telah dibakukan, maksudnya bahwa isi dan ketentuan (klausula) yang tertera dalam perjanjian standar (contract standard) telah ditentukan secara sepihak oleh pihak bank yang menyebabkan nasabah tidak memiliki posisi tawar yang menguntungkan.

Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang menyatakan bahwa “klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.”

Sehubungan dengan definisi perjanjian standar (contract standard) yang tersebut diatas, umumnya setiap bank telah menyediakan blanko (formulir)

perjanjian kredit, yang isinya telah disiapkan terlebih dahulu. Formulir ini disodorkan kepada setiap nasabah (calon debitur). Isinya tidak boleh diperbincangkan atau dinegosiasikan dengan nasabah (calon debitur). Kepada nasabah (calon debitur) hanya diminta pendapatnya apakah dapat menerima syarat-syarat yang tersebut di dalam formulir itu atau tidak.

Ketentuan klausula baku tersebut kebanyakan menguntungkan pihak bank sebagai kreditur dan cenderung merugikan pihak nasabah sebagai debitur, hal ini menjadikan kedudukan yang tidak seimbang bagi nasabah terhadap pihak bank. Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia yang mengatur secara khusus tentang perbankan tidak ditemukan adanya pengaturan yang secara tegas dapat dijadikan dasar hukum dalam memberikan jaminan kepastian perlindungan terhadap hak-hak nasabah atas penerapan klausula baku dalam perjanjian baku dalam pelaksanaan perjanjian kredit yang pada umumnya dilakukan melalui

standar kontrak/kontrak baku.4

Di dalam Undang-undang No. 8 Tahun 1998 tentang Perlindungan Konsumen Bab V pada Pasal 18 diatur mengenai klausula baku yang melarang pembuatan atau pencantuman klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian dengan beberapa keadaan tertentu.

Lahirnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen bertujuan untuk mewujudkan keseimbangan perlindungan kepentingan konsumen dan pelaku usaha sehingga tercipta perekonomian yang sehat. Selain itu, latar belakang pembuatan undang-undang ini didasarkan pada tingginya

4 Az Nasution, Suatu Pengantar Hukum Perlindungan Konsumen, Diadit Media, Jakarta, 2002, hal. 94

kebutuhan konsumen akan barang atau jasa yang bersanding dengan alat pemenuhan kebutuhan yang terbatas (supply). Kesenjangan ini menjadikan tidak seimbangnya posisi tawar antara pihak konsumen dengan pelaku usaha, dimana konsumen berada pada posisi yang lemah. Sebagai dampaknya, konsumen kemudian dijadikan objek aktivitas bisnis pelaku usaha untuk mencapai

keuntungan yang sebesar-besarnya dengan mengesampingkan hak-hak

konsumen.5

Di dalam Undang-Undang No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan

Konsumen disebutkan bahwa konsumen antara lain mempunyai hak atas

kenyamanan, keselamatan dalam memproduksi barang dan/atau jasa, serta

hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang atau jasa yang

digunakan sedangkan dari sisi pelaku usaha di harapkan memenuhi

kewajiban kepada pelanggan antara lain beritikad baik dalam melakukan

kegiatan usaha, melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak

diskriminasi dan memberikan konpensasi, ganti rugi/penggantian terhadap

barang atau jasayang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai perjanjian.

Keberadaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen diharapkan dapat dijadikan sebagai payung dasar hukum pengaturan

5 Lihat Penjelasan pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

pelaksanaan perjanjian kredit yang menggunakan kontrak standar/kontrak baku di dunia perbankan pada umumnya dalam praktik perjanjian kredit perbankan khususnya agar memberikan perlindungan dan kedudukan yang seimbang bagi para pihak.

Berdasarkan uraian yang telah disebutkan diatas, maka penulis tertarik

melakukan penulisan skripsi dengan judul “Perlindungan Hukum Hak-hak

Nasabah Atas Penerapan Klausula Baku Dalam Perjanjian Kredit Dengan Bank Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan

Konsumen (Studi Pada PT. Bank Sumut Cabang Medan).”