• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.1 Hasil Tangkapan Udang Penaeid

Sumiono dan Suman (1988) mengemukakan bahwa setelah beberapa tahun berlakunya penghapusan trawl, telah berkembang penggunaan trammel net dan pukat pantai (semacam dogol) atau beach seine untuk menangkap udang oleh nelayan. Adanya perubahan alat tangkap tersebut juga mengakibat-kan perubahan komposisi hasil tangkapan udang, yaitu tidak tertangkap lagi udang dari jenis katagori krosok (Metapenaeopsis spp, Parapenaeopsis spp, Solenocera spp). Sementara itu katagori dogol (Metapenaeus ensis, Metapenaeus dobsoni) mendominasi hasil tangkapan Trammel Net yang diikuti dengan katagori jerbung (Penaeus merguiensis, Penaeus indicus, Penaeus chinensis, Penaeus monodon dan Penaeus semisulcatus). Perubahan komposisi hasil tangkapan ini menimbulkan iklim usaha yang baik bagi masyarakat nelayan, karena dengan adanya penghapusan trawl memberikan dampak positif terhadap berkembangnya motorisasi armada nelayan tradisional dan diversifikasi unit alat tangkapnya.

Data produksi perikanan laut daerah Kabupaten Cirebon tahun 2007 memperlihatkan bahwa jenis-jenis udang penaeid yang dominan terdapat di perairan Cirebon adalah : udang jerbung (penaeus merguensis), udang krosok atau udang dogol (metapenaeus sp).

Harahap (2000) mengemukakan bahwa kegiatan usaha penangkapan jaring udang dengan menggunakan trammel net berada dalam kondisi yang masih layak untuk dikembangkan. Total penerimaan dapat menutup total biayanya dengan perolehan R/C sebesar 1,54 dan pay back periode sebesar 1,29 tahun. Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa pemanfaatan teknologi penangkapan udang untuk memperbaiki kesejahteraan nelayan tradisional dapat dikatakan berhasil.

2.2 Klasifikasi Alat Tangkap Jaring Udang

Pada dasarnya pemberian nama jaring udang adalah penamaan daerah yang disesuaikan dengan jenis hasil tangkapannya. Menurut klasifikasinya jaring udang merupakan jenis alat tangkap yang berinduk pada alat tangkap jenis gillnet. Adapun klasifikasi alat tangkap gillnet adalah sebagai berikut

20 (Hartono 1991, yang diacu dalam Dinarwan 1993) :

 Floating gillnet :

- Fixed floating gillnet - Drift floating gillnet  Midwater gillnet

 Bottom gillnet

Oleh karena penamaan jaring udang diambil dari istilah daerah dimana penelitian ini dilakukan, maka katagori jaring udang yang dimaksud adalah semua jenis jaring yang dapat digunakan untuk menangkap udang. Adapun jaring udang yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah : jaring dogol, trammel net dan jaring klitik. Didalam klasifikasinya jaring klitik dan trammel net termasuk dalam jenis jaring bottom gillnet, sehingga untuk kedua jenis jaring tersebut dapat dikatakan sebagai shrimp bottom gillnet. Lain dengan kedua jenis jaring udang yang telah disebutkan di atas, jaring dogol tidak termasuk kedalam klasifikasi gillnet, namun jaring dogol dapat diklasifikasikan kedalam pukat kantong lingkar.

2.3 Perahu Motor Tempel

Perahu yang digunakan oleh nelayan di wilayah perairan pesisir Cirebon semuanya terbuat dari kayu. Nelayan setempat membagi perahu menjadi dua tipe yakni : perahu tipe sopea dan tipe compreng. Perbedaan utama dari kedua tipe tersebut adalah terletak pada ukuran perahu dan bentuk linggi perahu. Untuk ukuran panjang (L) yang sama, maka kedalaman (D) perahu tipe sopea lebih dalam dibandingkan dengan tipe compreng. Bentuk linggi pada perahu tipe sopea memiliki ukuran lebar yang sama dari ujung bawah sampai ujung atas, sehingga menyerupai bentuk balok ; sedangkan untuk perahu tipe compreng bentuk linggi-nya menyerupai setengah lingkaran dari ujung linggi bawah sampai ujung linggi atas (Dinarwan 1993).

Sejak tahun 1984 hingga saat ini perahu yang digunakan oleh nelayan di wilayah pesisir Cirebon didominasi oleh perahu motor tempel. Dominasi penggunaan perahu motor tempel ini disebabkan karena adanya program motorisasi perahu-perahu jukung. Selain alasan tersebut, dominasi penggunaan perahu motor tempel juga menandakan kelas tertentu status sosial seseorang nelayan (Dinarwan 1993).

21 2.4 Biologi Udang Penaeid

Udang laut mengalami dua fase kehidupan, yaitu fase di tengah laut dan fase di perairan muara. Fase di tengah laut adalah fase dewasa, kawin dan bertelur. Beberapa saat sebelum kawin, udang betina terlebih dahulu berganti kulit. Induk yang telah matang telur dapat ditemui di dasar laut berpasir atau berlumpur pada kedalaman sekitar 6 – 45 m. Induk yang matang telur biasanya memijah pada malam hari dan telurnya diletakan di dasar laut. Diduga udang penaeid berpijah sepanjang tahun, namun terdapat puncak pada bulan – bulan tertentu. Kira – kira 12 jam setelah dikeluarkan, telur menetas menjadi larva yang pada stadium pertama disebut nauplius. Setelah mengalami pergantian kulit beberapa kali, nauplius kemudian menjadi zoea. Pada stadium zoea, larva mulai mengambil makanan dari sekitarnya. Kemudian bentuk zoea akan berubah lagi menjadi mysis yang kemudian bermetamorfosa menjadi stadium post larva. Anakan udang ini bersifat planktonik dan kemudian beruaya ke pantai (cende-rung ke perairan muara sungai). Dari post larva kemudian masuk pada stadium juvenil (juwana). Udang muda segera akan kembali ke laut untuk tumbuh menjadi besar, dewasa dan akhirnya memijah. Dari menetas sampai mencapai stadium post larva diperlukan waktu sebulan. Dari post larva sampai stadium juwana diperlukan waktu selama 3 – 4 bulan, sedangkan dari stadium juwana hingga mencapai dewasa diperlukan waktu selama delapan bulan (Nontji 2005).

2.5 Operasional Penangkapan Udang

Kegiatan penangkapan udang dilakukan pada pagi dini hari hingga siang hari. Operasi penangkapan dilakukan di wilayah fishing ground yang berjarak tidak terlalu jauh dari garis pantai (± 5 – 6 km arah vertikal). Kegiatan penangkapan dilakukan oleh perahu – perahu motor tempel yang memiliki 3 – 4 orang nelayan.

2.6 Sumberdaya (udang)

Rees 1990 yang diacu dalam Fauzi 2004, menyatakan bahwa sesuatu dapat dikatakan sebagai sumber daya bila memiliki karakteristik sebagai berikut : (1) Terdapat pengetahuan, teknologi atau keterampilan (skill) untuk dapat

memanfaatkannya.

22 Sehubungan dengan kedua kriteria tersebut di atas, maka udang merupakan

komoditi yang dapat dikatakan sebagai suatu sumberdaya.

Sumberdaya udang termasuk sumberdaya yang dapat diperbarui (flow) dimana terdapat beberapa konsep pengukuran tentang ketersediaannya. Rees 1990 yang diacu dalam Fauzi 2004, menyatakan bahwa konsep – konsep pengukuran ketersediaan sumberdaya yang dapat diperbarui adalah sebagai berikut :

(1) Potensi maksimum sumberdaya, yaitu pemahaman untuk mengetahui potensi atau kapasitas sumberdaya guna menghasilkan barang dan jasa dalam jangka waktu tertentu yang umumnya didasarkan pada perkiraan ilmiah. Pengukuran ini lebih didasarkan pada kemampuan biofisik alam tanpa mempertimbangkan kendala sosial ekonomi.

(2) Kapasitas lestari (sustainable capacity atau sustainable yield), yaitu pengukuran yang didasarkan pada kemampuan untuk menyediakan kebutuhan bagi generasi kini dan juga generasi mendatang.

(3) Kapasitas penyerapan (absorptive capacity), yaitu pengukuran yang didasarkan pada kemampuan sumberdaya alam dapat pulih untuk menyerap limbah akibat aktivitas manusia.

(4) Kapasitas daya dukung (carrying capacity), yaitu pengukuran kapasitas yang didasarkan pada kapasitas maksimum dari lingkungan untuk dapat mendukung suatu pertumbuhan organisme.

Wilayah perairan Kabupaten Cirebon termasuk kedalam wilayah penge-lolaan perikanan (WPP) 712. Ditunjau dari penyebaran geografisnya, maka udang penaeid mendominasi penyebaran kelompok jenis udang yang tertangkap di wilayah Cirebon. Berdasarkan analisis data statistik perikanan periode 1997 – 2007 diperoleh hasil perhitungan MSY untuk udang sebesar 211 500 ton. Namun kondisi pemanfaatan sumberdaya udang di WPP 712 diduga telah melampaui tingkat pemanfaatan optimalnya (PRPT – BRKP, KKP tahun 2010).

2.7 Pembangunan Perikanan Tangkap yang Berkelanjutan

Konsep dasar dari sustainability adalah pemanfaatan sumberdaya alam yang tidak menguras atau merusak secara permanen. Oleh karenanya perlu diketahui berapa besar kapasitas daya dukung dari sumberdaya alam tersebut. Pengetahuan mengenai perbedaan tingkat pemanfaatan dan upaya aktual serta

23 kondisi optimal dari suatu kegiatan perikanan tangkap sangat diperlukan, lebih

lagi buat penentu kebijakan agar dapat meminimisasi biaya korbanan dalam memperoleh keuntungan ekonomi optimal yang lestari (Hartwick 1986).

Konsep dasar pembangunan perikanan tangkap yang berkelanjutan haruslah mengandung empat (4) aspek penting (Charles 1993, yang diacu dalam Fauzi 2005), yaitu :

(1) Ecological sustainability (keberlanjutan ekologis), yaitu memelihara keberlanjutan stok ikan sehingga tidak melewati daya dukungnya, dalam pengertian bahwa kapasitas dan kualitas ekosistem dapat ditingkatkan. (2) Socioeconomic sustainability (keberlanjutan sosial ekonomi), yaitu

memper-tahankan keberlanjutan tingkat kesejahteraan masyarakat, baik secara individu maupun secara kolektif.

(3) Community sustainability (keberlanjutan komunitas), yaitu mempertahankan keberlanjutan kesejahteraan dari sisi masyarakat.

(4) Institutional sustainability (keberlanjutan institusional), yaitu memelihara aspek finansial dan administrasi yang sehat yang merupakan prasyarat dari ketiga pembangunan yang berkelanjutan di atas.

Scoones (1989), membagi daya dukung lingkungan kedalam dua (2) jenis, yaitu daya dukung ekologis (ecological carrying capacity) dan daya dukung ekonomi (economical carrying capacity). Daya dukung ekologis adalah jumlah maksimum mahluk hidup pada suatu lahan yang dapat didukung tanpa mengaki-batkan kematian karena faktor kepadatan dan terjadinya kerusakan lingkungan secara permanen. Daya dukung ekonomi adalah tingkat produksi yang membe-rikan keuntungan maksimum dengan penentuan tujuan usaha secara ekonomi.

Masalah keberlanjutan menjadi semakin penting ketika populasi ikan di dunia menjadi semakin terbatas, hasil tangkapan ikan semakin berkurang dan hampir 70% stok ikan dunia mengalami overexploited atau depleted. Adapun faktor – faktor yang dapat menyebabkan kondisi overexploited tersebut adalah : (i) Adanya perubahan teknologi penangkapan ikan yang dapat meningkatkan hasil dan mengurangi biaya penangkapan ikan, (ii) Adanya faktor lingkungan seperti polusi, (iii) Adanya alat tangkap dengan produk bycatch yang tinggi, serta (iv) Adanya kegagalan pengaturan perikanan untuk dapat mencegah terjadinya overharvesting (Hartwick dan Olewiler 1986).

24 2.8 Model Bioekonomi

Istilah bioekonomi diperkenalkan oleh seorang ahli ekonomi dari Canada yang pertama kali menggunakan pendekatan ekonomi untuk menganalisis pengelolaan sumberdaya ikan yang optimal. Pada generasi berikutnya, istilah bioekonomi lebih intensif dan dinamis digunakan oleh Clark dan Munro dimana mereka mengenalkan pendekatan kapital untuk memahami pengelolaan sumberdaya ikan yang optimal.

Pendekatan bioekonomi sangat diperlukan dalam pengelolaan sumberdaya ikan, karena pendekatan ini melengkapi konsep maximum sustainable yield (MSY) yang diperkenalkan oleh Schaefer (1954) yang didasarkan pada pendekatan biologi semata. Pada pendekatan bioekonomi, aspek – aspek biaya pemanenan ikan dan aspek – aspek sosial ekonomi menjadi sangat penting untuk dipertimbangkan.

Perkembangan model bioekonomi diawali pertama kali dengan adanya model bioekonomi Gordon Schaefer yang dibangun dari model surplus produksi. Pada model ini diasumsikan bahwa pertumbuhan populasi ikan diasumsikan mengikuti fungsi pertumbuhan logistic, sehingga lahirlah istilah kurva pertumbuhan logistic. Pertumbuhan biomas ikan tersebut diasumsikan berlaku tanpa adanya penangkapan oleh manusia.

Di sisi lain, kegiatan penangkapan ikan bergantung pada input (effort) yang digunakan – I, jumlah biomas ikan yang tersedia – b, dan kemampuan teknologi yang digunakan - Ө (disebut juga koefisien daya tangkap). Dari semua variabel tersebut , maka hasil tangkapan h = Ө b I. Pada kenyataannya variabel biomas tidak dapat diamati, sedangkan yang tersedia hanyalah data hasil tangkapan – h, jumlah input yang digunakan – I (dalam bentuk jumlah armada penangkapan, jumlah trip atau jumlah hari melaut). Dalam model bioekonomi Gordon Schaefer kendala yang dihadapi tersebut diatasi dengan mengasumsikan kondisi ekologi dalam keadaan keseimbangan, sehingga dapat diperoleh fungsi biomas terhadap input yang berbentuk kuadratik (yield effort curve) seperti tampak pada Gambar 5 berikut ini.

25 Output MSY Input Gambar 5 Hubungan antara Input dan Output perikanan

Pada perkembangan selanjutnya, Scott Gordon menambahkan nuansa ekonomi ke dalam model Schaefer, sehingga pengelolaan sumberdaya ikan memberikan manfaat ekonomi dalam bentuk rente ekonomi (Fauzi 2005). Dari model GS didapat dua keseimbangan bioekonomi seperti terlihat pada Gambar 6. berikut ini. Penerimaan, Biaya (Rp) A TC B TR Input I* IOA

Gambar 6 Keseimbangan bioekonomi Gordon – Schaefer

Keseimbangan pertama terjadi pada kondisi IOA dimana tidak ada manfaat ekonomi yang diperoleh. Pada keseimbangan ini dikenal sebagai bioeconomic equilibrium of open access. Keseimbangan kedua terjadi pada kondisi I* dimana manfaat ekonomi akan diperoleh secara maksimum.

Model produksi surplus dikembangkan pula oleh Clarke, Yoshimoto dan Pooley yang dikenal dengan model CYP. Pada model ini, manfaat ekonomi yang

26 optimal merupakan tujuan yang akan dicapai. Output yang paling berharga pada

model ini adalah dapat ditentukannya kondisi MEY (maximum economic yield). Pada perkembangan selanjutnya, Collin Clark dan Gordon Munro mengembang-kan model bioekonomi dengan lebih bersifat dinamis dan kompleks, dimana mereka menggunakan pendekatan capital (Clark 1975). Kondisi optimal dari upaya dan hasil tangkapan ikan berada diantara dua keseimbangan pada status private property dan open access.

2.9 Kapasitas Perikanan (Fishing Capacity)

FAO (1999), mendefinisikan kapasitas perikanan (fishing capacity) yang didasarkan dari pendekatan kedua kombinasi input (yakni : effort – upaya penangkapan, banyaknya jumlah kapal/perahu, dan lain – lain) dan output (hasil tangkapan) adalah sebagai berikut : “banyaknya ikan (upaya penangkapan – effort) yang dapat dihasilkan pada periode waktu tertentu (tahun atau musim ikan) oleh sebuah kapal atau armada penangkapan jika secara penuh digunakan pada kondisi sumberdaya tertentu”.

Pemanfaatan kapasitas menggambarkan derajat (tingkat) pemanfaatan kapal atau armada penangkapan yang dapat digunakan secara penuh. Dari perspektif yang didasarkan pada input, pemanfaatan kapasitas dapat diartikan sebagai rasio antara jumlah hari menangkap ikan secara aktual dengan jumlah hari dimana potensi kapal dapat menangkap ikan dibawah kondisi bekerja yang normal. Sementara dari perspektif yang didasarkan pada output, pemanfaatan kapasitas dapat diartikan sebagai rasio antara jumlah hasil tangkapan ikan secara aktual dengan jumlah potensi hasil tangkapan ikan (jika digunakan secara penuh).

Kapasitas berlebih (excess capacity) terjadi bila potensi hasil tangkapan atau potensi upaya penangkapan (effort) melebihi hasil tangkapan aktual atau tingkat upaya penangkapan (effort) pada periode waktu tertentu. Kapasitas berlebih pada dasarnya merupakan fenomena jangka pendek yang dapat ditimbulkan dari beberapa alasan, contohnya : rendahnya harga jual ikan atau meningkatnya biaya – biaya operasi (akibat naiknya harga bahan bakar minyak) untuk sementara waktu akan mengakibatkan pengurangan hari operasi dari rata – rata hari operasi kapal atau armada penangkapan. Bila kondisi kembali normal, maka kapasitas berlebih tersebut akan berubah.

27 Overcapitalization (overkapasitas – kapasitas berlebih) pada perikanan

merupakan masalah jangka panjang. Overkapasitas terjadi bila ukuran (jumlah) armada lebih besar daripada ukuran (jumlah) armada yang seharusnya diperlukan. Overkapasitas dapat digambarkan pada kasus dari eksploitasi armada tunggal terhadap mono-spesies (misalnya udang) seperti di bawah ini. Sustainable yield msy B A Ukuran (Jumlah) K** K* K Armada

Gambar 7 Kondisi kapasitas jumlah armada penangkapan

Pada kondisi bebas (open access), ukuran (jumlah) armada sebanyak K akan menghasilkan hasil tangkapan lestari di titik A, dimana armada tersebut diasumsikan digunakan secara penuh terhadap contoh yang dimaksud. Hasil tangkapan yang lebih besar dapat diperoleh bila terjadi pengurangan armada dari K menjadi K*. Begitu pula bila armada terus dikurangi hingga K**, maka hasil tangkapan tetap masih lebih besar dibanding dengan kondisi semula. Fenomena seperti di atas akan tampak lebih jelas terlihat bila biaya operasi penangkapan diperhitungkan.

Tambahan modal, tenaga kerja dan bahan bakar minyak yang digunakan didalam memelihara sejumlah armada penangkapan sebesar K ; bukan saja akan mengurangi potensi penerimaan, tetapi juga akan meningkatkan biaya operasi penangkapan.

2.10 Penyebab dan Konsekuensi dari Overkapasitas

Overkapasitas didalam perikanan akan menimbulkan beberapa masalah, yaitu (Clark 2006) :

28 (1) Terjadinya kelebihan investasi (overinvestment) didalam modal dan

berlebihnya tenaga kerja pada proses pemanenan yang menimbulkan masalah lainnya.

(2) Terjadinya pengurasan kelimpahan stok ikan (overfishing)

(3) Terjadinya pengurangan pendapatan terhadap modal dan tenaga kerja, dan penurunan kualitas hidup daripada nelayan dan keluarganya, serta

(4) Terjadinya peningkatan perselisihan politik didalam proses pengelolaan perikanan.

Overkapasitas didalam perikanan juga akan menimbulkan beberapa konsekuensi, diantaranya yaitu :

(1) Konsekuensi bioekonomi :

Terjadinya peningkatan kapasitas didalam pemanenan hasil tangkapan akan menyebabkan meningkatnya upaya penangkapan (fishing effort). Terjadinya peningkatan upaya penangkapan (fishing effort) akan mengakibatkan pengurangan ukuran stok hingga dibawah kondisi MSY. Gejala seperti itu menunjukkan telah terjadi overfishing. Bila overfishing telah terjadi, maka biasanya akan meningkatkan adanya produk by catch dan terjadi pula perusakan habitat. Melihat kondisi yang demikian, maka pembatasan terhadap overfishing perlu dilakukan, apakah melalui pembatasan upaya penangkapan melalui pembatasan hari melaut ataukah pembatasan terhadap quota penangkapan melalui pembatasan total penangkapannya. Mekanisme seperti yang diterangkan tersebut membawa konsekuensi bahwa pendekatan Bio-Ekonomi mutlak harus dilakukan.

(2) Konsekuensi sosial dan politik

Digunakannya pendekatan Bio-Ekonomi didalam memberikan solusi terhadap terjadinya overfishing akan menimbulkan konsekuensi baru terhadap permasalahan social dan politik. Rekomendasi pengurangan armada penangkapan (upaya penangkapan/fishing effort) akan menimbulkan terjadinya peningkatan pengangguran yang pada akhirnya akan menimbulkan permasalahan politik di wilayah tersebut.

2.11 Pengukuran Kuantitatif dan Kualitatif terhadap Overkapasitas

Pengukuran Kuantitatif terhadap overkapasitas dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan analisis, yaitu :

29 (1) Pendekatan Peak to Peak Analisis

(2) Pendekatan DEA (data envelopment analysis)

(3) Pendekatan SPF (stochastic production frontier) Analisis

Selanjutnya dikatakan bahwa disamping ketiga pendekatan analisis tersebut di atas, terdapat pula pendekatan analisis secara kualitatif, yaitu dengan melihat indikator – indikator kualitatif terhadap terjadinya overkapasitas (Hilborn, 2002). Indikator – indikator kualitatif terhadap terjadinya overkapasitas dapat dibangun dari pendekatan model bioekonomi. Indikator – indikator kualitatif terhadap terjadinya overkapasitas diantaranya adalah :

(1) Status biologi daripada perikanan (2) Katagori pengelolaan perikanan

(3) Hubungan antara tingkat panen (harvest) dan TAC (total allowable catch) (4) Rasio antara TAC dan lamanya musim penangkapan

(5) Perijinan permanen

(6) CPUE (catch per unit of effort)

2.12 Investasi pada Perikanan

Kegiatan operasi penangkapan ikan membutuhkan adanya investasi. Investasi tersebut diperlukan untuk membeli seperangkat kapal ikan, mesin – mesin penggerak dan unit alat tangkap ikan. Pengkajian investasi pada perikan-an mengasumsikperikan-an pada model kepemilikperikan-an tunggal, dimperikan-ana investasi dapat bersifat reversible dan irreversible. Investasi yang bersifat reversible mengan-dung arti bahwa pemilik dapat membeli atau menjual terhadap barang – barang investasinya dengan bebas. Investasi yang bersifat irreversible mengandung arti bahwa pemilik tidak bebas dalam melakukan proses jual – beli barang – barang investasinya (Clark 1985).

Pengkajian investasi pada pemanfaatan sumberdaya perikanan tidak akan terlepas dari masalah – masalah penetapan upaya penangkapan (effort) dan penetapan keseimbangan daripada pemanfaatan tingkat biomas ikan. Oleh karenanya kajian investasi pada perikanan juga akan terkait langsung dengan pemodelan bioekonomi.

30 2.13 Pelabuhan Perikanan

Pelabuhan perikanan adalah suatu kawasan perairan yang tertutup atau terlindung dan cukup aman dari pengaruh angin dan gelombang laut, dilengkapi dengan berbagai fasilitas seperti logistik, penyediaan bahan bakar, perbengkelan dan juga sarana pengangkutan barang. Pelabuhan perikanan adalah pelabuhan khusus yang merupakan perpaduan antara wilayah daratan dan lautan yang dipergunakan sebagai pangkalan kegiatan penangkapan ikan dan dilengkapi dengan berbagai fasilitas sejak ikan didaratkan sampai ikan didistribusikan (Lubis 2006).

Kegiatan usaha penangkapan jaring udang di wilayah perairan Cirebon utara terkait dengan pemanfaatan pelabuhan perikanan yang berskala kecil, yaitu pelabuhan perikanan yang bertipe D (pangkalan pendaratan ikan). Hal tersebut dimungkinkan karena armada penangkapan jaring udang merupakan armada penangkapan ikan yang tonase-nya < 30 GT dan masih menggunakan mesin motor tempel.

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. per 16/MEN/2006 tentang pelabuhan perikanan pasal : 16, 17, 18, 19 dan 20 menyebutkan bahwa terdapat klasifikasi pelabuhan perikanan menjadi 4 (empat), yaitu :

(1) Pelabuhan perikanan samudera (tipe A) (2) Pelabuhan perikanan nusantara (tipe B) (3) Pelabuhan perikanan pantai (tipe C), dan (4) Pangkalan pendaratan ikan (tipe D)

Adapun klasifikasi pelabuhan perikanan tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Klasifikasi pelabuhan perikanan di Indonesia Tipe pelabuhan perikanan Kriteria Pelabuhan perikanan samudera (PPS) Pelabuhan perikanan tipe A

a. Melayani kapal perikanan yang melakukan kegiatan perikanan di laut territorial, ZEEI dan laut lepas,

b. Memiliki fasilitas tambat labuh untuk kapal perikanan berukuran sekurang-kurangnya 60 GT, c. Panjang dermaga sekurang-kurangnya 300 m dengan kedalaman kolam sekurang-kurangnya minus 3 m,

d. Mampu menampung sekurang-kurangnya 100 kapal perikanan atau jumlah keseluruhan

31 sekurang-kurangnya 6 000 GT kapal perikanan

sekaligus,

e. Ikan yang didaratkan sebagian untuk tujuan export,

f. Terdapat industri perikanan.

Pelabuhan perikanan nusantara (PPN) Pelabuhan perikanan tipe B

a. Melayani kapal perikanan yang melakukan kegiatan perikanan di laut territorial dan ZEEI, b. Memiliki fasilitas tambat labuh untuk kapal perikanan berukuran sekurang-kurangnya 30 GT, c. Panjang dermaga sekurang-kurangnya 150 m dengan kedalaman kolam sekurang-kurangnya minus 3 m,

d. Mampu menampung sekurang-kurangnya 75 kapal perikanan atau jumlah keseluruhan sekurang-kurangnya 2 250 GT kapal perikanan sekaligus,

e. Terdapat industri perikanan.

Pelabuhan perikanan pantai (PPP)

Pelabuhan perikanan tipe C

a. Melayani kapal perikanan yang melakukan kegiatan perikanan di perairan pedalaman, perairan kepulauan dan laut territorial, b. Memiliki fasilitas tambat labuh untuk kapal perikanan berukuran sekurang-kurangnya 10 GT, c. Panjang dermaga sekurang-kurangnya 100 m dengan kedalaman kolam sekurang-kurangnya minus 2 m,

d. Mampu menampung sekurang-kurangnya 30 kapal perikanan atau jumlah keseluruhan sekurang-kurangnya 300 GT kapal perikanan sekaligus, Pangkalan pendaratan ikan (PPI) Pelabuhan perikanan tipe D

a. Melayani kapal perikanan yang melakukan kegiatan perikanan di perairan pedalaman dan perairan kepulauan,

b. Memiliki fasilitas tambat labuh untuk kapal perikanan berukuran sekurang-kurangnya 3 GT, c. Panjang dermaga sekurang-kurangnya 50 m dengan kedalaman kolam sekurang-kurangnya minus 2 m,

d. Mampu menampung sekurang-kurangnya 20 kapal perikanan atau jumlah keseluruhan sekurang-kurangnya 60 GT kapal perikanan sekaligus,

Dokumen terkait