• Tidak ada hasil yang ditemukan

a. Konsep di Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Dalam menjelaskan mengenai pendirian sebuah Perseroan Terbatas (PT) oleh suami isteri yang terikat dalam perkawinan, perlu juga membahas sedikit mengenai aspek perkawinan khususnya mengenai harta kekayaan mereka. Hal ini bertujuan untuk melihat hubungan sebagai subjek hukum, apakah tergolong sama

32

dalam subjek hukum yang di sebut di dalam Perseroan Terbatas (PT), dan dapatkah mereka menjadi pendiri Perseroan Terbatas (PT).

Pengaturan mengenai perkawinan mulanya diatur di dalam Pasal 26 BW yang berbunyi “ Undang-Undang memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan perdata”. Sedangkan dalam perkembangan hukum di Indonesia telah membuat Undang-Undang yang mengatur tentang perkawinan yaitu Undang- Undang No. 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan. Di dalam Undang-Undang tersebut menjelaskan perkawinan pada Pasal 1 yang berbunyi :

“Perkawinan ialah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan

seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan

keTuhanan Yang Maha Esa”.

Pengaturan mengenai Undang-Undang Perkawinan dinilai lebih luas dalam perumusannya. Hal dikarenakan BW hanya mengganggap bahwa perkawinan hanya perikatan perdata saja, namun untuk Undang-Undang No 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan lebih dari itu dalam memberikan definisi mengenai perkawinan. Sahnya sebuah perkawinan tentu dilakukan menurut hukum masing- masing agamanya dan kepercayaannya yang tertuang dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang berbunyi :

“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-

masing agamanya dan kepercayaannya itu”.

Kemudian Perkawinan tersebut harus di daftarkan ke Pejabat Pencatatan Sipil sebagai pengesahan secara hukum dan administrasi, seperti yang tertuang di dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan :

33

“Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-

undangan yang berlaku”.

Apabila hal tersebut tidak dilakukan oleh pasangan suami isteri tersebut maka hal tersebut dianggap bukan pasangan suami isteri yang sah.

Dengan telah dilakukannya sebuah perkawinan tersebut kemudian akan menimbulkan akibat hukum bagi keduanya. Hal ini biasa disebut dengan akibat perkawinan. Akibat perkawinan tersebut kemudian akan mempengaruhi 3 hal yaitu bagi keduanya yaitu suami isteri, bagi harta kekayaan, dan bagi anak-anak yang

dilahirkan.46 Namun di dalam tulisan ini tidak akan menyinggung mengenai akibat

perkawinan terhadap anak-anak yang dilahirkan.

Akibat perkawinan bagi suami isteri akan menimbulkan suatu hak dan kewajiban sebagaimana sebuah rumah tangga, namun yang menjadi unsur penting bahwa kedudukan keduanya merupakan hal yang seimbang atau setara. Di dalam Pasal 31 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan menjelaskan :

Pasal 31 ayat (1)

“Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan

kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan

hidup bersama dalam masyarakat”.

Pasal 31 ayat (2)

Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum”

46 Christiana Tri Budhayati, Mengenal Hukum Perdata Di Indonesia, Fakultas Hukum

34

Dua Pasal diatas merupakan akibat perkawinan terhadap suami isteri.

b. Konsep harta kekayaan

Dari sahnya sebuah perkawinan akan menimbulkan suatu akibat hukum atau akibat perkawinan. Akibat perkawinan selain terhadap suami isteri juga merujuk terhadap harta benda mereka yang diperoleh selama perkawinan atau disebut harta kekayaan, Undang-Undang No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan membedakan harta tersebut sebagai harta bersama dan harta bawaan masing-masing atau harta pribadi. Ketentuan mengenai harta bersama dijelaskan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pada Pasal 35 ayat (1) yang berbunyi :

“Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta

bersama”

Dijelaskan oleh Sonny Dewi Judiasih dalam Yahya Harahap yang menyatakan bahwa pada dasarnya semua harta yang diperoleh selama ikatan perkawinan menjadi yurisdiksi harta bersama yang dikembangkan dalam proses peradilan. Berdasarkan perkembangan tersebut maka harta perkawinan yang

termasuk yurisdiksi harta bersama adalah sebagai berikut :47

- Harta yang dibeli selama dalam ikatan perkawinan berlangusng.

Setiap barang yang dibeli selama dalam ikatan perkawinan menjadi yurisdiksi harta bersama. Siapa yang membeli, atas nama siapa terdaftar, dan dimana letaknya tidak menjadi persoalan.

- Harta yang dibeli dan dibangun pasca perceraian yang dibiayai

dari harta bersama. Suatu barang termasuk yurisdiksi harta bersama atau tidak ditentukan oleh asal usul biaya pembelian atau pembangunan barang yang bersangkutan, meskipun barang itu dibeli atau dibangun pasca terjadinya perceraian.

- Harta yang dapat dibuktikan diperoleh selama dalam ikatan

perkawinan. semua harta yang diperoleh selama ikatan perkawinan dengan sendirinya menjadi harta bersama.

35

- Penghasilan harta bersama dan harta bawaan. Penghasilan yang

berasal dari harta bersama menjadi yurisdiksi harta bersama, demikian pula penghasilan dari harta pribadi suami isteri juga masuk dalam yurisdiksi harta bersama. Segala penghasilan pribadi suami dan isteri. sepanjang mengenai penghasilan pribadi suami isteri tidak terjadi pemisahan, bahkan dengan sendirinya terjadinya penggabungan sebagai harta bersama. Penggabungan penghasilan pribadi suami isteri ini terjadi demi hukum, sepanjang suami isteri tidak menentukan lain dalam perjanjian kawin.

Kemudian dari konsep harta bersama tersebut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan juga menjelaskan mengenai harta pribadi. Hal tersebut tertuang dalam Pasal 35 ayat (2) yang berbunyi :

“Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda

yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak

menentukan lain”.

Terhadap harta bawaan atau pribadi masing-masing suami isteri, berada dibawah pengawasannya masing-masing. Asal usul harta tersebut membedakan antara harta bawaan dan harta pribadi. Harta bawaan merupakan harta yang didapat sebelum terjadinya perkawinan sedangkan harta pribadi adalah hasil dari warisan ataupun hibah yang dimana di dapat di dalam perkawinan. Namun kedua harta tersebut terdapat ketentuan lain yang dapat membuat harta tersebut menjadi harta bersama yaitu ketentuan mengenai perjanjian perkawinan.

Dengan adanya pengaturan mengenai harta bersama, tentu akan menimbulkan suatu batasan terhadap ruang gerak dalam menggunakan harta tersebut. Hal itu disebabkan penggunaan harta tersebut akan juga berdampak pada keduanya secara otomatis. Sehingga dalam penggunaannya diperlukan persetujuan dari salah satu atau keduanya dalam menggunakannya. Namun dari hal ini

36

kemudian muncul konsep berupa perjanjian kawin (prenuptial agreement) hal ini

merupakan hal yang dapat membuat peraturan mengenai harta bersama maupun harta pribadi menjadi dapat disimpangi. Perjanjian kawin ini merupakan perjanjian yang dibuat oleh suami isteri untuk mengatur akibat perkawinan terhadap harta

kekayaan mereka. Ada 3 macam bentuk perjanjian perkawinan yaitu :48

a. Perjanjian untung rugi ( dalam hal ini untung dan rugi ditanggung

oleh kedua belah pihak).

b. Persatuan hasil dan pendapatan ( dalam hal ini bila terjadi

keuntungan, maka menjadi milik bersama suami isteri. Namun bila mengalami kerugian maka pihak yang melakukan suatu kerugian yang menanggung bebannya. Namun pada prakteknya suami yang menanggung kerugian).

c. Sama sekali tidak ada persatuan harta kekayaan ( masing-masing

pihak mengelola hartanya sendiri dan lepas dari harta bersama).

Tiga hal diatas merupakan suatu jenis perjanjian perkawinan yang biasa dibuat oleh suami isteri. Ketentuan dalam pembuatan perjanjian kawin mengenai syarat sahnya pada dasarnya sama dengan perjanjian seperti biasanya.

Pegaturan mengenai perjanjian perkawinan sendiri diatur pada Pasal 29 Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berbunyi :

Ayat (1)

“Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak

atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai Pencatatan Perkawinan setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut”.

Bunyi dari ayat tersebut mengalami perubahan oleh putusan Mahkamah Konstitusi dalam pengertian perjanjian perkawinan. Pada ayat (1) mengalami

37

perubahan berupa penambahan isi pasal oleh Putusan Mahkamah Konstitusi No. 69/PUU-XIII/2015 yang berbunyi :

“Pada waktu, sebelum dilangsungkan atau selama dalam ikatan

perkawinan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian terrtulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris, setelah mana isinya berlaku juga terhadap

pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut”

Hal tersebut menjadikan bunyi kaidah hukum dalam ayat tersebut menjadi bertambah sehingga dalam membuat perjanjian perkawinan sekalipun dapat dibuat kapan saja selama masih terikat dalam perkawinan. Teori mengenai perjanjian perkawinan menjadikan sebuah proposisi bahwa dalam melakukan sebuah perbuatan hukum yang dimana atas kehendak masing-masing dan tidak adanya batasan bagi seorang yang sudah berkeluarga. Dapat digunakannya sebuah perjanjian perkawinan untuk menunjang sebuah perbuatan hukum yang dilakukan oleh mereka. Teori ini sebagai suatu kekhusussan yang bertujuan bagi seseorang yang sudah melakukan perkawinan dan masih terikat di dalamnya.

Dokumen terkait