• Tidak ada hasil yang ditemukan

Haram Gaya rambut rasta dan punk

ANALISIS ISI PESAN DAKWAH DALAM ACARA “DAMAI INDONESIAKU”

B. Pesan pesan dalam acara “Damai Indomesiaku”

3. Haram Gaya rambut rasta dan punk

4. Haram peran sebagai orang nasrani untuk artis muslimah 5. Haram membuat photo pra wedding

6. Haram menonton Film 2012

K.H. Zainuddin MZ Al-qur’an mengajarkan “Watilkal iyyaamu nutaawiluhaa

bainan naas” hari itu kami putar diantara manusia, tidak ada yang tetap, segalanya pasti berubah sehingga para filosof bilang yang tetap adalah perubahan. Ada saat datang, ada saat pergi, ada hari dilantik, ada saat menyerahkan jabatan. Ada saat berdiri, ada waktunya duduk, semua datang dan pergi silih berganti. Dalam proses perubahan itu sering terjadi pergeseran nilai, sebab al-qur’an sudah memberikan indikasi “anlaa innal insaana layathghoo arro aaghus taghnaa” manusia sering lupa diri apabila melihat dia berada dalam posisi yang mapan, baik kemapanan itu karena kemampuan intelektual, karena kekuatan materi atau karena factor kekuasaan, dikala itu orang sering lentur dan luntur mengalami proses degradasi. Banyak orang tadinya dengan lantang teriak “Brantas Korupsi” karna belum dapat kesempatan. Begitu dapat kesempatan, korupsinya lebih gila dari yang diteriakin.

Terjadi proses degradasi. Makanya saya mengharap, menteri-menteri Kabinet baru, DPR baru, saya mengharap waktu dilantik baca doanya “Nawaitu Sauma ghodin” niat puasa dulu. Negara lagi kurang bagus, ekonomi masih gonjang ganjing, rakyat masih senen – kemis. Niat puasa dulu, nunda dulu, menunda saja sebentar. Puasa itu kan tempe halal abis maghrib, tahu halal “abis maghrib” air kelapa halal “abis maghrib” istri sendiri halal “abis maghrib”. Kalau waktu kemarin menteri-menteri kita dilantik bacanya “nawaitu shauma ghodin” seneng tu rakyat kita. Niat puasa dulu lah sebentar. Pakai mobil mewah “boleh” nanti kalau ekonomi sudah bagus. Yang kita khawatir waktu dilantik bacanya Allahumma lakasumtu “doa buka puasa” Banyangin, orang buka puasa itu kan mbahnya rakus, apa saja disikat.

Kita ini sekarang banyak yang merasa pinter, tapi tidak pinter merasa. Akibatnya informasinya kita banyak tahu, tapi tidak tahu banyak. Orang itu kalau merasa pinter yang timbul keangkuhan, tapi yang pinter merasa yang timbul kebijakan. Ayolah Nawaitu Sauma ghodin, sebentar kok nunggu maghrib, kalau ekonomi sudah beres, rakyat hidup sudah agak mapan, itu menteri mau makai mobil mbahnya mewah masa bodoh amat. Menteri-menteri di inggris harga mobil 200 jt-an, padahal inggris yang bikin rollrois, inggris yang bikin mobil asthon martin. Mobil menterinya harga 200 jt-an, menteri-manteri Malaysia pakai mobil

74 protonsaka produknya sendiri. Kita 1,3 milyard. Mudah-mudahan mobil dinas baru kita ini bisa meningkatkan kinerja saya “kata seorang menteri” Dodol. Apa hubungannya mobil merah sama kinerja. Kalau memang mental-mental bajaj, biar naik marcy juga slonang-slonong tidak karuan “Mental”. Dan ini saya akan bicara, kita perlu stabilitas temperature bathin atas terjadinya perubahan yang membawa pergeseran nilai. Kita harus kaya ikan dilaut. Ikan dilaut katanya sudah Kristen semua, sebab ikan yang paling besar adalah paus.

Menghadapi arus perubahan kita itu harus seperti ikan dilaut “kata saya tadi” Ikan dilaut dengan tiga tahun berendam di air asin, tidak ikut asin. Kenapa? Karena dia hidup. Ikan yang hidup tiga tahun berendam di air asin tidak ikut asin, tapi begitu dia mati, ya bagaimana keadaan. Digaremin asin, diasemin asem “ikan mati”. Orang yang jauh dari agama jiwanya mati, kalau jiwanya mati gampang diasem garemin lingkungan. Deket sama ustad kalem kayak ustad, deket tukang mabuk, teler aja kayak gitu. Gampang diasem garemin lingkungan, tapi orang yang jiwanya hidup, silakan buka tempat pelacuran di samping rumah saya, pantang masuk. Silakan buka tempat judi di depan rumah saya, tidak bakalan saya ikut. Silakan buka minuman keras dibelakang rumah saya, tidak bakalan saya ikut. Karena jiwanya hidup, dan jiwa akan hidup kalau agama hidup dihati kita. Kita tidak bisa menghindari perubahan. Kita tidak bisa menghindari arus persaingan. Sekarang ini jangankan dagang, kiyai juga kalau tidak sanggup bersaing “ini bahasa kasar, tapi jujur” karena sekarang orang hidup di zaman banyak pilihan. Pergeseran nilai pastilah terjadi. Dulu tahun 60-an, betawi ini sebelum listrik masuk desa, asal sore abis maghrib kita jalan masuk kampong berasa banyak islam. Rumah sono anak muda lagi baca yasin, sebelah sana lagi latihan parjanji. Anak muda lagi belajar huruf al-qur’an. Begitu masuk listrik rumah pada terang, terjadi pergeseran nilai, apa yang kita lihat? Televisi main gede-gedean. Suara al-qur’an sepi, jangankan yang baca parjanji, yang baca al-qur’an pun sepi. Ini pergeseran nilai.

Dulu sosial kontrol tajam, orang peduli sama lingkungan. Sekarang loe-loe gw-gw. Dulu kalau ada anak gadis hamil di luar nikah “aib” malu selebar kampung, sekarang menjadi makanan sehari-hari. Ibu-ibu lebih menghargai selingkuh daripada poligami. Terjadi pergeseran nilai. Nah kita ingin pergeseran nilai itu yang positif, bukan yang negative. Supaya bisa kita harus punya filter, ini kan abad entertainment, orang pandai membangun pencitraan sekarang ini, kiyai sama dukun tipis bedanya.

Saya sering bilang, dulu sebelum mbah surip “yang meninggal karena kebanyakan ngegendong” bikin lagu bercerita tentang “madu ditangan kananmu, racun ditangan kirimu” kalau itu situasi yang kita hadapi transparan rakyat enak. Kenapa? Alamat jelas, pilihan paten. Madu di kanan, racun di kiri, kan tidak bingung. Sekarang dimana madu, dimana racun tidak ketahuan. Orang pandai membangun pencitraan, banyak racun bermerk madu. Kita harus punya filter. Emas pasti kuning, apa semua yang kuning pasti emas? Harus ada filter, karena rakyat kita, umat kita sekarang kan kaya daun kering, gampang dikumpulin, susah diiket, berisik, gampang dibakar, cepat heran, gampang kakung, masyarakat mall. Ada mall baru ibu-ibu, remaja berbondong-bondong menghampiri, tidak belanja hanya numpang heran, ini dimanfaatkan oleh ahli entertain. Pandai membungkus membangun opini, membangun pencitraan, maka kita harus punya filter.

75 Menghadapi arus perubahan, harus punya stabilitas temperature batin. Apa konsepsi dasarnya? “Agama”.

Kekuasaan kalau jatuh ke tangan orang beriman “aman”, ilmu kalau jatuh ke tangan orang beriman “manfaat”, harta kalau jatuh ke orang yang beriman “Manfaat, rahmatan lil „aalamiin”. Tapi kekuasaan jatuh di tangan orang yang jahat, jauh dari iman “fir’aun”. Fir’aun kan dulunya cuman raja, tapi karena kelamaan jadi raja dan tidak ada yang menandingi maka akhirnya lupa daratan ngaku jadi Tuhan, Anna robbukumul „ala “Aku tuhanmu yang paling tinggi” di hadapi oleh Musa “dulu adu sihir, sekarang kan adu konsep” itu cuman beda versi saja. Sekarang adu visi dan misi, polanya sama. Akhirnya fir’aun mengangkat diri menjadi Tuhan, di tenggelamkan dilaut merah, begitu nafas di tenggorokan baru “Aamantu birobbi musa wa haaruun”.

Kekayaan kalau jatuh ke tangan orang yang jauh dari iman, yang muncul qorun, lupa diri, lupa daratan, masuk dalam kategori “Allaa innal insaana layatghoo arro aaghus taghnaa” maka dari itu kita bersyukur, majlis ulama memberikan fatwa yang berkenaan dengan perubahan-perubahan yang terjadi di tengah-tengah kita, supaya kita punya pagar, supaya kita punya benteng, ada yang kita pegang dan yang memberikan fatwa juga majelis ulama, bukan seorang, majelis, lalu terdiri dari berbagai proses, pertimbangan, tidak sembari ngelamun di pohon jambu nyusun fatwa itu.

Saya perlu sampaikan ini, semua orang kan perlu hati-hati. Memang ada hadist “Barang siapa yang berijtihad, lalu ijtihadnya benar dapat dua pahala, kalau ijtihadnya salah, dia dapat satu pahala” “Manijtahada” Man disini bukan “lil itlaq” bukan siapa saja. Barang siapa lalu siapa saja “tidak beres urusan” Barang siapa yang memenuhi persyaratan untuk berijtihad, lalu dia berijtihad itu yang kalau salah dapat satu kalau bener dapat dua. Jadi, Manijtama’a fiihi syuruutul ijtihad, bukan “manlil itlaq” siapa saja boleh berijtihad. Lalu lahir fatwa yang aneh-aneh, tetapi sungguh pun demikian fatwa majelis ulama itu tidak bersifat mengikat, ini yang bijaksananya.

Dalam al-qur’an, Allah itu maha bijaksana, kapan? Coba, kalau surga disediakan untuk orang yang tidak punya dosa, sepi sorga “Ya” untung Allah bilang apa? Wa amma man tsakulat mawaaziinuhu fahuwa fii’iisyatir raadiyah “Orang yang timbangan kebaikannya lebih berat dari timbangan kesalahannya” bukan tidak yang punya salah. Ada dosa, ada salah, tapi timbangan kebaikan lebih baret dari dosa dan kesalahan.

Bapak ibu yang saya hormati, terima kasih kepada Bapak Hamdan Rasyid yang sudah memberikan jawaban. Dan memang hukum yang memerlukan ijtihad itu terkait sekali dengan kaidah. Hukum itu berubah menurut „ilatnya. Artinya, ada hukum asal, ada hukum yang berubah menurut situasi dan kondisinya. Disitulah letak fleksibilitasnya watak hukum islam.

Nikah hukum asalnya itu mubah “boleh”, bisa jadi sunnah, bisa jadi wajib, bisa jadi makruh, bahkan bisa jadi haram, kalau ada „ilatnya (alasan perubahan sebuah hukum). Misalnya, ada anak muda punya pekerjaan tetap, penghasilannya hebat, dia yakin kalau dia berumah tangga dia bisa menghidupi anak istrinya, syahwatnya termasuk tegangan tinggi, dikhawatirkan kalau tidak segera nikah, dia jatuh kepada zina, maka buat anak muda kayak begitu, nikah tidak lagi sunah tapi wajib hukumnya. Jadi masalah-masalah yang ijtihadi, tidak dalam konteks nash

76 yang qhot’i dari qur’an dan sunnah yatuuru ma’a illati. Kan sudah ada qur’an dan sunnah, mengapa perlu fatwa lagi? Inilah persoalannya.

Memang al-qur’an mengajarkan kita “Fas’alu ahladz-dzikri inkuntum laa ta’almuu” kalau kamu tidak tahu, Tanya yang tahu. Mau tau cara bikin tempe, jangan Tanya pada tukang roti “tidak nyambung”. Mau tau tentang hukum yang ada dalam qur’an dan sunnah, Tanya yang ngerti, siapa? Ya para ulama, apalagi yang namanya majelis, itu jelas bukan satu orang.

Gambaran sederhananya begini; Saudara mau ke Surabaya, mobil punya, jalanan hafal, SIM ada, peraturan lalu lintas tahu, berangkat dah insya Allah aman. Tapi kalau mobil kagak punya, jalanan Jakarta Surabaya tidak hafal, kan lebih aman naik kereta, ngikutin masinis yang Jakarta – Surabaya jalananya setiap hari, dari pada nekad tidak ngerti jalan sendiri, mau ke Surabaya tembusnya ke irian. Ijitihad-ijtihad, qur’an tidak ngerti, mau jalan sendiri, sesat hasilnya. Fas’alu ahladz-dzikri inkuntum laa ta’almuu, kalau memang tidak ngerti, Tanya sama yang ngerti. Ini soal pergeseran nilai.

Pertama saya setuju 100% tentang perlunya kehidupan kembali pendidikan budi pekerti untuk anak anak kita, mudah-mudahan ini didengar oleh Mendiknas kita, lalu diadakan perubahan terhadap kurikulum bagi pendidikan buat anak-anak kita sehingga pendidikan tidak hanya berorientasi kepada mengisi otak tapi juga kepada membangun kepribadian. Rasulullah SAW mengajarkan kewajiban orang tua kepada anak itu ada tiga.

Pertama; memberi nama yang bagus. Memang “Apa arti sebuah nama” tapi jangan lupa, al asma mimba’di dhu’a “nama itu bagian dari pada doa” jadi kalau namanya bagus, tiap kali orang tua memanggil, itu dianggap doa kepada anak. Nama yang bagus itu mengandung kehambaan, Abdul, ditambah salah satu asma’ul husna (Abdul Ghofur, Abdul Jabba, dll) atau yang mengandung pujian (Ahmad, Muhammad, Hamid, Mahmud, dll) Jangan mentang-mentang ada di qur’an, anak dikasih nama Jahannam. Ayyuhsina isma’u “kasih nama yang bagus”.

Kedua; Wa ayyu’ad dibahu “Mendidiknya” bukan mu’allim, mendidik itu kan lebih luas dari pada mengajar. Mengajar sasarannya otak, mendidik membangun kepribadian, maka rasul menggunakan kalimat Wa ayyuad dibahu “mendidiknya, membangun kepribadiannya” guru pertamanya adalah ibu bapaknya, sekolah pertamanya adalah rumah tangganya. Kalau kita orang tua bangun pagi jam 7, insya Allah anak kita jam 8. Jangan berharap mendidik dia shalat subuh, itu bagian dari pada mendidik, bukan mengajar, kalau mengajar ngisi otak, Yu addiba. Nama yang bagus tidak banyak menolong kalau tidak di didik.

Ketiga; Wa ayyuzaw wijahu “Kewajiban orang tua mengawinkan anaknya”

Majlis ulama itu Cuma punya kekuatan moral, tapi tidak punya kekuatan structural untuk menekankan fatwanya. Maka diperlukan hubungan yang baik antara ulama dengan umaro, hubungan yang bukan sekedar seremonial, bukan sekedar hubungan silaturrahmi, tapi hubungan yang esensil, bagaimana pemerintah tiap mengambil keputusan mengajak ulama, bagaimana majelis ulama

77 mengeluarkan fatwa di dukung oleh umaronya. Kerjasama ulama dengan umaro, bisa efektif. Tapi kalau masing-masing berjalan, ya tidak ketemu.

Kekuatan moral diperlukan kekuatan structural untuk menekankan fatwa itu. Barulah ustad-ustad yang ngajar dikampung menjadi ujung tombak dari pelaksanaan itu sendiri. Kalau kita lihat sekarang ini, masih banyak harapan umat kepada MUI kedepan, asal lebih peka terhadap masalah yang berkembang di masyarakat dan fatwanya kebawah juga keatas juga. Artinya buat masyarakat awam juga, buat yang elit-elit juga. Ulama dengan umaro harus kerjasama, umaro dengan kekuatan moral ulama dengan kekuatan structural.

Hadits nabi, “Saya’ti „alaa zamaanun al qoobid „alaadinihi kal qoobid „alal jamroh” Akan datang satu masa ditengah umatku, dimana orang yang teguh memegang agama, kayak megang bara ditangan. Dipegang tangan terbakar, dilepas bara terbuang.

Al-qur’an tidak memisahkan antara “Tawashoubil haq” dengan “Tawashoubil shobr” Kebenaran dan kesabaran, prinsip dan strageti. Kebenaran itu prinsip, kesabaran itu strategi. Kebenaran tanpa kesabaran membuat kita mudah dipatahkan orang, kesabaran tanpa kebenaran membuat kita di injak terus oleh yang lain. Strategi, maju kena, mundur kena, Terus? “Miring” selalu ada strategi, selalu ada jalan. Yang kedua; Seorang filosof bilang “Kalau ada 1000 orang pembela kebenaran, saya masuk yang 1000 itu, kalau ada 100 orang yang berjuang membela kebenaran, saya juga satu diantara 100, kalau hanya ada 10 orang yang membela kebenaran, saya juga satu dari yang 10, kalau hanya satu yang berjuang membela kebenaran, sayalah yang satu itu” sampai tetes darah penghabisan” setelah ada taktik dan strategi. Jadi walaupun yakin kita bener, strategi harus punya.

Allahuakbar “bener” semangat, tapi kalau ada kebo gila minggir dulu, pake strategi. Jadi, berani perlu, nekad jangan, berkorban siap, konyol nanti dulu. Jangan pisahkan “Tawashoubil haq” dengan “Tawashoubil shobr”

DR. K.H. Hamdan Rasyid, MA Bahwa efektifitas sebuah fatwa ini

memang perlu dukungan semua pihak. Majelis ulama sebagaimana disampaikan KH. Zainuddin MZ adalah pemilik kekuatan moral, kita memberikan fatwa penjelasan hokum kepada masyarakat, akan tetapi untuk sosialisasi fatwa itu perlu dukungan termasuk kalangan media, media cetak maupun elektronik perlu membantu sosialisasi fatwa ulama. Kalau pemerintah memberikan bantuan untuk sosialisasi fatwa itu akan sampai ke desa-desa yang terpelosok.

Mohon maaf, bahwa kemungkinan informasi fatwa ini tidak diketahui masyarakat. Sebenarnya fatwa ulama itu juga menyangkut masalah pejabat bukan hanya untuk masyarakat biasa saja. Misalnya, haramnya korupsi, itu sudah kita fatwakan sejak beberapa tahun yang lalu dan itu sudah kita sampaikan kepada para pejabat. Kemudian haramnya berkhianat, ini juga merupakan kesan dari ulama kepada umaro dan perlu diketahui, tidak semuanya berupa fatwa. Bisa jadi berupa nasehat, tausiyah, pesan-pesan moral kepada para pejabat. Jadi fatwa ini lebih banyak ke masalah hukum, tapi masalah-masalah terkait masalah moral itu lebih banyak berupa tausiyah atau pesan-pesan dan itu tidak semuanya perlu disebarluarkan kepada masyarakat. Kalau orang tertentu kan kita harus bijak,

78 tidak mungkin kita mengklaim orang lain di depan mata masyarakat. Jadi sebenarnya majelis ulama ini bukan hanya untuk membimbing masyarakat, tapi juga para umaro.

Jadi, fatwa ini sifatnya bermacam-macam. Kalau fatwa itu mengutip dari al-qur’an dan hadits rasul dan qhot’i hukumnya sudah pasti dan itu wajib diikuti karena fatwa ulama ini adalah dalam kaitan mengikuti qur’an hadits. Misalnya, haramnya korupsi, itu wajib di ikuti, karena terkandung dalam alqur’an dan hadits.

Kalau merokok termasuk yang makrum. Majelis ulama juga tidak mengharamkan secara mutlak. Majelis ulama mengharamkan untuk orang-orang tertentu. Misalnya, ibu yang hamil, karena dampaknya ini sangat negative. Tapi kalau untuk masyarakat secara umum, majelis mengeluarkan fatwa tentang rokok makruh saja hukumnya. Kalau diharamkan, ini dampaknya panjang sekali. Disitu ada petani tembakau yang memang nafkahnya dari tembakau itu. Masalahnya kalau bahasanya itu sangat kuat, maka diharamkan. Jadi, kita melihat perkonteksnya, kalau secara umum merokok itu makruh, namun jadi haram kalau melihat ke masyarakat luas.

Pertama; yang namanya facebook adalah sarana, media. Kalau memang itu sebagai sarana bersilaturahim, untuk menghimpun teman-teman kita yang sudah lama tidak bisa ketemu, itu sangat positif dan sangat dianjurkan. Tapi kalau disitu tujuannya yang negative, menghimpun temen-temen untuk kumpul bareng-bareng dan pesta sex “misalnya” itu diharamkan. Maka dari itu yang namanya facebook, friendster dan lain sebagainya, itu adalah sebagai sarana saja, sebagai wasilah. Wasilah itu tergantung pada tujuannya.

Keharamannya itu kalau memang dijadikan sarana untuk maksiat, kalau memang tujuannya positif, itu memang menjadi wajib. Jadi, tergantung pada konteksnya, situasi dan kondisi. Bukan masalah situsnya, tapi tergantung kita memanfaatkannya.

K.H. Zainuddin MZ - Saya ingin membantu menekankan pemahaman

tentang hukum tadi. Menurut Imam Al-Ghozali, amalan manusia itu tiga macam. Pertama; Kewajiban, kedua; Mubahan dan ketiga; Muharraman. Dari tiga amalan ini, yang dua tergantung niat yaitu amalan wajib dan mubah, sedangkan amalan haram tidak tergantung pada niat. Tapi yang wajib kalau kita salah niat bisa keseleo.

Yang kedua; barang yang haram itu ada dua macam. Ada yang disebut haram aini “bendanya yang haram” ada yang disebut haram hukmi “hukumnya yang haram” Contoh; Judi yang haram bukan kartunya, tapi yang haram adalah efek yang ditimbulkannya, itu namanya haram hukmi, lain dengan babi, itu memang haram babinya yang haram, itu haram aini “bendanya yang memang diharamkan”

Saya sependapat dengan MUI, merokok masih sebatas dengan makruh, ini bukan karena saya perokok, tapi karena melihat mashalihnya, nasib penanam tembakau, nasib ribuan buruh yang kerja di pabrik tembakau dan mungkin juga politik tambahan globalnya amerika. Produsen rokok terbesar di dunia itu amerika (Marlboro) bahkan sekarang dibeli 15 % saham Sampoerna. Dimana-mana yang

79 namanya amerika selalu kepengin menjadi satunya. Nuklir dia pengin satu-satunya yang punya nuklir, semua Negara lain yang bikin nuklir dia musuhi, dia bangun opini.

Lihat iklan rokok “Merokok dapat menyebabkan kanker” kalimatnya coba lihat “dapat” Dapat itu kan tidak mutlak. Apa pernah ada rise berapa banyak penderita kanker yang menderita karena merokok? Tidak pernah ada rise, cuman dapat menimbulkan. Dapat itu kan indikasi, makan tahu pun “dapat” menimbulkan kanker. Lalu menimbulkan impotensi. Kok banyak perokok yang bininya dua? Impoten dari mana?

Kembali ke pertanyaan. Ciri-ciri pemimpin seperti fir’aun. Cirri yang pasti adalah otoriter. Otoriter mematikan demokrasi, mau menang sendiri, itu cirri-ciri fir’aun. Apakah ada cirri pemimpin fir’aun di negeri kita? “Wallahu „A’lam” Tapi kalau kita bertekad membangun demokrasi, walaupun sejarah kadang-kadang berulang, kita masih mencari cirri demokrasi yang sesuai dengan Indonesia ini. Ketika kita memilih demokrasi dalam menentukan berbangsa dan bernegara, kita sebenarnya sudah menghindari icon-icon fir’aun tadi, asal demokrasinya sehat.

Karena itu saya terkesan dengan amanat Bung Karno tentang “Jas Merah” Jangan sekali-kali melupakan sejarah Jas Merah, jangan sekali-kali melupakan sejarang, jangankan kita, Rasulullah saja disuruh belajar dari sejarah. Sebab sejarah penting, istilahnya mendingan kayak nabi Yusuf, dipenjara dulu baru jadi pejabat tinggi, jangan jadi pejabat tinggi dulu baru dipenjara (kebalik). Bung Karno sendiri “Masya Allah” sejak masih super, berjuang, ditangkap belanda, di depan pengadilan belanda malah pidato “Indonesia menggugat, minta merdeka” makin kalap belanda, dibuang sana-sini, setelah merdeka baru pake Jas, pidato dimana-mana Bung Karno. Sekarang entah dari mana munculnya tokoh pake jas pake dasi, pidato dimana-mana baru dibuang (Terbalik).

Kedua; Ciri Ekonom Qorun. Qorun itu waktu ditanya “Anna laka hadza qorun?” harta begini banyak dari mana kamu dapat hai qorun? Dia bilang apa? Ini

Dokumen terkait