• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III : PELAKSANAAN PENYELESAIAN PEMBAGIAN

A. Wilayah Hukum dan Kewenangan Pengadilan Agama

Sebelum agama Islam datang ke Indonesia, di Indonesia telah ada dua macam peradilan yakni Peradilan Perdata dan Peradilan Pandu. “Peradilan Perdata mengurusi perkara-perkara yang menjadi urusan raja dan Peradilan Pandu mengurusi perkara – perkara yang bukan menjadi urusan raja”.85 Dengan masuknya Agama Islam ke Indonesia yang pertama kali pada abad pertama Hijriah atau bertepatan pada abad ketujuh Masehi yang dibawa langsung dari Arab oleh saudagar-saudagar dari Mekah dan Madinah yang sekaligus sebagai muballigh, maka dalam praktek sehari-hari masyarakat mulai melaksanakan ajaran dan aturan-aturan agama Islam yang bersumber kitab-kitab fight. “Di dalam kitab-kitab fight termuat aturan dan tata cara ibadah seperti thaharah, shalat, puasa, zakat dan haji serta sistem peradilan yang disebut Qadha”.86

Karena lembaga qadha seperti yang disebut dalam kitab figh itu belum dapat dilaksanakan sepenuhnya, maka penyelesaian perkara-perkara antar penduduk yang beragama Islam dilakukan melalui tahkim, yakni para pihak yang berperkara secara sukarela menyerahkan perkara mereka kepada seorang ahli agama baik fiqh, ulama atau muballigh untuk menyelesaikan dengan ketentuan bahwa kedua pihak yang bersengketa akan mematuhi putusan yang diberikan oleh ahli agama itu. Menurut

       85

Tresna, Peradilan di Indonesia dari Abad ke Abad (Jakarta : NV. Versuis, 1978), hal. 6

86

Zaini Ahmad Nuh, Sejarah Peradilan Agama, Laporan Hasil Simposium, (Jakarta : Proyek Pembinaan Administrasi Hukum dan Peradilan, 1983), hal. 26.

biasanya perkara yang diputus oleh lembaga tahkim ini adalah perkara non pidana. Pada beberapa tempat tahkim ini melembaga sebagai peradilan syara’. “Periode tahkim ini dapat diduga sebagai awal perkembangan peradilan agama di Indonesia”.87

Secara yuridis formal, Peradilan Agama sebagai suatu Badan Peradilan yang terkait dalam sistem kenegaraan untuk pertama kali lahir di Indonesia (Jawa dan Madura) pada tanggal 1 Agustus 1882. Kelahiran ini berdasarkan suatu Keputusan Raja Belanda (konninklijk Besluit) yakni Raja Willem III tanggal 19 Januari 1882 Nomor 24 yang dimuat dalam Staatblad 1882 No. 153. “Badan Peradilan ini bernama Presterraden yang kemudian lazim disebut dengan Rapat Agama atau Raad Agama

dan terakir dengan Peradilan Agama”.88

Pengadilan Agama Klas I A Medan yang terletak di Jalan Sisingamangaraja Km 8,7 No. 18 Medan yang secara geografis terletak antara 980 Bujur Timur dan 340 Lintang Utara, didirikan pada tahun 1957 berdasarkan Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia No. 58 Tahun 1957 dengan sebutan pada waktu itu Mahkamah Syariah.89

Pada tahun 1980 kemudian terbit Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia No. 6 Tahun 1980 tanggal 28 Januari 1980 tentang Penyeragaman nama menjadi Pengadilan Agama.90 Wilayah hukum Pengadilan Agama Klas I A Medan

       87 Ibid. hal.27 88 Ibid, hal.28 89

Samsuhari Irsyad, dkk, Peradilan Agama di Indonesia, Sejarah Perkembangan Lembaga

dan Proses Pembentukan Undang-Undangnya (Jakarta : Ditbinbaperais Departemen Agama RI, 1999),

ha.27

90

Abdul Halim, Peradilan Agama Dalam Politik Hukum Di Indonesia, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2000), hal.77

adalah kota Medan yang terdiri dari 21 Kecamatan, 151 Kelurahan dan rata-rata perkara pertahun kurang lebih 750.

Kantor balai sidang Pengadilan Agama Klas I A Medan diresmikan penggunaannya pada tanggal 10 Juli 1978 oleh Direktur Pembinaan Badan Pengadilan Agama Islam Departemen Agama Republik Indonesia yang dibangun berdasarkan DIP Departemen Agama Republik Indonesia pada tanggal 26 Pebruari 1977 No. 62/XXV/2/77.91

Kewenangan Pengadilan Agama Klas I A Medan, tidak terlepas dari sejarah panjang pembentukan dan perkembangan Peradilan Agama di Indonesia. Lembaga Peradilan Agama sebagai lembaga hukum yang berdiri sendiri telah mempunyai kedudukan yang kuat dalam masyarakat. Kerajaan-kerajaan Islam yang pernah berdiri telah melaksanakan hukum Islam dan melembagakan sistem peradilannya sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari seluruh sistem pemerintahan di wilayah kekuasaannya. Dari kenyataan inilai di kalangan orang Belanda yang dipelopori oleh L.W.C Van den Berg berkembang pendapat bahwa hukum yang berlaku bagi orang Indonesia asli adalah undang-undang agama mereka yakni Hukum Islam. Teori ini dikenal dengan teori reception in complexu, kemudian dikukuhkan oleh peraturan perundang-undangan Hindia Belanda melalui Pasal 75,78 dan 109 Rechreglement (RR) 1854, Staatblad 1855 Nomor 2. Dengan lahirnya Staatblad 1937 Nomor 116, maka kewenangan (kompetensi) Peradilan Agama menjadi terbatas dan lebih sempit,

       91

Tim Penyusun, Yurisdiksi Pengadilan Tinggi Agama dan Pengadilan Agama, (Jakarta :Ditbinbaperais, 1984), hal.45.

wewenang Peradilan Agama hanya berkenaan dengan bidang perkawinan, sebagaimana diatur dalam Pasal 2a ayat (1) sebagai berikut “Pengadilan Agama hanya berwenang untuk memeriksa dan memutus perselisihan hukum antara seorang suami istri yang beragama Islam, tentang perkara-perkara lain tentang nikah, talak dan rujuk serta soal-soal perceraian lain yang harus diputus oleh Hakim Agama, menyatakan perceraian dan menetapkan bahwa syarat-syarat taklik talak sudah berlaku, dengan pengertian bahwa dalam perkara-perkara tersebut hal-hal mengenai tuntutan pembayaran atau penyerahan harta benda adalah menjadi wewenang pengadilan biasa, kecuali dalam perkara mahar (mas kawin) dan pembayaran nafkah wajib bagi suami kepada istri yang sepenuhnya menjadi wewenang Pengadilan Agama”. Berdasarkan pasal tersebut wewenang Peradilan Agama adalah : (1) Perselisihan antara suami istri yang beragama Islam, (2) Perkara-Perkara tentang nikah, talak, rujuk dan perceraian antara orang-orang yang beragama Islam yang memerlukan perantaraan Hakim Agama (Islam), (3) Memberikan putusan perceraian, (4) Menyatakan bahwa syarat untuk jatuhnya talak yang digantungkan (taklik talak) sudah ada, (5) Perkara mahar (mas kawin) dan termasuk mut’ah, (6) Perkara tentang keperluan kehidupan suami istri yang wajib diadakan oleh suami.

Setelah keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957, yang mengatur kewenangan Pengadilan Agama diluar Jawa Madura dan Kalimantan Selatan, maka peraturan ini menghapus peraturan yang beragam yang menjadi dasar hukum Pengadilan Agama di luar Jawa Madura, sehingga yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama diluar Jawa Madura dan Kalimantan Selatan adalah : nikah,

thalaq, ruju’ fasakh, nafaqah, mas kawin (mahar), tempat kediaman (maskan), mut’ah, hadhanah, perkara waris-malwaris, wakaf, hibah, shadaqah dan baitulmal.

Kemudian diundangkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan beserta peraturan pelaksanaannya Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik. Terakhir diundangkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah dirubah dengan UU No. 3 Tahun 2006.

Secara tegas kewenangan Pengadilan Agama diatur dalam Pasal 49 Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2006 : Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang- orang yang beragama Islam di bidang :

1. Perkawinan 2. Waris 3. Wasiat 4. Hibah 5. Wakaf 6. Zakat 7. Infaq 8. Shadaqah 9. Ekonomi syari'ah.

Apabila dirinci dari ketentuan pasal-pasal peraturan perundang-undangan tersebut, wewenang Pengadilan Agama meliputi :

1. Bidang Perkawinan

Bidang perkawinan telah dirinci dalam penjelasan Pasal 49 huruf a Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2006, yang menyatakan bahwa, yang dimaksud dengan bidang perkawinan adalah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku yang dilakukan menurut syari'ah, antara lain: a. Izin beristri lebih dari seorang

b. Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21(dua puluh satu) tahun, dalam hal orang tua wali, atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat

c. Dispensasi kawin d. Pencegahan perkawinan

e. Penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah f. Pembatalan perkawinan

g. Gugatan kelalaian atas kewajiban suami dan istri h. Perceraian karena talak

i. Gugatan perceraian

j. Penyelesaian harta bersama k. Penguasaan anak-anak

l. Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bilamana bapak yang seharusnya bertanggung jawab tidak mematuhinya

m. Penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas istri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas istri

n. Putusan tentang sah tidaknya seorang anak o. Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua p. Pencabutan kekuasaan wali

q. Penunjukan orang lain sebagai wall oleh pengadilan dalam hal kekuasaan seorang wall dicabut

r. Penunjukan seorang wall dalam hal seorang anak yang belum cukup umur 18 (delapan belas) tahun yang ditinggal kedua orang tuanya

s. Pembebanan kewajiban ganti kerugian atas harta benda anak yang ada di bawah kekuasaannya

t. Penetapan asal-usul seorang anak dan penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam

u. Putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan campuran

v. Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain.

2. Bidang Kewarisan

Yang dimaksud dengan "waris" adalah penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masingmasing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalap tersebut, serta penetapan pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan bagian masing-masing ahli waris

Kewarisan adalah hukum yang mengatur perpindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagian masing-masing. Bidang ini diatur secara rinci di dalam Kompilasi Hukum Islam, Buku II, dari Pasal 171 sampai dengan Pasal 193.

3. Wasiat

Yang dimaksud dengan "wasiat" adalah perbuatan seseorang memberikan suatu benda atau manfaat kepada orang lain atau lembaga/badan hukum, yang berlaku setelah yang memberi tersebut meninggal dunia Bidang Perwakafan.92

4. Hibah

Yang dimaksud dengan "hibah" adalah pembegan suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang atau badan hukum kepada orang lain atau badan hukum untuk dimiliki.93

5. Wakaf

Yang dimaksud dengan "wakaf' adalah perbuatan seseorang atau sekelompok orang (wakif) untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harts benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai

       92

Abdur Rahman, Op.Cit, hal.73

93

dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syari'ah.94

6. Zakat

Yang dimaksud dengan "zakat" adalah harta yang wajib disisihkan oleh seorang muslim atau badan hukum yang dimiliki oleh orang muslim sesuai dengan ketentuan syari'ah untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya.95

7. Infaq

Yang dimaksud dengan "infaq" adalah perbuatan seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain guna menutupi kebutuhan, baik berupa makanan, minuman, mendermakan, memberikan rezeki (karunia), atau menafkahkan sesuatu kepada orang lain berdasarkan rasa ikhlas, dan karena Allah Subhanahu Wata'ala.96

8. Shadaqah

Yang dimaksud dengan "shadagah" adalah perbuatar; seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain atau lembaga/badan hukum secara spontan dan sukarela tanpa dibatasi oleh waktu dan jumlah tertentu dengan mengharap ridho Allah Subhanahu Wata'ala dan pahala semata.97

9. Ekonomi Syariah

Yang dimaksud dengan "ekonomi syari'ah" adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari'ah, antara lain meliputi:

       94 Ibid, hal.74 95 Ibid, hal.74 96 Ibid, hal.75 97 Ibid, hal.75

a. Bank syari'ah

b. Lembaga keuangan mikro syari'ah c. Asuransi syari'ah

d. Reasuransi syari'ah e. Reksa dana syari'ah

f. Obligasi syari'ah dan surat berharga berjangka menengah syari'ah g. Sekuritas syari'ah

h. Pembiayaan syari'ah i. Pegadaian syari'ah

j. Dana pensiun lembaga keuangan syari'ah; dan k. Bisnis syari'ah.98

Dokumen terkait