• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hari Raya dan Pluralisme

Di setiap agama apapun, ada tradisi yang dinamakan dengan istilah hari raya. Pada momen tersebut, terkandung nilai-nilai kemanusiaan. Dalam arti, umat yang memperingati perayaan hari raya diharapkan semakin meningkat rasa kemanusiaan di sanubarinya. Begitu pula Idul Adha; seseorang tidak akan dapat mewarisi nilai-nilai spiritual dari pengalaman cinta Nabi Ibrahim terhadap sesama, jika ia tidak mau berbagi dengan sesamanya dari sebagian hartanya. Dalam tradisi Kristiani juga dikenal hari raya, salah satunya adalah Hari Natal. Dalam kepercayaan pemeluknya, Natal diyakini sebagai hari lahir Tuhan mereka. Meskipun dalam masalah penulis mengingkari pada hari tersebut Nabi Isa A.S. dilahirkan. Alasan penulis untuk mengingkarinya adalah sebagai berikut. Pertama, keimanan dan keyakinan penulis. Kedua, dasar atau bukti kalau Nabi Isa dilahirkan pada bulan tersebut tidak didasarkan pada fakta sejarah, tetapi hanya berdasarkan dogma Kristiani. Lain halnya dalam tradisi hari raya Islam, tidak hanya berdasarkan ajaran agamanya, tetapi bukti sejarah tertulis juga mendukungnya. Ketiga, sampai sekarang,

80

Hari Raya dan Pluralisme

Di setiap agama apapun, ada tradisi yang dinamakan dengan istilah hari raya. Pada momen tersebut, terkandung nilai-nilai kemanusiaan. Dalam arti, umat yang memperingati perayaan hari raya diharapkan semakin meningkat rasa kemanusiaan di sanubarinya. Begitu pula Idul Adha; seseorang tidak akan dapat mewarisi nilai-nilai spiritual dari pengalaman cinta Nabi Ibrahim terhadap sesama, jika ia tidak mau berbagi dengan sesamanya dari sebagian hartanya. Dalam tradisi Kristiani juga dikenal hari raya, salah satunya adalah Hari Natal. Dalam kepercayaan pemeluknya, Natal diyakini sebagai hari lahir Tuhan mereka. Meskipun dalam masalah penulis mengingkari pada hari tersebut Nabi Isa A.S. dilahirkan. Alasan penulis untuk mengingkarinya adalah sebagai berikut. Pertama, keimanan dan keyakinan penulis. Kedua, dasar atau bukti kalau Nabi Isa dilahirkan pada bulan tersebut tidak didasarkan pada fakta sejarah, tetapi hanya berdasarkan dogma Kristiani. Lain halnya dalam tradisi hari raya Islam, tidak hanya berdasarkan ajaran agamanya, tetapi bukti sejarah tertulis juga mendukungnya. Ketiga, sampai sekarang,

82

ras, maupun agama sebagai rahmat, bukan bencana. Sebeda apapun sebenarnya tidak akan ada masalah, jika komunitas manusia ini sadar dan memahami makna kasih sayang Tuhan.

Wallahu a’lam. Dan semoga dalam hidup kita ada

yang dicintai oleh Allah. dalam dunia Kristiani, kapan bulan dan tahun Nabi Isa

dilahirkan masih menjadi perdebatan.

Lepas dari semua itu, janganlah perbedaan keyakinan, agama, suku, dan lain-lain menjadi permusuhan terhadap sesama. Perayaan hari raya semestinya mampu menembus sekat-sekat sosial. Sehingga hari raya dapat berfungsi sebagai media toleransi. Bukankah perbedaan merupakan sunnatullah yang diberikan kepada manusia sebagai rahmat-Nya? Sebagaimana yang termaktub dalam Al-Qur’an surat Al-Hujurat, bahwa sesungguhnya Tuhan menciptakan manusia bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar saling mengenal satu sama lainnya. Yang dalam bahasa Al-Qur’an dikenal dengan istilah ta’arafu, yang kemudian melahirkan istilah dalam bahasa Arab ta’aruf. Inilah konsep dasar Al-Qur’an dalam menanggapi perbedaan.

Hemat penulis, barangsiapa membenci perbedaan dan menjadikannya sebagai sarana menebarkan kebencian, maka mereka itu tidak mensyukuri rahmat Tuhan. Sikap Islam terhadap perbedaan bukanlah “indifferentisme”, yaitu sikap yang saling tidak peduli, cuek, dan tidak mau tahu. Apalagi sampai tidak mau mengambil pelajaran apapun dari orang-orang lain yang kebetulan berbeda, entah suku, bangsa, maupun agama. Makna ta’aruf adalah inisiasi aktif dari beberapa perbedaan untuk saling mengenal dan belajar.

Sebagaimana yang dikatakan oleh Sayyidina Ali,

“Al-hikmatu dhallatul mu’min, ainama wajadaha akhadzaha.” Kebenaran adalah sesuatu yang hilang dari

orang beriman, di manapun ia menjumpainya, maka ia harus lekas-lekas menjemput dan mengambilnya. Jadi ta’aruf akan menjadikan perbedaan dalam masalah suku,

82

ras, maupun agama sebagai rahmat, bukan bencana. Sebeda apapun sebenarnya tidak akan ada masalah, jika komunitas manusia ini sadar dan memahami makna kasih sayang Tuhan.

Wallahu a’lam. Dan semoga dalam hidup kita ada

yang dicintai oleh Allah. dalam dunia Kristiani, kapan bulan dan tahun Nabi Isa

dilahirkan masih menjadi perdebatan.

Lepas dari semua itu, janganlah perbedaan keyakinan, agama, suku, dan lain-lain menjadi permusuhan terhadap sesama. Perayaan hari raya semestinya mampu menembus sekat-sekat sosial. Sehingga hari raya dapat berfungsi sebagai media toleransi. Bukankah perbedaan merupakan sunnatullah yang diberikan kepada manusia sebagai rahmat-Nya? Sebagaimana yang termaktub dalam Al-Qur’an surat Al-Hujurat, bahwa sesungguhnya Tuhan menciptakan manusia bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar saling mengenal satu sama lainnya. Yang dalam bahasa Al-Qur’an dikenal dengan istilah ta’arafu, yang kemudian melahirkan istilah dalam bahasa Arab ta’aruf. Inilah konsep dasar Al-Qur’an dalam menanggapi perbedaan.

Hemat penulis, barangsiapa membenci perbedaan dan menjadikannya sebagai sarana menebarkan kebencian, maka mereka itu tidak mensyukuri rahmat Tuhan. Sikap Islam terhadap perbedaan bukanlah “indifferentisme”, yaitu sikap yang saling tidak peduli, cuek, dan tidak mau tahu. Apalagi sampai tidak mau mengambil pelajaran apapun dari orang-orang lain yang kebetulan berbeda, entah suku, bangsa, maupun agama. Makna ta’aruf adalah inisiasi aktif dari beberapa perbedaan untuk saling mengenal dan belajar.

Sebagaimana yang dikatakan oleh Sayyidina Ali,

“Al-hikmatu dhallatul mu’min, ainama wajadaha akhadzaha.” Kebenaran adalah sesuatu yang hilang dari

orang beriman, di manapun ia menjumpainya, maka ia harus lekas-lekas menjemput dan mengambilnya. Jadi ta’aruf akan menjadikan perbedaan dalam masalah suku,

84