• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kacang Panjang

Kacang panjang (Vigna sinensis L.) adalah tanaman sayuran yang sudah lama ditanam di Indonesia. Sumber genetik tanaman kacang panjang diduga berasal dari India, Cina, dan Afrika (Abissinia dan Etiopia). Daerah yang menjadi sentra tanaman kacang panjang di Indonesia masih didominasi di Pulau Jawa terutama Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Tanaman kacang panjang memiliki daya adaptasi yang cukup luas terhadap lingkungan tumbuh (Rukmana 1995).

Kacang panjang termasuk dalam kelas Angiospermae, ordo Rosales, famili Papilionaceae/Leguminosae/Fabaceae, genus Vigna, dan spesies Vigna sinensis (L) Savi ex Hassk. Kacang panjang merupakan tanaman perdu semusim yang tumbuh merambat dengan daun majemuk, tersusun atas 3 helai. Batangnya liat dan sedikit berbulu. Bunga kacang panjang berbentuk kupu-kupu. Akarnya mempunyai bintil yang dapat mengikat nitrogen bebas. Hal ini bermanfaat untuk menyuburkan tanah (Haryanto et al. 2007).

Kacang panjang dapat tumbuh pada dataran rendah maupun dataran tinggi dengan ketinggian 0-1500 m dari permukaan laut. Temperatur harian yang sesuai untuk pertumbuhan kacang panjang adalah sekitar 18-32 oC dengan suhu optimum 25 oC. Kacang panjang dapat ditanam sepanjang musim baik musim kemarau maupun musim penghujan. Waktu bertanam kacang panjang yang baik adalah pada awal atau akhir musim hujan. Tanaman kacang panjang membutuhkan curah hujan sekitar 600-2000 mm/tahun. Tanaman ini membutuhkan banyak sinar matahari. Produksi polong kacang panjang akan menurun apabila tanaman ternaungi (Haryanto et al. 2007)

Bean common mosaic virus (BCMV)

BCMV merupakan salah satu virus anggota famili Potyviridae, genus Potyvirus dengan genom ssRNA (utas tunggal), positive sense, berbentuk filamen

dengan panjang 750 nm dan lebar 14 nm. Badan inklusi Potyvirus berbentuk cakra atau beberapa bentuk yang lain (Regenmortel et al. 2004).

BCMV diketahui menginfeksi pertanaman kacang-kacangan di seluruh dunia khususnya di Asia, Afrika, dan Amerika Latin (Murayama et al. 1998; Udayashankar et al. 2010). BCMV di Asia terdapat di antaranya di China, Jepang, Korea, India, dan Indonesia dengan tingkat serangan yang berbeda-beda. BCMV di Afrika terdapat di Uganda, Malawi, Rwanda, Kenya, Tanzania, Burundi, dan Etiopia (Spence dan Walkey 1995). Serangan BCMV yang cukup luas ini berpotensi tersebar melalui kegiatan perdagangan komoditas kacang-kacangan antarnegara.

Tipe gejala penyakit yang muncul pada pertanaman bergantung pada strain BCMV, temperatur, dan genotipe inang (Udayashankar et al. 2010). Gejala pertama kali terlihat pada daun-daun muda berupa pemucatan tulang daun yang mengakibatkan jaringan sekitarnya menjadi hijau muda, kemudian berkembang menjadi mosaik dengan pola warna hijau dan kuning disertai malformasi. Setelah itu, tulang daun akan mengerut sehingga daun terlihat bergelombang dan permukaan daun menjadi tidak rata. Gejala lanjut akan menunjukkan lepuhan-lepuhan sehingga bentuk daun tidak teratur (pengurangan ukuran lamina daun), layu dan akhirnya gugur (Setyastuti 2008). Menurut Mukeshimana et al. (2003), tanaman yang terserang BCMV memiliki daun yang menggulung, keriting, tanaman menjadi kerdil, dan polong serta biji yang dihasilkan lebih sedikit dibandingkan dengan tanaman sehat. Polong kacang panjang yang terserang BCMV menunjukkan gejala mosaik dan malformasi polong (Sutic et al. 1999)

Secara garis besar, penularan BCMV dari satu tanaman ke tanaman lain dengan tiga cara yaitu melalui benih, kutudaun, dan mekanis. Penularan virus lewat benih mempunyai arti penting dalam penyebaran dan perkembangan kejadian penyakit virus di lapangan misalnya penurunan kualitas benih, penurunan kuantitas produksi, dan penyebaran virus antardaerah (Sutic et al. 1999). Benih yang terinfeksi virus menunjukkan gejala yang dapat diamati secara visual misalnya terjadinya perubahan warna dan bentuk. Komposisi benih juga dapat berubah dengan adanya infeksi virus khususnya asam amino bebas pada benih. Benih yang terinfeksi virus akan menghasilkan kecambah yang sakit dan

tersebar secara acak di lapangan. Kecambah yang terinfeksi menjadi sumber infeksi utama (primary source of infection) yang selanjutnya disebarluaskan oleh kutudaun yang ada di lapangan (Udayashankar et al. 2010).

Spesies kutudaun yang dapat menjadi vektor BCMV antara lain Aphis fabae Scopoli dan Myzus persicae (Sulzer) (Morales 1987). Morales dan Boss (1988) melaporkan bahwa A. gossypii Glover, A. craccivora Koch, A. medicaginis Koch, A. rumicis Linnaeus., Hyalopterus atriplicis Linnaeus, Macrosiphon ambrosiae (Thomas), M. pisi (Kaltenbach) dan M. solanifolii Ashmead dapat menjadi vektor BCMV. Diuraphis noxia (Mordvilko), Metopolophium dirhodum (Walker), Rhopalosiphum padi (Linnaeus), Schizaphis graminum (Rondani), dan Sitobium avenae Fabricius dilaporkan juga dapat menjadi vektor BCMV (Halbert et al. 1994). Vektor BCMV yang paling penting pada tanaman kacang panjang adalah A. craccivora karena A. craccivora merupakan hama utama pada tanaman kacang panjang di Indonesia. BCMV ditularkan kutudaun ke tanaman secara nonpersisten. Penularan virus tipe ini menunjukkan bahwa virus dalam vektor hanya terdapat di alat mulut dan tidak dapat memperbanyak diri dalam vektor (Hull 2002).

Penularan virus secara mekanis dapat dilakukan dengan cara mengoleskan cairan perasan tanaman sakit pada permukaan daun. Efisiensi penularan dapat dilakukan dengan penaburan karborundum pada permukaan daun. Karborundum dapat menyebabkan abrasi saat cairan perasan tanaman dioleskan pada permukaan daun tanaman (Walkey 1991).

Mekanisme Penularan Virus Lewat Biji

Penularan virus ke benih dapat melalui 2 cara yaitu dengan menginfeksi bagian-bagian benih dan mengontaminasi kulit benih. Bagian benih yang dapat terinfeksi virus adalah embrio, endosperma, dan kulit benih. Penularan virus ke benih melalui embrio merupakan tipe penularan yang paling umum terjadi pada tanaman (Agarwal dan Sinclair 1997). Infeksi virus pada embrio hanya terjadi apabila tanaman terinfeksi virus sebelum penyerbukan bunga. Hal ini disebabkan tidak adanya plasmodesmata antara embrio dan tanaman induk. Penularan virus ke embrio benih dapat pula terjadi akibat terinfeksinya serbuk sari tanaman

(Hull 2002). Untuk beberapa virus yang sangat stabil, seperti Tobaco mosaic virus dan Cucumber green mottle mosaic virus, dapat menular walaupun berada pada kulit biji (Agarwal dan Sinclair 1997).

Penularan BCMV pada benih terjadi akibat infeksi virus pada embrio benih baik itu melalui tanaman induk maupun melalui serbuk sari yang terinfeksi. BCMV tidak terbawa pada kulit biji (Sutic et al. 1999). Menurut Morales dan Bos (1988), BCMV mampu mempertahankan infektivitasnya dalam biji selama 30 tahun.

Tindakan Pencegahan dan Pengendalian Virus

Pencegahan dan pengendalian BCMV pada tanaman kacang panjang penting dilakukan agar kejadian penyakit tidak menyebar secara luas di lapangan. Penggunaan benih kacang panjang yang sehat merupakan salah satu cara untuk mengurangi sumber infeksi di lapangan. Hal ini disebabkan BCMV merupakan virus terbawa benih yang memiliki potensi terbawa benih yang cukup tinggi. Pengendalian serangga vektor BCMV penting dilakukan untuk mengurangi tersebarnya penyakit di lapangan. Pengendalian vektor dapat dilakukan dengan penyemprotan insektisida kimia khususnya vektor yang masih terdapat pada inang liar sebelum tanam karena penularan virus melalui vektor bersifat nonpersisten (Sutic et al. 1999).

Tindakan pengendalian infeksi BCMV dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa ekstrak tanaman. Kejadian penyakit BCMV strain Blackeye cowpea mosaic (BCMV-BlC) pada tanaman buncis berkurang sebesar 7% pada kondisi rumah kaca dan 40% pada kondisi lapangan dengan perlakuan benih menggunakan ekstrak Boerhaavia diffusa. Aplikasi semprot ekstrak B. diffusa dan Bougainvillea spectabilis dapat mengurangi kejadian penyakit 13% dan 12% pada kondisi rumah kaca sedangkan B. diffusa dan Clerodendrum inerme mengurangi kejadian penyakit sampai dengan 31% dan 32% pada kondisi lapangan (Prasad et al. 2007). BCMV dilaporkan dapat ditekan dengan menggunakan ekstrak bunga Clerodendrum japonicum (bunga pagoda), Chenopodium amaranticolor, Mirabilis jalapa (bunga pukul empat) dan Andrographis paniculata (sambiloto). Ekstrak bunga pagoda dan ekstrak bunga

pukul empat mampu menghambat infeksi virus hingga 90% (Kurnianingsih 2010). Penyemprotan kitosan pada daun mampu menghambat BCMV dan menekan kejadian penyakit masing-masing sebesar 84.8% dan 62.1% (Haryanto 2010).

Enzyme Linked Immunosorbent Assays (ELISA)

Enzyme linked immunosorbent assay (ELISA) merupakan salah satu teknik deteksi serologi yang saat ini banyak digunakan untuk mendeteksi virus dan patogen tanaman lainnya (Agrios 2005). Prinsip dari teknik ini adalah terbentuknya kompleks antigen-antibodi yang teradsorpsi ke sumur plat mikrotiter yang terbuat dari bahan polistirena (Djikstra dan De Jager 1998).

Pada umumnya ELISA dapat dibagi menjadi 2 yaitu direct double antibody sandwich ELISA (DAS-ELISA) dan indirect ELISA (I-ELISA). Perbedaan utama DAS ELISA dan I-ELISA terletak pada urutan peletakan antigen (sampel virus). Pada metode DAS-ELISA, antigen diletakkan setelah antibodi primer. Antibodi sekunder diletakkan setelah antigen. DAS-ELISA memerlukan antibodi sekunder yang spesifik untuk antigen yang dideteksi. Pada metode I-ELISA, antigen diletakkan terlebih dahulu kemudian antibodi primer. Antibodi sekunder diletakkan setelah antibodi primer. Hasil deteksi dikatakan positif apabila terjadi perubahan warna menjadi kuning pada sumuran plat mikrotiter setelah pemberian enzim substrat. DAS-ELISA sangat dianjurkan untuk deteksi virus skala besar, namun penggunaannya dalam program indexing memiliki masalah karena spesifikasinya yang tinggi. Oleh karena itu dianjurkan menggunakan I-ELISA karena hubungan serologi antara virus lebih stabil (Djikstra dan De Jager 1998).

Menurut Djikstra dan De Jager (1998), terdapat beberapa keunggulan deteksi serologi dengan ELISA untuk virus tumbuhan di antaranya virus dapat terdeteksi walaupun dalam konsentrasi yang rendah (1-10 ng/ml), antibodi yang digunakan sangat sedikit, metode ini dapat digunakan untuk deteksi virus dalam skala besar, dan hasil deteksi dapat diukur secara kuantitatif.

Dokumen terkait