• Tidak ada hasil yang ditemukan

ada Gambar bursa 14 (embrio yang diberikan glutamin (P1) secara in ovo) dan

han sel-sel limfosit sehingga ditemuka

in dan deks

Gambar 17 Bursa fabrisius pada perlakuan NaCl 0.5% (pembesaran 400x). Gambar 17a dan 17b menunjukkan terjadinya degenerasi dan deplesi sel-sel limfoid yang mulai parah. Gambar 17a menunjukkan mulai terlihatnya vakuola atau rongga (cystic cavities) pada epitel. Baik gambar 17a dan 17b mempunyai penilaian skor lesio 3 (reaksi tidak normal terhadap pemakaian vaksin). Tanda menunjukkan

cystic cavities pada epitel

P

15 (embrio yang diberikan dekstrin (P2) secara in ovo) dapat dilihat bahwa bursa fabrisius mengalami deplesi dan degenerasi sel pada pusat medulla dari banyak folikel limfoid bursa, hampir sepertiga folikel limfoid mengalami atropi, nekrosis sedang (pucat) yang terlihat ditengah, infiltrasi sel heterofil, hiperemia dan edema yang lebih menyebar, plika dari bursa mulai tidak kompak dan teratur yaitu dengan penilaian skor Lesio 2.

Deplesi sel-sel limfosit yaitu peluru

n daerah-daerah folikel limfoid yang kurang mengandung limfosit. Hal ini disebabkan karena terjadinya edema yang ringan atau peningkatan jumlah cairan interstisial akibat peningkatan permealibilitas dinding pembuluh darah, sehingga dapat dikatakan bahwa bursa dengan skor Lesio 2 belum mengalami kerusakan yang parah sebagai akibat dari vaksin yang diberikan (FOHI 2002).

Pada Gambar 16 dan 17 dimana embrio diberikan kombinasi glutam trin (P3) serta NaCl 0.5% (P4) secara in ovo terjadi degenerasi dan difusi atropi pada sel pusatmedulla dari folikel bursa (Skor Lesio 3). Pada kelainan ini ditemukan sejumlah besar sel fagosit di dalam korteks dan pusat medulla folikel

limfoid. Ditemukan pula ilfiltrasi sel heterofil yang banyak, edema berat mulai terlihat dan menyebar. Ditemukan pula vakuola dan bentuk plika bursa yang mulai tidak teratur (FOHI 2002).

Pengukuran standar untuk skor lesio 4 memperlihatkan keadaan yang dialami s

penelitian ini berbeda dengan penelitian Uni et al. (2003) yang menyatak

holme dan Calder (2002) serta Bartell dan Batal (2007) melapork

f timus yang tertinggi terdapa

kor lesio 3 dengan kondisi yang sangat berat dan menyeluruh, vakuola sudah besar-besar dan menyebar (FOHI). Pada skor lesio 4 bisasanya patologi terlihat mengecil (atropi). Hal ini tidak terlihat pada perlakuan secara in ovo pada penelitian ini.

Hasil

an bahwa penambahan nutrien pada masa pertumbuhan kritis dengan teknologi in ovo ini dapat meningkatkan status nutrisi pada saat penetasan, sehingga dapat mendatangkan beberapa keuntungan yang diantaranya adalah meningkatkan respon imun yaitu diantaranya dengan meningkatkan produksi sel- B oleh bursa.

News

an bahwa pemberian glutamin tidak mempengaruhi berat atau pertumbuhan bursa, tetapi akan meningkatkan pertumbuhan atau berat timus. Limfosit T, setelah pembentukannya didalam sumsum tulang, mula-mula bermigrasi ke kelenjar timus. Disini limfosit T membelah secara cepat dan pada waktu yang bersamaan membentuk keanekaragaman yang ekstrim untuk bereaksi melawan berbagai antigen yang spesifik, kemudian limfosit berikutnya membentuk spesifitas melawan antigen yang lain. Hal ini terus berlangsung sampai terdapat macam-macam limfosit timus dengan reaktifitas spesifik untuk melawan jutaan antigen yang berbeda-beda. Berbagai tipe limfosit-T yang diproses ini meninggalkan timus dan menyebar keseluruh tubuh untuk memenuhi jaringan limfoid di setiap tempat (Guyton & Hall 1997) .

Pada Tabel 7 dapat dilihat bahwa bobot relati

t pada perlakuan dimana embrio diberi kombinasi glutamin dan dekstrin secara in ovo (P3). Titer ND umur empat hari diketahui berbeda nyata (Tabel 8) dengan titer terendah dimiliki oleh ayam dengan perlakuan kombinasi glutamin dan dekstrin (P3). Hal ini dapat terjadi karena kombinasi glutamin dan dekstrin tidak dapat terpakai secara maksimal sehingga tidak dapat menggertak

pembentukan antibodi terhadap ND. Setelah diberi vaksin, ayam tersebut tertantang untuk membentuk antibodi yang lebih banyak dibandingkan dengan perlakuan lainnya, karena pada awalnya memiliki antibodi yang paling sedikit dibandingkan dengan perlakuan lain. Hal terlihat dari berat timus umur 14 hari dimana ayam dengan perlakuan kombinasi glutamin dan dekstrin (P3) mengalami peningkatan bobot yang nyata dibandingkan dengan perlakuan lainnya.

Dekstrin dan glutamin diketahui dapat meningkatkan respon imun melalui m

minase tinggi pada sem

i untuk meningkatkan jumlah cadangan

ekanisme yang berbeda. Berdasarkan analisis statistik terjadi perbedaan yang nyata (P<0.05) pada berat relatif timus antar perlakuan. Pemberian kombinasi glutamin dan dekstrin secara in ovo pada embrio ayam umur 18 hari pada penelitian ini diketahui dapat meningkatkatkan reson imun yaitu dilihat dari berat relatif timus. Besarnya berat timus dapat disebabkan oleh aktifitas yang berlebih ketika menghasilkan antibodi-antibodi yang dibutuhkan oleh tubuh pada saat itu. Meningkatnya berat timus dapat disebabkan oleh meningkatnya produksi sel-T pada organ timus, namun demikian hal ini belum terlihat pada penelitian ini yang dilihat dari aktifitas seluler yaitu leukosit dan diferensiasinya.

Menurut Ardawi dan Newsholme (1985), aktifitas gluta

ua organ limfoid, termasuk limfe nodus, limpa, timus, Peyer’s Patcher’s,

sumsum tulang belakang, makrofag, dan netrofil. Proliferasi limfosit terhadap mitogen-mitogen sel-T bergantung kepada keberadaan glutamin, sehingga apabila keberadaan glutamin menghilang maka sel-sel tidak dapat berproliferasi dan begitu pula sebaliknya, apabila konsentrasi glutamin meningkat maka proliferasi limfosit meningkat (Ardawi & Newsholme 1985).

Dekstrin berfungsi sebagai sumber energ

glikogen pada hati embrio dan anak ayam yang baru menetas, sehingga embrio ayam memiliki kemampuan mencerna dan menyerap nutrien yang terbatas menjelang menetas, pada mukosa usus halus dan dapat menjadi sumber energi pada sel-sel imun pada mukosa usus terutama dalam pembentukan imunoglobulin (Uni et al. 2003).

Pengaruh Pemberian Glutamin, Dekstrin dan Kombinasi Keduanya

D dilakukan pada umur ayam lima dan dua puluh

i terhadap ND pada keempat perlakuan pada penelit

binasi dari dekstrin dan glutamin yang diharapkan dapat saling memba

Terhadap Titer ND dan Titer IBD Pada penelitian ini vaksinasi N

satu hari dengan menggunakan vaksin ND La sota. Vaksinasi pertama digunakan berupa vaksin inaktif ND produksi INTERVET yang diberikan melalui penyuntikan pada subkutan leher dan ND aktif strain Lasota yang diberikan melalui tetes mata, sedangkan vaksinasi kedua yang digunakan berupa vaksin aktif strain Lasota yang diberikan melalui air minum. Sampel darah diambil untuk dilakukan uji HI dan dihitung melalui Geometric Mean Titer (GMT) pada ayam berumur 4, 12, 20 dan 28 hari.

Rata-rata titer antibod

ian ini disajikan pada Tabel 7. Pengujian data titer terhadap ND pada sehari sebelum vaksinasi (umur empat hari) menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0.01) secara anova (data lengkap dapat dilihat pada lampiran halaman 105- 106). Titer ND yang terendah adalah 24.8 dimiliki oleh perlakuan dimana embrio umur 18 hari diberikan kombinasi glutamin dan dekstrin secara in ovo (P3). Hal ini terjadi karena telah terjadi penurunan antibodi asal induk, dan antibodi yang ada didalam tubuh telah terpakai untuk memerangi antigen, dimana belum terbentuk antibodi baru yang disebabkan oleh tidak maksimalnya nutrien terpakai untuk pembentukan sel-sel imun yang dibutuhkan. Tebentuknya antibodi baru akibat terpapar oleh vaksin yang diberikan baru akan terlihat pada 7 sampai 14 hari setelah pemberian vaksin. Bobot relatif timus pada hari ke-14 pada ayam dengan perlakuan kombinasi glutamin dan dekstrin (P3) memiliki bobot tertinggi dapat menandakan bahwa banyaknya sel-T yang diproduksi karena dibutuhkan tubuh, sedangkan antibodi baru belum terlihat terbentuk sesuai dengan kebutuhan tubuh.

Kom

ntu sesuai dengan tujuannya masing-masing dalam meningkatkan respon imun, ternyata memiliki titer terhadap ND yang paling rendah dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Artinya glutamin dan dekstrin tidak bekerja secara sinergis dalam memerangi antigen-antigen yang masuk ke dalam tubuh. Ayam yang diberi perlakuan dengan glutamin (P1) memiliki titer ND paling tinggi. Hal

ini disebabkan karena menurunnya antibodi maternal sehingga ayam berusaha untuk memerangi antigen-antigen yang masuk dengan bantuan glutamin diberikan secara awal sehingga dapat menggertak pertumbuhan antibodi.

Tabel 8 Pengaruh pemberian glutamin, dekstrin dan kombinasi keduanya terhadap rataan jumlah titer darah sebelum dan sesudah vaksin ND (Log 2n HAU) dan IBD (EU) pada ayam yang diberi in ovo feeding

sesuai dengan perlakuan

Titer Darah Perlakuan

Hari ke-4 Hari ke-

N H IBD Hari ke- IBD Hari ke- ND ND 12 D - ND Ha ari ke 20 ri ke- 28 12 20 P1 4.8a 4.8 3.6 4.0 47.58 17.64 P2 4.0ab 4.4 3.2 2.4 33.54 18.58 P3 2.4b 4.6 2.8 3.4 45.44 19.84 P4 3.8ab 4.8 3.2 3.4 42.06 20.92

Supers yang ber ada kolo g sama njukkan daan ya t nyat 1)

P1 : Perlakuan dengan glutamin

glutamin dan dekstrin %

Diketahui bahwa ayam yang diberi glutamin secara in ovo memberikan rangsan

umur 12, 20 dan 28 hari hasil titer terhadap ND, dinyatakan secara analisis

krip beda p m yan menu perbe ng sanga a (P< 0.0

P2 : Perlakuan dengan dekstrin P3 : Perlakuan dengan kombinasi

P4 : Perlakuan dengan NaCl 0.5

gan kepada sel-sel imun terutama sel T untuk meningkatkan proliferasi dan diferensiasi sel-sel. Hal ini dibuktikan oleh Newsholme dan Calder (2002) yang melaporkan bahwa dengan meningkatnya konsentrasi glutamin dalam tubuh maka akan meningkatkan proliferasi sel-sel limfosit T. Dekstrin sendiri digunakan oleh tubuh untuk sumber energi pada sel-sel imun terutama bagian pada mukosa usus, yang terdapat sel panet yang mengeluarkan enzim dan imunoglobulin (Uni

et al. 2003). Pada

anova tidak berbeda nyata. Hal ini dapat disebabkan oleh karena vaksin belum mampu menggertak pembentukan antibodi. Antibodi baru akan terlihat sekitar 7-14 hari setelah ayam terpapar oleh antigen dan akan mencapai puncak pada minggu minggu ke-2 sampai ke-3 pasca vaksinasi (Butcher & Miles 1995).

Nilai titer ND ayam yang diberikan perlakuan dengan glutamin (P1) meningkat meskipun terjadi penurunan pada umur 20 hari, tetapi meningkat kembali pada umur 28 hari. Pada perlakuan dengan pemberian dekstrin secara in ovo(P2), nilai titer ND terus menurun sampai pada pengambilan titer ND pada umur 28 hari, hal ini disebabkan oleh kurangnya repon sel-sel imun ayam yang diberi perlakuan dekstrin (P2) terhadap vaksin yang diberikan. Menggunakan dekstrin secara in ovo (P2) diketahui mempunyai fungsi meningkatkan produksi antibodi khususnya immunoglobulin pada mukosa usus, hal ini lebih berfungsi kepada merespon antigen yang masuk melalui saluran pencernaan (Uni et al. 2003).

Pada perlakuan embrio yang diberikan kombinasi dekstrin dan glutamin secara in ovo (P3) dan P4 yang merupakan perlakuan dimana embrio diberikan NaCl 0.5% secara in ovo, menunjukkan kecilnya nilai titer ND pada setiap sebelum vaksin ND diberikan, tetapi ketika vaksin itu diberikan maka titer ND menunjukkan kenaikan, hal ini disebabkan oleh sel-sel imun yang dapat merespon dengan baik pada perlakuan ini.

Vaksinasi IBD dilakukan pada saat ayam berumur 13 hari. Vaksin yang digunakan berupa vaksin IBD produksi CEVA, yang digunakan dimasukkan dalam air minum. Sampel darah diambil untuk diuji elisa pada saat ayam berumur 12 dan 20 hari atau satu hari sebelum dan tujuh hari setelah vaksin.

Pada pengujian titer terhadap IBD sebelum vaksin dapat dilihat pada tabel 8. Berdasarkan hasil analisis statistik dinyatakan bahwa tidak terjadi perbedaan yang nyata antar perlakuan. Rata-rata hasil titer IBD ayam-ayam tersebut mempunyai interpretasi hasil positif sedang. Hal ini dapat terjadi karena adanya kontaminasi mikroorganisme atau masih adanya antibodi asal induk, sehingga angka titer yang mencapai angka yang cukup tinggi. Meskipun begitu, pada umur 14 hari bursa fabrisius tidak menunjukkan adanya pembengkakan melalui analisa Skor Lesio 2 tetapi untuk perlakuan dengan kombinasi glutamin dan dekstrin (P3) dan perlakuan dengan NaCl 0.5% (P4) mulai terlihat vakuola atau lubang dengan skor lesio 3, dimana untuk penggunaan vaksin yang baik terlihat pada bursa dengan skor lesio 2 (FOHI 2002).

Dari hasil titer IBD sebelum kontak antigen IBD melalui vaksin dapat dilihat bahwa keempat perlakuan mempunyai titer yang cukup tinggi dan setelah menerima vaksin angka titer IBD menurun drastis untuk semua perlakuan. Berikut adalah kurva titer IBD pada saat sebelum dan sesudah vaksin.

0 10 20 30 40 50 12 20 Umur (hari) Ti te r I B D P1 P2 P3 P4

Gambar 18 Pengaruh pemberian glutamin, dekstrin dan kombinasi keduanya terhadap titer IBD umur 12 dan 20 hari.

Mekanisme infeksi yang dilaporkan oleh Berg (2000) menyatakan bahwa penyebab terjadinya pembengkakan bursa fabrisius dan pendarahan ringan adalah antigen vaksin IBD yang masuk ke tubuh ayam melalui mulut. Dalam darah, virus memperbanyak diri pada limfosit dan makrofag dari GUT assosiated Limphoid Tissue (GALT), melalui peredaran darah virus mencapai target organ yaitu bursa fabrisius serta organ limfoid lainnya yang akan terjadi proses replikasi susulan dan viremia. Pada kondisi seperti ini akan terjadi proses imunosupresif karena bursa fabrisius ayam mengalami atropi yang mengakibatkan produksi antibodi menurun lalu disusul oleh infeksi sekunder dari penyakit-penyakit lain sehingga berujung pada kematian.

Apabila ayam bertahan hidup, maka dapat dipastikan bahwa bursa fabrisiusnya mengalami pembengkakan yang diikuti oleh pendarahan ringan yang bersifat sementara. Setelah beberapa minggu kemudian akan kembali normal dan produksi antibodi tetap normal seperti biasa sebelum bursa fabrisiusnya menghilang dan fungsinya diganti oleh timus dan limpa.

Pada titer darah terhadap IBD umur 20 hari dihasilkan perbedaan yang tidak nyata secara analisis statistik. Meskipun demikian, dapat dilihat bahwa terjadi penurunan titer IBD yang tinggi pada setiap perlakuan. Sehingga dihasilkan titer dengan interpretasi yaitu titer antibodi negatif. Ini dapat terjadi karena bursa fabrius sudah sedikit sekali menghasilkan antibodi, yang disebabkan oleh terjadinya infeksi bursa oleh virus tersebut. Meskipun demikian, pada umur 14 hari belum terlihat perkembangan bursa ke arah negatif atau terjadinya pembengkakan atau pendarahan pada bursa tersebut. Pada titer IBD umur 20 hari, perlakuan yang menggunakan glutamin secara in ovo (P1) menghasilkan titer yang lebih tinggi atau antibodi yang paling banyak diantara perlakuan lainnya.

Pengaruh Pemberian Glutamin, Dekstrin dan Kombinasi Keduanya Terhadap Kuantitas dan Kualitas Karkas

Intestine merupakan organ utama penyuplai nutrien untuk tubuh, maka semakin cepat saluran pencernaan dapat berfungsi dengan baik pada anak ayam makin cepat pula anak ayam tersebut dapat mencerna dan menggunakan nutrien yang terdapat dalam makanan untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan potensi genetiknya (Uni & Ferket 2004).

Apabila menginjeksikan nutrien ke dalam cairan amnion embrio menyebabkan embrio tersebut dengan natural mengkonsumsi suplementasi nutrien tersebut secara oral (melalui mulut) sebelum menetas. Penambahan nutrien pada masa pertumbuhan kritis dengan teknologi in ovo ini dapat meningkatkan status nutrien pada saat penetasan, sehingga dapat mendatangkan beberapa keuntungan antara lain: efisiensi yang tinggi dalam pemanfaatan nutrien makanan, menurunkan kematian pada periode post hatch, serta meningkatkan respon imun dan meningkatkan pertumbuhan otot terutama otot daging pada bagian dada (Uni

et al. 2003).

Persentase karkas pada ayam dengan berat dua kilogram adalah sebesar 77% (Rogers 2001), sedangkan untuk persentase dada sebesar 21.67% dan daging paha sebesar 16.8% (Rose 1997). Berikut adalah tabel pengaruh perlakuan terhadap persentase karkas, daging dada dan paha.

Tabel 9 Rataan persentase bobot karkas, dada dan paha pada ayam yang diberi in ovo feeding sesuai dengan perlakuan

Bobot Karkas Bobot Dada Bobot Paha Perlakuan ...%...

P1 69.31 33.75 30.22

P2 68.77 31.59 33.24

P3 66.60 32.62 34.50

P4 66.30 33.92 33.16

P1 : Perlakuan dengan glutamin P2 : Perlakuan dengan dekstrin

P3 : Perlakuan dengan kombinasi glutamin dan dekstrin P4 : Perlakuan dengan NaCl 0.5%

Pada Tabel 9, dapat dilihat rataan persentase bobot dada dan paha. Melalui analisis statistik secara anova maka diketahui bahwa tidak terjadi perbedaan yang nyata antar perlakuan terhadap persentase bobot karkas, bobot dada dan bobot paha. Persentase bobot dada dan paha didapat berdasarkan perhitungan bobot karkas.

Tidak berpengaruhnya persentase bobot karkas, bobot dada dan paha pada penelitian ini dapat disebabkan tidak berbeda nyatanya bobot badan dan FCR ayam pada penelitian ini. Hal ini mendukung penelitian Bartell dan Batal (2007) yang melaporkan bahwa tidak mempengaruhi secara nyata terhadap luas permukaan villi ileum DOC dan pada ayam umur 14 hari. Hal ini sesuai juga dengan penelitian Uni et al. (2003) yang melaporkan bahwa penggunaan karbohidrat sebagai bahan in ovo feeding menyebabkan turunnya bobot badan terhadap kontrol atau perlakuan tanpa injeksi. Oleh sebab itu tidak berpengaruhnya secara nyata terhadap performa dan kuantitas karkas diduga dikarenakan jumlah nutrien yang diserap usus tidak berbeda nyata antar perlakuan (unpublished data). Namun demikian botot karkas pada penelitian ini memiliki angka yang lebih rendah dibandingkan dengan yang dilaporkan oleh Rogers (2001), sedangkan persentase dada dan paha menunjukkan peningkatan dari persentase yang dilaporkan oleh Rose (1997). Berikut adalah gambar bobot karkas, dada dan paha ayam pada umur 35 hari.

0 10 20 30 40 50 60 70 80 P1 P2 P3 P4 Perlakuan Bobot Karkas (%) Bobot Dada (%) Bobot Paha (%)

P1 : Perlakuan dengan glutamin P2 : Perlakuan dengan dekstrin

P3 : Perlakuan dengan kombinasi glutamin dan dekstrin P4 : Perlakuan dengan NaCl 0.5%

Gambar 19 Pengaruh pemberian glutamin, dekstrin dan kombinasi keduanya terhadap rataan bobot karkas, dada dan paha ayam pada umur 35 hari.

Tingginya persentase bobot dada, bobot paha atau bobot karkas menimbulkan harapan akan tingginya kandungan gizi atau nutrisi pada komposisi daging tersebut, sehingga dapat menunjang kualitas ayam yaitu diantaranya adalah kadar protein dan lemak daging pada ayam tersebut. Pada Tabel 10 dapat dilihat kadar protein dan lemak pada daging bagian dada dan daging bagian paha.

Tabel 10 Pengaruh pemberian glutamin, dekstrin dan kombinasi keduanya terhadap rataan kadar protein dan lemak white meat dan dark meat

pada ayam yang diberi in ovo feeding sesuai dengan perlakuan Daging Bagian Dada (White

Meat)

Daging Bagian Paha (Dark Meat)

Protein Lemak Protein Lemak Perlakuan ……….%………. P1 81.12 3.78 57.57 21.69b P2 83.91 3.45 55.91 25.82a P3 79.99 3.95 54.97 23.72ab P4 78.66 4.62 58.23 21.09b

Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P< 0.01) P1 : Perlakuan dengan glutamin

P2 : Perlakuan dengan dekstrin

P3 : Perlakuan dengan kombinasi glutamin dan dekstrin P4 : Perlakuan dengan NaCl 0.5%

Pada daging bagian dada nilai protein setelah dianalisis statistik, diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata antar perlakuan terhadap kandungan protein pada daging bagian dada ayam perlakuan. Pada daging bagian dada untuk kandungan lemaknya setelah dianalisis statistik diketahui bahwa juga tidak terdapat perbedaan yang nyata antar perlakuan .

Kedua hal diatas dapat disebabkan karena tidak berbedanya perkembangan usus pada ayam yang diberikan glutamin (Bartell & Batal 2007), sehingga menghasilkan ayam dengan performa yang tidak berbeda secara nyata sehingga memiliki persentase karkas dan bagian karkas yang tidak berbeda nyata pula. Hal ini mempengaruhi kandungan kimia daging dada yaitu kadar lemak dan kadar protein daging.

Pada daging ayam perlakuan bagian paha, nilai kandungan proteinnya secara analisis statistik dinyatakan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata. Sedangkan kandungan lemak pada daging bagian paha paling tinggi dimiliki oleh ayam dengan perlakuan dekstrin dan yang terkecil dimiliki oleh ayam dengan perlakuan placebo. Hasil analisis statistik menyatakan bahwa terjadi perbedaan yang sangat nyata (P<0.01) antar perlakuan terhadap kandungan lemak pada daging bagian paha.

Ayam perlakuan dekstrin memiliki kandungan lemak yang paling tinggi pada bagian paha. Hal ini disebabkan karena dekstrin merupakan karbohidrat yang mudah untuk diserap sebagai glukosa, sehingga menyebabkan dekstrin dapat diserap dengan mudah oleh ayam pada awal kehidupan yang belum memiliki saluran pencernaan yang sempurna. Ketika energi dari karbohidrat tersebut tidak digunakan maka akan disimpan sebagai glikogen dan depo-depo lemak pada tubuh. Berlebihnya energi dari karbohidrat yang dikonsumsi tersebut akan disimpan berupa depo-depo lemak yang lebih banyak menumpuk pada tubuh bagian abdomen dan paha (Groff 2000). Sedangkan glutamin diketahui selain dapat menekan selera makan dan meningkatkan imun, juga diketahui dapat meningkatkan pembentukan otot terutama otot dada (Newsholme & Calder 2002). Hal ini menyebabkan ayam dengan perlakuan dekstrin maupun kombinasi dekstin dan glukosa mempunyai kandungan lemak paha yang lebih tinggi.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

In ovo feeding pada penelitian ini tidak memberikan pengaruh yang positif terhadap bobot badan, bobot karkas, bobot dada, bobot paha, bobot relatif bursa, titer ND dan IBD, jumlah leukosit dan diferensiasinya. Pemberian NaCl 0.5% secara nyata menurunkan persentase monosit dan kadar lemak paha pada ayam umur 35 hari.

Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang pemberian glutamin secara

in ovo dengan memberikan tantangan terhadap penyakit atau virus yang sifatnya lebih ganas untuk melihat respon imun ayam tersebut. Selain glutamin, juga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap pemberian NaCl secara in ovo dengan berbagai dosis yang lebih sesuai untuk menghasilkan peningkatan dalam performa.

DAFTAR PUSTAKA

Affini Tech. 2004. Precautions and procedural notes Infectious Bursal Disease Virus-Elisa Test Kit. Bentoville: Affini Tech Ltd.

AOAC Methods. 1999. Official methods of analysis. 16th Ed. Maryland: AOAC

International.

Allee GL, Yi GF, Knight CD, Dibner JJ. 2005. Impact of glutamine and oasis supplement on growth performance, small Intestine morphology, and Immune response of broiler vaccinated and challenge with Eimeria Maxima. Poult Sci 84: 183-293.

Anggorodi R.1990. Ilmu Makanan Ternak Umum. Jakarta: Penerbit PT.

Gramedia.

Antonio J, Street C. 1999. Glutamine: a potentially useful supplement for athletes.

Can J Appl Physiol 24(1): 1-14.

Ardawi MSM, Newsholme EA. 1985. Metabolism in lymphocytes and its importance to the immune response. Essays Biochem 21: 1-44.

Batal AB, Parson CM. 2002. Effect of fasting versus feeding oasis after hatching on nutrient utilization in Chicks. Poult Sci 81: 853-859.

Baggish J. 1996. Bagaimana Sistem Kekebalan Tubuh Anda Bekerja. Ed ke-1.

Juwono TL, Penerjemah; Jakarta: Elex Media Komputindo.

Baratawidjaja KG. 1991. Imunologi Dasar. Ed ke-3. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Bartell SM, Batal AB. 2007. The effect of supplemental glutamine on growth performance, development of gastrointestinal tract, and humoral immune

Dokumen terkait