• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kondisi Umum Wilayah Penelitian Letak geografi, topografi dan iklim

Kabupaten Cirebon terletak di sebelah timur Propinsi Dati I Jawa Barat dengan posisi 108° 40’ - 108° 48’ Bujur Timur dan 6° 30’ - 7° Lintang Selatan. Luas keseluruhan wilayah Kabupaten Cirebon adalah sekitar 990,36 Km2. Adapun batas wilayah Kabupaten Cirebon adalah sebagai berikut :

(1) Di sebelah selatan berbatasan dengan wilayah Kabupaten Kuningan dan Kabupaten Majalengka.

(2) Di sebelah utara berbatasan dengan wilayah Kabupaten Indramayu dan Laut Jawa.

(3) Di sebelah barat berbatasan dengan wilayah Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Majalengka.

(4) Di sebelah timur berbatasan dengan wilayah Kabupaten Brebes – Jawa Tengah. Wilayah Kabupaten Cirebon memiliki topografi yang semakin landai pada jarak yang semakin dekat dengan garis pantai. Ketinggian tanahnya berkisar antara 0 – 130 meter di atas permukaan air laut. Karakteristik tanah pesisir pantainya sebagian besar berpasir campur lumpur. Dengan kondisi bentuk pantai yang landai dan ombak yang relatif tidak terlalu besar memudahkan kapal atau perahu untuk berlabuh.

Iklim dan curah hujan di wilayah Kabupaten Cirebon sangat dipengaruhi oleh keadaan alamnya yang sebagian besar terdiri dari daerah pesisir pantai, terutama daerah bagian timur laut dan barat, sedangkan daerah selatan adalah daerah perbukitan. Menurut klasifikasi Schmid dan Fergusson, wilayah Kabupaten Cirebon termasuk katagori iklim tipe C dan D dengan curah hujan antara 1000 – 3000 mm dengan curah hujan rata – rata per tahun sebesar 1 838 mm. Jumlah curah hujan tertinggi terdapat di bagian tengah dan selatan, yaitu di daerah perbukitan di kaki Gunung Ciremai (Cirebon dalam angka 2006).

Potensi sumberdaya perikanan, musim dan daerah penangkapan ikan

Menurut Dinas Perikanan Provinsi Jawa Barat (2005), potensi lestari perikanan laut di sekitar wilayah pesisir Cirebon diperkirakan sebesar 26 150 ton per tahun dengan potensi lestari khusus komoditas udang sebesar 3 000 ton per tahun, sedangkan potensi lestari komoditas ikan – ikan karang sebesar 278 ton per tahun. Dapat diamati bahwa produksi ikan hasil tangkapan yang telah dicapai sampai dengan periode tahun 2006/2007 sebesar 39 429 ton yang berarti potensi sumberdaya perikanan di wilayah perairan Cirebon telah dimanfaatkan melebihi potensi lestarinya.

Perairan laut Kabupaten Cirebon dipengaruhi oleh beberapa musim. Nelayan setempat membaginya kedalam empat (4) musim, yaitu : musim barat, musim peneduh (musim peralihan), musim timur dan musim kumbang (musim peralihan yang didahului oleh angin kumbang) yang terjadi di Cirebon.

Pada musim barat biasanya terjadi pada sekitar bulan Desember sampai dengan bulan Maret, tetapi kadang – kadang sampai dengan bulan Juni. Pada waktu musim barat angin bertiup dari arah barat dan barat laut dengan kecepatan relatif tinggi. Pada musim ini terjadi hujan. Berbeda dengan musim barat, musim timur terjadi pada sekitar bulan Juni hingga bulan Agustus (kadang – kadang sampai dengan bulan September), yaitu saat angin bertiup dari arah timur dan tenggara yang memiliki karakteristik kering dan relatif tidak kencang.

Arus di Laut Jawa dipengaruhi oleh angin musim. Air mengalir ke barat dari bulan Mei sampai bulan September dan mengalir ke timur dari bulan November sampai dengan bulan Maret. Biasanya arus yang mengalir ke arah timur lebih banyak mendekati pesisir Pulau Jawa, sedangkan arus yang mengalir ke arah barat lebih banyak mendekati pesisir Pulau Kalimantan.

Salinitas permukaan air Laut Jawa bila dibandingkan dengan perairan oceanic memiliki variasi musiman yang besar, yaitu berkisar dari 30,8 permil sampai 34,3 permil di bagian timur ; dan 30,6 permil sampai 32,6 permil di bagian barat. Hal tersebut disebabkan karena mengalirnya massa air tawar dari sungai – sungai besar di Kalimantan, Sumatera Selatan dan Jawa di musim hujan dan juga karena perubahan arus yang disebabkan oleh angin musim.

Daerah – daerah di sebelah selatan Khatulistiwa musim hujannya berlangsung dari bulan Oktober sampai dengan bulan Maret, dan penambahan air tawar ke laut terjadi kelambatan ± sebulan. Salinitas rendah yang meluas secara maksimal terjadi pada bulan April dan Mei. Dengan datangnya angin musim dari arah tenggara, massa air yang bersalinitas rendah ini dipindahkan oleh arus dari Laut Jawa ke Laut Cina Selatan dan digantikan oleh massa air yang bersalinitas tinggi dari arah timur. Hal tersebut berlangsung sampai dengan bulan September, sehingga hampir seluruh Laut Jawa terisi massa air bersalinitas tinggi.

Berdasarkan kondisi perairan laut seperti disebutkan di atas, maka kegiatan penangkapan tiap jenis ikan memiliki musim penangkapan yang berbeda – beda. Khusus untuk komoditas udang, maka kondisi musim penangkapannya dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Musim penangkapan komoditas udang di wilayah pesisir Cirebon,Tahun 2007 Jenis B U L A N udang 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Udang barong (Panulirus sp) ++ ++ ++ ±± ±± ±± ±± ±± ±± ±± ±± ±± Udang dogol (M. monoceros) ++ ++ ++ ±± ±± ±± ±± ±± ±± ---- ---- ±± Udang putih (P. merguiensis) ++ ++ ±± ±± ±± ±± ±± ±± ±± ---- ---- ±±

Keterangan : + musim puncak (panen)

± musim biasa

-- musim kosong (paceklik)

Dari Tabel 5 tersebut terlihat bahwa udang barong tersedia sepanjang tahun. Namun bagi udang jenis dogol dan udang putih terdapat kekosongan musim selama kurang lebih dua bulan, yakni pada bulan Oktober dan November.

Kedalaman perairan wilayah pesisir Cirebon berkisar antara 5 meter sampai dengan 30 meter, dengan dasar perairan terdiri dari lumpur dan pasir. Posisi perairan wilayah pesisir Cirebon terlindung oleh Tanjung Indramayu dan memiliki kedalaman yang sangat landai, dasar perairan lunak dan memiliki beberapa muara sungai sehingga kemungkinan besar perairan ini memiliki potensi bagi kehidupan jenis udang (non karang) dan beberapa jenis ikan demersal.

Pesisir utara Jawa yang umumnya terdiri dari pesisir yang landai atau merupakan daerah pasang surut dengan dasar lumpur dan pasir dapat dikatakan dipengaruhi oleh iklim relatif tenang sepanjang tahun. Kondisi tersebut merupakan tempat yang baik untuk berpijahnya jenis kerang – kerangan dan udang yang memiliki nilai ekonomis penting.

Pada umumnya nelayan di wilayah pesisir Cirebon menentukan daerah penangkapan (fishing ground) didasarkan pengalaman, yaitu pengalaman keberhasilan melakukan operasi penangkapan ikan di suatu lokasi pada hari – hari sebelumnya. Cara penentuan lokasi daerah penangkapan yang demikian disebut dengan istilah sistem lokasian. Daerah operasi penangkapan ikan mampu menjangkau radius 30 n.m. coastal fisheries (1 n.m. = 1,86 km). Alat tangkap yang biasa digunakan nelayan dalam menangkap udang adalah gillnet, trammel net dan dogol. Udang dapat ditangkap pada kedalaman antara 5 – 20 meter.

Prasarana perikanan laut

Prasarana perikanan laut yang dirasakan sangat penting bagi nelayan di kawasan pesisir Cirebon adalah adanya pelabuhan perikanan yang juga dilengkapi dengan fasilitas tempat pelelangan ikan. Pelabuhan perikanan yang terkait langsung dengan pelayanan jasa pada usaha penangkapan armada jaring udang adalah pangkalan pendaratan ikan (PPI) yang dilengkapi dengan tempat pelelangan ikan (TPI). PPI yang dilengkapi dengan TPI tersebar di sejumlah lokasi. Dari data yang ada, terlihat bahwa tidak semua lokasi PPI memiliki TPI (Tabel 5), sehingga proses pelelangan ikan terdapat hanya di sejumlah lokasi tertentu yang dekat dengan wilayah – wilayah pusat kegiatan perdagangan masyarakat Cirebon. Keberadaan pangkalan pendaratan ikan di wilayah – wilayah tersebut lebih dikaitkan dengan tempat domisili dimana masyarakat nelayan bermukim. Khusus bagi nelayan jaring udang, mereka ldominan berdomisili di sekitar PPI Bondet dan Bandengan di Kecamatan Cirebon Utara serta di sekitar PPI Gebang Mekar di Kecamatan Pangenan. Adapun rincian penyebaran PPI di wilayah Kabupaten Cirebon dapat diperhatikan pada Tabel 6 berikut ini.

Tabel 6 Penyebaran prasarana perikanan laut di wilayah pesisir Cirebon 2007 Lokasi Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Desa Kecamatan Bungko Lor Bungko Grogol Karangreja Mertasinga Kalisapu Jatimerta Mundu Pesisir Bandengan Citemu Waruduwur Pengarengan Ender Kalipasung Gebang Kulon Gebang Mekar Gebang Ilir Playangan Ambulu Tawangsari Kapetakan Cirebon Utara Mundu Pangenan Gebang Losari Bungko Lor Bungko Grogol Karangreja Bondet Condong Jatimerta Mundu Pesisir Bandengan Citemu Waruduwur Pengarengan Ender Kalipasung Maskumambang Gebang Mekar Balong Playangan Ambulu Tawangsari ada ada - ada ada - ada - ada ada - - ada - - ada - - - -

Sumber : Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Cirebon 2007

4.1.4 Rumah Tangga Perikanan (RTP)

Pemukiman nelayan di wilayah Kabupaten Cirebon tersebar pada desa – desa di wilayah kecamatan : Kapetakan, Cirebon Utara, Astanajapura, Babakan dan Losari. Pada tahun 1988 jumlah rumah tangga perikanan (RTP) di wilayah ini sebanyak 2 446 RTP. Pada periode lima tahun kemudian, yakni pada tahun 1992 jumlah RTP di wilayah tersebut meningkat menjadi 2 899 RTP dan pada tahun 2007 jumlah RTP tersebut meningkat tajam menjadi 5 533 RTP. Pada periode lima belas tahun terlihat bahwa perkembangan jumlah RTP tersebut mencapai 90 %. Terjadinya peningkatan jumlah RTP di wilayah Kabupaten Cirebon memperlihatkan bahwa kegiatan usaha penangkapan ikan di wilayah tersebut berkembang pesat.

4.1.5 Armada unit penangkapan jaring udang

Armada unit penangkapan jaring udang merupakan satu kesatuan teknis dalam operasi penangkapan udang yang terdiri dari : perahu/kapal, mesin (motor tempel), alat tangkap dan nelayan. Perkembangan armada unit penangkapan jaring udang di wilayah Kabupaten Cirebon dapat dilihat pada Tabel 7 berikut ini.

Tabel 7 Perkembangan armada unit penangkapan jaring udang di wilayah pesisir Cirebon, periode 1983 – 2006

T a h u n Jumlah unit penangkapan jaring udang

Perkembangan unit penangkapan jaring udang

1983 1640 1984 1779 139 1985 933 -846 1986 1812 879 1987 3226 1414 1988 2940 -286 1989 2500 -440 1990 2567 67 1991 2707 140 1992 2779 72 1993 2158 -621 1994 1991 -167 1995 2016 25 1996 2028 12 1997 2007 -21 1998 1844 -163 1999 1988 144 2000 2160 172 2001 1875 -285 2002 3069 1194 2003 3211 142 2004 1849 -1362 2005 2122 273 2006 1137 -985

Sumber : (data diolah) Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Cirebon, 2007

Dari Tabel 7 di atas dapat diperhatikan bahwa perkembangan armada unit penangkapan jaring udang di wilayah pesisir Cirebon periode 1983 – 2006 sangat berfluktuatif. Penurunan terbesar terjadi pada periode 2003 – 2004 yang diduga disebabkan karena adanya kenaikan harga BBM yang dirasa sangat memberatkan pada kelangsungan usaha penangkapan udang. Sebaliknya peningkatan tajam

terjadi pada periode 1986 – 1987 dan 2001 – 2002 yang diduga diakibatkan karena adanya devaluasi nilai rupiah terhadap US $ yang mendorong terjadinya ekspor.

Perahu motor tempel yang digunakan nelayan pesisir Cirebon semuanya terbuat dari kayu dan memiliki kekuatan motor tempel yang bervariasi, yakni : 4,5 PK , 5,5 PK, 6,5 PK, 7,5 PK, 8,5 PK, 10,5 PK, 11,5 PK dan 19 PK. Sementara alat tangkap jaring udang yang digunakan nelayan pesisir Cirebon juga bervariasi, yakni ada yang menggunakan jaring klitik (termasuk klasifikasi gillnet), ada yang menggunakan trammel net, dan ada pula yang menggunakan dogol. Preferensi terhadap penggunaan jenis alat tangkap jaring udang lebih didasarkan pada selera dan kemampuan investasi masing – masing nelayan.

Nelayan merupakan tenaga kerja yang mengoperasikan unit penangkapan. Pada masing – masing unit penangkapan jaring udang kebutuhan tenaga kerjanya berbeda – beda. Gambaran kebutuhan tenaga kerja pada masing – masing unit penangkapan jaring udang dapat dilihat pada Tabel 8 berikut ini.

Tabel 8 Kebutuhan tenaga kerja pada masing – masing unit

penangkapan jaring udang di wilayah pesisir Cirebon, 2006/2007 Jaring udang Kebutuhan tenaga kerja (orang) Gillnet (Jaring Klitik)

Trammel Net Dogol

3 – 4 3 4

Sumber : hasil wawancara dengan nelayan setempat, 2005

4.1.6 Produksi (hasil tangkapan) udang dan produksi (hasil tangkapan) udang per upaya penangkapan jaring udang di wilayah Kabupaten Cirebon

Pada periode tahun 1983–2006 kondisi tingkat produksi (hasil tangkapan) udang di wilayah Kabupaten Cirebon menunjukkan keadaan yang berfluktuasi. Pada periode tahun 1983–1985 produksi (hasil tangkapan) udang mengalami penurunan, kemudian pada periode 1986–1988 produksi (hasil tangkapan) udang tersebut mengalami kenaikan kembali. Pada periode 1989–1991 produksi (hasil tangkapan) udang mengalami kenaikan, namun diikuti dengan proses penurunan produksi (hasil tangkapan) udang yang relatif lama yaitu pada periode tahun 1992–1997. Pada periode waktu yang agak panjang, yakni pada periode tahun 1998–2005 terjadi kenaikan tingkat produksi (hasil tangkapan) udang yang cukup besar yang kemudian

diikuti dengan penurunan yang sangat tajam di tahun 2006. Gambaran detail tingkat produksi (hasil tangkapan) udang di wilayah Kabupaten Cirebon tersebut dapat dilihat pada Tabel 9 berikut ini.

Tabel 9 Tingkat produksi (hasil tangkapan) udang di wilayah Kabupaten Cirebon, periode 1983 – 2006

No. T a h u n Produksi udang (Kg) Perkembangan produksi udang 1 1983 2 539 300 2 1984 2 150 500 -388 800 3 1985 1 584 600 -565 900 4 1986 1 764 600 180 000 5 1987 3 762 300 1 997 700 6 1988 5 880 300 2 118 000 7 1989 3 234 700 -2 645 600 8 1990 2 672 700 -562 000 9 1991 2 623 000 -49 700 10 1992 3 550 000 927 000 11 1993 1 790 800 -1 759 200 12 1994 1 829 800 39 000 13 1995 1 592 700 -237 100 14 1996 1 400 700 -192 000 15 1997 1 162 000 -238 700 16 1998 6 221 700 5 059 700 17 1999 5 826 200 -395 500 18 2000 5 985 300 159 100 19 2001 6 868 300 883 000 20 2002 8 033 200 1 164 900 21 2003 7 962 869 -70 331 22 2004 7 944 907 -17 962 23 2005 8 968 107 1 023 200 24 2006 4 851 279 -4 116 828

Sumber : (data diolah) Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Cirebon, 2007

Gambaran produksi (hasil tangkapan) udang per upaya penangkapan jaring udang memperlihatkan kondisi yang berfluktuasi. Peningkatan produksi tertinggi terjadi pada periode 1997 – 1998, sedangkan penurunan produksi tertingginya terjadi pada periode 2005 – 2006. Kondisi produksi dan banyaknya armada penangkapan jaring udang akan menggambarkan kondisi CPUE. Secara detail kondisi hasil tangkapan udang per unit upaya penangkapan jaring udang di wilayah Kabupaten Cirebon dapat diperhatikan pada Tabel 10 berikut.

Tabel 10 Tingkat produksi (hasil tangkapan) udang per upaya penangkapan jaring udang di wilayah Kabupaten Cirebon, periode 1983 – 2006

No. Tahun Produksi udang (kg) Armada jr. udang (unit) C P U E (kg/unit) 1 1983 2 539 300 1 640 1548.79 2 1984 2 150 500 1 779 1208.78 3 1985 1 584 600 933 1699.20 4 1986 1 764 600 1 812 974.04 5 1987 3 762 300 3 226 1166.39 6 1988 5 880 300 2 940 2000.42 7 1989 3 234 700 2 500 1293.88 8 1990 2 672 700 2 567 1041.10 9 1991 2 623 000 2 707 968.98 10 1992 3 550 000 2 779 1277.41 11 1993 1 790 800 2 158 829.79 12 1994 1 829 800 1 991 919.18 13 1995 1 592 700 2 016 789.92 14 1996 1 400 700 2 028 690.71 15 1997 1 162 000 2 007 578.98 16 1998 6 221 700 1 844 3373.68 17 1999 5 826 200 1 988 2930.14 18 2000 5 985 300 2 160 2771.34 19 2001 6 868 300 1 875 3662.15 20 2002 8 033 200 3 069 2617.96 21 2003 7 962 869 3 211 2480.24 22 2004 7 944 907 1 849 4297.25 23 2005 8 968 107 2 122 4226.53 24 2006 4 851 279 1 137 4265.95 Rata rata 4 174 994 2 181 1 982.96

Sumber : (data diolah) Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Cirebon, 2007

Dari Tabel 10 di atas dapat diperhatikan bahwa pada tahun 1988 dan selama periode 1998 s/d 2006 hasil tangkapan udang per unit armada penangkapan jaring udangnya (CPUE) telah melampaui CPUE rata – ratanya. Pada tahun 1988 dan pada periode tahun 1998 – 2006 terjadinya peningkatan CPUE didukung karena adanya tingkat produksi hasil tangkapan yang meningkat tajam pula. Kondisi hasil tangkapan udang per unit armada penangkapan (CPUE) mengalami penurunan dibawah CPUE rata – ratanya pada periode tahun 1983 – 1987 dan 1989 – 1997 serta mengalami penurunan terendahnya pada tahun 1997.

5 PEMBAHASAN

5.1 Hubungan Antara Produksi – Effort – CPUE

Hubungan antara parameter produksi dan upaya penangkapan (effort) akan memunculkan parameter produksi per upaya penangkapan (CPUE). Gulland (1983) memformulasikan hubungan tersebut sebagai berikut : CPUE = Catch/ Effort , dimana CPUE = hasil tangkapan per upaya penangkapan (kg/unit)

Catch = hasil tangkapan per tahun (kg)

Effort = upaya penangkapan per tahun (unit)

Pada proses regresi secara linear antara variabel CPUE dengan effort yang diperoleh dari data – data runtut waktu (time series) produksi dan upaya penangkapan seperti tersaji pada tabel 7 dan tabel 10, maka akan diperoleh nilai – nilai : Produksi (H)MSY = a2/4b dan upaya penangkapan (E)MSY = a/2b. Dari hasil analisis regresi linear antara CPUE dan effort, diperoleh persamaan CPUE = 2 947 – 0,442 E ; sehingga dapat ditentukanlah EMSY = 1 875 unit dan HMSY = 1 293 750 kg. Dengan ditemukannya nilai EMSY dan HMSY dapatlah ditelaah kondisi perkembangan produksi udang hasil tangkapan nelayan dengan total upaya penangkapannya pada periode 1983 – 2006 sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 28 di bawah ini.

Dari Tabel 28 terlihat jelas bahwa pemanfaatan sumberdaya udang di wilayah perairan Cirebon telah melampaui kondisi MSY nya. Hal tersebut memperlihatkan bahwa kondisi pemanfaatan sumberdaya udang di wilayah Cirebon telah over fishing secara biologi. Pendekatan MSY di atas didekati melalui model surplus produksi yang dikembangkan oleh Schaefer pada 1954. Menurut Fauzi (2005), pendekatan MSY melalui model surplus produksi yang dikembangkan oleh Schaefer mengandung masalah dari sisi metodologi. Oleh karenanya dikembanglah konsep – konsep metodologi selanjutnya yang melahirkan perlunya pendekatan model bioeconomic dimana aspek sosial dan ekonomi menjadi sangat perlu untuk dipertimbangkan bahkan menjadi tujuan utamanya dalam pengelolaan sumberdaya ikan.

Tabel 24. Produksi aktual, produksi lestari udang hasil tangkapan dan tingkat pemanfaatannya terhadap kondisi MSY dengan pendekatan model biologi

Tahun Produksi Produksi MSY Pemanfaatan terhadap produksi lestari

(kg) (kg) (%) 1983 2 539 300 3 643 580.3 70 1984 2 150 500 3 843 949.2 56 1985 1 584 600 2 363 857.0 67 1986 1 764 600 3 888 225.4 45 1987 3 762 300 4 907 054.5 77 1988 5 880 300 4 843 546.8 121 1989 3 234 700 4 605 000.0 70 1990 2 672 700 4 652 694.3 57 1991 2 623 000 4 738 606.9 55 1992 3 550 000 4 776 251.5 74 1993 1 790 800 4 301 392.9 42 1994 1 829 800 4 114 994.3 44 1995 1 592 700 4 145 075.9 38 1996 1 400 700 4 158 558.1 34 1997 1 162 000 4 134 204.1 28 1998 6 221 700 3 931 564.5 158 1999 5 826 200 4 112 230.9 142 2000 5 985 300 4 303 027.1 139 2001 6 868 300 3 972 341.9 173 2002 8 033 200 4 881 132.8 165 2003 7 962 869 4 905 514.9 162 2004 7 954 907 3 966 907.4 201 2005 8 987 907 4 254 954.5 211 2006 4 851 279 2 779 741.5 175

Fenomena pada Tabel 28 di atas memperlihatkan bahwa tingkat pemanfaatan terhadap produksi lestarinya pada tahun – tahun 1988, 1998 hingga 2006 telah melampaui kondisi produksi lestarinya, sehingga diduga kondisi sumberdaya udang di wilayah tersebut telah over fishing.

Hal yang menarik untuk dibahas pada perolehan model biologis adalah penetapan hasil pendugaan terhadap parameter biologinya, yaitu yang meliputi : (i) parameter daya dukung perairan (K – carrying capacity), (ii) parameter daya tangkap (q – catch ability coefficient), dan (iii) laju pertumbuhan intrinsic (r – intrinsic growth rate). Penetapan pendugaan ketiga parameter biologi tersebut didasarkan pada pendekatan metoda Algoritma Fox. Digunakannya pendekatan metoda tersebut didasarkan pada hasil penelitian yang menyatakan bahwa metoda Algoritma Fox akan menghasilkan nilai pendugaan terhadap parameter – parameter r dan q terkecil, sedangkan perolehan pendugaan parameter K akan menghasilkan nilai yang terbesar. Pendekatan metoda lpendugaan parameter r, q dan K lainnya adalah pendekatan metoda CYP (Clarke, Yoshimoto and Pooley), pendekatan metoda Schnute dan pendekatan metoda Schaefer. Dengan digunakannya pendekatan metoda Algoritma Fox didalam perolehan parameter r, q dan K ; maka justru kepentingan pengelolaan sumberdaya perikanan yang berorientasi pada kondisi lestari sangat diutamakan (Clarke, Yoshimoto and Pooley, 1992).

Dihasilkannya fungsi produksi lestari HMSY = 2947 E – 0,442 E 2 adalah kenyataan bahwa dengan diperolehnya fungsi tersebut pemanfaatan sumberdaya udang di wilayah Kabupaten Cirebon pada tahun 1988 dan pada periode 1998 – 2006 telah melampaui kondisi lestarinya, sehingga dapat dikatakan bahwa pada periode tersebut pemanfaatan sumberdaya udang di wilayah Kabupaten Cirebon telah bersifat over fishing secara biologi. Namun pada periode 1983 – 1987 dan periode 1989 – 1997 kondisi pemanfaatan sumberdaya udang di wilayah Kabupaten Cirebon masih berada dibawah kondisi lestarinya.

Secara umum dapat dikatakan bahwa bila didekati melalui pendekatan konsep biologi semata, maka kondisi pemanfaatan sumberdaya udang di wilayah Kabupaten Cirebon adalah telah melampaui kondisi MSY nya. Kondisi demikian mengharuskan diadakannya pengurangan produksi melalui pengurangan upaya (effort) jaring udang sehingga akan me-recovary kondisi sumberdaya udangnya.

5.2 Optimasi Pemanfaatan Sumberdaya Udang Pendekatan Model Bioeconomic

Pada dasarnya pembahasan terhadap model bioeconomic adalah lanjutan dari pembahasan terhadap model biologi, hanya saja pada pembahasan model bioeconomic

ini telah dimasukkan parameter ekonomi yang merupakan parameter yang perlu dipertimbangkan bahkan dapat dijadikan parameter keputusan yang sangat penting.

5.2.1 Rezim pengelolaan sustainable yield

Rezim pengelolaan sustainable yield adalah rezim yang mempertimbangkan aspek kelestarian sumberdaya ikan. Tingkat pengelolaan yang optimal dari rezim ini adalah dengan tidak melebihi kondisi lestarinya (sustainable). Tingkat produksi optimal seyogianya tidak melebihi tingkat produksi MSY (Maximum Sustainable Yield). Kondisi optimal pengelolaan sumberdaya udang di wilayah Kabupaten Cirebon yang didekati dengan pendekatan rezim sustainable yield menghasilkan nilai parameter penting sebagai berikut :

Parameter Kondisi Lestari (MSY)

X (kg) 24 974 576,27

H (kg) 4 912 224,43

MSY 12 487 288,14

TAC H (kg) 9 989 830,51

π (Rp) 27 879 787 397,45

Bila diperhatikan kondisi aktual dari pemanfaatan sumberdaya udang di wilayah Kabupaten Cirebon yang memperlihatkan besaran tingkat produksi sebesar 4 174 994 kg, maka terlihat bahwa rata-rata tingkat produksi udang aktual masih berada dibawah kondisi keseimbangan tingkat produksi lestarinya. Hal yang menarik untuk dikemukakan adalah bahwa bila hanya menggunakan pendekatan model biologi semata, maka kondisi produksi udang di wilayah Kabupaten Cirebon dinilai telah overfishing, namun bila didekati melalui model bioeconomic kondisi tersebut belum melampaui kondisi lestarinya.

Jelas terlihat bahwa rata-rata pemanfaatan sumberdaya udang di wilayah Kabupaten Cirebon masih berada pada tingkat yang lebih kecil dari kondisi TAC (total allowable catch) yakni 80% dari pemanfaatan MSY nya. Hal tersebut menunjukkan bahwa pemanfaatan sumberdaya udang di wilayah Kabupaten Cirebon masih mengikuti Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) yang direkomendasikan oleh FAO, 1999.

5.2.2 Rezim pengelolaan Open Access

Rezim pengelolaan Open Access adalah rezim pengelolaan sumberdaya perikanan yang mempertimbangkan bahwa sumberdaya perikanan merupakan sumberdaya milik umum (common property). Pada pengertian rezim ini siapa saja dapat memanfaatkan potensi sumberdaya ikan tersebut. Sumberdaya perikanan pada rezim ini bersifat terbuka (open access). Kondisi optimal pengelolaan sumberdaya udang di wilayah Kabupaten Cirebon yang didekati dengan pendekatan rezim Open Access menghasilkan nilai parameter penting sebagai berikut :

Parameter Open Access

X (kg) 13 222 296,89 H (kg) 3 824 481,78 E (unit) 4902 π (Rp) 0.00

Bila diperhatikan kondisi tingkat keseimbangan pada Open Access, maka terlihat bahwa besaran tersebut telah melampaui kondisi maksimum lestarinya (MSY) atau terletak di sebelah kanan dari MSY. Oleh karenanya pada kondisi tersebut ditakutkan akan terjadi kondisi over fishing, sehingga pembahasan tingkat pemanfaatan sumberdaya udang pada rezim ini tidak perlu dilanjutkan.

5.2.3 Rezim pengelolaan Sole Owner (MEY)

Rezim pengelolaan Sole Owner (MEY) adalah rezim pengelolaan sumberdaya perikanan yang mempertimbangkan parameter ekonomi sebagai parameter yang perlu diperhitungkan dalam proses pengambilan keputusannya. Parameter ekonomi tersebut adalah komponen biaya operasi penangkapan dan harga komoditi hasil tangkapnya. Kondisi optimal pengelolaan sumberdaya ikan pada rezim ini didekati dengan konsep Maximum Economic Yield atau MEY. Rezim ini dikenal dengan rezim pengelolaan sumberdaya ikan yang memungkinkan diterapkannya pemilikan sumberdaya ikan yang bersifat Sole Owner.

Kondisi optimal pengelolaan sumberdaya udang di wilayah Kabupaten Cirebon yang didekati dengan pendekatan rezim Sole Owner (MEY) menghasilkan nilai parameter penting sebagai berikut :

Parameter Sole Owner (MEY) X (kg) 31 585 724,72 H (kg) 4 568 004,70 E (unit) 2451 π (Rp) 32 031 459 444,56

Bila diperhatikan kondisi aktual dari pemanfaatan sumberdaya udang di wilayah Kabupaten Cirebon yang memperlihatkan besaran tingkat produksi rata - rata sebesar 4 174 994 kg, maka terlihat bahwa tingkat produksi rata-rata aktual udang belum melampaui kondisi keseimbangan rezim MEY (sole owner). Oleh karenanya pada rezim MEY (sole owner) upaya pengembangan perikanan udang masih dapat dilakukan dengan upaya penambahan produksi hingga 393 010,7 kg.

5.2.4 Rezim pengelolaan Optimasi Dinamis

Rezim pengelolaan Optimasi Dinamis adalah rezim pengelolaan sumberdaya perikanan yang mempertimbangkan disamping parameter ekonomi yaitu biaya operasi penangkapan ikan dan harga komoditi hasil tangkapan, juga memasukkan parameter tingkat potongan (discount rate) sumberdaya ikan. Parameter discount rate merupakan parameter ekonomi yang bersifat dinamis karena sangat dipengaruhi oleh tingkat interest rate. Rezim ini dikenal sebagai rezim optimasi dinamik. Kondisi optimal pengelolaan sumberdaya udang di wilayah Kabupaten Cirebon yang didekati dengan pendekatan rezim Optimasi Dinamis menghasilkan nilai parameter penting sebagai berikut :

Parameter Optimasi Dinamis

X (kg) 29 037 317,50 H (kg) 4 782 231,34 E (unit) 2791 π (Rp) 31 414 570 645,85

Bila diperhatikan kondisi aktual dari pemanfaatan sumberdaya udang di wilayah Kabupaten Cirebon yang memperlihatkan besaran tingkat produksi rata - rata sebesar 4 174 994 kg, maka terlihat bahwa tingkat produksi rata-rata aktual udang belum melampaui kondisi keseimbangan rezim OD. Oleh karenanya pada rezim OD upaya pengembangan perikanan udang masih dapat dilakukan dengan upaya penambahan produksi hingga 607 237,34kg.

5.3 Kajian Pengembangan Investasi pada Pemanfaatan Sumberdaya Udang dengan Pendekatan Model Bioeconomic

“Overfishing” adalah gejala awal daripada kelebihan investasi dan tidak bekerjanya sistem manajemen perikanan (Hilborn, 2002). Didasarkan pada hasil analisis biologi terlihat bahwa kondisi produksi aktual pemanfaatan sumberdaya udang di wilayah perairan Kabupaten Cirebon pada tahun 1988 dan pada periode tahun 1998 – 2006 telah menunjukkan kondisi overfishing (lihat Tabel 12), namun pada periode lainnya terlihat bahwa tingkat pemanfaatan produksi aktualnya masih berada dibawah dari kondisi lestarinya. Di sisi lain, didasarkan pada hasil analisis bioeconomic terlihat

Dokumen terkait