1 BAB II
HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS
Di dalam Bab II akan membahas mengenai hasil penelitian serta analisis
mengenai topik yang dipilih. Di dalam Bab ini akan menjawab
permasalahan yang diangkat penulis dari topik yang dipilih. Dari
permasalahan-permasalahn tersebut akan disusun sebuah proposisi yang nantinya sebagai acuan
terhadap kesimpulan dari setiap masalah. Dengan disusunnya proposisi-proposisi
tersebut, kemudian akan dijawab dengan tesis statmen oleh penulis. Dengan tesis
tersebut akan digunakan sebagai analisis terhadap permasalahan-permasalahan
yang telah disusun atau dikemukakan sehingga menemukan jawaban atau
kesimpulan akhir. Di dalam Bab ini akan berisikan mengenai teori-teori yang
dibahas dalam tinjauan pustaka sebagai pendukung penelitian serta hasil penelitian
dan analisis.
A. TINJAUAN PUSTAKA
Di dalam tinjauan pustaka ini akan membahas mengenai teori-teori hukum
yang terkait dan mendukung terhadap topik yang akan dibahas. Teori- teori tersebut
akan melihat kesesuaian aturan-aturan hukum serta menjawab atas kekosongan
hukum dan penafsiran aturan-aturan yang menimbulkan problematika terhadap
topik yang dipilih. Di dalam tinjauan pustaka, nantinya akan menjelaskan teori
hukum mengenai subjek hukum, menjelaskan mengenai perjanjian pada umumnya
untuk melihat dari sisi keabsahan perjanjian yang dibuat oleh suami isteri dalam
2
perkawinan dikarenakan hubungannya dengan pendirian Perseroan Terbatas (PT)
serta penyetoran akan modal nantinya. Kemudian yang terakhir adalah analisis dari
hasil penelitian tersebut untuk menjawab setiap permasalahan hukum yang telah
dimunculkan.
1. Subjek Hukum
Istilah subjek hukum merupakan terjemahan dari bahasa Belanda
rechtssubject. Kata subject dalam bahasa Belanda dan Inggris berasal dari bahasa
Latin subjectus yang artinya di bawah kekuasaan orang lain (subordinasi).1
Berdasarkan pengertian dari bahasa Latin, Franken menyatakan, bahwa kata subject
memberikan gambaran yang pasif dalam arti lebih banyak menerima kewajiban
daripada mempunyai hak. Oleh karena itu istilah subjek hukum sebenarnya kurang
tepat jika istilah itu diperuntukan bagi mereka yang mempunyai hak.2 Menurut
Paton yang dikutip oleh Peter Mahmud Marzuki di dalam bukunya berjudul “
Pengantar Ilmu Hukum”, istilah person berasal dari bahasa Latin persona yang
ekuivalen dengan bahasa Yunani prosopon. Baik persona maupun prosopon pada
awalnya merujuk kepada topeng yang dikenakan oleh pemain untuk
menggambarkan dewa atau pahlawan dalam suatu drama. Barulah pada abad VI
Boethius mndefinisikan persona sebagai sosok makhluk yang rasional. Pada
perkembangannya, person diartikan sebagai sesuatu yang dapat mempunyai hak
dan kewajiban.3 Istilah subjek hukum atau dalam bahasa Belanda rechtssubject
sudah menjadi kajian dalam pendidikan hukum Indonesia maupun Belanda. Dalam
memahami subjek hukum dalam ilmu hukum dikenal dalam 2 hal, adapun subjek
1 Peter Mahmud Marzuki, Op.Cit., h. 205 2Ibid, h. 206
3
hukum yang dikenal dalam ilmu hukum adalah manusia dan badan hukum. Hal ini
dijelaskan dalam pernyataan Salmond yang berbunyi:
“so far as legal theory is concerned, a person is being whom the law
regards as capable of rights and duties. Any being that is so capable
is person, whether a human being or not, and no being that is so
capable is a person, even thought he be a man” .
Dari apa yang dikemukakan oleh Salmond tersebut jelas bahwa baik
manusia maupun bukan manusia mempunyai kapasitas sebagai subjek hukum atau
istilah Salmond person kalau dimungkinkan oleh hukum. 4
Subjek hukum adalah salah satu pengertian pokok dan bentuk dasar yang
dipelajari oleh teori hukum. Untuk menjelaskan tentang pengertian pokok dari
subjek hukum akan diperoleh suatu batasan ( definisi) dan ini perlu didasari melalui
teori dari hukum positif tersebut, dengan membuat analisa dan gambaran
fakta-fakta dalam masyarakat dan mengadakan induksi serta kemudian membuat
perumusan ( omschrijving) isi dari suatu gambaran yang umum, yang memuat
segala gejala dari hal yang sehari-harinya disebut subjek hukum.5 Dengan melihat
fakta-fakta serta analisa dalam masyarakat maka subjek hukum manusia yang
adalah persoon merupakan persoalan hubungan – hubungan manusia satu dengan
yang lain, sehingga kesadaran akan hukum akan muncul. Kata Paul Scholten yang
dikutip oleh Chidir Ali dalam bukunya yang berjudul “ Badan Hukum”
mengandung dua dalil yaitu :6
4 Peter Mahmud Marzuki, Loc.Cit. 5 Chidir Ali Op.Cit., h. 5.
4
- Manusia dalam hukum sewajarnya diakui sebagai yang berhak atas
hak-hak subjektif dan sewajarnya diakui sebagai pihak atau pelaku
dalam hukum objektif. Di sini perkataan manusia bagi hukum
mempunyai nilai etis. Yang menjadi persoalan di sini ialah suatu
sollen dan juga dinyatakan suatu asas hukum. Dengan demikian hal
ini juga menjadi dasar arti dalil kedua yaitu :
- Dalam hukum positif manusia yang merupakan persoon adalah
subjek hukum, mempunyai wewenang. Dalil ini mengandung
petunjuk di mana tempat manusia dalam sistem hukum dan dengan
demikian dinyatakan suatu kategori hukum.
Atas kedua dalil diatas, maka untuk menjawab siapakah subjek hukum
tersebut. Pertama, subjek hukum itu adalah yang berhak atas hak-hak subektif dan
pelaku dalam hukum objektif. Kedua, siapa subjek hukum dalam hukum positif
adalah orang (persoon). Namun atas pendapat ini tidak semerta-merta mengatakan
subjek hukum (orang) yang dianggap manusia sebagai satu-satunya subjek hukum
dalam hukum positif. Terkait dengan fakta-fakta serta analisa di masyarakat, hukum
sebagai norma tentu akan berdampingan dengan hukum sebagai peristiwa yang ada.
Sebagaimana dimaklumi bahwa gejala-gejala dari hal yang sehari-hari disebut
subjek hukum menurut kenyataannya dalam masyarakat ialah tidak hanya terbatas
pada orang saja tetapi juga muncul peristiwa subjek hukum yaitu badan hukum
(rechtspersoon). Hal ini sebagaimana terkonsepkan dalam negara hukum yaitu “
Ubi societes ibi ius” yang bila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia “Dimana ada
5
Marcus Tullius Cicero yang masih berlaku hingga sekarang.7 Perpaduan antara
subjek hukum dengan asas ini untuk melihat bahwa hukum tidak hanya tercipta
sebagaimana adanya yang sudah tertuang dalam norma sehingga masyarakat hanya
tinggal mematuhinya. Konsep ini untuk melihat bahwa peristiwa dimasyarakat
dapat memunculkan hukum baru. Kemunculan tersebut tidak semerta-merta hanya
dari sisi individu, harus ada keterikatan antara dua individu atau lebih yang disebut
sebagai masyarakat. Dengan hubungan-hubungan inilah akan memunculkan
peristiwa hukum yang kemudian dalam masyarakat akan diadopsi. Contoh konkrit
ialah subjek hukum yang bukan sebagai manusia (persoon) tetapi subjek hukum
dalam artian badan hukum (rechtspersoon).
Menurut L.J. Van Apeldoorn dalam Chidir Ali, bahwa orang dalam artian
yuridis adalah setiap orang yang mempunyai wewenang hukum. Wewenang hukum
ialah kecakapan untuk menjadi subjek hukum. Selanjutnya dikatakan, bahwa dalam
memberikan kedudukan sebagai subjek hukum, hukum terikat hanya sampai pada
manusia saja, karena hanya manusia saja yang dapat memiliki hak-hak subjektif
artinya wewenang dan kewajiban.8 Pendapat ini hanya bertitik tumpu pada manusia
saja sebagai subjek hukum. Merupakan kenyataan bahwa dalam pergaulan hidup
manusia tentu akan adanya pergaulan hukum sehingga masyarakat telah menerima
adanya subjek hukum lain disamping manusia. Hal untuk membedakan subjek
hukum ini disebut dengan (badan hukum). Menurut penulis adanya badan hukum
ini merupakan salah satu peristiwa hukum yang muncul dalam kehidupan hukum
di masyarakat. Hal ini semata mata muncul bukan karena tiba-tiba melainkan akibat
7 Teguh Prasetyo, MEMBANGUN HUKUM NASIONAL BERDASARKAN PANCASILA, Jurnal
Hukum dan Peradilan, Universitas Kristen Satya Wacana, Vol. 3 No. 3, 2014, h. 1
6
peristiwa hukum yang ada masyarakat. Peristiwa hukum dimasyarakat yang
menjadikannya ada badan hukum karena adanya perkumpulan manusia yang
bersama-sama dapat mempunyai kemampuan untuk menjadi subjek dari hubungan
hukum. Sekumpulan ini kemudian dinamakan dengan badan hukum dan badan
hukum ini sebagai subjek hukum yang baru serta mandiri.9 Kehadiran badan hukum
ini sebagai realitas di samping manusia sebagai subjek hukum
Pengertian lainnya mengenai subjek hukum adalah pendukung (dapat
memiliki) hak dan kewajiban.10 Hal ini memiliki kesamaan dari beberapa pendapat
ahli hukum yang telah diutarakan. Sebagaimana subjek hukum, untuk mengenal
pertama kali adalah yang dapat memiliki hak dan kewajiban untuk berkehendak
hukum.
Manusia ( natuurlijk persoon ) menurut hukum adalah setiap orang yang
mempunyai kedudukan yang sama, selaku pendukung hak dan kewajiban. Pada
prinsipnya, orang sebagai subjek hukum dimulai sejak ia lahir dan berakhir setelah
ia meninggal dunia. Namun ada pengecualian menurut Pasal 2 BW, bahwa bayi
yang masih dalam kandungan ibunya dianggap telah lahir dan menjadi subjek
hukum, apabila kepentingannya menghendaki (dalam hal menerima pembagian
warisan). Apabila bayi tersebut lahir dalam keadaan meninggal dunia, menurut
hukum ia dianggap tidak pernah ada, sehingga ia bukan subjek hukum ( tidak
menerima pembagian warisan).11
9Ibid, h. 10.
7
Manusia sebagai subjek hukum yang dianggap natural dalam memiliki
kehendak atas perbuatannya merupakan hal yang istimewa. Bahkan manusia dalam
kandungan sekalipun sudah memiliki hak dan kewajiban seperti halnya dalam
hukum waris. Dari sudut pandang filsafati, manusia disebutkan dalam 3 definisi :12
- Defenisi klasik menyatakan bahwa manusia adalah hewan berbudi
atau animal rationale. Bukan berarti bahwa manusia itu sama dengan
hewan yang hanya ditambah dengan budi. Dalam aksi-reaksi biologis ada persamaan, walaupun hanya dalam suatu momen saja dari totalitas atau keseluruhan. Namun dalam aksi-reaksi psikologis, manusia dengan hewan sama sekali berbeda.
- Geist-in-welt.
- Manusia dipandang dari sudut sungguh-sungguh sebagai barang dunia
yang badani, oleh karena memiliki sifat-sifat badani juga.
- Esprit incarne. Manusia adalah roh yang telah menjelma menjadi daging. Maksudnya bahwa manusia betul-betul bersifat jasmani, stoffelijk.
Dengan 3 jenis pandangan secara filsafat diatas bahwa manusia sebagai
subjek hukum memiliki keistimewaan dibandingkan makhluk lain yaitu akal budi
serta sudah diakuinya sebagai subjek hukum sejak dalam kandungan. Dengan
memiliki akal budi serta pengakuan ini maka manusia dapat berkehendak dan dapat
melakukan suatu perbuatan hukum yang diinginkannya.
Oleh Notohamidjojo juga menjelaskan mengenai dari subjek hukum sendiri
sebagai berikut :
Menyatakan bahwa manusia meliputi objek, subjek dan relasi. Manusia sebagai objek adalah manusia dalam perwujudan lahiriah yang memiliki tubuh, mengisi suatu ruang sehingga dapat dicandra. Manusia selain sebagai objek juga mewujudkan subjek yang berarti mempunyai kehendak dan mengambil keputusan yang bebas. Manusia bukanlah subjek yang berdiri sendiri, melainkan senantiasa dalam perhubungan dengan kenyataan. Manusia bukan pula
8
kebebasan saja, namun kebebasan dalam tanggung jawab. Manusia hidup dalam hubungan timbal balik dengan lingkungannya, dan masyarakatlah lingkungan di mana manusia hidup. Dengan demikian,
hakikat manusia dapat dilukiskan sebagai objek-subjek relasi.13
Ketika manusia sebagai subjek hukum, yang oleh hukum dijamin
kebebasannya serta melakukan suatu perbuatan hukum, terdapat batasan-batasan
bagi manusia untuk mulai dapat melakukan perbuatan hukum. Tidak semua
manusia dapat melakukan suatu perbuatan hukum, tetapi semua manusia dianggap
sebagai subjek hukum. Pada dasarnya manusia dapat melakukan perbuatan hukum
yang dengan kata lain memiliki kecakapan kecuali undang-undang menyatakan
lain. Dari ini dapat ditemukan poin penting bahwa, manusia walaupun sebagai
subjek hukum, namun terdapat batas-batas kecakapan untuk melalakukan perbuatan
hukum. Beberapa manusia yang dianggap tidak cakap melakukan perbuatan hukum
ialah anak yang masih dibawah umur, orang yang dinyatakan pailit, dan orang yang
berada dibawah pengampuan. Hal ini digolongkan untuk bertujuan melihat sah dan
tidaknya dalam melakukan suatu perbuatan hukum serta pertanggungjawaban
hukumnya.
Dalam penjelasan diatas dikatakan bahwa manusia sebagai subjek hukum
sudah dari dalam kandungan, akan tetapi terdapat pengecualian dimana bila bayi
tersebut lahir dalam keadaan meninggal maka dia dianggap tidak pernah ada,
sehingga tidak ada status sebagai subjek hukum. Selain terkait dengan bayi yang
meninggal dunia sehingga tidak ada statusnya sebagai subjek hukum, terdapat
subjek hukum (manusia) yang dianggap tidak cakap dalam melakukan perbuatan
9
hukum. Mereka disebut personae miserabile,14 sehingga mengakibatkan tidak
dapat melaksanakan sendiri hak-hak dan kewajibanya, yang menjadikan perlunya
adanya wali atau pengampu atau dalam kepailitan disebut dengan kurator untuk
dapat memenuhi hak-hak dan kewajiban mereka. Golongan-golongan manusia
yang disebut dalam personae miserabile adalah : 15
a. Anak yang masih dibawah umur atau belum dewasa (belum berusia
21 tahun), dan belum kawin/nikah. Aturan mengenai batasan umur ini diatur dalam peraturan perundang-undangan Indonesia sebagai berikut:
- Pasal 330 KUHPerdata ( batas usia 21 tahun atau telah nikah
(kawin) atau pernah nikah (kawin).
- Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang
perkawinan menetapkan batas usia melangsungkan
perkawinan adalah 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita. Namun pada Pasal 6 ayat (1) yang belum berusia 21 tahun harus mendapat izin dari orang tua atau walinya untuk melakukan perkawinan.
- Pasal 45 KUHPidana berbunyi, belum dapat dipidana
seseorang yang belum berusia 16 tahun. Namun pada Pasal 46 KUHPidana, apabila hakim tetap mepidanakan maka dapat memilih tiga putusan yaitu dikembalikan ke orang tua si anak, memasukan dalam pemeliharaan anak negara, atau menjatuhkan pidana yang dikurangi sepertiga dari ancaman maksimal dan dipenjara khusus penjara anak.
- Pasal 28 Undang-Undang No 3 tahun 1999 tentang Pemilihan
Umum (Pemilu), hak untuk memilih adalah usia 17 tahun, atau sudah/pernah kawin.
- Pemabuk dan pemboros (ketidakcakapannya khusus dalam
peralihan hak di bidang harta kekayaan)
Di atas adalah beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan yang
mengatur batasan-batasan usia bagi anak yang belum dewasa dan cakap melakukan
10
perbuatan hukum serta orang-orang dewasa yang digolongkan tidak cakap
melakukan perbuatan hukum.
Secara yuridis ada beberapa alasan tentang manusia sebagai subjek hukum.
Pertama, manusia mempunyai hak-hak subjektif. Kedua, kewenangan hukum yang
berarti kecakapan untuk menjadi subjek hukum, yaitu sebagai pendukung hak dan
kewajiban. Pada dasarnya manusia mempunyai hak sejak dalam kandungan karena
status sebagai subjek hukum yang melekat pada manusia adalah kodrat yang dibawa
dari lahir sedangkan hukum hanya mengakuinya saja. Pengecualian atas hak
tersebut terdapat di dalam Pasal BW yang mengatur bahwa anak yang ada dalam
kandungan seorang perempuan dianggap telah lahir, setiap kali kepentingan si anak
menghendakinya. Bila telah mati sewaktu dilahirkan, dia dianggap tidak pernah
ada. Pengecualian atas hak ini disebut dikenal dengan fiksi hukum. Tidak semua
manusia mempunyai kewenangan dan kecakapan untuk melakukan perbuatan
hukum, adapun orang yang dapat melakukan perbuatan hukum adalah orang yang
cakap menurut hukum. Sedangkan orang-orang yang tidak cakap melakukan
perbuatan hukum adalah orang yang belum dewasa, orang yang ditaruh di bawah
pengampuan, seorang wanita yang bersuami (Pasal 1330 KUH Perdata).16
Dikatakan bahwa selain subjek hukum manusia yang diakui secara
keseluruhan oleh hukum, terdapat entitas subjek hukum lainnya yang disebut badan
hukum (rechtspersoon). Badan hukum sendiri merupakan hasil dari peristiwa
hukum di masyarakat yang kemudian memunculkan pemahaman hukum baru.
Secara otomatis badan hukum sebagai subjek hukum tentu memiliki kewenangan
11
hak dan kewajiban dimana ia cakap melakukan perbuatan hukum. Badan hukum ini
merupakan perkumpulan yang diciptakan oleh hukum. Badan hukum merupakan
persona ficta atau orang yang diciptakan oleh hukum sebagai persona.17
BW menggunakan istilah rechtspersoon yaitu pada saat diadakannya
pengaturan tentang kanak-kanak (kinderwetten). Menurut Pasal 292 Ayat (2) dan
Pasal 302 Buku I BW serta sejak diadakannya buku Titel 10 Buku III BW (lama)
pada tahun 1838 terdapat banyak ketentuan tentang apa yang dimaksud dengan
rechtspersoonen tetapi istilah yang digunakan adalah zedelijk lichaam (badan
susila). Mengenai istilah ini, Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto dalam
Dyah Hapsari Prananingrum berpendapat sebagai berikut : 18
Dalam menejermahkan zadelijk lichaam menjadi badan hukum, lichaam itu
benar terjemahannya badan, tetapi hukum sebagai terjemahan zadelijk itu salah,
karena arti sebenarnya susila. Oleh karena itu, istilah zadelijk lichaam dewasa ini
sinonim dengan rechtspersoon, maka lebih baik kita gunakan pengertian itu dengan
terjemahan pribadi hukum.
Badan hukum sebagai salah satu subjek hukum, memang banyak sekali
perdebatan yang menganggap bahwa badan hukum bukanlah subjek hukum.
Namun dalam Buku Ketiga BW Pasal 1653 dan 1654 menyinggung beberapa
ketentuan yang dapat menjadi dasar sahnya badan hukum. Pada Pasal 1653 BW
berbunyi :
“Selainnya perseroan yang sejati oleh undang-undang diakui pula
perhimpunan-perhimpunan orang sebagai
perkumpulan-perkumpulan, baik perkumpulan-perkumpulan itu diadakan atau
17Ibid, h. 6.
12
diakui sebagai demikian oleh kekuasaan umum, maupun perkumpulan-perkumpulan itu diterima sebagai diperboehkan, atau telah didirikan untuk suatu maksud tertentu yang tidak didirikan untuk suatu maksud tertentu yang tidak bertentangan dengan
undang-undang atau kesusilaan baik”.
Kemudian pada Pasal 1654 BW berbunyi :
“Semua perkumpulan yang sah adalah, seperti halnya dengan
orang-orang preman, berkuasa melakukan tindakan-tindakan perdata, dengan tidak mengurangi peraturan-peraturan umum, dalam mana kekuasaan itu telah diubah, dibatasi atau ditundukan pada acara-acara tertentu”.
Dari rumusan diatas ditemukan 3 macam perkumpulan dalam Pasal 1653
yang bisa dijadikan landasan yuridis keberadaan badan hukum:19
a. Perkumpulan yang diadakan oleh kekuasaan umum
b. Perkumpulan yang diakui oleh kekuasaan umum
c. Perkumpulan yang diperkenankan atau untuk suatu maksud
tertentu tidak berlawanan dengan undang-undang atau kesusilaan.
Dalam bahasa Inggris manusia disebut sebagai natural person, sedangkan
badan hukum disebut legal person. Salmond menjelaskan mengenai badan hukum
yang berbunyi :
“a legal person is any subject matter other than human being to which
the law attributes personality’
Maksud dari pernyataan ini bahwa karakteristik badan hukum adalah
didirikan oleh orang, mempunyai kekayaan sendiri yang terpisah dari kekayaan
13
pendiri dan pengurusnya, mempunyai hak dan kewajiban terlepas dari hak dan
kewajiban pendiri atau pengurusnya.20
Namun, perdebatan mengenai badan hukum masih saja ramai dibicarakan.
Salah satu poin penting perdebatan tersebut terkait dengan eksistensinya. Ketika
manusia menjadi subjek hukum maka hak dan kewajibannya jelas tersirat
sebagaimana ia berkehendak. Eksistensi dan keberadaan manusia sebagai subjek
hukum jelas terlihat nyata. Lain hal dengan badan hukum, ketika badan hukum
tercipta tentulah dibutuhkan pengakuan. Ketika pengakuan belum diajukan ke
lembaga yang berwenang dalam ini belum didaftarkan maka entitas dirinya sebagai
badan hukum belum dapat diakui. Permasalahan kemudian yang muncul terkait
dengan badan hukum adalah subjek hukum yang dianggap fiktif. Hal ini
dikarenakan keberadaannya berada dibayang-bayang subjek hukum manusia
sehingga hak dan kewajiban serta kehendak subjek hukum badan hukum dianggap
sama sebagai subjek hukum manusia.
Marwan Mas di dalam bukunya yang berjudul “Pengantar Ilmu Hukum”
menjelaskan syarat badan hukum untuk menjadi subjek hukum. Terdapat empat
teori sebagai syarat menjadi badan hukum menjadi subjek hukum: 21
a. Teori fictie, yaitu badan hukum dianggap sama dengan manusia (orang) sebagai subjek hukum, dan hukum juga memberi hak dan kewajiban.
b. Teori kekayaan bertujuan, yaitu harta kekayaannya dari suatu badan hukum mempunyai tujuan tertentu, dan harus terpisah dari harta kekayaan para pengurusnya atau anggotanya.
c. Teori pemilikan bersama, yaitu semua harta kekayaan badan hukum menjadi milik bersama para pengurusnya atau anggotanya.
14
d. Teori organ, yaitu badan hukum itu harus mempunyai organisasi atau alat untuk mengelola dan melaksanakan kegiatan untuk mencapai tujuan, yaitu para pengurus dan aset (modal) yang dimiliki.
Empat teori diatas dianggap sebagai syarat badan hukum bisa mendapatkan
statusnya sebagai subjek hukum dan entitas badan hukumnya bisa diakui. Selain itu
penulis juga menambahkan bahwa status sebagai badan hukum harus didaftarkan
ke Menkumham sebagai bentuk pengesahan badan hukum.
Badan hukum dalam hal ini dibedakan menjadi 2 jenis baik publik maupun
privat. Badan hukum publik lebih pada lingkup pemerintahan baik pusat maupun
daerah, sedangkan badan hukum privat terlepas dari unsur pemerintahan karena
didirikan hanya untuk mencari keuntungan salah satunya adalah Perseroan Terbatas
(PT).22
Terdapat beberapa pendapat mengenai badan hukum. Oleh Dyah Hapsari
Prananingrum di dalam jurnal refleksi hukum yang berjudul “Telaah Terhadap
Esensi Subjek Hukum: Manusia Dan Badan Hukum”, menurut Apeldoorn, yang
dimaksud dengan purusa hukum (badan hukum) adalah : 23
a. Tiap-tiap persekutuan manusia, yang bertindak dalam pergaulan
hukum seolah-olah ia suatu purusa yang tunggal
b. Tiap-tiap harta dengan tujuan yang tertentu, tetapi dengan tiada
yang empunya, dalam pergaulan hukum diperlakukan seolah-olah ia sesuatu purusa (yayasan).
Menurut Rochmat Soemitro, badan hukum atau rechtspersoon adalah suatu
badan atau perkumpulan yang dapat mempunyai harta, hak, serta kewajiban seperti
15
orang-orang pribadi.24 Wirjono Prodjodikoro menyatakan badan hukum sebagai
badan di samping manusia perseorangan yang dianggap dapat bertindak dalam
hukum dan yang mempunyai hak-hak, kewajiban-kewajiban dan hubungan hukum
dengan orang lain maupun badan lain.25
Dengan pendapat ahli hukum diatas maka pemikiran serta pengertian badan
hukum sebagai subjek hukum dapat diterima dan tak dianggap fiktif lagi. Badan
hukum yang merupakan subjek hukum tentu dibuat oleh sekumpulan-sekumpulan
subjek hukum (manusia) untuk suatu kepentingan tertentu. Dengan begitu entitas
perkumpulan tersebut untuk membuat suatu badan yang dapat menampung
kepentingan-kepentingan para subjek hukum dapat diakui. Sama halnya dengan
subjek hukum manusia, subjek hukum badan hukum tentu memiliki hak dan
kewajibannya sendiri, terdapa harta kekayaannya sendiri yang terpisah dari para
pengurus badan hukum, adanya kepentingan berkaitan dibuatnya badan hukum
tersebut, serta dapat dipailitkan. Perseroan Terbatas (PT) merupakan salah satu
contoh badan hukum yang memiliki legal entitynya sendiri. Perseroan Terbatas
yang dimana terbentuk dari sebuah perjanjian antara para pihak untuk memenuhi
kepentingan tertentu. Kemudian adanya kepengurusan atau organ-organ yang
menopang jalannya badan hukum tersebut sehingga siklus bisnis akan terus
berputar sehingga badan hukum tersebut tidak berhenti.
Terdapat unsur-unsur mengenai badan hukum, menurut Scholten badan
hukum haruslah memenuhi unsur-unsur : 26
24Ibid, h. 9.
16
a. Mempunyai harta kekayaan sendiri, yang berasal dari suatu
perbuatan hukum pemisahan.
b. Mempunyai tujuan tertentu sendiri.
c. Mempunyai alat perlengkapan atau organisasi.
Menurut Ali Rido, untuk menentukan kriteria sebagai badan hukum, doktrin
memberikan syarat sebagai berikut : 27
a. Adanya harta kekayaan yang terpisah.
b. Mempunyai tujuan tertentu
c. Mempunyai kepentingan.
d. Adanya organisasi yang teratur.
Menurut Soenawar Soekowati, badan hukum harus memenuhi unsur-unsur
: 28
a. Ada harta kekayaan yang terpisah lepas dari kekayaan
anggota-anggotanya ( pendiri)
b. Adanya kepentingan yang diakui dan dilindungi oleh hukum,
serta bukan kepentingan satu atau beberapa orang saja.
c. Kepentingan tersebut haruslah panjang (stabil)
d. Harus dapat ditunjukan suatu harta kekayaan yang tersendiri,
yang tidak saja untuk objek tuntutan tetapi juga sebagai upaya
pemeliharaan kepentingan-kepentingan badan hukum yang
terpisah dari kepentingan anggota-anggotanya (pendiri).
27Ibid, h. 11.
17
Dari beberapa pendapat para ahli hukum diatas memiliki kesamaan besar
untuk menjelaskan mengenai subjek hukum. Poin penting yang muncul mengenai
subjek hukum adalah adanya pendukung dirinya untuk dapat memiliki hak dan
kewajiban dalam kewenangannya bertindak menurut tata cara yang dibenarkan oleh
hukum, kemudian adanya kecakapan hukum sebagai dasar bahwa subjek hukum
dapat bertindak atas dirinya sendiri, dan adanya pengakuan oleh hukum, dengan
demikian hal tersebut meliputi subjek hukum (natuurlijk person) dan
(rechtsperson).
2. Perjanjian a. Pengertian
Perjanjian merupakan perbuatan hukum yang dihasilkan dari perikatan.
Dalam kamus hukum perikatan di definisikan berupa “kesepakatan atau persetujuan
untuk memberikan, berbuat atau tidak berbuat sesutu”. Sedangkan perjanjian dalam
kamus hukum berbunyi “ persetujuan secara tertulis atau lisan yang dibuat dua
pihak atau lebih di mana masing-masing berjanji akan mentaati apa yang tersebut
dalam persetujuan itu sebagai kesepakatan bersama; persetujuan atau kesepakatan
resmi antara dua orang atau pihak atau negara atau lebih dalam bidang-bidang
tertentu”. Dalam Buku ke III BW Pasal 1233 dan 1234 menjelaskan perikatan pada
umumnya yang berbunyi :
Pasal 1233 :
“Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena
18 Pasal 1234 :
“Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat
sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu”.
Sedangkan definisi perjanjian terdapat pada Pasal 1313 BW yang berbunyi:
Pasal 1313:
“Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau
lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.
Dalam kedua Pasal tersebut telah menjelaskan mengenai definisi dari
perikatan dan perjanjian. Namun secara jelas bahwa perikatan tidak sama dengan
perjanjian. Perjanjian adalah sumber dari perikatan. Bila digambarkan bahwa
perikatan bisa muncul karena perjanjian dan Undang. Dari
Undang-Undang sendiri muncul memang karena Undang-Undang-Undang-Undang dan karena perbuatan
manusia ( sesuai hukum maupun melawan hukum). Perjanjian sendiri memiliki
beberapa istilah seperti: perjanjian, persetujuan, kontrak, dan perutangan. Namun
dalam hal ini kebanyakan para pihak menyebutnya sebagai kontrak. Hal ini didasari
dengan kepentingan bisnis yang dimana ada tujuan yang ingin dicapai. Sedangkan
dalam perjanjian tidak sepenuhnya hal tersebut untuk mencari keuntungan. Kontrak
merupakan salah satu istilah yang sering digunakan dalam perbuatan hukum.
Klausul-klausul yang ingin dicapai pun dapat dibuat sedemikian rupa untuk
menjadikan sebuah keuntungan. Pada dasarnya kontrak berawal dari perbedaan
atau ketidaksamaan kepentingan diantara para pihak. Untuk mencapai suatu
kesepakatan biasanya dilakukan negosiasi untuk menciptakan bentuk kesepaatan
19
Perkembangan hukum kontrak dalam praktiknya terkadang masih dipahami
secara rancu. Pelaku bisnis kebanyakan mencampuradukan pengertian tersebut
seolah berbeda. Dalam BW menggunakan istilah overeenkomst dan contract untuk
pengertian yang sama. Hal ini secara jelas dapat disimak dari judul Buku III titel
Kedua Tentang “ Perikatan-Perikatan yang Lahir dari Kontrak atau Perjanjian”
yang dalam bahasa aslinya (bahasa Belanda), yaitu : “Van verbintenissen die uit
contract of overeenkomst geboren worden”. Pengertian ini juga didukung pendapat
banyak sarjana antara lain : Jacob Hans Niewenhuis, Hofmann, J.Satrio, Soetojo
Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, Mariam Darus Badrulzaman, Purwahid
Patrick, dan Tirtodiningratyang menggunakan istilah kontrak dan perjanjian dalam
pengertian yang sama.29 Namun menurut Subekti mempunyai pendapat lain
mengenai istilah “perjanjian atau persetujuan” dengan “kontrak”. Menurutnya
istilah kontrak mempunyai pengertian lebih sempit karena ditujukan kepada
perjanjian atau persetujuan yang tertulis.30
Peter Mahmud Marzuki memberikan penjelasan mengenai istilah kontrak
atau perjanjian dengan melakukan perbandingan dengan sistem Anglo-American
sebagai berikut :
Sistematika Buku III tentang verbintenissenrecht (Hukum Perikatan)
mengatur mengenai overeenkomst yang kalau diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia berarti perjanjian. Istilah kontrak merupakan
terjemahan dari Bahasa Inggris contract. Di dalam konsep
kontinental, penempatan pengaturan perjanjian pada buku III BW Indonesia tentang hukum Perikatan mengindikasikan bahwa perjanjian memang berkaitan dengan masalah Harta Kekayaan( Vermogen). Pengertian perjanjian ini mirip dengan contract pada
konsep Anglo-American yang selalu berkaitan dengan bisnis. Di
29 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, Kencana, Jakarta, 2014, h. 13.
20
dalam pola pikir Anglo-American, perjanjian yang bahasa
Belanda-nya overeenkomst dalam bahasa Inggris disebut agreement yang
mempunyai pengertian lebih luas dari contract, karena mencakup
hal-hal yang berkaitan dengan bisnis atau bukan bisnis. Untuk agreement
yang berkaitan dengan bisnis disebut contract, sedang untuk yang
tidak terkait dengan bisnis hanya disebut agreement.31
Dengan pendapat demikian, penulis akan menggunakan istilah perjanjian
dalam membahas topik, hasil penelitian dan analisis. Tujuannya adalah lingkup
bahasan yang digunakan terkait perjanjian oleh suami isteri yang terikat dalam
perkawinan dalam hal mendirikan Perseroan Terbatas (PT). Otomatis lingkup yang
dibahas adalah perjanjian karena aspek yang dilihat tidak hanya sebatas bisnis.
Dilihat bahwa Pasal 1313 BW memberikan rumusan mengenai perjanjian.
Oleh Subekti memberikan definisi dari perjanjian itu sendiri dengan suatu peristiwa
dimana seseorang berjanji pada seorang lain atau di mana dua orang itu saling
berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.32 Sedangkan oleh KRMT Tirtodiningrat
memberikan definisi perjanjian adalah suatu perbuatan hukum berdasarkan kata
sepakat di antara dua orang atau lebih untuk menimbulkan akibat-akibat hukum
yang dapat dipaksakan oleh undang-undang.33
Dengan demikian definisi mengenai perjanjian menjadikan suau perbuatan
seseorang dengan orang lain atau lebih untuk melakukan suatu hal yang
menimbulkan akibat hukum sehingga pihak-pihak yang terikat dalam perjanjian
tersebut harus melaksanakannya dengan itikad baik. Namun dalam rumusan Pasal
1313 BW terdapat kekurangan terkait perbuatan hukumnya. Dalam Pasal 1313 BW,
31Ibid,h. 14-15.
21
persetujuan tersebut hanya menyebutkan persetujan sepihak saja. Definisi tersebut
menurut Purwahid Patrik terdapat kelemahan sebagai berikut : 34
a. Definisi tersebut hanya menyangkut perjanjian sepihak saja. Hal
ini dapat disimak dari rumusan “ satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih darinya”. Kata “mengikatkan “ merupakan kata kerja yang sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua pihak. Sedang maksud perjanjian itu para pihak saling mengikatkan diri, sehingga tampak kekurangannya yang seharusnya ditambah dengan rumusan “saling mengikatkan diri”.
b. Kata perbuatan mencakup juga tanpa consensus/kesepakatan,
termasuk perbuatan mengurus kepentingan orang lain
(zaakwaarneming) dan perbuatan melanggar hukum (onrechtmatigedaad). Hal ini menunjukan makna “perbuatan” itu luas dan yang menimbulkan akibat hukum.
c. Perlu ditekankan bahwa rumusan Pasal 1313 BW mempunyai
ruang lingkup di dalam hukum harta kekayaan (vermogensrecht).
Dengan begitu perlunya dilengkapi kekurangan dari definisi dalam Pasal
1313 BW, sehingga pengertian perjanjian adalah perbuatan hukum, dimana satu
orang atau lebih saling mengikatkan dirinya terhadap pihak lainnya. Di dalam
Nieuw Burgelijk Wetboek (NBW) Pasal 1313 KUHPerdata mengalami perubahan
yang diatur dalam Buku 6 Bab 5 Pasal 6:213, yaitu : “a contract in the sense of this
title is a multilateral juridical act whereby one or more parties assume an
obligation towards one or more other parties”. Menurut NBW kontrak merupakan
perbuatan hukum yang bertimbal balik, di mana satu orang atau lebih mengikatkan
dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya.35
Jelas dalam perubahan Pasal 1313 di NBW mengenai definisi perjanjian yang
dimana harus adanya timbal balik dari pihak untuk melakukan suatu perjanjian.
34Ibid, h.17-18.
22 b. Keabsahan suatu perjanjian
Mengenai perjanjian yang akan dibuat tentulah diperlukan adanya
syarat-syarat khusus untuk sahnya sebuahnya perjanjian tersebut. Ketentuan itu diatur
dalam Buku III BW pada Bab ke dua bagian ke dua mengenai “tentang syarat-syarat
yang diperlukan untuk sahnya suatu perjanjian” pada Pasal 1320 BW , untuk sahnya
suatu perjanjian diperlukan empat syarat :
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
3. Suatu hal tertentu
4. Suatu sebab yang halal
Ketentuan mengenai Pasal 1320 BW merupakan syarat yang harus ada di
dalam setiap perjanjian. Ketentuan mengenai syarat sah tersebut juga dibarengi
dengan adanya kehendak yang tidak cacat. Maksud dengan kehendak yang tidak
cacat adalah bahwa perjanjian tersebut memang dibuat dengan jasmani dan rohani
para pihak tanpa ada hal lain yang memaksa. Hal ini diatur dalam Pasal selajutnya
yaitu Pasal 1321 BW yang berbunyi :
“Tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena
kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan”.
Hal ini sebagaimana adanya itikad baik dalam membuat perjanjian sehingga
tidak adanya cacat kehendak dalam pelaksanaannya atau prestasinya dapat
dilakukan. Itikad baik tertuang di dalam Pasal 1338 ayat (3) BW, sehingga segala
perjanjian yang dibuat oleh para pihak perlu memperhatikan ketentuan Pasal
tersebut. apabila ketentuan dasar syarat sahnya suatu perjanjian tentu
mengakibatkan perjanjijan tersebut dapat dibatalakan ataupun batal demi hukum (
23 c. Asas-asas di dalam perjanjian
Di dalam perjanjian sendiri memiliki asas-asas yang menjadi dasar
dibuatnya perjanjian tersebut serta akibat yuridisnya setelah perjanjian itu telah
disahkan. Di dalam perkembangnya asas hukum perjanjian di bagi menjadi
beberapa bagian. Asas-asas hukum perjanjian tersebut berkaitan dengan lahirnya,
isi, kekuatan mengikatnya dan pelaksanaan perjanjian. Beberapa asas tersebut
dijelaskan sebagai berikut :
a. Asas konsensualisme
Asas ini berkaitan dengan lahirnya perjanjian . Asas ini menceritakan bahwa
perjanjian pertama kali lahir dari kata sepakat. Pihak-pihak ataupun para pihak
tersebut saling mengikatkan dirinya satu sama lain dalam bentuk tertulis dengan
apa yang mereka janjikan sekalipun belum terlaksana. Dengan adanya kata sepakat
terlebih dahulu sudah memunculkan hak dan kewajiban bagi pihak-pihak yang
terlibat. Christiana Tri Budhayati dalam Mariam Darus mengutip adanya empat
teori yakni :36
- Teori kehendak (wilstheorie), mengajarkan bahwa
kesepakatan terjadi pada saat kehendak pihak penerima dinyatakan.
- Teori penerimaan (verzendtheorie), mengajarkan bahwa
kesepakatan terjadi pada saat kehendak yang dinyatakan itu dikirim oleh pihak yang menerima tawaran.
- Teori pengetahuan (vernemingstheorie), mengajarkan bahwa
pihak yang menawarkan seharusnya sudah mengetahui bahwa tawarannya diterima.
- Teori kepercayaan (vertrouventstheorie), mengajrakan bahwa
kesepakatan terjadi pada saat pernyataan kehendak dianggap layak diterima oleh pihak yang menawarkan.
36 Dyah Hapsari Prananingrum, ed., Dinamika Hukum Kontrak,Universitas Kristen Satya
24
Dengan teori-teori yang dikemukakan maka dapat disusun bahwa teori
kehendak sebagai mulanya kata sepakat dalam membuat suatu perjanjian. Adanya
kehendak dari masing-masing pihak sebagai itikad baik serta kecakapan hukum
bahwa dirinya dapat melakukan suatu perjanjian tanpa ada paksaan. Kemudian
dengan teori kedua yaitu teori penerimaan merupakan langkah kedua dari
kehendak. Ketika kehendak telah dilakukan maka secara otomatis tawaran-tawaran
serta bentuk-bentuk dari perjanjian akan dapat diterima. Dengan mengkonfirmasi
seperti di dalam jual beli online maka dalam melakukan persetujuan yaitu dengan
menekan tombol beli atau mengkonfirmasi apapun untuk mengirim pemberitahuan
bahwa seseorang ingin membeli maka teori yang kedua telah terpenuhi. Teori yang
ketiga merupakan teori pengetahuan sebagai akibat dari teori penerimaaan. Hal ini
bisa dikatakan dengan konfirmasi atas tawaran yang telah diajukannya dan telah
diterima. Teori kepercayaan sebagai teori yang terakhir merupakan kehendak
masing-masing yang melakukan perjanjian tahu akan isi dari perjanjian tersebut dan
dapat diterima serta saling adanya itikad baik.
b. Asas Kebasan Berkontrak
Asas ini berkaitan dengan dengan isi perjanjian atau kontrak. Asas ini
memberikan kepada siapapun yang cakap melakukan perbuatan hukum dapat
membuat perjanjian atau kontrak dengan siapa saja yang juga cakap hukum.
Dengan begitu asas ini memberikan kebebasan bagi para pihaknya melakukan suatu
perjanjian dengan pihak manapun asalkan adanya kesepakatan dan terpenuhinya
unsur-unsur dalam pembuatan perjanjian baik itu unsur subjek serta unsur objek.
Selain dengan siapapun pihak dapat membuat sebuah perjanjian atau kontrak,
25
isi perjanjiannya seperti apa. Hal ini sebagai persamaan posisi sehingga tidak ada
yang merasa diatas ataupun dibawah. Ketentuan mengenai asas kebebasan
berkontrak terdapat di dalam Pasal 1338 ayat (1) BWyang berbunyi :
“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.
Kata “semua” mengandung makna meliputi seluruh perjanjian baik yang
telah diatur dalam KUHPerdata (dikenal dengan perjanjian bernama) maupun
perjanjian yang belum didaftar dalam KUHPerdata, yang muncul karena kebutuhan
masyarakat (lebih dikenal dengan istilah perjanjian tidak bernama).37
Kemudian dari asas ini tidak ditafsirkan bahwa kebebasan berkontrak
dianggap sebagai sebebas-bebasnya, karena harus ada ketentuan dalam membuat
perjanjian apapun modelnya. Dengan memperhatikan Pasal 1337 BW yang
memberikan batasan bebas terhadap asas kebebasan berkontrak yang berbunyi :
“Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang,
atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban
umum”.
Dengan bunyi seperti diatas maka perlu memperhatikan bahwa perjanjian
tidak boleh melanggar undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum.
c. Asas Pacta Sun Servanda
Asas ini berkaitan dengan kekuatan mengikatnya perjanjian atau kontrak
yang telah dibuat para pihak. Asas ini diatur dalam Pasal 1338 BW yang berbunyi
:
26
“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.
Asas ini melihat bahwa adanya jaminan kepastian hukum pada para pihak
yang berjanji, para pihak akan “terikat” pada apa yang diperjanjikan, terkandung
makna bahwa ia tidak dapat mengingkari apa yang telah diperjanjikan,
pengingkaran tentu akan mendatangkan sanksi hukum bagi yang bersangkutan.38
Selain para pihak terikat dengan apa yang telah mereka perjanjikan, mereka
juga harus memperhatikan pada kebiasaan dan kepatutan di masyarakat. Jangan
sampai perjanjian yang dibuat berbenturan dengan kebiasaan dan kepatutan di
dalam masyarakat. Hal ini diatur di dalam Pasal 1339 BW yang berbunyi :
“Persetujuan tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas
dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat persetujuan, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau
undang-undang”.
Di dalam Pasal ini terdapat mengenai asas kepatutan yang akan menjadi
dasar bagi pihak yang akan membuat perjanjian.
d. Asas Itikad Baik
Asas ini terkait dengan pelaksanaan dari isi perjanjian nantinya. Itikad baik
merupakan asas untuk melihat apakah pihak-pihak yang terkait membuat kontrak
benar-benar melakukan kewajiban hukumnya dengan apa yang diperjanjikan. Hal
ini diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) BW yang berbunyi:
“Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”
27
Secara tegas dari bunyi Pasal tersebut bahwa pihak-pihak yang terafiliasi di dalam
perjanjian yang dibuat terikat untuk melakukan kewajiban hukumnya atau sering
disebut dengan (prestasi). Dengan demikan asas itikad baik juga bersumber dari
rasa saling percaya antara yang membuat perjanjian.
Kriteria itikad baik tidak ditemukan dalam peraturan perundangan, oleh
karena itu hakim mempunyai kewenangan untuk menetapkan apakah suatu
perjanjian dibuat atau dilaksanakan dengan itikad baik. Itikad baik dapat dilihat dari
sikap tingkah laku yang nyata dari subyek pembuat perjanjian, dapat pula bersifat
mutlak dengan penilaian terletak pada akal sehat dan keadilan dengan ukuran yang
obyektif.39
Ridwan Khairandy dalam Christiana Tri Budhayati, menjelaskan bahwa
pengertian itikad baik mempunyai dua dimensi: 40
- dimensi subyektif yang berarti itikad baik mengarah pada
makna kejujuran.
- dimensi yang memaknai itikad baik sebagai kerasionalan dan
kepatutan atau keadilan.
Dengan dua dimensi tersebut maka perjanjian yang dibuat oleh para pihak
haruslah terkait dan memiliki kedua unsur dimensi diatas, selayaknya sebuah
perjanjian yang dibuat maka kepatutan dan kerasioanalan harus jelas terlihat.
Demikian, maka rasa adil bagi para pihak dapat terjamin.
39Ibid, h. 52.
28
3. Perjanjian Terkait dengan Pendirian Perseroan Terbatas (PT)
untuk melihat mengenai perjanjian terkait dengan pendirian Perseroan
Terbatas (PT) maka harus melihat dari tahap inkorporasi Perseroan Terbatas (PT).
Dalam pra inkorporasi, aktivitas pendirian Perseroan Terbatas (PT) dapat dipilah
menjadi 3 langkah : 41
a. Discovery, merupakan langkah-langkah yang meliputi upaya untuk menemukan kesempatan bisnis apa yang akan dikembangkan, bagaimana prospek bisnis tersebut, apa tantangan yang dihadapi untuk mengembangkan bisnis tersebut.
b. Investigation, merupakan analisis terhadap rencana bisnis yang telah dipilih untuk mendapatkan kepastian apakah suatu aktivitas bisnis tertentu itu memiliki kelayakan ekonomis atau tidak.
c. Assembly, merupakan langkah terakhir yang mencakup pada
tindakan konkrit sebagai tahapan (steps) mewujudkan
berdirinya Perseroan Terbatas. Langkah ini mencakup bagaimana kebutuhan modal (baik modal tetap maupun modal berjalan) diperoleh, bagaimana menyediakan kebutuhan tenaga kerja, perencanaan detail maupun lanjutan dari suatu perusahaan.
Di dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
(PT) pada Pasal 1 ayat (1) menjelaskan terlebih dahulu definisi dari Perseroan
Terbatas (PT) yang berbunyi :
“adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan
berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan
pelaksananya”.
29
Dari penjelasan tersebut dapat ditemui beberapa unsur-unsur klasifikasi sebuah
Perseroan Terbatas (PT). Unsur-unsur ini sebagai berikut : 42
- Badan Hukum yang merupakan persekutuan modal
- Didirikan berdasarkan perjanjian
- Melakukan kegiatan usaha
- Seluruh modalnya terbagi dalam bentuk saham
- Memenuhi persyaratan Undang-Undang dan peraturan pelaksanaannya.
Perseroan Terbatas (PT) memiliki status sebagai badan hukum (legal entity)
dengan penekanan sebagai persekutuan modal.43 Ketika sudah dikatakan sebagai
badan hukum maka termasuk dalam subjek hukum sehingga dapat menimbulkan
hak dan kewajiban, dapat dituntut maupun menuntut di muka pengadilan. Namun
dengan tak terbentuk secara alamiah maka dibutuhkannya organ-organ sebagai
mengaktualisasikan badan hukum tersebut. Dengan melihat jenisnya sebagai
persekutuan modal maka modal sebagai hal penting untuk melihat hubungan
hukum di dalamnya. Dengan pemilik modal yang lebih besar maka akan
memberikan partisipasinya lebih banyak ketimbang yang sedikit modalnya ada di
Perseroan Terbatas (PT) itu.
Perseroan Terbatas didirikan berdasarkan perjanjian. Dalam
Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT) diatur bahwa untuk
mendirikan Perseroan Terbatas (PT) sekurang-kurangnya harus mengikutkan 2
(dua) orang. Dua orang atau lebih tersebut membuat perjanjian untuk bersama-sama
mendirikan Perseroan Terbatas (PT). Dalam beberapa literatur menyebutkan bahwa
teori yang dianut oleh pembentuk Undang-Undang ini disebut teori perjanjian,
dimana pihak yang terlibat sekurang-kurangnya 2 (dua) orang. Teori perjanjian ini
30
tidak hanya dianut ketika Perseroan Terbatas (PT) akan didirikan saja, tetapi juga
setelah Perseroan Terbatas (PT) berdiri dan beroperasi. 44
Pengaturan mengenai pendirian oleh minimal dua orang dan berdasarkan
perjanjian dapat dilihat dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas (PT) di dalam Pasal 7 ayat (1) yang berbunyi:
“Perseroan didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih dengan akta notaris
yang dibuat dalam bahasa Indonesia”
Di dalam pendapat ahli hukum lain pun juga menjelaskan mengenai
pendirian Perseroan Terbatas (PT). Ketentuan mengenai pendirian Perseroan
Terbatas (PT) harus didirikan oleh paling sedikit 2 orang. Hal merupakan ketentuan
yang bersifat umum.45 Namun terdapat juga pendirian Perseroan Terbatas (PT)
yang didirikan oleh 1 orang namun hal tersebut berkaitan dengan negara. Dalam hal
ini konteks yang diambil adalah yang didirikan oleh person ( subjek hukum )
manusia, sehingga aturan tersebut harus diperhatikan.
Hal tersebut menjadikannya penting dikarenakan masuk dalam pra
inkorporasi / sebelum Perseroan Terbatas (PT) terbentuk dan beroprasi. Sehingga
apabila tahap dasar tersebut tak terpenuhi maka akibat yuridis selanjutnya akan
menjadi sebuah masalah.
Ketika pendirian sebuah Perseroan Terbatas (PT) yang tidak memenuhi
unsur syarat pendiriannya yaitu minimal dua orang, maka hal tersebut akan
menjadikannya pemegang saham tunggal sehingga pertanggungjawabannya akan
44 Ibid, h. 33.
31
menjadi tak terbatas lagi. Hal tersebut sangat bertolak belakang kepada asas prinsip
limited liability atau pertanggungjawaban terbatas. Prinsip ini menjadikan
pemegang saham hanya bertanggungjawab atas sebesar nilai nominal saham yang
dikeluarkan. Pertanggungjawaban terbatas ini dapat disimpangi dalam kondisi
tertentu. Hal tersebut diatur di dalam Pasal 3 ayat (2) Undang – Undnag No. 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT) yang berbunyi :
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila :
a. Persyaratan Perseroan sebagaian badan hukum belum atau tidak
terpenuhi
b. Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak
langsung dengan itikad buruk memanfaatkan Perseroan untuk kepentingan pribadi
c. Pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan
melawan hukum yang dilakukan oleh Perseroan atau
d. Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak
langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan Perseroan, yang mengakibatkan kekayaan Perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi utang Perseroan.
Dari bunyi pada ayat-ayat tersebut merupakan hal-hal yang dapat membuat
pendiri sekaligus pemegang saham menjadikan pertanggungjawabannya tak
terbatas lagi.
4. Harta Kekayaan Dalam Perkawinan
a. Konsep di Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Dalam menjelaskan mengenai pendirian sebuah Perseroan Terbatas (PT)
oleh suami isteri yang terikat dalam perkawinan, perlu juga membahas sedikit
mengenai aspek perkawinan khususnya mengenai harta kekayaan mereka. Hal ini
32
dalam subjek hukum yang di sebut di dalam Perseroan Terbatas (PT), dan dapatkah
mereka menjadi pendiri Perseroan Terbatas (PT).
Pengaturan mengenai perkawinan mulanya diatur di dalam Pasal 26 BW
yang berbunyi “ Undang-Undang memandang soal perkawinan hanya dalam
hubungan perdata”. Sedangkan dalam perkembangan hukum di Indonesia telah
membuat Undang yang mengatur tentang perkawinan yaitu
Undang-Undang No. 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan. Di dalam Undang-Undang-Undang-Undang tersebut
menjelaskan perkawinan pada Pasal 1 yang berbunyi :
“Perkawinan ialah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
keTuhanan Yang Maha Esa”.
Pengaturan mengenai Undang-Undang Perkawinan dinilai lebih luas dalam
perumusannya. Hal dikarenakan BW hanya mengganggap bahwa perkawinan
hanya perikatan perdata saja, namun untuk Undang-Undang No 1 tahun 1974
Tentang Perkawinan lebih dari itu dalam memberikan definisi mengenai
perkawinan. Sahnya sebuah perkawinan tentu dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya yang tertuang dalam Pasal 2 ayat (1)
Undang-Undang No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang berbunyi :
“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.
Kemudian Perkawinan tersebut harus di daftarkan ke Pejabat Pencatatan Sipil
sebagai pengesahan secara hukum dan administrasi, seperti yang tertuang di dalam
33
“Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku”.
Apabila hal tersebut tidak dilakukan oleh pasangan suami isteri tersebut maka hal
tersebut dianggap bukan pasangan suami isteri yang sah.
Dengan telah dilakukannya sebuah perkawinan tersebut kemudian akan
menimbulkan akibat hukum bagi keduanya. Hal ini biasa disebut dengan akibat
perkawinan. Akibat perkawinan tersebut kemudian akan mempengaruhi 3 hal yaitu
bagi keduanya yaitu suami isteri, bagi harta kekayaan, dan bagi anak-anak yang
dilahirkan.46 Namun di dalam tulisan ini tidak akan menyinggung mengenai akibat
perkawinan terhadap anak-anak yang dilahirkan.
Akibat perkawinan bagi suami isteri akan menimbulkan suatu hak dan
kewajiban sebagaimana sebuah rumah tangga, namun yang menjadi unsur penting
bahwa kedudukan keduanya merupakan hal yang seimbang atau setara. Di dalam
Pasal 31 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
menjelaskan :
Pasal 31 ayat (1)
“Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan
kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan
hidup bersama dalam masyarakat”.
Pasal 31 ayat (2)
“Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum”
46 Christiana Tri Budhayati, Mengenal Hukum Perdata Di Indonesia, Fakultas Hukum
34
Dua Pasal diatas merupakan akibat perkawinan terhadap suami isteri.
b. Konsep harta kekayaan
Dari sahnya sebuah perkawinan akan menimbulkan suatu akibat hukum atau
akibat perkawinan. Akibat perkawinan selain terhadap suami isteri juga merujuk
terhadap harta benda mereka yang diperoleh selama perkawinan atau disebut harta
kekayaan, Undang-Undang No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan membedakan
harta tersebut sebagai harta bersama dan harta bawaan masing-masing atau harta
pribadi. Ketentuan mengenai harta bersama dijelaskan dalam Undang-Undang No.
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pada Pasal 35 ayat (1) yang berbunyi :
“Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta
bersama”
Dijelaskan oleh Sonny Dewi Judiasih dalam Yahya Harahap yang
menyatakan bahwa pada dasarnya semua harta yang diperoleh selama ikatan
perkawinan menjadi yurisdiksi harta bersama yang dikembangkan dalam proses
peradilan. Berdasarkan perkembangan tersebut maka harta perkawinan yang
termasuk yurisdiksi harta bersama adalah sebagai berikut :47
- Harta yang dibeli selama dalam ikatan perkawinan berlangusng.
Setiap barang yang dibeli selama dalam ikatan perkawinan menjadi yurisdiksi harta bersama. Siapa yang membeli, atas nama siapa terdaftar, dan dimana letaknya tidak menjadi persoalan.
- Harta yang dibeli dan dibangun pasca perceraian yang dibiayai
dari harta bersama. Suatu barang termasuk yurisdiksi harta bersama atau tidak ditentukan oleh asal usul biaya pembelian atau pembangunan barang yang bersangkutan, meskipun barang itu dibeli atau dibangun pasca terjadinya perceraian.
- Harta yang dapat dibuktikan diperoleh selama dalam ikatan
perkawinan. semua harta yang diperoleh selama ikatan perkawinan dengan sendirinya menjadi harta bersama.
35
- Penghasilan harta bersama dan harta bawaan. Penghasilan yang
berasal dari harta bersama menjadi yurisdiksi harta bersama, demikian pula penghasilan dari harta pribadi suami isteri juga masuk dalam yurisdiksi harta bersama. Segala penghasilan pribadi suami dan isteri. sepanjang mengenai penghasilan pribadi suami isteri tidak terjadi pemisahan, bahkan dengan sendirinya terjadinya penggabungan sebagai harta bersama. Penggabungan penghasilan pribadi suami isteri ini terjadi demi hukum, sepanjang suami isteri tidak menentukan lain dalam perjanjian kawin.
Kemudian dari konsep harta bersama tersebut Undang-Undang No 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan juga menjelaskan mengenai harta pribadi. Hal tersebut
tertuang dalam Pasal 35 ayat (2) yang berbunyi :
“Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda
yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak
menentukan lain”.
Terhadap harta bawaan atau pribadi masing-masing suami isteri, berada
dibawah pengawasannya masing-masing. Asal usul harta tersebut membedakan
antara harta bawaan dan harta pribadi. Harta bawaan merupakan harta yang didapat
sebelum terjadinya perkawinan sedangkan harta pribadi adalah hasil dari warisan
ataupun hibah yang dimana di dapat di dalam perkawinan. Namun kedua harta
tersebut terdapat ketentuan lain yang dapat membuat harta tersebut menjadi harta
bersama yaitu ketentuan mengenai perjanjian perkawinan.
Dengan adanya pengaturan mengenai harta bersama, tentu akan
menimbulkan suatu batasan terhadap ruang gerak dalam menggunakan harta
tersebut. Hal itu disebabkan penggunaan harta tersebut akan juga berdampak pada
keduanya secara otomatis. Sehingga dalam penggunaannya diperlukan persetujuan
36
kemudian muncul konsep berupa perjanjian kawin (prenuptial agreement) hal ini
merupakan hal yang dapat membuat peraturan mengenai harta bersama maupun
harta pribadi menjadi dapat disimpangi. Perjanjian kawin ini merupakan perjanjian
yang dibuat oleh suami isteri untuk mengatur akibat perkawinan terhadap harta
kekayaan mereka. Ada 3 macam bentuk perjanjian perkawinan yaitu :48
a. Perjanjian untung rugi ( dalam hal ini untung dan rugi ditanggung
oleh kedua belah pihak).
b. Persatuan hasil dan pendapatan ( dalam hal ini bila terjadi
keuntungan, maka menjadi milik bersama suami isteri. Namun bila mengalami kerugian maka pihak yang melakukan suatu kerugian yang menanggung bebannya. Namun pada prakteknya suami yang menanggung kerugian).
c. Sama sekali tidak ada persatuan harta kekayaan ( masing-masing
pihak mengelola hartanya sendiri dan lepas dari harta bersama).
Tiga hal diatas merupakan suatu jenis perjanjian perkawinan yang biasa dibuat oleh
suami isteri. Ketentuan dalam pembuatan perjanjian kawin mengenai syarat sahnya
pada dasarnya sama dengan perjanjian seperti biasanya.
Pegaturan mengenai perjanjian perkawinan sendiri diatur pada Pasal 29
Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berbunyi :
Ayat (1)
“Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak
atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai Pencatatan Perkawinan setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut”.
Bunyi dari ayat tersebut mengalami perubahan oleh putusan Mahkamah
Konstitusi dalam pengertian perjanjian perkawinan. Pada ayat (1) mengalami
37
perubahan berupa penambahan isi pasal oleh Putusan Mahkamah Konstitusi No.
69/PUU-XIII/2015 yang berbunyi :
“Pada waktu, sebelum dilangsungkan atau selama dalam ikatan
perkawinan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian terrtulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris, setelah mana isinya berlaku juga terhadap
pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut”
Hal tersebut menjadikan bunyi kaidah hukum dalam ayat tersebut menjadi
bertambah sehingga dalam membuat perjanjian perkawinan sekalipun dapat dibuat
kapan saja selama masih terikat dalam perkawinan. Teori mengenai perjanjian
perkawinan menjadikan sebuah proposisi bahwa dalam melakukan sebuah
perbuatan hukum yang dimana atas kehendak masing-masing dan tidak adanya
batasan bagi seorang yang sudah berkeluarga. Dapat digunakannya sebuah
perjanjian perkawinan untuk menunjang sebuah perbuatan hukum yang dilakukan
oleh mereka. Teori ini sebagai suatu kekhusussan yang bertujuan bagi seseorang
yang sudah melakukan perkawinan dan masih terikat di dalamnya.
B. Hasil Penelitian
1. Keabsahan Pendirian Perseroan Terabatas (PT) Oleh Suami Isteri
Dari beberapa teori yang digunakan serta yang dimasukan, bertujuan untuk
menunjang terhadap analisis berupa tesis statment mengenai sebuah topik berupa
“Problematika hukum pendirian Perseroan Terbatas (PT) oleh suami isteri”. hal
tersebut akan merujuk pada sebuah tujuan penelitian berupa keabsahan pendirian
Perseroan Terbatas (PT) oleh suami isteri serta apa saja implikasi-implikasi yang
muncul kemudian. Dalam hal penelitian ini, tesis dari penulis bekaitan pendirian
38
Namun ketentuan mengenai legal tersebut yang kemudian merujuk pada
keabsahannya perlu dilakukannya beberapa ketentuan syarat sehingga suami isteri
bisa mendirikan sebuah Perseroan Terbatas (PT).
1.1 Subjek Hukum Sebagai Pendiri Perseroan Terbatas (PT)
Melihat dari pengaturan terhadap pendirian Perseroan Terbatas (PT) yang
diatur dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT),
dapat dilihat mengenai syarat-syarat pendiriannya yang diatur di dalam Bab II
bagian kesatu Pasal 7 hingga Pasal 14 mengenai Pendirian. Terkait dengan
pendirian pada tahap pra inkorporasi harus memenuhi unsur-unsur dasar pada Pasal
7 yang berbunyi:
1) Perseroan didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih dengan akta
notaris yang dibuat dalam bahasa Indonesia.
2) Setiap pendiri Perseroan wajib mengambil bagian saham pada saat
Perseroan didirikan.
3) Ketentuan sebagaiman dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku
dalam rangka Peleburan.
4) Perseroan memperoleh status badan hukum pada tanggal
diterbitkannya Keputusan Menteri mengenai pengesahan badan hukum Perseroan.
5) Setelah Perseroan memperoleh status badan hukum dan pemegang
saham menjadi nkurang dari 2 (dua) orang, dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak keadaan tersebut pemegang saham yang bersangkutan wajib mengalihkan sebagian sahamnya kepada orang lain atau Perseroan mengeluarkan saham baru kepada orang lain.
6) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
telah dilampaui, pemegang saham tetap kurang dari 2 (dua) orang, pemegang saham bertanggung jawab secara pribadi atas segala perikatan dan kerugian Perseroan, dan atas permohonan pihak yang berkepentingan, pengadilan negeri dapat membubarkan Perseroan tersebut.
7) Ketentuan yang mewajibkan Perseroan didirikan oleh 2 (dua)
orang atau lebih sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan ketentuan pada ayat(5), serta ayat (6) tidak berlaku bagi:
39
9) Perseroan yang mengelola bursa efek, lembaga kliring dan
penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, dan lembaga lain sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Pasar Modal.
Dari Pasal-pasal tersebut maka secara kaidah hukum untuk mendirikan
sebuah Perseroan Terbatas (PT) minimal oleh dua orang. Proposisi yang kemudian
dikembangkan untuk menjadi statmen adalah diharuskannya mendirikan Perseroan
Terbatas (PT) dengan minimal dua orang. Dua orang ini kemudian merupakan
subjek hukum yang nantinya akan membuat perjanjian diantara mereka sebagai
syarat mengajukan akta pendirian Perseroan Terbatas (PT). Kemudian jelas bahwa
subjek hukum disini cakap melakukan perbuatan hukum sehingga dari
masing-masing pihak memiliki kehendak secara sadar. Berdirinya sebuah Perseroan
Terbatas (PT) tetap bermula dari sebuah perjanjian, dengan demikian ketentuan
mengenai syarat sahnya sebuah perjanjian menjadi rujukan di sini.
Isi dari Pasal 7 tersebut berkaitan dengan ketentuan awal dalam mendirikan
sebuah Perseroan Terbatas (PT). Jelas terlihat dalam pengaturan tersebut mengatur
mengenai Pendirian Perseroan Terbatas (PT) minimal oleh dua orang. Ketentuan
mengenai dua orang tersebut tidak dijelaskan lebih lanjut di dalam Undang-Undang
No 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT). Di dalam penjelasan
Undang-Undang No 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT) Pasal 7 ayat (1)
dijelaskan bahwa “yang dimaksud dengan “orang” adalah orang perseorangan, baik
warga negara Indonesia maupun asing atau badan hukum Indonesia atau asing.
Ketentuan dalam ayat ini menegaskan prinsip yang berlaku berdasarkan
Undang-Undang ini bahwa pada dasarnya sebagai badan hukum, Perseroan didirikan
40
saham”. Bunyi dari penjelasan terhadap Pasal 7 ayat (1) menekankan bahwa pada
dasarnya pendirian sebuah Perseroan Terbatas (PT) minimal oleh dua orang.
Ketentuan mengenai siapa dua orang tersebut, dalam penjelasannya tidak begitu
dipermasalahkan. Sehingga ketentuan dua orang tersebut lebih tepatnya adalah dua
subjek hukum yang memiliki kepentingan untuk berbisnis dengan mendirikan
sebuah Perseroan Terbatas (PT). Di dalam bunyi Pasal sudah jelas bahwa subjek
hukum disini ialah natuurlijk persoon ( manusia). Dengan syarat minimal dua orang
tersebut kemudian terlihat bahwa asas konsensualisme di dalam perjanjian, juga
diadopsi di dalam mendirikan Perseroan Terbatas (PT). Sebagai langkah awal
mendirikan Perseroan Terbatas (PT) tentulah perlunya dilakukan sebuah perjanjian,
dengan syarat dua orang tersebut kemudian terlihat bahwa adanya konsensus atau
kesepakatan dalam mendirikan Perseroan Terbatas (PT) satu sama lain. Hal ini
sebagai lahirnya sebuah perjanjian mendirikan Perseroan Terbatas (PT) yang
pihak-pihaknya akan mengikatkan dirinya dan memunculkan suatu hak dan kewajiban.
Dengan terpenuhinya asas konsesualisme maka teori-teori yang ada di dalam asas
tersebut juga akan terpenuhi seperti teori kehendak, teori penerimaan, teori
pengetahuan, dan teori kepercayaan. Dari penjelasan beberapa ayat di dalam Pasal
7 Undang – Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT) diatas
terdapat sebuah peringatan bahwa apabila dalam mendirikan sebuah Perseroan
Terbatas (PT) menjadikannya pendiri kurang dari dua orang maka akan
dikategorikan sebagai pemegang saham tunggal sehingga diberikannya waktu
dengan jangka 6 bulan sejak keadaan itu untuk mengalihkan saham tersebut ke
orang lain sehingga menjadikannya dua orang. Apabila dalam hal tersebut tetap