• Tidak ada hasil yang ditemukan

Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court Class IA Medan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce (At The State Religious Court Class IA Medan)"

Copied!
128
0
0

Teks penuh

(1)

RESOLUTION OF THE JOINTLY OWNED PROPERTY IN THE

CASE OF DIVORCE

(AT THE STATE RELIGIOUS COURT CLASS IA MEDAN)

TESIS

Oleh

SUGIH AYU PRATITIS 077005133/HK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

PENYELESAIAN PEMBAGIAN HARTA BERSAMA

DALAM HAL TERJADINYA PERCERAIAN

(STUDI PENELITIAN DI PENGADILAN AGAMA MEDAN)

 

TESIS

Oleh

SUGIH AYU PRATITIS 077005133/HK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

PENYELESAIAN PEMBAGIAN HARTA BERSAMA

DALAM HAL TERJADINYA PERCERAIAN

(STUDI PENELITIAN DI PENGADILAN AGAMA MEDAN)

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat

untuk memperoleh Gelar Magister Humaniora

dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

SUGIH AYU PRATITIS 077005133/HK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(4)

Judul Tesis : PENYELESAIAN PEMBAGIAN HARTA BERSAMA DALAM HAL TERJADINYA PERCERAIAN (STUDI

PENELITIAN DI PENGADILAN AGAMA MEDAN) Nama Mahasiswa : Sugih Ayu Pratitis

Nomor Pokok : 077005133 Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. H. Hasballah Thaib, MA) Ketua

(Prof. Dr. Runtung, SH. M.Hum) (Dr. Sunarmi, SH, M.Hum)

Anggota Anggota

Ketua Program Studi Direktur

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH. MH) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B.,MSc)

(5)

Telah diuji pada

Tanggal 24 Juli 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. H. Hasballah Thaib, MA

Anggota : 1. Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum

2. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum

3. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum

(6)

ABSTRAK

Keluarga yang bahagia lahir bathin adalah dambaan setiap insan. Namun demikian tidaklah mudah untuk mewujudkan sebuah keluarga yang bahagia, langgeng, aman dan tenteram sepanjang hayatnya. Perkawinan yang sedemikian tidaklah mungkin terwujud apabila diantara para pihak yang mendukung terlaksananya perkawinan tidak saling menjaga dan berusama bersama-sama dalam membina rumah tangga yang kekal dan abadi. Apabila terjadi perceraian, sudah dapat dipastikan akan menimbulkan akibat-akibat terhadap orang-orang yang bekaitan dalam suatu rumah tangga, dimana dalam hal ini penyelesaian pembagian harta bersama yang akan dititik beratkan.

Tesis ini membahas tentang penyelesaian pembagian harta bersama dalam hal terjadinya perceraian di Pengadilan Agama Klas I A Medan. Dalam hal ini yang menjadi kajian dalam penelitian adalah putusan Pengadilan Agama Klas I A Medan tentang penyelesaian sengketa harta bersama. Yang menjadi pembahasan di dalamnya adalah bagaimana akibat hukum dari perceaian terhadap harta benda perkawinan, bagaimana penyelesaian perkara-perkara perceraian di Pengadilan Agama Klas I-A Medan serta bagaimana sikap Hakim Pengadilan Agama Klas I A Medan terhadap status hukum kedudukan isteri yang dicerai terhadap harta yang diperoleh selama perkawinan.

Penelitian ini bersifat deskriptif analisis dan materi-materi penelitian diperoleh dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif. Data primer merupakan hasil penelitian yang ditambah dengan informasi yang terkait dengan masalah yang diteliti diperoleh melalui nara sumber yang terdiri dari : Hakim, Panitera dan Pengacara/Penasehat Hukum. Data sekunder diperoleh melalui studi pustaka. Adapun hasil penelitian menunjukan bahwa :

Akibat hukum dari perceraian terhadap harta perkawinan adalah apabila terjadi perceraian antara suami istri maka harta yang diperoleh dari hasil perkawinan dibagi dua, setengah untuk suami dan setengah untuk istri. Hal ini juga terjadi di dalam prakteknya di Pengadilan Agama Medan, tanpa melihat dari suku, dan masyarakat adat mana yang bercerai. Hal ini sudah adanya kesadaran yang tinggi dari semua pihak tentang adanya persamaan hak antara pria dan wanita. Bila sewaktu terjadi perkawinan sudah ada perjanjian antara suami istri tentang harta maka harta bersama pembagiannya dapat dilakukan sesuai dengan perjanjian antara pihak suami dan istri.

(7)

Yang menjadi pertimbangan Hakim pengadilan Agama dalam membagi harta bersama kepada istri dan suami adalah merujuk pasal 19 huruf f Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 jo. Pasal 116 huruf f Kompilasi Hukum Islam yang isinya”Harta perkawinan atau syirkah adalah harta yang diperoleh baik sendiri- sendiri atau bersama- sama selama dalam ikatan perkawinan berlangsung dan selanjutnya harta bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun”, dan juga ketentuan Undang- undang No.1 tahun 1974 Pasal 39 ayat (2)”Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri”.

Maka dari itu saran penulis: Kepada praktisi hukum agar dapat meningkatkan penyuluhan hukum terhadap masyarakat di dalam mensosialisasikan pelaksanaan hukum penyelesaian sengketa harta bersama.

Untuk mencegah terjadinya polemik sekitar harta bersama dalam suatu perkawinan, disarankan agar akta nikah disertai dengan ketentuan tentang harta bersama dalam perjanjian perkawinan.

Disarankan kepada Majelis Hakim yang memeriksa kasus mengenai harta bersama, agar membuat pertimbangan hak- hak anak dari harta bersama selama perkawinan.

(8)

ABSTRACT

A family which is full of happiness spiritually and physically is a desire of anyone. In fact, however, it is not so easy to realize a happy, sustainable, safe and comfort for lifetime. Such a marriage will not be realized if the parties who support the marriage will not together keep and guide an eternal household. In the case of divorce, it can be certain that the divorce will lead to consequences to those who related to a household, in which in this case, on which resolution of division of he jointly owned property emphasized.

The present thesis deals with resolution of the jointly owned property in the case of divorce at the State Religious Court Class IA Medan. In this case, what is reviewed included the decision of the State Religious Court Class IA Medan in resolving the dispute of the jointly owned property. What is discussed whitin it included how the legal consequence of divorce against the property under marriage, how the resolution of the attitude of the legal status of a wife divorced against the property collected during the marriage.

The present study is a descriptive analysis of the materials using a normative juridical approach. The primary data were collected from the result of the study plus the information related to the problem being study gathered from the informant consisting of; Judges, Registrar and Advocacy/ Legal Advisors. The secondary data were collected by a library study. The results of the study showed that ;

The legal consequences of the divorces against the property of marriage included in the case of the divorce between husband and wife, the property collected during the marriage would be divided into two and a half portion for the husband and the remaining a half for the wife. it also occurred in the practice of the State Religious Court Class IA Medan regardless of which of race, ethnicity, and community to be divorced. It is caused by the relatively higher consciousness of all the parties regarding the proportional similarity of man and woman. In Which when the marriage takes place, there is an agreement between the husband and wife regarding the division of the jointly owned property that should be done according to the agreement between both parties.

Resolution of the division of the jointly owned property at the State Religius Court Class IA Medan in the case of divorce has been agreed by both parties, therefore, they can submit an application for division of the property according to the prevailing statutory rules. When they failed to enforce the decision made by the State Religious Court.

(9)

and also the regulation of the Laws No. 1 of 1974 in the article 39 (verse 2) : To make a divorce, there should be a reason that both husband and wife will not live their life harmonically as husband and wife.

Suggestion : For the advisors can rise the law counseling for the society in the socialization of law solution of jointly owned property controvers. To prevent the polemic around the jointly owned property in marriage and suggested that married acte with certainty about the jointly owned property in the marriage vows. To suggest for the judges that investigate the casus about the jointly owned property, so that to make a consideration the children right from the jointly owned property during the marriage.

(10)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas karunianya penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Adapun tujuan dari penulisan tesis ini adalah untuk melengkapi salah satu syarat menyelesaikan Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Adapun judul tesis ini adalah Penyelesaian Pembagian Harta Bersama Dalam Hal Terjadinya Perceraian (Studi di Pengadilan Agama Medan).

Penulis menyadari bahwa tesis ini belumlah sempurna masih banyak kelemahan dan kekurangan. Untuk itu dengan hati dan tangan terbuka penulis mengharapkan dan menerima kritik dan sumbang saran yang sifatnya membangun dari seluruh pihak demi sempurnanya tugas akhir ini.

Dalam penulisan tugas akhir ini penulis telah banyak memperoleh masukan dan menerima bantuan dari berbagai pihak. Atas saran, masukan dan bantuan baik moril maupun materil, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang setulus- tulusnya dari lubuk hati yang paling dalam kepada :

1. Bapak Prof. Dr. H. Hasballah Thaib, MA selaku pembimbing utama yang telah memberikan arahan dan membantu penulis dalam penyempurnaan tesis ini ;

(11)

3. Ibu Dr. Sunarmi, SH, M.Hum selaku pembimbing III yang telah banyak membantu memberikan saran- sarannya dalam penyempurnaan tesis ini ; 4. Ibu Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang telah

memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti perkuliahan di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara tercinta ini ;

5. Kedua orang tua tercinta, H. Suwarjono dan H. Sumiani atas doa dan dukungan, serta materil yang telah diberikan kepada penulis yang begitu besar sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini tepat pada waktunya ; 6. Kekasihku Briptu. Ahmad Albar, SH. Atas cinta, kasih dan kesetiaannya yang

selalu mendukung penulis selama masa perkuliahan sampai penulisan tugas akhir sehingga sangat membantu kelancaran penyelesaian tugas akhir ini ; 7. Teman- teman Mahasiswa Pascasarjana USU SPs Ilmu Hukum yang telah

banyak membantu melalui diskusi, sharing ilmu pengetahuan dan memberikan masukan- masukan berharga dalam menyelesaikan tesis ini ; 8. Teman- teman Sekretariat SPs Ilmu Hukum USU atas bantuan informasi yang

diberikan dalam penyelesaian tesis ini.

Penulis mengharapkan, kiranya hasil tugas akhir ini bermanfaat bagi kita semua, dan atas bantuan, saran, bimbingan dari semua pihak, penulis mengucapkan terima kasih.

Medan, Juni 2009 Penulis,

(12)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Sugih Ayu Pratitis

Tempat/Tanggal Lahir : Medan/25 Agustus 1985 Jenis kelamin : Perempuan

Status : Belum Menikah

Agama : Islam

Alamat : Jl. Pelajar Timur No. 230 Medan

PENDIDIKAN FORMAL

1. SD. Muhammadiyah No. 17 Dari Tahun 1992 Sampai Tahun 1997 2. SLTP Negeri 3 Medan Dari Tahun 1997 Sampai Tahun 2000 3. SMU Negeri 14 Medan Dari Tahun 2000 Sampai Tahun 2003

(13)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... iii

KATA PENGANTAR... v

RIWAYAT HIDUP ... vii

DAFTAR ISI... viii

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 9

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Manfaat Penelitian ... 10

E. Keaslian Penelitian... 10

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsi... 11

1. Kerangka Teori ... 11

2. Landasan Konsepsi ... 20

G. Metode Penelitian ... 25

BAB II : AKIBAT HUKUM PERCERAIAN TERHADAP KEDUDUKAN HARTA BENDA PERKAWINAN... 30

A. Perceraian... 30

1. Menurut UU No. 1 Tahun 1974... 30

2. Menurut Hukum Adat ... 32

3. Menurut Kompilasi Hukum Islam ... 33

(14)

C. Harta Bersama Dalam Perkawinan ... 43

D. Akibat Perceraian Terhadap Harta Bersama ... 58

BAB III : PELAKSANAAN PENYELESAIAN PEMBAGIAN HARTA BERSAMA DI PENGADILAN AGAMA ... 74

A. Wilayah Hukum dan Kewenangan Pengadilan Agama Klas I A Medan ... 74

B. Penyelesaian Pembagian Harta Bersama Akibat Perceraian ... 83

C. Masalah Yang Timbul... 89

BAB IV : PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENETAPKAN PUTUSAN TERHADAP PENYELESAIAN HARTA BERSAMA... 95

A. Pertimbangan Putusan Hakim Dalam Menyelesaikan Sengketa Harta Bersama ... 95

B. Putusan Hakim Terhadap Perkara Harta Bersama Di Pengadilan Agama Klas I A Medan... 98

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN... 110

A. Kesimpulan ... 110

B. Saran... 111

(15)

Sebuah perkawinan yang dimulai dengan adanya rasa saling cinta dan kasih sayang antara kedua belah pihak suami dan isteri, akan senantiasa diharapkan berjalan dengan baik, kekal dan abadi yang didasarkan kepada ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Hal ini sesuai dengan tujuan perkawinan itu sendiri berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, bahwa : “Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan keTuhanan Yang Maha Esa”. 1

Keluarga yang baik, bahagia lahir bathin adalah dambaan setiap insan. Namun demikian tidaklah mudah untuk mewujudkan sebuah keluarga yang bahagia, langgeng, aman dan tenteram sepanjang hayatnya. Perkawinan sedemikian itu tidaklah mungkin terwujud apabila para pihak yang mendukung terlaksananya perkawinan tidak saling menjaga dan berusaha bersama-sama dalam membina rumah tangga yang kekal dan abadi. Di samping itu perkawinan juga ditujukan untuk waktu yang lama, dimana pada prinsipnya perkawinan itu akan dilaksanakan hanya satu kali dalam suatu kehidupan seseorang.

Hukum perkawinan yang berlaku bagi tiap-tiap agama tersebut satu sama lain ada perbedaan, akan tetapi tidak saling bertentangan. Adapun di Indonesia telah ada

       1

(16)

hukum perkawinan yang secara otentik diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. “Sebagai salah satu masalah keagamaan, disetiap negara di dunia mempunyai peraturan tentang perkawinan, sehingga pada prinsipnya diatur dan harus tunduk pada ketentuan-ketentuan ajaran agama dalam melangsungkan perkawinan”.2

Menurut ketentuan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 2 ayat (1) disebutkan bahwa “perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”, kemudian dalam ayat (2) disebutkan bahwa “tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.3 Jadi untuk sahnya suatu perkawinan selain perkawinan harus sah berdasarkan agama juga harus didaftarkan kepada Pegawai Pencatat Perkawinan yang berwenang, sehingga perkawinan mempunyai kekuatan hukum dan dapat dibuktikan atau peristiwa perkawinan itu telah diakui oleh negara. Hal ini penting artinya demi kepentingan suami isteri itu sendiri, anak yang lahir dari perkawinan serta harta yang ada dalam perkawinan tersebut.

Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam realita kehidupan ummat manusia. Dengan adanya perkawinan rumah tangga dapat ditegakkan dan dibina sesuai dengan norma agama dan tata kehidupan masyarakat. Dalam rumah tangga berkumpul dua insan yang berlainan jenis (suami dan isteri), mereka saling berhubungan agar mendapat keturunan sebagai penerus generasi. Insan-insan yang berada dalam rumah tangga itulah yang disebut keluarga. Keluarga merupakan unit

       2

M. Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, (Medan : CV.Zahir Trading Co.1975) hal.6

3

(17)

terkecil dari suatu bangsa. Keluarga yang dicita-citakan dalam ikatan perkawinan yang sah adalah keluarga sejahtera dan bahagia yang selalu mendapat ridha dari Allah SWT.

Menurut Hukum Islam perkawinan adalah aqad (perikatan) antara wali wanita calon isteri dengan pria calon suaminya. Akad nikah itu harus diucapkan oleh wali si wanita dengan jelas berupa ijab (serah) dan diterima (kabul) oleh si calon suami yang dilaksanakan dihadapan dua orang saksi yang memenuhi syarat. Jika tidak demikian, maka perkawinan tidak sah, karena bertentangan dengan hadist Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan Ahmad yang menyatakan “tidak sah nikah kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil”.4

Dalam konteks hukum perkawinan Islam, jelas bahwa perkawinan adalah hukum Allah yang berlaku di alam nyata. Karena itu Islam telah mengatur setiap aspek kehidupan berkeluarga, bermula dari memilih jodoh hingga kepada tanggung jawab suami dan isteri di dalam rumah tangga.5 Dengan demikian perkawinan yang dilaksanakan secara sah akan menimbulkan hak dan kewajiban dalam perkawinan, baik antara suami isteri maupun terhadap anak yang dilahirkan dalam perkawinan atau yang lahir akibat perkawinan tersebut dan juga masalah harta benda.

Sesuai dengan Sunnatullah segala sesuatu yang ada di dunia ini tidak ada yang abadi dan sudah pasti ada akhirnya, begitu juga yang terjadi terhadap ikatan perkawinan pada suatu waktu pasti berakhir atau putus. Putusnya perkawinan itu ada yang karena ketentuan (taqdir) dari Allah SWT dengan meninggalnya salah satu dari suami isteri dan ada juga karena kehendak salah satu dari suami atau isteri dengan

       4

Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, (Bandung : Mandar Madju,1990), hal.1.

5

Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam Menurut Mazhab Syafi’I, Hanafi, Maliki,

(18)

melalui Pengadilan baik cerai talak maupun putusan pengadilan karena terjadinya hal-hal yang tidak disenangi oleh salah satu pihak akibat dari sikap dan perbuatan pihak lain sesuai dengan alasan-lasan perceraian sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam.

Apabila perceraian ini terjadi, sudah dapat dipastikan akan menimbulkan akibat-akibat terhadap para pihak yang berkaitan dalam suatu rumah tangga. Akibat hukum dari perceraian ini tentunya menyangkut pula terhadap anak dan harta kekayaan selama perkawinan. Mengenai kedudukan harta benda perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 diatur dalam Pasal 35 sampai dengan Pasal 37. Pembagian harta bersama ini jelas diatur dalam undang-undang, hanya saja sebagai manusia biasa yang tidak lepas dari keinginan-keinginan untuk menguasai dan memiliki, kadang kala antara teori dan penerapan serta pelaksanaan dari peraturan perundang-undangan itu sering kali tidak sejalan.

“Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama, sedangkan harta bawaan dari masing-masing suami atau isteri serta harta benda yang diperoleh dari masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain”.6

Menurut Pasal 35 Undang-Undang Nomor 1 Tahun1974 menentukan bahwa : 1. Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama

       6

(19)

2. Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.7

Dari ketentuan Pasal 35 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dapat diketahui, bahwa menurut Undang-Undang Perkawinan, di dalam satu keluarga mungkin terdapat lebih dari satu kelompok harta. Bahkan pada asasnya di sini, di dalam satu keluarga terdapat lebih dari satu kelompok harta.8

Ternyata menurut Pasal 35 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, harta bersama suami isteri hanyalah meliputi harta-harta yang diperoleh suami isteri sepanjang perkawinan saja.9 Artinya harta yang diperoleh selama tenggang waktu antara saat peresmian perkawinan sampai perkawinan tersebut putus, baik terputus karena kematian salah seorang diantara mereka (cerai mati) maupun karena perceraian (cerai hidup). Dengan demikian harta yang telah dipunyai pada saat (dibawa masuk ke dalam) perkawinan terletak di luar harta bersama.10

Menurut Pasal 85 Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami isteri.

       7

Pasal 35 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

8

J. Satrio, Hukum Harta Perkawinan, (Bandung : PT. Citra Aditya Bhakti, 1991), hal.188.

9

Asro Sosroatmodjo, Hukum Perkawinan Di Indonesia, (Jakarta : Bulan Bintang, 1993), hal.17

10

(20)

Harta perkawinan ini merupakan modal kekayaan yang dapat dipergunakan oleh suami isteri untuk membiayai kebutuhan hidup sehari-hari suami isteri dan anak-anaknya di dalam keluarga.

Asas harta bersama ini pokok utamanya ialah segala milik yang diperoleh selama perkawinan ialah harta pencaharian bersama dan dengan sendirinya menjadi lembaga harta bersama. Maka dalam arti yang umum, harta bersama itu ialah barang-barang yang diperoleh bersama selama perkawinan dimana suami isteri itu hidup berusaha untuk memenuhi kepentingan keluarganya. Dengan demikian pada prinsipnya harta bersama itu diatur bersama dan dipergunakan bersama dan dalam segala sesuatunya harus ada persetujuan bersama.

Apabila perkawinan itu putus atau berakhir, maka dipandang dari segi kewajiban suami kepada isterinya yang diceraikan, maka akibat hukumnya ada empat yaitu :

1. Pemberian yang pantas kepada bekas isteri baik berupa benda atau uang. Surat Al Baqarah ayat 241, menyebutkan yang artinya : “kepada wanita-wanita yang diceraikan hendaklah diberikan oleh suaminya mut’ah (pemberian) menurut yang ma’ruf sebagai kewajiban bagi orang yang taqwa.

2. Memberikan nafkah pakaian dan tempat tinggal selama isteri dalam masa iddah.

3. Memberikan nafkah kepada isteri yang cerai hamil dan menyusukan anak-anaknya sesuai dengan kemampuan suami

4. Membayar atau melunaskan mas kawin apabila belum dilunaskan.11

       11

(21)

Putusnya suatu perkawinan akan membawa akibat terhadap harta bersama dalam perkawinan. Kedudukan suami isteri terhadap harta perkawinan akan terjadi permasalahan, apabila suami isteri tidak melakukan pembagian atas harta perkawinan tersebut sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

Apabila terjadi sengketa tentang pembagian harta perkawinan, maka dalam hal ini diperlukan campur tangan Pengadilan Agama untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.

Pengadilan Agama Medan merupakan salah satu dari badan peradilan di Indonesia, dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Kewenangan Peradilan agama yang diatur dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah dirubah dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2006, menyatakan “Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang : a. perkawinan, b. waris, c. wasiat, d. hibah, e. wakaf, f. zakat, g. infaq, h. shadaqah dan i. ekonomi syari'ah”.

(22)

Semua jenis perkara harus lebih dahulu melalui Pengadilan Agama sebagai pengadilan tingkat pertama. Terhadap semua jenis perkara yang diajukan, Pengadilan Agama dilarang menolak untuk menerima, memeriksa dan memutus perkara yang diajukan kepadanya dengan dalih apapun. Sesuai dengan ketentuan Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, yang menyatakan “Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan memutusnya”. Perkembangan kasus di Pengadilan Agama Medan dapat dilihat dari perkara-perkara yang masuk khususnnya perkara-perkara perceraian sebagaimana digambarkan dalam tabel 1 berikut ini :

Tabel 1. Jumlah Perkara Yang Ditangani Pengadilan Agama Medan

Tahun Jlh. Perkara Perceraian

2004 Sumber : Laporan Tahunan Pengadilan Agama Medan 2009

(23)

tentang pembagian harta bersama jika terjadi perceraian suami isteri diserahkan kepada kepada hukumnya masing-masing.

Secara teoritikal bagi orang-orang yang beragama Islam tentunya berlaku hukum Islam yaitu Kompilasi Hukum Islam. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 85 Kompilasi Hukum Islam bahwa adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau isteri. Tentu hal ini menimbulkan ketidak pastian dan hal ini menarik untuk dilakukan penelitian tentang “Penyelesaian Pembagian Harta Bersama Dalam Hal Terjadinya

Perceraian (Studi Pada Pengadilan Agama Medan)”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada bagian latar belakang di atas, maka beberapa hal yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini yaitu :

1. Bagaimana akibat hukum perceraian terhadap harta benda perkawinan

2. Bagaimana penyelesaian perkara mengenai pembagian harta bersama di Pengadilan Agama Medan.

3. Bagaimana pertimbangan Hakim pengadilan Agama Medan dalam membagi harta bersama kepada istri yang dicerai.

C. Tujuan Penelitian

(24)

1. Untuk mengetahui akibat hukum dari perceraian terhadap harta benda perkawinan.

2. Untuk mengetahui penyelesaian perkara mengenai pembagian harta bersama di Pengadilan Agama Medan.

3. Untuk mengetahui pertimbangan Hakim Pengadilan dalam membagi harta bersama kepada istri yang dicerai.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi :

1. Secara teoritis penelitian ini bermanfaat untuk penambahan khasanah kepustakaan di bidang keperdataan, khususnya tentang penyelesaian pembagian harta bersama dalam hal terjadinya perceraian.

2. Dari segi praktis, penelitian ini sebagai suatu bentuk sumbangan pemikiran dan masukan bagi para pihak yang berkepentingan khususnya bagi masyarakat untuk mengetahui pentingnya mengetahui pembagian harta akibat dari perceraian tersebut.

E. Keaslian Penelitian

(25)

perkawinan. Karena itu penelitian ini baik dari segi objek permasalahan, subtansi adalah asli dan dapat dipertanggung jawabkan secara akademis dan ilmiah.

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Menurut Maria Sumardjono, teori adalah “Seperangkat proposisi yang berisi konsep abstrak atau konsep yang sudah didefenisikan dan saling berhubungan antar variabel sehingga menghasilkan pandangan sistematis dari fenomena yang digambarkan oleh suatu variabel dengan variabel lainnya dan menjelaskan bagaimana hubungan antar variabel tersebut.12

Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk mensistimasikan penemuan- penemuan penelitian, membuat ramalan atau memprediksi atas dasar penemuan dan menyajikan penjelasan yang dalam hal ini untuk menjawab pertanyaan. Artinya teori merupakan suatu penjelasan rasional yang berkesesuaian dengan objek yang dijelaskan dan harus didukung oleh fakta empiris untuk dapat dinyatakan benar.13

       12

Maria Sumardjono, Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian, (Yogyakarta : Gramedia, 1989) hal.12.

13

(26)

Tujuan utama dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama adalah penataan organisasi dan kerja Pengadilan Agama, sehingga menjadi pengadilan modern, sejalan dengan pengadilan-pengadilan lain yang berlaku di Indonesia.14

Masalah perkawinan menjadi kewenangan Pengadilan Agama sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yaitu seperti yang disebut dalam penjelasan Pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006.

Perceraian adalah putusnya perkawinan antara suami dengan isteri karena tidak terdapat kerukunan dalam rumah tangga atau sebab lain” atau dengan kata lain dapat disebutkan pula bahwa talak adalah “Pemutusan Perkawinan antara suami dan isteri, dengan menggunakan kata-kata talak atau yang sama maksudnya dengan itu”.15

Perceraian merupakan akhir dari kehidupan bersama suami isteri meskipun setiap orang menghendaki agar perkawinan yang dilaksanakannya itu tetap utuh sepanjang masa kehidupannya, tetapi tidak sedikit di antara mereka yang perkawinan telah dibina dengan susah payah itu harus berakhir dengan suatu perceraian juga selalu perkawinan yang dilaksanakan itu tidak sesuai dengan cita-cita, walaupun sudah diusahakan semaksimal mungkin dengan membinanya secara baik tetapi pada

       14

Fuad Said, Perceraian Menurut Hukum Islam, (Jakarta : Penerbit Pustaka Al Husna, Cetakan Pertama, 1994). hal. 2

15

Bahder Johan Nasution dan Sri Warjiyati. Hukum Perdata Islam Kompilasi Peradilan

Agama Tentang Perkawinan, Waris, Wasiat, Hibah, Wakaf dan Shadaqah, (Bandung : Mandar Maju,

(27)

akhirnya terpaksa mereka harus berpisah dan memilih untuk membubarkan perkawinannya.

Dalam agama Islam, perkawinan tidak diikat dalam ikatan yang mati, tetapi, tidak pula mempermudah terjadinya perceraian, boleh dilakukan tetapi harus dalam keadaan darurat atau terpaksa hal ini sesuai dengan pendapat Sayyid Sabiq, yang menyatakan bahwa :

Melepaskan ikatan perkawinan atau bubarnya perkawinan dan ini dilarang kecuali karena alasan yang benar dan terjadi hal yang sangat darurat. Jika perceraian dilaksanakan tanpa ada alasan yang benar dan tidak dalam keadaan darurat, maka perceraian itu berarti kufur terhadap nikmat Allah dan berlaku jahat kepada isteri. Oleh karena itu dibenci dan dilarang.” 16

Perceraian yang dilakukan dengan keadaan darurat atau terpaksa ini dapat terjadi karena beberapa hal seperti yang disebutkan pada Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang peraturan pelaksana UU No. 1 Tahun 1974 yaitu :

1. Salah satu pihak berbuat zinah atau menjadi pemabuk, penjudi dan lain sebagainya yang sukar untuk disembuhkan.

2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya.

3. Salah satu pihak yang mendapat hukuman penjara selama 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain.

5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri.

       16

(28)

6. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.17

Jika diperhatikan Pasal 37 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dinyatakan bahwa apabila perkawinan putus karena perceraian maka harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Yang dimaksud hukumnya masing-masing adalah hukum agama, hukum adat dan hukum lainnya.

Secara yuridis formal, ketentuan tentang harta bersama sudah diatur dalam Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, dimana dijelaskan bahwa harta bersama adalah “harta yang diperoleh suami isteri diikat dalam suatu perkawinan”.18

Dalam praktek peradilan ketentuan tersebut tidaklah mudah dan sesederhana sebagaimana bunyi pasal tersebut, terdapat beberapa hal sejalan dengan perkembangan hukum dan kondisi sosial yang berubah dalam masyarakat sesuai dengan perkembangan kemajuan zaman. Perubahan dalam kehidupan masyarakat terjadi dalam berbagai bentuk, baik dalam bidang komunikasi, informasi dan hal-hal yang menyangkut ekonomi seperti asuransi, pertanggungan dan bentuk-bentuk santunan lainnya. Yang kesemuanya itu sangat mempengaruhi tentang perolehan harta bersama dan juga pembagian apabiula terjadi sengketa di pengadilan.

Masalah-masalah hukum tentang harta bersama yang aktual dan sering timbul di pengadilan agama saat ini meliputi banyak hal, antara lain masalah uang

       17

Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974

18

(29)

pertanggungan asuransi seperti Taspen, Asuransi Jiwa, Asuransi Tenaga kerja dan Asuransi Kecelakaan Lalu Lintas, Asuransi Kecelakaan Penumpang, hasil harta bawaan, kredit yang belum lunas dan sistem pembagian harta bersama.19 Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan Pasal 35-37 dikemukakan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Masing-masing suami isteri terhadap harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah pengawasan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. “Tentang harta bersama ini, suami atau isteri dapat bertindak untuk berbuat sesuatu atas harta bersama itu atas persetujuan kedua belah pihak”.20 Dinyatakan pula bahwa suami atau isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bersama tersebut apabila perkawinan putus karena perceraian, maka harta bersama tersebut diatur menurut hukum masing-masing yaitu hukum yang berlaku bagi suami isteri.

Menurut Pasal 36 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 87 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam bahwa isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum terhadap harta pribadi masing-masing. Mereka bebas menentukan terhadap harta tersebut tanpa ikut campur suami atau isteri untuk menjualnya, dihibahkan atau mengagunkan. Juga tidak diperlukan bantuan hukum dari suami untuk melakukan tindakan hukum atas harta pribadinya. Tidak ada perbedaan kemampuan hukum antara suami isteri dalam menguasai dan melakukan tindakan terhadap harta benda pribadi mereka. Undang-undang tidak membedakan

       19

Ibid., hal.153

20

(30)

kemampuan melakukan tindakan hukum terhadap harta pribadi suami isteri masing-masing. Ketentuan ini dapat dilihat dalam Pasal 86 Kompilasi Hukum Islam, dimana ditegaskan bahwa “tidak ada percampuran antara harta pribadi suami isteri karena perkawinan dan harta isteri tetap mutlak jadi hak isteri dan dikuasai penuh olehnya, begitu juga harta pribadi suami menjadi hak mutlak dan dikuasai penuh olehnya”.21

Sebenarnya apa yang disebut dalam Pasal 35-37 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah sejalan dengan ketentuan tentang hukum adat yang berlaku di Indonesia. “Dalam konsepsi hukum adat tentang harta bersama yang ada di Nusantara ini banyak ditemukan prinsip bahwa masing-masing suami isteri berhak menguasai harta bendanya sendiri dan ini berlaku sebagaimana sebelum mereka menjadi suami isteri”.22 Hanya saja apabila ditinjau dari pendekatan filosofis, dimana perkawinan tidak lain dari ikatan lahir bathin diantara suami isteri guna mewujudkan rumah tangga yang kekal dan penuh dalam suasana kerukunan, maka hukum adat yang mengharapkan adanya komunikasi yang terbuka dalam pengelolaan dan penguasaan harta pribadi tersebut, sangat perlu dikembangkan sikap saling menghormati, saling membantu, saling kerjasama dan saling bergantung. Dengan demikian, keabsahan menguasai harta pribadi masing-masing pihak itu jangan sampai merusak tatanan kedudukan suami sebagai kepala keluarga dan isteri sebagai ibu rumah tangga.

Berdasarkan hal tersebut di atas, dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia terdapat empat macam harta keluarga dalam perkawinan yaitu :

       21

Ibid., hal.155.

22

(31)

1. Harta yang diperoleh dari warisan sebelum mereka menjadi suami isteri maupun setelah melangsungkan perkawinan (harta ini di Jawa disebut barang gawaan/bawaan)

2. Harta yang diperoleh dengan keringan sendiri sebelum mereka menjadi suami isteri.

3. Harta yang dihasilkan bersama oleh suami isteri selama berlangsungnya perkawinan (dalam masyarakat Jawa disebut harta gono gini)

4. Harta yang didapat oleh pengantin pada waktu pernikahan dilaksanakan, harta ini menjadi miliki suami isteri selama perkawinan.23

Pembakuan istilah harta bersama sebagai hukum yang berwawasan nasional baru dilaksanakan pada tahun 1974 dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Sebelum pembakuan istilah harta brsama itu terdapat harta bersama tersebut dalam berbagai macam istilah yang dipengaruhi oleh hukum adat dan hukum Islam sebagaimana disebut di atas. Meskipun dalam peraturan perundang-undangan dan yurisprudensi telah disebutkan dengan jelas istilah harta bersama terhadap harta yang diperoleh selama berlangsungnya perkawinan, tetapi dalam praktek masih saja disebut secara beragam sebagaimana sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.

Harta bersama suami isteri itu adalah harta yang diperoleh selama ikatan perkawinan berlangsung dan perolehannya itu tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun”.24 Ini berarti bahwa harta bersama itu adalah semua harta yang diperoleh selama perkawinan berlangsung, tanpa mempersoalkan atas nama siapa harta kekayaan itu terdaftar. Harta bersama itu dapat berupa benda berwujud atau juga tidak berwujud. Yang berwujud dapat meliputi benda bergerak, benda tidak

       23

Ibid., hal.155-156.

24

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan

(32)

bergerak dan surat-surat berharga, sedangkan yang tidak berwujud dapat berupa hak dan kewajiban.

Dalam hukum Islam yaitu dalam kitab-kitab fiqih tradisional, harta bersama diartikan sebagai “harta kekayaan yang dihasilkan oleh suami isteri selama mereka diikat tali perkawinan atau dengan perkataan lain disebutkan bahwa harta bersama itu adalah harta yang dihasilkan dengan jalan syirkah antara suami isteri sehingga terjadi percampuran harta yang satu dengan yang lain dan tidak dapat dibeda-bedakan”25 Dasar hukumnya adalah Al-Quran surat An-Nisa’ ayat 32 dimana dikemukakan bahwa “bagi semua laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan dan semua wanita ada bagian dari apa yang merreka usahakan pula”.26

Para pakar hukum Islam berbeda pendapat tentang dasar hukum harta bersama sebagaimana tersebut diatas. Sebagian mereka mengatakan bahwa agama Islam tidak mengatur tentang harta bersama dalam Al-Quran, oleh karena itu terserah sepenuhnya kepada mereka yang mengaturnya. Pendapat ini dikemukakan oleh Hazairin, Anwar Harjono). Sedangkan sebagian pakar hukum Islam yang lain mengatakan bahwa suatu hal yang tidak mungkin jika agama Islam tidak mengatur tentang harta bersama ini, sedangkan hal-hal lain yang kecil-kecil saja diatur secara terperinci oleh agama Islam dan ditentukan kadar hukumnya. Tidak ada satupun yang tertinggal, semuanya termasuk dalam ruang lingkup pembahasan hukum Islam. Jika tidak disebutkan dalam Al-Quran, maka ketentuan ini pasti dalam Al-Hadist dan Al-Hadist ini merupakan sumber hukum Islam juga, pendapat ini dikemukakan oleh T. Jafizham.27

Pendapat terakhir tersebut di atas adalah sejalan dengan pendapat sebagian ahli hukum Islam. Di dalam kitab-kitab Fiqih bab khusus tentang pembahasan syarikat yang sah dan yang tidak sah.

       25

Abdul Manan, Op.Cit, hal.158

26

Ibid., hal.158.

27

(33)

Di kalangan mazhab Syafi’i terdapat empat macam yang disebutkan harta syarikat yaitu :

1. Syarikat ‘inan, yaitu dua orang yang berkongsi di dalam harta tertentu, misalnya bersyarikat di dalam membeli suatu barang dan keuntungannya untuk mereka.

2. Syarikat abdan yaitu dua orang atau lebih bersyarikat masing-masing mengerhakan suatu pekerjaan dengan tenaga dan hasilnya (upahnya) untuk mereka bersama menurut perjanjian yang mereka buat, seperti tukang kayu, tukang batu, mencari ikan di laut, berburu dan kegiatan yang seperti menghasilkan lainnya.

3. Syarikat mufawadlah yaitu perserikatan dari dua orang atau lebih untuk melaksanakan suatu pekerjaan dengan tenaganya yang masing-masing diantara mereka mengeluarkan modal, menerima keuntungan dengan tenaga dan modalnya, masing-masing melakukan tindakan meskipun tidak diketahui oleh pihak lain

4. Syarikat wujuh yaitu syarikat atas tanpa pekerjaan ataupun harta yaitu permodalan dengan dasar kepercayaan pihak lain kepada mereka. 28

“Terhadap pembagian harta syarikat sebagaimana tersebut di atas, hanya syarikat ‘inan’ yang disepakati oleh semua pakar hukum Islam, sedangkan tiga syarikat lainnya masih diperselisihkan keabsahannya”.29

Meskipun pembagian syarikat seperti yang telah dikemukakan dibagi empat macam dilaksanakan oleh para ahli hukum Islam dikalangan mazhab Syafi’i, tetapi dalam praktek peradilan mereka hanya mengakui hanya syarikat ‘inan saja. Para pakar hukum Islam dikalangan mazhab Hanafi dan Mailiki dapat menerima syarikat ini karena syarikat tersebut merupakan muamalah yang harus dilaksanakan oleh setiap orang dalam rangka mempertahankan hidupnya. Syarikat itu dapat dilaksanakan asalkan tidak dengan paksaan dan dilaksanakan dengan itikad yang

       28

Ibid.,hal.159

29

(34)

baik. Jika sudah satu pihak merasa tidak cocok lagi melaksanakan perkongsian yang disepakati, maka ia dapat membubarkan perkongsian itu secara baik dan terhadap hal ini tidak dapat diwariskan.

2. Landasan Konsepsional

Dalam bahasa latin, Kata conceptio (di dalam bahasa belanda : Begrip) atau pengertian yang merupakan hal yang dimengerti. Pengertian bukanlah merupakan “defenisi” yang didalam bahasa latin adalah defenitio. Defenisi tersebut berarti perumusan (di dalam bahasa Belanda : “omschrijving”) yang pada hakekatnya merupakan suatu bentuk ungkapan pengertian disamping aneka bentuk lain yang dikenal didalam epistemologi atau teori ilmu pengetahuan. 30

Agar tidak terjadi perbedaan pengertian tentang konsep-konsep yang dipergunakan dalam penelitian ini, maka penulis menguraikan pengertian-pengertian konsep yang dipergunakan sebagai berikut :

a. Perceraian

Sayyid Sabiq memberi definisi tentang perceraian yang artinya Thalaq diambil dari kata “ithlaq” artinya melepaskan atau meninggalkan. Dalam istilah syarat, thalaq adalah melepaskan ikatan perkawinan atau bubarnya hubungan perkawinan.31

       30

Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 6.

31

(35)

Penyebab putusnya perkawinan sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Pasal 113 Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa perkawinan dapat putus karena : a. Kematian, b. Perceraian, c. Atas putusan Pengadilan”.

Putusnya perkawinan karena perceraian menurut Undang-Undang dikenal ada 2 (dua) bentuk yaitu :

1. Perceraian karena permohonan cerai talak dari pihak suami. 2. Perceraian karena gugatan cerai.

Perceraian karena permohonan cerai talak dari pihak suami, cerai talak adalah salah satu bentuk cara yang dibenarkan Hukum Islam untuk memutuskan akad nikah antara suami dan isteri. Kamus istilah agama menulis “talaq” berarti dengan mengucapkan secara sukarela ucapan talaq kepada isterinya, dengan kata-kata jelas sharih atau kata-kata sindiran kinayah.32

Pengertian talaq di atas, seolah Hukum Islam memberi hak dan kewenangan yang tidak terbatas bagi suami untuk menceraikan isterinya melalui lembaga talaq, sedangkan apa yang menjadi alasan suami untuk mentalaq isteri, tergantung kepada penilaian subjektif suami, karena tidak ada satupun badan resmi yang menilai objektiFitas tersebut. Hal ini berkembang di tengah-tengah masyarakat. Kemudian

       32

(36)

dengan adanya Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 dari Kompilasi Hukum Islam penggunaan talaq di atas dan dibatasi talaq harus melalui campur tangan pengadilan.

Gugat cerai merupakan salah satu bentuk atau cara yang dibenarkan oleh Hukum Islam untuk memutuskan akad nikah antara suami dan isteri tetapi yang mengajukan permohonan cerai adalah isteri. Pada dasarnya yang dapat dijadikan untuk memajukan gugatan cerai oleh pihak isteri berdasarkan Pasal 39 UU No. 1 Tahun 1974 jo Pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975 dan Kompilasi Hukum Islam tidak jauh berbeda dengan alasan untuk mengajukan cerai talaq oleh pihak suami tetapi di dalam Kompilasi Hukum Islam ada penambahan khusus untuk pihak isteri yaitu bahwa yang dapat dijadikan isteri untuk mengajukan gugatan perceraian adalah pihak suami melanggar taklik talaq.33

b. Pengertian Harta Bersama

Secara etimologi, harta bersama adalah dua kosa kata yang terdiri dari kata harta dan kata bersama. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ada dua kata pengertian harta, pertama, harta adalah barang-barang (uang dan sebagainya) yang menjadi kekayaan. Kedua, harta adalah kekayaan berwujud dan tidak berwujud yang bernilai dan yang menurut hukum dimiliki perusahaan. Harta bersama adalah harta yang diperoleh secara bersama di dalam perkawinan.34

       33

Ibid, hal.4

34

(37)

Menurut terminologi, harta bersama adalah harta yang diperoleh bersama suami isteri selama perkawinan. Di Jawa, harta bersama disebut dengan istilah gono gini, di Sunda disebut guna kaya, di Bugis disebut cakara atau bali reso, dan

lain-lain.35

Pada tiap-tiap daerah masyarakat mengenal harta bersama dengan istilah yang berbeda, namun pada hakikatnya adalah sama. Kesamaan ini terletak pada harta benda suami isteri yang dinisbatkan menjadi harta bersama.

Di samping ketentuan yang telah disebutkan dalam Pasal 35 sampai dengan Pasal 37 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, maka pengertian harta dalam perkawinan dapat dikembangkan menjadi 3 (tiga) macam harta dan dirinci sebagai berikut :

1. Harta bawaan yaitu harta yang diperoleh suami isteri pada saat atau sebelum melakukan perkawinan, dapat dikatakan bahwa harta tersebut sebagai pemilik asli dari suami atau isteri. Pemilikian terhadap harta bawaan (harta pribadi) dijamin keberadaannya secara yuridis oleh hukum perkawinan.

2. Harta pribadi yaitu harta yang diperoleh oleh suami atau isteri selama perkawinan berlangsung sebagai hadiah, hibah, wasiat atau warisan yang diperoleh secara pribadi terlepas dari soal perkawinan.

       35

(38)

3. Harta bersama yaitu harta yang diperoleh dalam masa perkawinan dalam kaitannya dengan hukum perkawinan, baik diperoleh lewat perantaraan isteri maupun lewat perantaraan suami. Harta ini diperoleh sebagai hasil karya dari suami isteri dalam kaitan dengan perkawinan.

Di dalam hukum Islam tidak mengenal harta bersama tetapi harta bersama tidak bertentangan secara diametral dengan hukum islam. Hukum adat yang tidak prinsipil bertentangan dengan hukum islam dapat dijadikan sebagai sumber hukum. Hal ini sesuai dengan Teori Receptio A Contrario yang dicetuskan oleh Sayuti Thalib, yang menyatakan bahwa:” Hukum adat baru berlaku kalau tidak bertentangan dengan hukum Islam atau suatu ketentuan Hukum adat diperbaiki dan diubah sehingga tidak menyalahi ketentuan agama.”36

Teori ini dilandasi oleh pokok- pokok fikiran yang terdapat dalam kaidah- kaidah fiqih antara lain:

1. Pada prinsipnya kaitannya dengan perintah Tuhan dan Rasul maka kalau di formulasikan di dalam kalimat perintah berarti wajib.

2. Larangan pada dasarnya adalah ketidak bolehan untuk dikerjakan/haram 3. Adat kebiasaan (Urf)dapat dijadikan hukum selama tidak bertentangan dengan

Islam atau Al’Aadah Muhakkamah.37

       36

Sayuti Thalib, Receptio A Contrario, (Jakarta : Bina Aksara, 1985), hal 117.

37

(39)

G. Metode Penelitian

Sebagai sebuah penelitian ilmiah, maka rangkaian kegiatan penelitian dimulai dari pengumpulan data sampai pada analisis data dilakukan dengan memperhatikan kaidah-kaidah penelitian ilmiah sebagai berikut :

1. Sifat dan Bentuk Penelitian

Penelitian ini bersifat penelitian deskriptif analitis. Deskriptif artinya penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan secara sistematis, faktual dan aktual serta populasi yang telah ditentukan mengenai sifat-sifat, karakteristik atau faktor-faktor tertentu38 yakni menggambarkan pelaksanaan penyelesaian sengketa harta bersama di Pengadilan Agama Kelas I A Medan.

Sedangkan analitis adalah melakukan penelitian yang menganalisis data mengarah kepada populasi dan berdasarkan data dari sampel digeneralisasi menurut data populasi.39 Hal ini untuk menjelaskan secara cermat dan menyeluruh setiap data yang diperoleh baik data primer maupun data sekunder yang diolah dan dianalisis sehingga diperoleh aspek hukum dalam penerapan ketentuan harta bersama dan sikap masyarakat/para pihak terhadap ketentuan tersebut.

Materi penelitian ini diperoleh dengan menggunakan metode pendekatan yuridis normatif karena penelitian ini dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka

atau data sekunder dan kemudian meneliti hukum empiris dari data primer.40

       38

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2005), hal.35.

39

Ibid, hal.39

40

(40)

Pendekatan yuridis normatif maksudnya adalah penelitian yang dilaksanakan dengan cara meneliti lebih dahulu bahan-bahan yang sesuai dengan permasalahan yang akan diteliti, serta dokumen-dokumen berkas kasus yang terdapat pada Pengadilan Agama Klas I A Medan. Sedangkan pendekatan yuridis sosiologi adalah melihat hukum yang nampak dalam kenyataan di masyarakat (law in society) dengan tujuan untuk mengetahui tanggapan masyarakat terhadap putusan Pengdilan Agama mengenai harta bersama dan penerapannya.

2. Sumber Data

Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif dan yuridis empiris, maka data penelitian diperoleh dengan mengumpulkan data sekunder.

a. Data primer diperoleh langsung dari sumber pertama yakni perilaku warga masyarakat melalu penelitian41

Adapun data primer dalam penelitian ini adalah putusan-putusan Pengadilan Agama Klas I A Medan tentang harta bersama ditambah dengan melakukan wawancara untuk mendapatkan informasi dari beberapa pihak yang terkait dalam penelitian ini sebagaimana narasumber terdiri dari :

1) Hakim Pengadilan Agama Klas I A Medan : 3 orang 2) Panitera Pengadilan Agama Klas I A Medan : 1 orang 3) Advokat/Penasehat Hukum : 1 orang 4) Suami isteri yang bercerai : 1 orang

       41

Soerjono Soekanto dan Sri Memudji, Peranan dan Penggunaan Perpustakaan Dalam

Penelitian Hukum , (Jakarta : Pusat Dokumentasi Hukum, Fakultas Hukum Universitas Indonesia,

(41)

b. Data sekunder antara lain mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku hasil penelitian yang berwujud laporan, buku harian dan seterusnya.42 Adapun data sekunder dalam penelitian ini diperoleh :

1) Bahan hukum primer berupa perundang-undangan yang berkaitan dengan akibat hukum perceraian terhadap harta bersama di Pengadilan Agama Klas I A Medan.

2) Bahan hukum sekunder dalam penelitian ini berupa bahan-bahan yang erat kaitannya dengan bahan hukum primer berupa putusan-putusan Pengadilan Agama, buku-buku yang berkaitan dengan objek yang diteliti.

3) Bahan hukum tertier yaitu bahan hukum penunjang yang membuat petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus umum, kamus hukum, majalah dan jurnal ilmiah, surat kabar, majalah dan internet juga menjadi tambahan bagi penulisan tesis ini sepanjang memuat informasi yang relevan dengan penelitian yang akan dilakukan.

3. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian adalah di Pengadilan Agama Klas I A Medan dengan alasan bahwa penduduknya mayoritas beragama Islam dan mudah dijangkau dalam melaksanakan penelitian

       42

(42)

4. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan 2 (dua) cara yaitu sebagai berikut :

a. Penelitian Kepustakaan (Library Rersearch) dilakukan untuk menghimpun data sekunder dengan membaca dan mempelajari literatur-literatur, hasil-hasil penelitian, peraturan perundang-undangan yang berlaku, teori-teori dan asas-asas hukum yang berkaitan dengan materi penelitian.

b. Penelitian Lapangan (Field Research), dilakukan untuk menghimpun data sekunder dengan mempergunakan alat pengumpulan data berupa :

1) Studi dokumen yaitu dengan mempelajari berbagai peraturan hukum, literatur, hasil penelitian dan putusan pengadilan yang terkait dengan masalah pembagian harta bersama.

2) Daftar pertanyaan (kuisioner) yaitu mengajukan sejumlah pertanyaan kepada responden sesuai dengan masalah yang diteliti dalam bentuk pertanyaan bersifat terbuka dan tertutup

3) Pedoman wawancara yaitu mengadakan serangkaian tanya jawab secara lisan, bebas dan terstruktur dengan bentuk pertanyaan yang telah dipersiapkan mengenai permasalahan yang akan diteliti.

5. Analisis Data

(43)

Data yang diperoleh melalui studi lapangan maupun studi kepustakaan dikumpul dan diatur urutannya dan langkah selanjutnya melakukan pengolahan dan menganalisis data.44) Sebelum dilakukan analisis data, terlebih dahulu data yang diperoleh dikumpulkan, dikualifikasi sesuai dengan kelompok pembahasan dan untuk selanjutnya dilakukan pembahasan secara yuridis.

Data yang terkumpul akan dianalisis secara kualitatif. Data yang diperoleh setelah diolah, data yang diperoleh kemudian ditafsirkan secara logis dan sistematis dengan menggunakan pendekatan deduktif dan induktif, sehingga secara lengkap akan menjadi analisis kualitatif dengan menggunakan data secara induktif yang telah dianalisis.45

Dari kegiatan analisis ini diperoleh kesimpulan yang merupakan jawaban dari permasalahan yang diteliti sesuai dengan tujuan penelitian tersebut.

       44)

Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2003), hal.103.

45

(44)

BAB II

AKIBAT HUKUM PERCERAIAN TERHADAP KEDUDUKAN HARTA BENDA PERKAWINAN

A. Perceraian

1. Menurut UU No. 1 Tahun 1974

Perceraian merupakan bagian dari perkawinan, sebab tidak ada perceraian tanpa adanya perkawinan lebih dahulu. Perkawinan merupakan awal dari hidup bersama antara seorang pria dengan seorang wanita yang diatur dalam peraturan perundang-undangan dalam suatu negara, sedangkan perceraian merupakan akhir dari kehidupan bersama suami isteri tersebut.

Setiap orang menghendaki agar perkawinan yang dilaksanakannya tetap utuh sepanjang masa kehidupannya, tetapi banyak terjadi perkawinan yang dibina berakhir dengan suatu perceraian.

(45)

Abdul Manan menyebutkan bahwa perceraian adalah “putusnya perkawinan antara suami isteri karena tidak terdapat kerukunan dalam rumah tangga atau sebab lain seperti mandulnya isteri atau suami”.46

Menurut Pasal 39 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

Tentang hak mengajukan soal cerai ke Pengadilan adalah masing-masing suami isteri mempunyai kedudukan yang sama sebagaimana hal tersebut diatur dalam Pasal 31 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Dengan adanya perceraian, maka yang paling menderita pada umumnya adalah keturunan mereka. Di sini perlu digaris bawahi tentang perkataan pada umumnya. Sebab dalam keadaan-keadaan tertentu perceraian dilakukan demi kepentingan pertumbuhan kejiwaan anak-anak lebih bagus cepat dilaksanakan perceraian.

Sesuai dengan asas tujuan perkawinan yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 untuk membentuk keluarga yang bahagia sejahtera sprituil dan materil jika tidak mungkin lagi terwujud adalah lebih baik memberi kebebasan pada masing-masing pihak untuk mencoba lagi dengan pasangan yang baru yang mungkin menjumpai kedamaian dan kebahagiaan.

Kebebasan ikatan adalah lebih menyelamatkan mental dan fisik mereka dari keruntuhan, sebab itu Pengadilan sebagai instansi yang akan memberi legalisasi

       46

(46)

hukum dalam perceraian sudah sepantasnya memikirkan keharusan perceraian itu dari segala segi menyangkut kemanusiaan itu sendiri.

Perkawinan pada dasarnya bertujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya untuk mencapai kesejahteraan spritual dan material. Karena itu Undang-Undang Perkawinan menganut asas atau prinsip mempersukar terjadinya perceraian.

2. Menurut Hukum Adat

Perkawinan yang menjadi urusan keluarga dan kerabat dalam suatu hukum adat mempunyai fungsi untuk memungkinkan pertumbuhan secara tertib dari masyarakat kerabat ke arah angkatan baru yaitu anak-anak yang lahir dalam perkawinan itu guna meneruskan clan, suku, kerabat dan keluarga. Perkawinan juga bertujuan untuk mempertahankan masyarakat dusun serta wilayah kesatuan dalam susunan masyarakat.

Selain hal di atas menurut hukum adat yang merupakan urusan kerabat maupun kekerabatan yang terdapat pada berbagai lingkungan hukum juga “mempertahankan hubungan golongan-golongan sanak saudara satu sama lain dan meneruskan hubungan yang timbal balik dalam hubungan perkawinan yang bersegi satu (eenzijdige huwelijks betrekking).47

       47

(47)

Dengan tujuan serta fungsi tersebut, maka dalam hukum adat juga akan ditemui adanya perceraian antara suami isteri, dimana perceraian itu selalu dikaitkan dengan kepentingan-kepentingan keluarga atau kerabat. Fungsi-fungsi sebagaimana disebutkan di atas berpengaruh sebagai alasan-alasan dan kemungkinan-kemungkinan terjadinya perceraian. Selain kepentingan kerabat dalam hukum adat tentunya persoalan-persoalan pribadi dan bersifat perorangan juga dianggap sebagai alasan perceraian.

Adapun alasan secara umum mengapa dilakukan perceraian antara suami isteri dalam hukum adat adalah “karena zina yang dilakukan oleh pihak isteri, perbuatan itu dianggap sebagai suatu pelanggaran terhadap kepentingan-kepentingan masyarakat maupun perasaan si suami yang pada masing-masing lingkungan hukum berhak atas perlindungan tehadap isteri”.48

3. Menurut Kompilasi Hukum Islam

Perceraian dimungkingkan terjadi walaupun pada dasarnya perceraian merupakan hal yang dibenci Allah, perceraian dalam hukum Islam dapat dikatakan sebagai suatu perbuatan yang makruh.

Akan halnya perceraian itu adalah merupakan salah satu penyebab putusnya hubungan perkawinan di dalam hukum Islam. Sedangkan sebab-sebab putusnya hubungan perkawinan itu menurut hukum Islam adalah :

       48

(48)

a. Karena kematian b. Karena perceraian

c. Karena putusan pengadilan.49

Ad.a. Putusnya Hubungan Perkawinan Karena Kematian

Mengenai putusnya hubungan perkawinan karena kematian hal ini tentunya jelas, sebab pasangan suami isteri sebagai manusia dan makhluk Allah SWT memang harus dan akan menemui ajalnya (mati), sebagaimana yang difirmankan Allah SWT di dalam Al-Quran bahwa : “…. Semua yang hidup pasti merasa mati….”.50

Oleh sebab itu kematian bagi para pihak, salah satu atau keduanya dari suami atau isteri merupakan hal yang tidak dapat ditawar-tawar lagi dan harus diyakini tibanya sebagai umat manusia yang percaya akan ajaan Islam. Dengan demikian salah sebab putusnya hubungan perkawinan yang disebabkan oleh kematian. Meninggalnya suami ataupun isteri sudah langsung memutuskan hubungan perkawinan antara suami isteri tersebut.

Ad.b. Putusnya Hubungan Perkawinan Yang Disebabkan Oleh Perceraian

Perceraian adalah sesuatu yang biasa dilakukan tetapi merupakan perbuatan yang tidak disukai Allah. Di dalam Al Qur’an dinyatakan bahwa “pergaulilah isteri kamu itu sebaik-baik (makruf), kemudian apabila ketidaksukaan kamu itu, Allah menjadikannya kebaikan yang banyak”.51

       49

Kompilasi Hukum Islam, Pasal 113

50

Al Qur’an Surat Ali Imran ayat 185

51

(49)

Dari bunyi ayat tersebut sebenarnya secara sindiran dan tersirat Allah SWT menyatakan bila ada perasaan yang tidak enak dan tidak disenangi oleh pihak suami terhadap isterinya hendaklah ia tetap menggauli isterinya itu dengan baik dan jangan menceraikan isterinya.

Demikian pula halnya bagi pihak isteri, di dalam Islam tidak boleh mengambil inisiatif untuk terjadinya suatu perceraian hanya karena tidak senang pada suaminya. Apabila isteri melakukan permintaan untuk bercerai pada suaminya, maka ia akan menerima kemarahan besar dari Allah SWT. Hal ini dapat pula dilihat dalam Hadist Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Tarmidzi, Abu Daud dan Ibny Madjah, bahwa Rasulullah SAW bersabda : “Perempuan manapun yang minta cerai dari suaminya tanpa sebab-sebab yang wajar yang menghalalkan maka haramlah bagi perempuan itu membaui atau merasakan kewangian surga nantinya”.52

Ad.c. Putusnya Hubungan Perkawinan Yang Disebabkan Oleh Putusan Pengadilan Dalam hal ini adalah putusan-putusan Pengadilan Agama yang disebabkan adanya hal-hal diluar talak ataupun gugatan, misalnya adanya permohonan pihak ketiga terhadap suatu perkawinan yang telah dilangsungkan tersebut untuk dibatalkan yang dikarenakan terjadinya kesalahan, ataupun terdapatnya sebab lain.

Dalam hal putuan pengadilan ini juga dapat disebabkan karena perginya salah satu pihak meninggalkan pihak lain dengan tidak memberitahukan kepergiannya itu untuk jangka waktu yang lama dan dalam hal ini hakim berhak menyatakan pihak

       52

(50)

yang pergi meninggalkan pihak lain tersebut hilang. Dengan demikian maka perkawinan dalam hal ini adalah putusan dengan putusan pengadilan.

B. Penyebab Terjadinya Perceraian

Alasan terjadinya perceraian pada Pengadilan Agama Medan dapat dilihat dalam tabel 2 berikut ini :

Tabel 2. Alasan Terjadinya Perceraian Di Pengadilan Agama Medan

Sejak Tahun 2004 s/d 2008

Sumber : Laporan Tahunan Pengadilan Agama Medan 2009

Mengenai penyebab terjadinya perceraian menurut UU No. 1 Tahun 1974 seperti ditentukan dalam Pasal 39 ayat (2) bahwa untuk melakukan perceraian harus cukup alasan, bahwa antara suami isteri tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri.

(51)

Penyebab perceraian ini diperjelas lagi dalam penjelasan resmi Pasal 39 ayat (2) yang juga dipertegas lagi dengan Pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975. Dalam penjelasan tersebut ada beberapa hal-hal yang dapat dijadikan sebagai alasan. Apa yang disebut dalam penjelasan ayat (2) Pasal 39 UU No. 1 Tahun 1974 serupa dengan alasan-alasan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975.

Adapun alasan yang dimaksud adalah sebagai berikut :

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat dan lain-lain sebagainya yang sukar disembuhkan.

b. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin dari pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemauannya.

c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara selama 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami isteri.

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami isteri.

f. Antara suami isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.53

Hal-hal yang menghalalkan untuk terjadinya perceaian dalam hukum Islam yaitu :

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.

b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.

       53

(52)

c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain.

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri.

f. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

g. Suami melanggar taklik-talak (cerai gugat)

h. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga.54

Selain hal di atas yang telah menjadi ketetapkan hukum formal di Negara Republik Indonesia, maka dalam Islam hal-hal yang menjadi sebab terjadinya perceraian itu menurut Sayuti Thalib adalah :

1. Terjadinya Nusyuz isteri, dimana sumber hukum tentang hal ini ditemukan dalam Al-Qur’an surat An Nisa ayat 34

2. Terjadinya Nusyuz suami, yang didasarkan pada Al-Qur’an surat An Nisa ayat 128

3. Terjadinya syiqaq antara suami isteri yang diatur dalam Al-Qur’an surat An Nisa ayat 35

4. Bila salah satu pihak melakukan fahisyah yang didasarkan pada Al-Qur’an surat An Nisa ayat 15.55

Nusyuz dalam hal ini diartikan sebagai perbuatan salah satu pihak suami atau

isteri untuk tidak melakukan kewajibanya, dimana nusyuz isteri adalah isteri tidak taat pada suaminya, sedangkan nusyuz suami adalah kemungkinan si suami berpaling meninggalkan atau menyia-nyiakan isterinya.

Sedangkan arti Syiqaq disini adalah keretakan yang telah terjadi sangat hebat antara suami isteri, sedangkan fahisyah adalah perbuatan buruk, dimana Hazairin mengartikannya sebagai “…perbuatan yang memberi malu keluarga”.56

       54

Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam

55

(53)

Keempat perceraian yang disebutkan dalam Al-Qur’an telah dijabarkan di dalam sumber hukum formal di Indonesia bagi umat Islam, yaitu di dalam Kompilasi Hukum Islam yang telah diundangkan dan diberlakukan dengan sah sejak tahun 1991. Selanjutnya T. Yafizham menyatakan bahwa pekawinan dapat putusan disebabkan :

a. Kematian salah satu pihak b. Thlak

Thalak yaitu melepaskan ikatan nikah antara suami dan isteri dengan suatu

kata-kata tertentu (Q.S. Al-Baqaah : 229)

Fasakh yaitu diungkai atau dipecahkan perjanjian kawain itu (dirusakan atau

dibatalkan), hal ini dikarenakan adanya cacat badan atau fisik dari salah satu pihak yang terasa mengganggu kelangsungkan perkawinan dimaksud.

Khuluk (tidak tebus) yaitu suatu perceraian atau persetujuan kedua belah

pihak dimana isteri membayar iwadh kepada suaminya (Q.S. An-Nisa ayat 4). Syiqaq yaitu terjadinya keretakan yang tidak mungkin didamaikan lagi dan

terus menerus (Q.S. An-Nisa : 35)

Ila’ yaitu suampah suami bahwa ia tidak akan mau coitus dengan isterinya

selama 4 (empat) bulan atau lebih (Q.S. An-Nisa : 226-227)

       56

Sayuti Thalib, Ibid¸hal.95

57

(54)

Zihar, yaitu ucapan suami yang menyerupakan isterinya dengan salah satu

muhrimnya tentang haramnya, sehingga haram baginya untuk mencampuri isterinya sebagaimana ia mencampuri muhrimnya itu (Q.S. Al Mujadallah : 2-4)

Li’an yaitu kecurigaan suami terhadap isterinya sehubungan dengan sesuatu

hal dimana isterinya hamil padahal ia tidak ada, dan bila menuduh orang lain berzina kemungkinan ia tidak benar, maka dalam hal ini ia dapat dikenakan hukuman (Q.S. An-Nur : 6-9)

Riddah/Murtad yaitu jika salah satu pihak keluarga dari agama Islam baik ia

pindah agama lain ataupun tidak beragama, maka terjadilah pembubaran perkawinan tersebut.

Selanjutnya di dalam Kompilasi Hukum Islam putusnya hubungan perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian. Hal ini dapat ditemukan dalam Pasal 114 Kompilasi Hukum Islam, dimana perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama (Pasal 65 UU No. 7 Tahun 1989 yang telah dirubah dengan UU No. 3 Tahun 2006). Sebelum perceraian itu terjadi, Pengadilan Agama terlebih dahulu harus mendamaikan atau memberikan anjuran kepada kedua belah pihak untuk berdamai.

Talak yang merupakan ikrar suami di depan sidang Pengadilan Agama yang

(55)

Talak di dalam Kompilasi Hukum Islam dapat dibagi menjadi :58

a. Talak Raj’i yaitu talak kesatu atau kedua (Pasal 118)

Dalam hal ini suami yang mentalak isterinya masih mempunyai hak (boleh) untuk rujuk kembali pada isterinya selama si isteri masih dalam masa iddah atau masa tunggu (Pasal 119)

b. Talak Ba’in Sughro yaitu talak yang tidak boleh rujuk, tetapi boleh kembali kepada bekas isteri dengan melakukan akad nikah baru, walaupun masih dalam masa iddah.

Talak Ba’in Sughro ini terbagi lagi atas : 1) Talak Ba’in Sughro qobla al dukhul

2) Talak Ba’in Sughro dengan tebusan atau khuluk

3) Talak Ba’in Sughro yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama

c. Talak Ba’in Kubro yaitu talak yang terjadi untuk ketiga kalinya, dalam hal ini suami tidak dapat merujuk isterinya dan juga tidak dapat menikah kembali sebagaimana Talak Ba’in Sughro. Perkawinan dalam hal ini hanya dimungkinkan bila si isteri telah melakukan pernikahan dengan laki-laki lain lalu berceai dengan ba’da dukhul terhadap suami barunya tersebut, dan juga telah habis masa

iddahnya. Dalam hal beginilah baru si suami dapat dinikahkan kembali dengan bekas isterinya tersebut.

d. Talak Sunny adalah talak yang dibolehkan yaitu talak yang dijatuhkan terhada isteri yang sedang suci dan tidak dicampuri dalam waktu suci tersebut.

       58

Gambar

Tabel 1. Jumlah Perkara Yang Ditangani  Pengadilan Agama Medan
Tabel 2. Alasan Terjadinya Perceraian Di Pengadilan Agama Medan

Referensi

Dokumen terkait

Keuntungan (kerugian) dari perubahan nilai aset keuangan dalam kelompok tersedia untuk dijual 55.280 c.. Lainnya

Zaradi sanacije bank je bila konec leta 1992 ustanovljena Agencija za sanacijo bank in hranilnic ASBH, katere naloga je bila prestrukturirati banke, jim vrniti solventnost in

94300 Kota Samarahan, Sarawak. in the presence of the Court Bailiff at the Auction Room, High Court, Kuching, the property specified in the Schedule hereunder... All

1 Dokumentasi Pengadilan Agama Malang.. Islam merupakan bagian dari Peradilan hukum adat atau Peradilan Swapraja, yang berlaku sebagaimana diatur dalam pasal 134 ayat 2 IS

Dimaksud dengan tujuan dilakukan tindak pidana ialah bahwa peristiwa pidana yang dilakukan itu dalam keadaan tidak stabil.Seperti pencurian yang dilakukan dalam keadaan

Both in terms of general administration as well as case management, the Shariah Court is a Religious Court for the territory of the Province of Nanggroe Aceh

1) The disputing party who filed a lawsuit and the case has been registered. Cases entered and processed to issue a registration number can then be delegated to the head of the

Karakter kelapa ini menunjukkan potensi yang besar untuk dimanfaatkan dalam program pengembangan kelapa ke depan, sehingga perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui