• Tidak ada hasil yang ditemukan

2Keragaman Haplotipe ( h )

HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Ruas Target

Ruas pengendali mtDNA kerbau lokal (Bubalus bubalis) yang diamplifikasi menggunakan pasangan primer AF22_23 sebesar 1145 pasang basa (pb) (Gambar 2). Kerbau lokal (Bubalus bubalis) memiliki ukuran mtDNA sekitar 16359 pb (Qian et al., 2004). Panjang fragmen hasil amplifikasi dapat lebih dipastikan dengan cara mencocokkan situs penempelan pasangan primer pada sekuen gen mtDNA Bubalus bubalis (GenBank No. Acc. AY702618).

M 1 2 3 4 5 6 7

Gambar 2. Hasil Amplifikasi Daerah Pengendali mtDNA (Kolom M= Marker (Penanda) 100 pb, Kolom 1-7= Pasangan Primer AF22 dan AF23

Produk amplifikasi dengan menggunakan pasangan primer ini meliputi ujung cyt-b sampai daerah d-loop. Tempat penempelan primer disajikan pada Gambar 3. Ruas mtDNA target yang diamplifikasi adalah ruas pengontrol yang hipervariabel dan memiliki laju mutasi yang relatif cepat dibanding bagian lain di genom mitokondria. Pada dasarnya, bagian tengah control region (CR) ini sangat stabil yang kemungkinan bersifat fungsional dalam kontrol ekspresi dan replikasi mtDNA (Avise, 1994). Ukuran DNA hasil amplifikasi tersebut sesuai dengan perkiraan hasil amplifikasi dari desain primer.

100 pb 500 pb 400 pb 200 pb 300 pb 1145 pb

15301 ccagcaaacc cactcaacac acctccccac atcaagcctg aatggtactt cctattcGCA

15361 TACGCAATCT TACGATCAat tcctaacaaa ctaggagggg ttctagccct agttctctct AF22 Forward

15421 atcctaatcc tcattctcat gcccctgcta catacatcca aacaacgaag tatgatgttc 15481 cggccattca gccaatgcct attctgaatt ctagtagcaa acctgctaac actcacatgg 15541 attggaggac agccagtcga acacccatat attatcattg gacaactagc atctatcaca 15601 tacttcctcc tcatcctagt gctaatacca acggccagca taatcgaaaa taatctctta 15661 aaatgaagac aagtctttgt agtatactaa atacactggt cttgtaaacc agaaaaggag 15721 aacaaccaac ctccccaaga ctcagggaag aggctatagc cccactacca acacccaaag 15781 ctgaagttct atttaaacta ctccctgaat actattaata tagctccaca aatgcaaaga 15841 gccttctcag tatcaaattc actaaaactt gcaacaactt aacactgact ttacactcta 15901 gcctaacatt agaaataact acaaccatca acacacctga cctcatatgt acaacacaca 15961 acatatgacc ctactactcc gaatgggggg ggggacataa cattaatgta ataaggacat 16021 aatatgtata tagtacatta tattatatgc cccatgcata taagcgggta cacaaacatg 16081 catgatagta catagtacat tcaattattg atcgtacata gtgcattcaa gtcaaatccg 16141 tcctcgccaa catgcatatc ccctccacta gatcacgagc ttggtcacca tgccgcgtga 16201 aaccagcaac ccttcagaca gggatccctc ttctcgctcc gggcccatgt cttgtggggg 16261 tagctattca atgaacttta acaggcatct ggttctttct tcagggccat ctcacctaaa 16321 atcgcccact ctttcccctt aaataagaca tctcgatgga ctaatgtcta atcagcccat 22 gctcacacat aactgtgctg tcatacattt ggtatttttt tattttgggg gatgcttgga 82 ctcagctatg gccgtcaaag gccccgaccc ggagcatgaa ttGTAGCTGG ACTTAACTGC

AF23 Reverse

142 ATcttgagca ccagcataat ggtaggcatg ggacattgc

Gambar 3. Fragmen Gen D-loop (Cetak Hitam) dan Cyt-b (Cetak Biru) Didasarkan pada Sekuens Gen mtDNA di GenBank (No Akses Genbank AY702618) Hasil Amplifikasi PCR dengan Menggunakan Pasangan Primer AF22_23 (Cetak Merah).

Kesesuaian penempelan primer forward adalah 95,24% karena terdapat satu jenis basa yang berbeda dengan fragmen dari primer AF22. Perbedaan ini terdapat pada basa ke 15360 dari mtDNA yaitu terjadi mutasi dari basa guanine (G) menjadi basa adenin (A), demikian pula dengan kerbau sungai (Water buffalo), sapi Bos indicus dan Bos taurus. Pada domba, primer forward AF22 dapat menempel secara sempurna (100%), sedangkan pada yak dan kambing terdapat perbedaan pada dua basa yaitu terjadi transisi purin (G ke A) dan pirimidin (C ke T). Penelusuran dilakukan dengan menggunakan bantuan Genetyx-Win (software) dan untuk meyakinkan ketepatan maka dilakukan kembali penelusuran secara manual (Lampiran 2). Penempelan primer reverse AF23 terjadi secara sempurna (100%). Demikian pula terjadi pada kerbau sungai, sapi Bos indicus dan Bos taurus, kambing dan yak.

Polymerase Chain Reaction-Restriction Fragment LengthPolymorphment (PCR-RFLP)

Hasil pemotongan menggunakan empat enzim restriksi, yaitu AluI (AG CT), HaeIII (GG CC), HinfI (G AnTC), dan MspI (C CGG) terhadap DNA hasil

amplifikasi disajikan dalam Tabel 1. Posisi situs potong masing-masing enzim restriksi ditunjukkan pada Gambar 4, sedangkan peta situs restriksi dua haplotipe mtDNA Bubalus bubalis yang dianalisis ditunjukkan pada Gambar 5.

Tabel 1. Pola Pemotongan Enzim Restriksi Enzim Pemotong

Haplotipe Jumlah Alu1 HaeIII Hinf1 Msp1

A A A A AAAA 43

A A B A AABA 1

Keterangan : AluI Tipe A= 423, 356, 182, 84, 57, 43 pb; HaeIII Tipe A= 609, 151, 145, 126, 63, 41, 10 pb; Hinf1 Tipe A= 700, 382, 63 pb dan Tipe B= 700, 233,149, 63 pb; dan MspI Tipe A= 499, 260, 230, 123, 33 pb.

1 gcatacgcaa tcttacgatc aattcctaac aaactaggag gggttctagc cctagttctc 61 tctatcctaa tcctcattct catgcccctg ctacatacat ccaaacaacg aagtatgatg 121 ttCCGGCCat tcagccaatg cctattctGA ATTCtagtag caaacctgct aacactcaca

MspI HaeIII HinfI

181 tggattggag gacagccagt cgaacaccca tatattatca ttggacaact agcatctatc 241 acatacttcc tcctcatcct agtgctaata ccaacGGCCa gcataatcga aaataatctc

HaeIII

301 ttaaaatgaa gacaagtctt tgtagtatac taaatacact ggtcttgtaa accagaaaag 361 gagaacaacc aacctcccca aGACTCaggg aagaggctat agccccacta ccaacaccca

HinfI

421 aAGCTgaagt tctatttaaa ctactccctg aatactatta atatAGCTcc acaaatgcaa

AluI AluI

481 agagccttct cagtatcaaa ttcactaaaa cttgcaacaa cttaacactg actttacact 541 ctagcctaac attagaaata actacaacca tcaacacacc tgacctcata tgtacaacac 601 acaacatatg accctactac tCCGGatggg gggggggata taacattaat gtaataagga

MspI

661 cataatatgt atatagtaca ttatattata tgccccatgc atataagcgg gtacacaaac 721 atgcatgata gtacatagta cattcaatta ttgatcgcat atagtccatt caagtcaaat 781 ccgtcctcgc caacatgcat atcccctcca ctagatcacg AGCTtggtca ccatgccgcg

AluI

841 tgaaaccagc aacccttcag acagggatcc ctcttctcgc tCCGGGCCca tgtcttgtgg

MspI HaeIII

901 gggtAGCTat tcaatgaact ttaacaggca tctggttctt tcttcagGGC Catctcacct

AluI HaeIII

961 aaaatcgccc actctttccc cttaaataag acatctcgat ggactaatgt ctaatcagcc 1021 catgctcaca cataactgtg ctgtcataca tttggtattt ttttattttg ggggatgctt 1081 gGACTCAGCT atGGCCGTca aaGGCCCcga cCCGGagcat gaattgtagc tggacttaac

HinfI AluI HaeIII HaeIII MspI 1141 tgcat

Gambar 4. Posisi Situs Potong Enzim Restriksi Alu1(AG CT), HaeIII (GG CC), Hinf1 (G AnTC) dan Msp1 (C CGG). Mutasi (Delesi) Terjadi pada Pirimidin T (Cetak Merah) dan (Transvesi) Perubahan dari Basa Purin A Menjadi G (Cetak Biru).

Prinsip kerja dari metode PCR-RFLP adalah pemotongan suatu ruas DNA dengan beberapa enzim restriksi. Enzim restriksi ini dapat memotong DNA pada sekuen spesifik yang disebut situs pemotongan. Penjumlahan panjang potongan setiap ruas (pita DNA di atas gel poliakrilamid) akan berjumlah sama dengan panjang ruas DNA sebelum dipotong. Banyaknya potongan ini menggambarkan adanya situs pemotongan. Jika dalam suatu populasi ditemukan adanya panjang pemotongan yang berbeda, hal itu menggambarkan adanya situs pemotongan yang berbeda pula. (Lewin, 1994). Dari empat enzim yang digunakan menghasilkan tipe pemotongan yang monomorfik pada tiga enzim restriksi (AluI, HaeIII dan MspI) dan polimorfik pada Hinf1 .

Posisi situs restriksi (Gambar 4) untuk setiap enzim restriksi bervariasi yang disebabkan adanya perbedaan pola runutan pada DNA. Situs restriksi umumnya terdiri atas 4-6 nukleotida atau lebih yang mempunyai urutan basa yang spesifik (Ausabel, 1995). Setiap pola situs restriksi disebut haplotipe. Ada dua haplotipe kerbau yang ditemukan berdasarkan empat enzim restriksi. Haplotipe pertama mewakili hampir semua wilayah, yaitu 43 sampel dari 44 sampel yang dianalisis, diantaranya 10 sampel dari Jawa Tengah, 12 sampel dari Nusa Tenggara Barat, 9 sampel dari Sumatera Utara dan 10 sampel dari Banten. Haplotipe kedua hanya terdapat pada satu wilayah yaitu Sumatera Utara sebanyak satu sampel. Dengan kata lain, sebagian besar (97,73% dari sampel yang digunakan) ternak kerbau lokal Indonesia bersifat monomorfik berdasarkan situs-situs pemotongan yang digunakan dalam penelitian ini.

Perbedaan hasil pendeteksian keragaman dengan metode PCR-RFLP sangat bergantung kepada perubahan bentuk dari ikatan utas tunggal DNA. Bentuk dari utas tunggal DNA dalam gel dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah panjang fragmen, pemilihan matriks gel, suhu, konsentrasi ion dan konsentrasi larutan dalam gel (konsentrasi akrilamida, perbadingan akrilamida dan bis-akrilamida, penggunaan gliserol, suhu elektroforesis, dan kondisi buffer). Kondisi elektroforesis dan kandungan G+C fragmen DNA juga akan berpengaruh terhadap penentuan keragaman (Nataraj etal., 1999).

100 pb 500 pb 400 pb 200 pb 300 pb 423 pb 356 pb 400 pb 300 pb 200 pb 600 pb 700 pb 500 pb M M Alel A

Gambar 6. Pola Migrasi PCR-RFLP Menggunakan Enzim AluI. A= 423, 356, 182, 84, 57 dan 43 pb.

Enzim AluI menghasilkan pola pemotongan yang seragam. Gambar 6 menunjukkan pola pemotongan mtDNA menggunakan enzim AluI. Pemotongan ini menghasilkan fragmen (potongan) berukuran 423, 356, 182, 84, 57 dan 43 pb.

M M Alel A

Gambar 7. Pola Migrasi PCR-RFLP Menggunakan Enzim HaeIII. A= 609, 151, 145, 126, 63, 41 dan 10 pb. 100 pb 500 pb 400 pb 200 pb 300 pb 57 pb 423 pb 356 pb 84 pb 182 pb 609 pb 151 bp 145 pb 126 pb 63 pb 41 pb 10 pb 100 pb 200 pb 300 pb 400 pb 182 pb 84 pb 57 pb 43 pb 100 pb 609 pb 151 pb 145 pb 126 pb 63 pb

Enzim HaeIII menghasilkan pola pemotongan yang seragam. Pola pemotongan mtDNA menggunakan enzim HaeIII ditunjukkan oleh Gambar 7. Enzim ini menghasilkan fragmen berukuran 609, 151, 145, 126, 63, 41 dan 10 pb.

M M Alel A Alel B

Gambar 8. Pola Migrasi PCR-RFLP Menggunakan Enzim Hinf1. A= 700, 382 dan 63 pb, B= 700, 233,149 dan 63 pb.

Enzim Hinf1 menghasilkan dua pola fragmen, fragmen pertama berukuran 700, 382 dan 63 pb. Sedangkan fragmen kedua berukuran 700, 233, 149 dan 63 bp (Gambar 8). Telah terjadi mutasi (delesi) pada fragmen kedua (Alel B) yaitu kehilangan basa pirimidin (T) pada posisi basa ke 152 (Gambar 4).

M M Alel A

Gambar 9. Pola Migrasi PCR-RFLP Menggunakan Enzim MspI. A= 499, 260, 230, 123 dan 33 pb. 100 pb 500 pb 400 pb 200 pb 300 pb 700 pb 382 pb 149 pb 233 pb 100 pb 500 pb 400 pb 200 pb 300 pb 100 pb 200 pb 300 pb 400 pb 500 pb 700 pb 382 pb 700 pb 233 pb 149 pb 100 pb 200 pb 300 pb 400 pb 500 pb 600 pb 499 pb 260 pb 230 pb 123 pb 63 pb 63 pb 33 pb 499 pb 260 pb 230 pb 123 pb

Enzim MspI menghasilkan fragmen berukuran 490, 260, 230 dan 33 pb (Gambar 9). Mutasi (transversi) terjadi pada basa ke 625 dari daerah control region (CR), yaitu perubahan basa purin dari A menjadi G (Gambar 4).

Keragaman Haplotipe (h) dan Nukleotida ( )

Tinggi rendahnya keragaman genetik, dapat diindikasikan dari jumlah maupun keragaman haplotipe (h) dan nukleotida ( ). Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini teridentifikasi dua tipe komposit haplotipe (Tabel 1). Jumlah haplotipe mtDNA dan keragamannya pada masing-masing populasi disajikan pada Tabel 2 dan Tabel 3.

Tabel 2. Haplotipe mtDNA Masing-masing Populasi

Populasi Haplotipe AAAA AABA Jateng 10 0 NTB 12 0 Sumut 9 1 Banten 12 0

Keterangan : Haplotipe AAAA untuk enzim restriksi AluI, HaeIII, HinfI dan MspI adalah Tipe A. Haplotipe AABA untuk enzim restriksi AluI, HaeIII dan MspI adalah Tipe A, sedangkan HinfI adalah Tipe B.

Tabel 3. Keragaman Haplotipe mtDNA Bubalus bubalis di Wilayah Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat, Sumatera Utara dan Banten.

Asal Sampel Nilai h Sampel Haplotipe

Jawa Tengah 0,0 10 1

Nusa Tenggara Barat 0,0 12 1

Sumatera Utara 0,2 10 2

Banten 0,0 12 1

Jumlah komposit haplotipe ternak kerbau yang dimiliki oleh masing-masing populasi hanya satu kecuali pada daerah Sumatera Utara memiliki dua komposit haplotipe. Distribusi komposit haplotipe menunjukkan ciri khas pada masing-masing populasi. Secara keseluruhan, keragaman haplotipe (h) wilayah Jawa Tengah, Nusa

Tenggara Barat dan Banten adalah 0,0 (seragam), sedangkan untuk wilayah Sumatera Utara memiliki nilai keragaman haplotipe (h) 0,2. Nilai keragaman haplotipe yang terdapat pada sampel kerbau dari Sumatera Utara tergolong rendah, sehingga dapat pula dikatakan keragaman genetik berdasarkan keragaman haplotipe sampel kerbau lokal (Bubalus bubalis) relatif rendah. Ditinjau dari komposisi haplotipenya, terdapat kesamaan haplotipe antar populasi. Hal ini diduga karena adanya proses migrasi ternak kerbau terkait lokasi yang berdekatan. Nilai keragaman genetik yang rendah berdasarkan keragaman haplotipe pada penelitian ini diduga karena sampel kerbau yang dijadikan objek penelitian dari keempat populasi memiliki jenis yang sama yaitu kerbau rawa (lumpur).

Berdasarkan ada tidaknya situs restriksi dari dua haplotipe, diperoleh nilai keragaman nukleotida ( ) untuk populasi adalah 0,17%. Nilai ini relatif rendah jika dibandingkan dengan hasil penelitian yang dilaporkan Tanaka et al. (1995) yang melakukan studi pola pemotongan DNA mitokondria pada kerbau lumpur dan kerbau sungai menggunakan 15 enzim restriksi endonuklease. Lima tipe DNA mitokondria teridentifikasi yaitu tiga tipe pada kerbau lumpur dan dua tipe pada kerbau sungai. Keragaman nukleotida bervariasi dari 0,2-0,6% di dalam kelompok kerbau lumpur dan kerbau sungai dan bervariasi antara 1,9-2,4% antara kerbau lumpur dan kerbau sungai.

Jarak Genetik

Keragaman genetik antar populasi dapat dicirikan dari jarak genetik. Jarak populasi dalam klasifikasi atau pengelompokan ternak menggambarkan perbedaan nilai suatu ciri antara kelompok ternak yang dibandingkan. Semakin kecil nilai jarak genetik, semakin kecil pula keragaman antar populasi tersebut, demikian pula sebaliknya. Nilai jarak genetik disajikan dalam bentuk matriks seperti tertera pada Tabel 4, sedangkan ilustrasi dendrogram ditampilkan pada Gambar 10.

Tabel 4. Jarak Genetik Berdasarkan Haplotipe

Jateng NTB Sumut Banten

Jateng **** 0,0000 0,0061 0,0000

NTB **** 0,0061 0,0000

Sumut **** 0,0061

0,0000 0,0061

Gambar 10. Dendogram Populasi Bubalus bubalis Wilayah Jawa Tengah (1), Nusa Tenggara Barat (2), Sumatera Utara (3) dan Banten (4). Hasil analisis memperlihatkan adanya penstrukturan genetik sebagai gambaran pemisahan populasi menjadi dua unit populasi, yaitu unit populasi Jawa Tengah-Nusa Tenggara Barat-Banten, dan unit populasi Sumatera Utara (Gambar 10). Secara berturut-turut nilai jarak genetik kedua unit populasi tersebut adalah 0,0000 dan 0,0061 (Tabel 4). Berdasarkan hasil yang diperoleh dari penelitian ini ternyata sampel kerbau dari Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat dan Banten diduga memiliki genetik yang sama.

Ilustrasi dendogram memberikan informasi kekerabatan keempat populasi daerah pengambilan sampel. Pola kekerabatan suatu ternak diduga terjadi karena adanya penyebaran dan proses migrasi (gene flow). Hasil yang diperoleh berdasarkan penelitian mengenai karakteristik fenotipik kerbau Banten dan Sumatera Utara yang telah dilakukan oleh Hidayat (2007) menunjukkan bahwa jarak genetik dan pohon fenogram antara populasi kerbau Banten dan Sumatera Utara adalah terpisah, dengan jarak genetik dekat yaitu 0,172743. Begitu pula dengan populasi kerbau Jateng, secara genetik hubungan populasi Jateng dengan populasi Banten dan Sumater Utara adalah dekat. Hal yang sama dinyatakan oleh Mukherjee et al. (1991) bahwa ternak kerbau di Asia Tenggara mempunyai fenotipe luar yang serupa dan hubungan jarak genetik kerbau lumpur di Asia Tenggara tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Begitu pula Amano et al. (1981) mengemukakan bahwa kerbau lumpur di Jawa Barat, Sumatera Barat, Toraja dan Ujung Pandang mempunyai jarak genetik yang dekat, sementara itu kerbau lumpur dan kerbau murrah mempunyai jarak genetik yang jauh. Dari analisis jarak genetik diperoleh hasil bahwa populasi kerbau lumpur

dan kerbau sungai di Indonesia mempunyai jarak genetik yang jauh, sehingga diasumsikan bahwa kerbau lumpur dan kerbau sungai didomestikasi dari nenek moyang yang berbeda. Begitu pula dengan penelitian yang dilakukan oleh Tanaka et al. (1995) , berdasarkan pola pemotongan DNA mitokondria dengan dendogram, memperlihatkan bahwa kelompok kerbau lumpur merupakan kelompok yang berbeda dengan kerbau sungai.

Proses evolusi suatu organisme berkaitan erat dengan perubahan genetik yang terjadi, dimana perubahan genetik tersebut dapat terjadi karena adanya perubahan pada frekuensi gen. Elseth dan Baumgerner (1984) menyatakan bahwa ada 4 faktor dasar yang menyebabkan terjadinya perubahan pada frekuensi gen, yaitu seleksi alam, mutasi, migrasi dan penyimpangan genetik. Seleksi alam merupakan sebuah proses alamiah dimana beberapa individu memiliki keterkaitan dasar secara genetik (kemampuan) yang dapat memperbaiki ketahanan hidup atau reproduksi untuk beradaptasi dan memiliki keturunan yang dapat bertahan hidup dalam lingkungan. Hal ini dapat dijadikan pendugaan bahwa di wilayah Sumatera Utara masih ada beberapa spesies kerbau yang bertahan hidup sehingga mengakibatkan keragaman genetik pada wilayah tersebut.

Adanya migrasi menyebabkan individu berpindah dari dari satu area ke area lain. Jika individu ini bertahan dan bereproduksi di tempat barunya, maka mereka akan mewarisi gen-gen mereka ke lingkungan barunya. Elseth dan Baumgerner (1984) berasumsi bahwa populasi yang terisolasi tidak mempengaruhi perubahan pada gen dengan kelompok yang bertetangga. Banyak populasi yang tidak terisolasi secara penuh terhadap populasi lain dalam spesies yang sama, mengalami beberapa perubahan pada gen-gen secara normal. Jika populasi-populasi tersebut mengalami perbedaan dalam komposisi genetik, alur gen dari satu popoulsi ke lainnya dengan cara migrasi dapat menjadi kekuatan evolusi dengan merubah frekuensi gen. Diduga hal yang menyebabkan perbedaan garis keturunan (nenek moyang) dari kerbau yang berasal dari Sumatera Utara dikarenakan letak lokasinya yang cukup jauh dibandingkan dengan lokasi tempat pengambilan sampel lainnya (Jawa tengah, Nusa Tenggara Barat dan Banten) sehingga kemungkinan untuk melakukan migrasi adalah kecil. Kerbau merupakan hewan darat bertubuh besar yang tidak mudah untuk melakukan migrasi (berpindah tempat) ke wilayah yang cukup jauh. Lain halnya

dengan hewan air (misal: ikan) memungkinkan untuk melakukan migrasi ke tempat yang lebih jauh dari asalnya melalui aliran atau arus air.

Manajemen Konservasi Genetik

Manajemen konservasi genetik adalah unit dasar yang harus dilakukan dalam kegiatan konservasi sumberdaya hayati. Sumberdaya genetik setidaknya memiliki peran fundamental dalam konteks krisis keragaman hayati. Indikator keberhasilan kegiatan konservasi dapat dilihat dari keanekaragaman genetik yang tinggi, sehingga keberadaan suatu ternak secara alami dapat dipertahankan dalam kurun waktu yang panjang sehingga kepunahannya dapat dihindari. Nilai keragaman genetik yang rendah dalam penelitian ini belum bisa menjadi acuan sebagai sumber genetik bagi perbaikan mutu genetik kerbau di Indonesia. Hasinah dan Handiwirawan (2006) menyatakan bahwa persilangan antar kerbau lumpur di Indonesia dengan mempertimbangkan kondisi lingkungan yang relatif sama diduga tidak akan menghasilkan hasil silangan dengan peningkatan produksi yang signifikan, oleh karena jarak genetik kerbau lumpur antar daerah di Indonesia tidak begitu jauh. Hardjosubroto (2006) menyarankan peningkatan mutu genetik kerbau di Indonesia dilakukan dengan memasukkan materi genetik baru dari luar negeri berupa importasi semen beku.

Dokumen terkait