• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

Tanggung jawab pelaku usaha telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Berdasarkan Pasal 19 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, bahwa tanggung jawab pelaku usaha ialah:

1. Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas

kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.

2. Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa

pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

3. Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh)

hari setelah tanggal transaksi.

4. Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat

(2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.

5. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak

berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.

Berdasarkan dengan bunyi Pasal 19 Undang-Undang Perlindungan Konsumen terdapat beberapa bentuk pertanggung jawaban pelaku usaha dalam hukum perlindungan konsumen, yaitu:

1. Pertanggung jawaban kontraktual (contractual liability).

2. Pertanggung jawaban produk (product liability).

3. Petanggung jawaban profesional (professional liability).

4. Pertanggung jawaban langsung (strict liability).72

72 Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, hal 94.

Larangan pencantuman klausula baku yang mengandung klausula eksonerasi dimaksudkan untuk menempatkan kedudukan debitur setara dengan pihak bank berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak.

Klausula eksonerasi adalah klausula yang dicantumkan dalam suatu perjanjian dengan mana satu pihak menghindarkan diri untuk memenuhi kewajibannya membayar ganti rugi seluruhnya atau terbatas, yang terjadi karena

ingkar janji atau perbuatan melannggar hukum.73

Klausula eksonerasi biasanya dimuat dalam perjanjian sebagai klausula atas unsur esensial dari suatu perjanjian, pada umumnya ditemukan dalam perjanjian baku. Klausula tersebut merupakan klausula yang sangat merugikan konsumen yang umunya memiliki posisi lemah jika dibandingkan dengan produsen, karena beban yang seharusnya dipikul oleh produsen dengan adanya

klausula tersebut menjadi beban konsumen.74

Timbulnya tanggung jawab kontraktual disebabkan adanya hubungan kontraktual antara konsumen dengan pelaku usaha, maka kualifikasi gugatannya adalah wanprestasi. Hubungan kontraktual tidak disyaratkan jika konsumen menggunakan kualifikasi perbuatan melawan hukum. Dalam kualifiksi pelanggaran hubungan kontraktual konsumen harus membuktikan unsur-unsur:

1. Adanya perbuatan melawan hukum.

2. Adanya kesalahan/kelalaian pelaku usaha.

3. Adanya kerugian yang dialami konsumen.

73 Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, 2011, Op. Cit., hal 114. 74

4. Adanya hubungan klausul antara perbuatan melawan hukum dengan

kerugian yang dialami konsumen.75

Tanggung jawab kontraktual berdasarkan ketentuan yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, pelaku usaha yang mencantumkan klausula baku dengan isi, letak, bentuk, atau pengungkapannya seperti diuraikan di atas dalam dokumen atau perjanjian baku yang dibuatnya dapat dikenakan sanksi sebagai berikut:

a. Sanksi Perdata

Klausula baku tersebut jika digugat di pengadilan oleh konsumen, akan menyebabkan hakim harus membuat putusan declaratoir bahwa klausula tersebut batal demi hukum (void), Hal ini sebagaimana tersebut pada Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Pelaku usaha yang pada saat ini mencantumkan klausula baku dalam dokumen atau perjanjian baku yang digunakannya, wajib merevisi klausula baku yang digunakannya itu agar sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, hal ini sebagaimana tersebut pada Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

b. Sanksi Pidana

Mengenakan sanksi pidana kepada pelaku usaha yang melanggar pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

75 Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau Dari Hukum

Konsumen sebagaimana ditetapkan dalam pasal 62 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp.2.000.000.000,- (dua miliar rupiah).

Ketentuan mengenai pertanggung jawaban professional telah diatur dalam Pasal 8 sampai dengan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Dalam hal pelaksanaan pemberian kredit perbankan, perlindungan konsumen terkait pertanggung jawaban professional terdapat dalam pasal 10 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu: Pelaku usaha dalam menawarkan jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar dan menyesatkan mengenai:

1. harga atau tarif suatu jasa;

2. kegunaan suatu jasa;

3. kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi suatu jasa;

4. tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan;

5. bahaya penggunaan jasa.

Pelaku usaha yang di dalam memberikan jasanya melanggar ketentuan tersebut di atas, dan kemudian ternyata menimbulkan kerugian pada badan, jiwa, dan barang milik konsumen, maka pelaku usaha dapat dikenakan sanksi sebagai berikut:

a. Sanksi Perdata

Apabila pemberian jasa oleh professional menggunakan suatu perjanjian baku yang mencantumkan klausula baku yang berisi klausula eksonerasi, maka sanksi perdata yang dapat dikenakan adalah sanksi yang tercantum dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Selain itu, apabila perjanjian pemberian jasa tersebut melanggar ketentuan yang tercantum dalam Pasal 8 sampai dengan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, maka berarti perjanjian pemberian jasa tersebut tidak memenuhi syarat sebab/kausa yang halal dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Apabila hal ini dilanjutkan ke Pengadilan, hakim harus menetapkan putusan yang declaratoir bahwa perjanjian pemberian jasa tersebut batal demi hukum (void).

b. Sanksi Pidana

Sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 62 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen maka pelaku usaha yang melanggar ketentuan dia atas dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun/2 (dua) tahun, atau pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,- (Dua Milliar Rupiah)/Rp. 500.000.000,- (Lima Ratus Juta rupiah) sesuai dengan pasal yang dilanggar.

Dalam rangka pemberdayaan nasabah jasa perbankan, maka Bank Indonesia sebagai bank sentral yang bertanggung jawab sebagai pelaksana otoritas

moneter sangat diharapkan sekali mempunyai kepeduliannya. Dengan berlakunya PBI No. 7/6/PBI/2005 tentang Transparansi Informasi Produk Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah memberikan konsekuensi logis terhadap pelayanan jasa perbankan yang ada. Oleh karena itu, pelaku usaha perbankan dituntut untuk:

1. Memberikan pelayanan terbaik dalam melakukan kegiatan usahanya.

2. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi

dan jaminan jasa yang diberikannya.

3. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta

tidak diskrimatif.

4. Menjamin kegitan usaha perbankan berdasarkan ketentuan standar

perbankan yang sudah berlaku.76

C.Upaya-upaya Perlindungan Hukum Dari Pelaksanaan Perjanjian Kredit