• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II : AKIBAT HUKUM PERCERAIAN TERHADAP

C. Harta Bersama Dalam Perkawinan

Setiap perkawinan tidak terlepas dari adanya harta benda baik yang ada sebelum perkawinan maupun yang ada setelah perkawinan. Harta benda tersebut di

       62

Mahmud Yunus, Surat An-Nur ayat 6-9, Terjemahan Al-Quran Karim,(Bandung : Al Maarif, 2001), hal.316.

atur dalam Pasal 35 sampai dengan Pasal 37 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. ada 2 (dua) macam harta benda dalam perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu :

1. Harta bersama yaitu harta benda yang diperoleh selama perkawinan. Ada darimana harta itu diperoleh tidak dipersoalkan. Apakah harta itu didapat dari isteri atau dari suami, semuanya merupakan harta milik bersama suami isteri. 2. Harta bawaan yaitu harta yang dibawa oleh masing-masing suami isteri ke dalam

perkawinannya, harta benda yang diperoleh masing-masing baik sebagai hadiah atau warisan.

Sesuai dengan definisi Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang disebut harta bersama adalah harta yang diperoleh selama perkawinan antara suami isteri. Asas harta bersama ini adalah segala milik yang diperoleh selama perkawinan adalah harta pencaharian bersama dan dengan sendirinya menjadi lembaga harta bersama yang biasa disebut harta syarikat.

Mengenai wujud dari harta pribadi sejalan dengan yang dijelaskan dalam Pasal 35 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Ketentuan itu sepanjang suami isteri tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan sebelum akad nikah d ilaksanakan. Adapun harta yang menjadi milik pribadi suami isteri adalah :

1. Harta bawaan yaitu harta yang sudah ada sebelum perkawinan mereka laksanakan.

2. Harta yang diperoleh masing-masing selama perkawinan tetapi terbatas pada perolehan yang berbentuk hadiah, hibah dan warisan.63

Semua harta yang diperoleh selama dalam ikatan perkawinan menjadi harta bersama, baik harta tersebut diperoleh secara tersendiri maupun diperoleh secara bersama-sama. Demikian juga dengan harta yang dibeli selama ikatan perkawinan berlangsung adalah menjadi harta bersama, tidak menjadi soal apakah isteri atau suami yang membeli, tidak menjadi masalah apakah isteri atau suami mengetahui pada saat pembelian itu atau juga tidak menjadi masalah atas nama siapa harta itu didaftarkan.

Dalam Bab XII Kompilasi Hukum Islam dikemukakan bahwa “harta bersama suami isteri itu adalah harta yang diperoleh selama ikatan perkawinan berlangsung dan perolehannya itu tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun”.64 Ini berarti bahwa harta bersama itu adalah semua harta yang diperoleh selama perkawinan berlangsung, tanpa mempersoalkan atas nama siapa harta kekayaan itu terdaftar. Harta bersama itu dapat berupa benda berwujud atau juga tidak berwujud. Menurut Pasal 91 Kompilasi Hukum Islam bahwa harta bersama tersebut dapat berupa benda berwujud atau tidak berwujud. Harta bersama yang berwujud dapat meliputi benda tidak bergerak, benda bergerak dan surat-surat berharga. Harta bersama yang tidak berwujud dapat berupa hak maupun kewajiban. Harta bersama tersebut dapat dijadikan sebagai barang jaminan oleh salah satu pihak atas

       63

Abdul Manan. Op.Cit, hal.157.

64

persetujuan pihak lainnya. Dengan demikian suami atau isteri tanpa persetujuan pihak lain tidak dapat atau tidak diperbolehkan menjual atau memindahkan harta bersama (Pasal 92 Kompilasi Hukum Islam)

Menurut Pasal 85 Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau isteri.

Selanjutnya dalam Pasal 86 Kompilasi Hukum Islam disebutkan sebagai berikut :

(1) Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta isteri karena perkawinan.

(2) Harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasai penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya.

Pasal 87 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa :

(1) Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing- masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian kawin. (2) Suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melaksanakan perbuatan

hukum atas harta masing-masing berupa hibah, hadiah, sodaqah atau lainnya. Sebenarnya Yurisprudensi hampir di seluruh Indonesia telah menerima lembaga harta bersama itu sebagai suatu kenyataan kesadaran hukum yang hidup dalam suatu kenyataan kesadaran hukum yang hidup dalam stelsel kekeluargaan masyarakat Indonesia. memang istilahnya diantara satu daerah dengan daerah lain

berbeda. Ada yang menyebut harta raja kaya, ada juga yang menyebutnya harga gono gini. Tetapi dengan adanya penyebutan istilah yang dipergunakan dalam Pasal 35 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974, sudah dengan sendirinya pemakaian istilah itu dalam praktek hukum akan menuju persamaan istilah yaitu “harta bersama”.65

Dari defenisi harta bersama itu sesuai dengan bunyi Pasal 35 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974, yaitu harta yang diperoleh selama perkawinan sesuai dengan defenisi di atas, untuk terwujudnya harta kekayaan bersama itu hanya diperlukan satu syarat saja, yaitu harta itu diperoleh selama perkawinan. Tidak ada syarat-syarat lain, selain dari pada syarat yang satu itu. Tidak diperlukan harus isteri ikut aktif mengumpulkan dan memperolehnya, karena itu hanya teorinya saja. Tentu bagaimanapun dalam praktek isteri harus ikut sekurang-kurangnya memberikan bantuan moral. Hanya saja, hal itu tidak dijadikan syarat ketentuan hukum.

Sehubungan dengan pokok persoalan di atas yang akan ditinjau sampai dimana batas-batas dan defenisi sudah jelas. Tetapi dalam praktek bisa timbul beberapa argumentasi yang memerlukan pemecahan dan untuk mudah memecahkan persoalannya dengan kenyataan-kenyataan peristiwa yang timbul di tengah masyarakat dengan mempedomani keputusan-keputusan pengadilan yang ada.

Adapun untuk mengetahui batas-batas harta bersama dan luasnya ini di samping penting untuk kedua belah pihak suami isteri, maka hal ini relevan untuk pihak ketiga sesuai dengan adanya ketentuan Pasal 35 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, maka luasnya harta bersama :

       65

1. Semua harta yang dapat dibuktikan diperoleh selama dalam perkawinan sekalipun barang dan harta terdaftar di atas namakan salah seorang suami atau isteri, maka harta yang atas nama suami atau isteri dianggap sebagai harta bersama. Apa yang dikemukakan di atas ini sesuai dengan keputusan Pengadilan Tinggi Tebing Tinggi tanggal 20 Nopember 1975 No.393/1973 dengan pertimbangan; Pelawan tidak dapat membuktikan bahwa rumah/tanah terperkara diperoleh sebelum perkawinannya dengan suaminya. Juga terbukti bahwa sesuai dengan tanggal izin bangunan, rumah tersebut dibangun di masa perkawinannya dengan suaminya, dengan demikian dapat disimpulkan tanah/rumah terperkara adalah harta bersama antara suami dan isteri sekalipun tanah dan rumah itu terdaftar atas nama isteri (M.A. 30 Juli 1974 No.808K/Sip/1974).66

2. Kalau harta itu dipelihara/diusahai dan telah dialihkan ke atas nama adik suami, jika harta yang demikian dapat dibuktikan hasil yang diperoleh selama masa perkawinan, maka harta tersebut harus dianggap harta bersama suami isteri. Pengadilan Tinggi Tebing Tinggi tanggal 30 Desember 1971 No.389/1971 telah memutuskan bahwa sekalipun toko dan barang –barang yang ada di dalamnya telah diusahai dan telah dialihnamakan atas nama adik suami, akan tetapi terbukti bahwa toko tersebut dibeli sewaktu perkawinan dengan isteri, maka harta tersebut sekalipun sudah dipindahkan pada orang lain harus dinyatakan harta bersama

       66

yang dapat diperhitungkan pembagiannya diantara suami isteri dengan adanya perceraian diantara mereka (M.A.tgl.23 Mei 1973 No.1031-K/Sip/1972).67

3. Juga dalam putusan yang sama telah dirumuskan suatu kaedah, bahwa adanya harta bersama suami isteri tidak memerlukan pembuktian, bahwa isteri harus ikut aktif membantu terwujudnya harta bersama tersebut. Yang menjadi prinsip asal harta itu terbukti diperoleh selama dalam perkawinan. Menurut M. Yahya Harahap, rumusan itu belum memenuhi suatu keseimbangan yang adil berdasarkan keputusan, bahwa rumusan itu pada pada salah satu pihak telah benar dan memberi keadaan yang lebih menguntungkan isteri.68 Maka supaya rumusan pertimbangan tersebut tidak pincang, menurut penulis harus dilengkapi dengan “kecuali si suami dapat membuktikan bahwa isterinya benar-benar tidak dapat melaksanakan kewajiban yang semestinya sebagai ibu rumah tangga dan selalu pergi meninggalkan rumah tempat kediaman tanpa alasan yang sah dan wajar. Juga harta atau rumah yang dibangun atau dibeli sesudah terjadi perceraian dianggap harta bersama suami isteri jika biaya pembangunan atau biaya pembelian sesuatu barang tersebut diperoleh dari hasil usaha bersama selama perkawinan. Dalam hal ini yang pokok adalah bahwa uang pembelian atau pembangunan sesuatu benar-benar dibiayai dari uang yang diperoleh selama perkawinan, harta atau rumah yang dibangun adalah harta bersama sekalipun barang atau bangunan tersebut dibeli dan dibangun sesudah perceraian

       67

Ibid, hal.130

68

4. Harta yang dibeli baik oleh suami atau isteri di tempat yang jauh dari tempat tinggal mereka adalah harta bersama suami isteri jika pembelian itu dilaksanakan selama perkawinan.

5. Barang termasuk harta bersama suami isteri adalah sebagai berikut :

a. Segala penghasilan harta benda yang diperoleh selama perkawinan, termasuk penghasilan yang berasal dari barang asal bawaan maupun barang yang dihasilkan oleh harta bersama itu sendiri.

b. Demikian juga segala penghasilan pribadi suami isteri baik dari keuntungan yang diperoleh dari perdagangan masing-masing ataupun hasil perolehan masing-masing pribadi sebagai pegawai (M.A. tgl.11 Maret 1971 No.4554 K/Sip/1970).69

Tentang putusan di atas, sepanjang yang mengenai penghasilan yang berasal dari keuntungan milik pribadi, maka tidak sendirinya menurut hukum menjadi dan termasuk pada boedel harta bersama. Tentang hal ini tergantung pada persetujuan bersama. Apalagi UU Nomor 1 Tahun 1974 itu sendiri ada mengatur perjanjian perkawinan seperti yang diatur dalam Pasal 29. Sebab itu untuk suatu kepastian hukum di masa yang akan datang, maka sepanjang yang mengenai hasil keuntungan yang timbul dari milik pribadi tidak dengan sendirinya menurut hukum termasuk boedel harta bersama. Kecuali hal itu

       69

telah diperjanjikan dengan tegas. Sebab kalau begitu halnya tentu tidak perlu lagi diatur dengan tegas tentang hak milik pribadi seperti yang terapat pada ketentuan Pasal 35 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974.

Adapun mengenai harta bersama apabila si suami kawin poligami, maka ketentuan harta bersama dapat diambil batas garis pemisah, yaitu :70

1. Segala harta yang telah ada antara suami dengan isteri sebelum perkawinannya dengan isteri kedua, maka isteri kedua tidak mempunyai hak apa-apa atas harta tersebut.

2. Oleh sebab itu harta bersama yang ada antara suami dengan isteri kedua, ialah harta yang diperoleh kemudian. Jadi harta yang telah ada diantara isteri pertama dengan suami adalah harta bersama yang menjadi hak mutlak antara isteri pertama dengan suami, dimana isteri kedua terpisah dan tidak mempunyai hak menikmati dan memiliki atasnya. Isteri kedua baru ikut dalam lembaga harta bersama dalam kehidupan keluarga tersebut ialah harta kekayaan yang diperoleh terhitung sejak isteri kedua itu resmi sebagai suami isteri.

3. Atau jika kehidupan mereka terpisah dalam arti pertama, suaminya hidup dalam suatu rumah kediaman yang berdiri sendiri, demikian juga isteri kedua terpisah hidup dalam rumah tangga sendiri dengan suami, apa yang menjadi harta isteri pertama dengan suami dalam kehidupan rumah tangga menjadi harta bersama antara isteri pertama dengan suami dan demikian juga apa yang menjadi harta

       70

kekayaan dalam rumah tangga isteri kedua dengan suami menjadi harta bersama antara isteri kedua dengan suami. Apa yang diterangkan mengenai harta bersama dalam keadaan suami beristeri lebih dari satu seperti yang dijelaskan di atas oleh UU Nomor 1 Tahun 1974 telah diatur pada Pasal 65 (1) huruf b dan c. Ayat (1) huruf b menentukan bahwa isteri yang kedua dan seterusnya tidak mempunyai hak atas harta bersama yang telah ada sebelum perkawinan dengan isteri kedua. Atau berikutnya. Dalam huruf b berbunyi ; semua isteri mempunyai hak atas harta bersama yang terjadi sejak perkawinannya masing-masing. Pasal 65 ayat 2 UU Nomor 1 Tahun 1974 memberikan kemungkinan menyamping dari ketentuan- ketentuan di atas, jika suami isteri membuat ketentuan-ketentuan lain sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undangini, seperti membuat perjanjian yang diatur dalam Pasal 29 UU No.1 Tahun 1974 (Perjanjian Perkawinan).

Lain pula halnya jika seorang suami meninggal dunia dan sebelum meninggal dunia mereka telah mempunyai harta bersama. Kemudian isteri kawin lagi dengan laki-laki lain, maka dalam keadaan seperti ini pun tetap terpisah harta antara suami yang telah meninggal dengan isteri tadi yang akan diwarisi oleh keturunan-keturunan mereka, dan tidak ada hak anak/keturunan yang lahir dari perkawinan isteri tadi dengan suami yang kedua itu. Tetapi anak-anak dari perkawinan yang pertama mempunyai hak sebagai ahli waris dari harta bersama perkawinan kedua. Demikian pula sebaliknya jika isteri yang meninggal, maka harta bersama yang mereka peroleh terpisah dari harta yang diperoleh kemudian setelah perkawinannya dengan iteri kedua tersebut.

Demikianlah kira-kira luas dan batas-batas yang disebut lembaga harta bersama dalam suatu perkawinan baik ditinjau secara teoritis maupun kenyataan- kenyataan praktek hukum. Tentu hal ini bukan dimaksudkan sudah demikian limitatifnya sama sekali tidak. Sebab perhubungan dari kejadian konkreto akan memungkinkan kwantitas yang tidak dapat kita batasi secara limitatif. Karena setiap mobilitas sosial juga akan mempengaruhi elastisiet ukuran-ukuran rules of luzing dalam masyarakat, sehingga perhubungan masyarakat pada saat tetentumemaksa ukuran-ukuran dan pengertian mengalami dan menyesuaikan diri dengan elastisitas keadaan tersebut.71

Dalam Pasal 36 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 disebutkan, bahwa : Mengenai harta bersama, suami isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.”

Dari bunyi ketentuan di atas maka jelas bahwa :

1. Suami dapat bertindak atas harta bersama setelah ada persetujuan isteri. 2. Isteri dapat bertindak atas harta bersama setelah mendapat persetujuan suami.

Dengan demikian, pada prinsipnya harta bersama itu diatur bersama dan dipergunakan bersama dan dalam segala sesuatunya harus ada persetujuan bersama. Berlainan halnya dengan prinsip yang diatur dalam hukum perdata (KUH Perdata). Menurut Pasal 124 ayat (1) KUH Perdata ditentukan bahwa harta bersama berada dibawah urusan suami. Malah dalam Pasal 124 ayat (2) KUH Perdata terebut dinyatakan bahwa si suami dapat menguasai, mengasingkan menggunakan barang

       71

harta bersama tanpa persetujuan dan campur tangan isteri, kecuali sebelumnya ada perjanjian kawin (Huwelijke voorwaarden) sesuai dengan paal 140 ayat (3) KUH Perdata.

Dari bunyi Pasal 36 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 sebagaimana diuraikan di atas, maka dapatdilihat fungsi dan kegunaan harta bersama. Harta bersama itu dapat dipergunakan untuk kepentingan keluarga. Tetapi dalam penggunaannya boleh dilakukan oleh salah satu pihak dengan syarat adanya persetujuan dari pihak lain, yaitu dalam hal :

1. Baik dipergunakan untuk kepentingan kebutuhan dan perbelanjaan rumah tangga. Tentu inilah pertama kegunaan dari harta bersama. Akan tetapi dalam hal ini menurut pendapat penulis, maksud Pasal tersebut tidaklah begitu kaku penafsirannya, artinya tidaklah persetujuan kedua belah pihak dalam menggunakan harta berama, merupakan kewajiban mutlak dalam segala hal.72 Sebab kalau setiap penggunaan harta bersama ini mesti diartikan selamanya harus ada persetujuan bersama, hal ini jelas akan membawa malapetaka bagi kehidupan rumah tangga, dan mekanisme kehidupan rumah tangga akan macet dengan sendirinya. Oleh sebab itu dalam perbelanjaan yang menyangkut penggunaan sehari-hari adalah isteri patut bertindak tanpa persetujuan suami atau sebaliknya jika hendak belanja rokok, suami tidak perlu mendapat persetujuan isteri, sehingga ukuran obyektif dalam hal ini, jika tindakan itu sepanjang yang menyangkut keperluan sehari-hari yang sifatnya rutin, masing-masing pihak

       72

bebas tanpa persetujuan salah satu pihak. Menurut penulis dapat diperluas sekedar menyangkut kepentingan rumah tangga yang berifat rutin serta kepentingannya suami isteri dengan kondisi-kondisi kebudayaan masyarakat sekarang dalam batas-batas status sosial ekonomi keluarga yang dimungkinkan oleh besarnya harta bersama tersebut, tidaklah merupakan kewajiban adanya persetujuan yang mutlak dari masing-masing pihak. Sebab itu hubungan ketentuan Pasal 36 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 ini pada pihak ketiga tidak membawa akibat hukum sekalipun tidak ada persetujuan pihak suami atau isteri, jika penggunaan harta bersama itu merupakan perbelanjaan yang lazim dalam kehidupan sehari-hari (beli baju, sepatu, dan lain-lain). Kecuali misalnya membeli barang-barang kemewahan yang cukup tinggi harganya dan sudah di luar kepentingan yang masih tergolong paa keperluan sehari-hari barulah ketentuan Pasal 36 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 itu harus dipenuhi, artinya harus ada persetujuan darikedua belah pihak. Jadi ketentuan tentang persetujuan itu harus difahamkan sedemikian rupa sepanjang tindakan-tindakan yang menyangkut kepentingan-kepentingan sehari-hari yang tidak melampaui batas-batas kemampuan sosial ekonomi keluarga itu sendiri sehingga mekanisme rumah tangga tidak terhambat kelancarannya sebagaimana suatu kehidupan rumah tangga normal.

2. Harta bersama dapat diperuntukkan untuk membayar hutang suami atau iteri, jika hutang itu sebab yang lahir untuk kepentingan keluarga. Akan tetapi kalau hutang-hutang pribadi yang timbul sebelum perkawinan sudah jelas harta bersama tidak dapat bertanggung jawab membayar hutang tersebut, harus

pembayarannya diambil dari harta pribadi yang berhutang itu sendiri. Ini sesuai dengan ketentuan Pasal 35 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974. Jadi hutang pribadi sebelum perkawinan adalah hutang yang terlepas dari hutang harta bersama yang pemenuhan pembayarannya diambil dari harta pribadi, kecuali pihak lain (suami /isteri) setuju pembayarannya dari harta bersama. Jika harta pribadi suami tidak cukup membayar hutangnya, maka untuk kepastian yang memberi jaminan hukum pada kehidupan keluarga agar jangan setiap kebocoran dan kecerobohan salah satu pihak harus dilimpahkan pada harta bersama yang akan membawa kesengsaraan pada kehidupan keluarga dan sebaliknya memberi peringatan kepada pihak ketiga supaya jangan dengan mudah saja tanpa memikirkan resiko begitu bebas memberi hutang pinjaman tanpa batas kepada seseorang tanpa perhitungan yang cermat sampai dimana batas kemampuan kekayaan pribadi yang bersangkutan.

Adanya hak suami dan isteri untuk mempergunakan atau memakai harta bersama ini dengan persetujuan kedua belah pihak (secara timbal balik) adalah sudah sewajarnya mengingat bahwa hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam lingkungan kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat dimana masing-masing berhak untuk melakukan perbuatan hukum, sebagaimana hal ini ditegaskan dengan jelas dalam Pasal 31 ayat (1) dan (2) UU Nomor 1 Tahun 1974.

Dengan demikian jelaslah, bahwa suami dan isteri sama-sama berhak untuk mempergunakan atau memakai harta bersama dengan persetujuan kedua belah pihak secara timbal balik.

Syarat persetujuan kedua belah pihak, hendaknya dipahami sedemikian rupa dengan luwes, dimana tidaklah dalam segala hal mengenai pnggunaan atau pemakaian hartabersama ini diperlukan adanya persetujuan kedua belah pihak secara formil atau secara tegas.73 Dalam beberapa hal tertentu persetujuan kedua belah pihak ini harus dianggap ada, sebagai persetujuan yang diam-diam. Misalnya dalam hal ini mempergunakan atau memakai harta bersama untuk keperluan hidup sehari- hari sebagaimana diuraikan di atas, ini adalah untuk menghindari kekakuan suami isteri dalam pergaulan hidup bersama di tengah-tengah masyarakat.

Persoalannya adalah, dalam hal apa dan apakah penggunaan atau pemakaian harta bersama itu diharuskan adanya persetujuan kedua belah pihak atau sebaliknya, dalam hal apa dan bagaimana penggunaan atau pemakaian harta bersama itu dianggap telah ada persetujuan kedua belah pihak,sebagaimana persetujuan diam- diam. Persoalan tersebut adalah persoalan yang harus dilihat secara kasuitis, yakni dengan melihat pada keadaan sosial ekonomi serta tata hidup dan kehidupan suami iteri yang bersangkutan dan tata hidup dan kehidupan masyarakat dimana suami isteri itu berada (bertempat kediaman).

       73

Dokumen terkait