• Tidak ada hasil yang ditemukan

Berdasarkan klasifikasi taksonomi Bubalus bubalis, termasuk famili Bovidae, dan subfamily Bovinae, genus Bubalus. Dari genus Bubalis ini terdapat 4 species yaitu: Bubalus bubalis (Wild Asian Buffalo), Bubalus mindorensis (Tamaraw), Bubalus depressicornis (Lowland Anoa), dan Bubalus quariesi (Mountain Anoa). Kerbau Asia pada saat ini dalam kondisi endangered dan kemungkinan terancam akan punah dalam waktu dekat, kecuali ada upaya efektif konservasi yang segera dilakukan. (Hasinah dan Handiwirawan, 2006).

Menurut sejarah perkembangan domestikasi, ternak kerbau yang berkembang di seluruh dunia berasal dari daerah sekitar India. Diduga kerbau telah lama dibawa ke Jawa, yaitu pada saat perpindahan nenek moyang kita dari India ke Jawa pada tahun 1.000 SM (Hardjosubroto dan Astuti, 1993). Umumnya semua tipe kerbau domestik (Bubalus bubalis) dibagi menjadi dua kelompok yaitu kerbau sungai (riverine buffalo) dan kerbau rawa atau kerbau lumpur (swamp buffalo). Kromosom kerbau liar Asia maupun kerbau domestik (kerbau rawa) adalah 2n = 48, sedangkan kerbau sungai (riverine buffalo) adalah 2n = 50. Kedua kelompok kerbau ini mempunyai sifat biologis yang berbeda. Kerbau tipe lumpur biasa digunakan sebagai ternak kerja, untuk nantinya dipotong sebagi penghasil daging dan tidak pernah sebagai penghasil susu, sedangkan kerbau sungai merupakan tipe penghasil susu (Hasinah dan Handiwirawan, 2006).

Populasi Kerbau di Indonesia

Populasi ternak kerbau di Indonesia hanya sekitar 2% dari populasi dunia. Data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (2006) menunjukkan bahwa jumlah populasi kerbau di Indonesia terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Populasi ternak kerbau di Indonesia pada tahun 2001, 2005, 2006 dan 2007 berturut–turut adalah sebanyak 2,333 juta ekor, 2,428 juta ekor, 2,201 juta ekor dan dan 2,500 juta ekor yang menyebar hampir di seluruh propinsi tetapi tidak merata jumlahnya. Lima propinsi yang memiliki populasi ternak kerbau terbanyak di Indonesia adalah Nangroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jawa

Barat dan Nusa Tenggara Barat, yang masing-masing berjumlah 340.031, 261.308, 211.008, 156.570 dan 156.568 ekor.

Populasi kerbau di Indonesia sebagian besar merupakan kerbau lumpur dan hanya sedikit kerbau sungai di Sumatera Utara yaitu kerbau Murrah yang dipelihara oleh masyarakat keturunan India dan digunakan sebagai penghasil susu (Hasinah dan Handiwirawan, 2006). Kerbau lumpur yang berkembang dan dibentuk menurut agroekosistem memunculkan berbagai tipe kerbau. Indonesia mempunyai berbagai bangsa kerbau yang karena lama terpisah dari tempat asalnya kemudian beradaptasi dengan lingkungan setempat dan diberi nama sesuai dengan nama tempat. Di Toraja ada kerbau Tedong Bonga, di daerah Alabio ada kerbau Rawa, di Tapanuli Selatan ada kerbau Binanga, di Kalimantan Selatan ada kerbau Kalang dan di Maluku ada kerbau Moa. Disamping itu di daerah Taman Nasional Baluran didapatkan pula kerbau liar. Hanya sedikit sekali kerbau lumpur yang dimanfaatkan air susunya, karena produksi susunya sangat rendah yaitu hanya 1-1,5 l/hari, dibandingkan dengan tipe sungai yang mampu menghasilkan susu sebanyak 6-7 l/hari. Terdapat pula jenis kerbau sungai yang hidup di Sumatera Utara yang dikenal sebagai Murrah yang memiliki kemampuan produksi susu sekitar 8 liter per hari (Subandryo, 2008).

Kerbau yang ada di Indonesia umumnya jenis kerbau lumpur dengan keragaman warna, ukuran dan tingkah laku yang cukup besar. Ciri-ciri fisik kerbau sungai yaitu memiliki tanduk melingkar ke bawah atau lurus memanjang dan memiliki bulu berwarna hitam atau abu-abu agak gelap. Sedangkan kerbau rawa atau kerbau lumpur umumnya memiliki tanduk melengkung ke atas dan memiliki bulu berwarna abu–abu terang. Asoen (2008) melakukan pengamatan terhadap kerbau rawa yang menghasilkan 96,2% dari jumlah kerbau memiliki bentuk tanduk normal yang memanjang ke belakang lalu melengkung ke atas. Kerbau rawa yang diamati memiliki warna abu–abu terang (36,5%), abu–abu gelap (29,5%) coklat dan merah masing–masing 11% dan 19%. Hal tersebut sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Erdiansyah (2008) di Kabupaten Dompu Nusa Tenggara Barat menunjukkan bahwa kerbau yang terdapat di daerah tersebut merupakan kerbau rawa dengan jenis tanduk melingkar ke atas sebesar 98%. Sifat khas warna kulit berkaitan dengan hasil pengukuran morfometrik tubuh kerbau dimana kerbau yang memiliki warna kulit

merah dan coklat memiliki ukuran relatif lebih kecil dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Asoen (2008).

Garis kalung merupakan ciri spesifik kerbau rawa. Berdasarkan hasil penelitian Sitorus (2008) ditemukan lima variasi garis kalung pada kerbau rawa yaitu tunggal di bagian atas, tunggal di bagian bawah, tunggal di bagian bawah dan bercabang, double yaitu di leher bagian atas dan bawah, serta double dengan bagian bawah yang bercabang. Hasil penelitian Erdiansyah (2008) adalah terdapat 1,5% kerbau lokal di Nusa Tenggara Barat tidak memiliki chevron dan 18,5% yang memiliki chevron tunggal.

Kaki kerbau lokal umumnya berwarna terang. Hasil penelitian yang diperoleh Sitorus (2008) terdapat dua variasi warna kaki kerbau rawa yaitu 94,12% berwarna abu–abu muda dan hanya 5,88% berwarna abu-abu. Warna hitam pada kaki ditemukan hanya 4% dari populasi kerbau lokal yang diamati. Kerbau rawa umumnya memiliki jenis teracak mangkok sehingga banyak digunakan untuk mengolah lahan pertanian karena kemampuannya menekan keras ke bawah (Erdiansyah, 2008).

Penelitian yang dilakukan Hidayat (2007) menunjukkan bahwa antara kerbau Banten dan Sumatera Utara mempunyai ukuran tubuh yang berbeda, kerbau Sumatera Utara mempunyai tinggi pundak dan lingkar dada yang lebih besar dibandingkan kerbau Banten. Rataan tinggi pundak kerbau Banten adalah 120 cm dan Sumaera Utara 126 cm. Rataan lingkar dada kerbau Banten adalah 170 cm dan Sumatra Utara 182 cm. Rataan panjang badan kerbau Banten 121 cm dan kerbau Sumatera Utara yaitu 118 cm.

Potensi Ternak Kerbau

Kerbau lokal mempunyai potensi yang besar untuk dapat dikembangkan sebagai ternak penghasil daging karena menghasilkan bobot karkas yang relatif lebih tinggi dibandingkan sapi lokal serta telah biasa dipelihara di perdesaan (Hasinah dan Handiwirawan, 2006). Kerbau dapat berkembang dalam rentang kondisi agroekosistem yang sangat luas, dari daerah dengan kondisi yang basah sampai dengan kondisi yang kering. Melihat kemampuan adaptasi kerbau tersebut, pengembangan dan penyebaran kerbau dapat dilakukan di banyak daerah di

Indonesia dengan memperhatikan jenis kerbau dan daya adaptasinya (Diwyanto dan Handiwirawan, 2006).

Daging kerbau lebih merah dibanding daging sapi karena mempunyai pigmentasi yang lebih banyak dan kurang lemak intramuskuler. Kondisi ini menyebabkan daging kerbau relatif lebih keras dibanding sapi, tetapi justru disukai sebagian konsumen yang memiliki resep masakan tradisional yang unik. Secara umum harga daging dan kerbau hidup lebih rendah dibandingkan sapi, kecuali di beberapa daerah yang memang menyukai daging kerbau. Dengan harga yang lebih rendah maka pasar bagi daging kerbau menjadi lebih luas, banyak konsumen yang mampu untuk membelinya sehingga peluang pengembangannya menjadi lebih terbuka (Diwyanto dan Handiwirawan, 2006).

Keragaman Genetika Ternak

Keragaman genetik adalah hirarki yang paling rendah dalam tingkatan keragaman hayati. Hal ini mencakup area yang meliputi keragaman habitat, komunitas, populasi sampai dengan spesies. Keragaman genetik merupakan cerminan keragaman di dalam spesies yang secara umum disebut subspesies. Terminologi sumberdaya genetik diartikan untuk merefleksikan adanya keragaman genetik di dalam satu spesies sampai pada tingkat DNA. Semakin beragam sumberdaya genetik, akan semakin tahan populasi tersebut untuk hidup dalam jangka yang lama serta semakin tinggi daya adaptasi populasi terhadap perubahan lingkungan (Frankham et al., 2002).

Keragaman genetika dihasilkan oleh mutasi, sedangkan perubahan frekuensi alel disebabkan oleh migrasi, seleksi dan penghanyutan gen (genetic drift). Berkurangnya keragaman genetika atau terlalu banyaknya kondisi homozigot dapat membahayakan daya tahan dan fitness suatu spesies atau populasi. Hal ini dikarenakan setiap kombinasi gen memiliki respon berbeda-beda terhadap kondisi lingkungan. Adanya berbagai macam gen dari individu-individu di dalam populasi, berbagai perubahan lingkungan dapat direspon lebih baik (Frankham et al., 2002).

Kehilangan keragaman genetika dapat muncul oleh mekanisme: (1) punahnya spesies dan populasi; (2) fiksasi (penetapan/pemilihan) alel-alel yang menguntungkan oleh seleksi; (3) penghapusan secara selektif alel-alel yang merugikan; (4) hilangnya alel-alel secara acak oleh sampling dalam populasi kecil;

dan (5) silang dalam (inbreeding) di dalam populasi yang dapat mengurangi heterozigositas. Pemeliharaan keragaman genetika merupakan fokus utama dalam konservasi biologi. Hal ini dikarenakan: (1) perubahan lingkungan merupakan proses yang berkelanjutan sehingga keragaman genetika diperlukan populasi untuk berkembang dan beradaptasi terhadap perubahan; dan (2) kehilangan keragaman genetika berhubungan dengan silang dalam (inbreeding) dan pengurangan dalam fitness reproduksi. Aktivitas yang berlangsung dalam konservasi biologi (genetika) ini meliputi: (1) manajemen genetika populasi kecil untuk memaksimalkan daya tahan keragaman genetika dan meminimalkan silang dalam (inbreeding); (2) memecahkan kembali permasalahan taksonomi dan juga mengggambarkan unit manajemennya; dan (3) penggunaan analisa genetika molekular dalam forensik dan untuk memahami biologi suatu spesies (Frankham et al., 2002).

Pelestarian Sumber Daya Genetik Ternak

Semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi pemuliaan ternak, bioteknologi, permintaan pasar, mekanisme pertanian dan produksi ternak, akan mendorong eksploitasi ternak melalui persilangan, penggantian breed baru, maupun pengurasan stock secara berlebihan, dan pada gilirannya akan mengancaam keragaman genetik ternak. Di lain pihak pelestarian keragaman genetik ternak akan selalu diperlukan dalam pemuliaan di masa mendatang, karena tanpa adanya keragaman genetik, pemuliaan ternak tidak mungkin dilaksanakan untuk mengantisipasi keperluan di masa mendatang (Subandriyo dan Setiadi, 2003).

Pelestarian terhadap sumber daya genetik ternak lokal sebagai bagian dari komponen keanekaragaman hayati adalah penting untuk memenuhi kebutuhan pangan, pertanian dan pengembangan sosial masyarakat di masa yang akan datang. Studi mengenai struktur dan fungsi gen-gen pada tingkat molekuler suatu populasi ternak dapat membantu menentukan kesamaan material genetik yang dibawa oleh dua atau lebih populasi dan keragaman genetik dalam populasi ternak yang diamati. Identifikasi gen-gen dari individu ternak akan membantu program pemuliaan (genetika) ternak, yang membedakan dari penampilan (fenotipe) yang tampak, yang dapat menentukan proses pemilihan tetua unutk generasi yang akan datang (seleksi buatan) (Subandriyo dan Setiadi, 2003).

Karakteristik DNA Mitokondria

Sumber DNA dapat diperoleh dari organel-organel sitoplasmik antara lain DNA mitokondria. Genom mitokondria memiliki karakteristik, dan memiliki molekul DNA yang diturunkan secara utuh tanpa adanya rekombinasi, ukuran molekulnya kecil/pendek yang susunannya berbeda dengan DNA inti, dan memiliki variasi basa nukleotida yang lebih tinggi dibandingkan DNA inti. Tingginya variasi nulkeotida disebabkan DNA mitokondria memiliki laju perubahan 5-10 kali lebih tinggi dibandingkan dengan DNA inti (Muladno, 2006). Ilustrasi peta genetik mtDNA mamalia dapat dijelaskan pada Gambar 1.

Gambar 1. Genom Mitokondria Mamalia (http://commons.wikimedia.org/wiki/ Image: Mitochondrial_DNA_it.png)

Genom mitokondria merupakan organel sel yang terbesar pada sel hewan setelah nukleus, memiliki utas ganda yang berbentuk sirkuler pasang basa, organel intrasel pada organisme eukaryot yang berperan dalam suplai energi yang diperlukan oleh sel. Energi dalam bentuk Adenosin Triphosphat (ATP) diproduksi di mitokondria melalui proses fosforilasi oksidatif (OXPHOS). Mitokondria memiliki molekul DNA tersendiri dengan ukuran kecil yang susunannya berbeda dengan

DNA inti. Ukuran genom mitokondria relatif sangat kecil bila dibandingkan dengan ukuran genom intinya (Solihin, 1994).

Karakteristik mtDNA berbeda dari DNA inti antara lain hampir pada semua aspek. Ditinjau dari aspek pewarisan, DNA inti diwariskan dari kedua orang tua dan gen-gennya ditata ulang dalam proses rekombinasi, sementara mtDNA hanya diwarisi dari ibu (matrilineal) dan biasanya tidak ada perubahan dari orang tua ke keturunannya. Walaupun mtDNA juga mengalami rekombinasi, hal ini dilakukan dengan mengkopi dirinya sendiri di dalam mitokondrion yang sama. Karena itu, ditambah dengan laju mutasi mtDNA yang lebih tinggi daripada DNA inti, mtDNA merupakan alat yang ampuh untuk mencari jejak nenek moyang melalui garis keturunan perempuan (matrilineage) dan telah digunakan untuk melacak nenek moyang spesies makhluk hidup serta dapat digunakan untuk mengidentifikasi suatu individu (Solihin, 1994).

Oleh karena mtDNA berevolusi sangat cepat, maka dapat digunakan untuk melacak kejadian yang relatif baru seperti pada studi alami antara dua subspesies. Adanya sifat yang menurun dari induk betina tanpa rekombinasi, mendukung penggunaan mtDNA dalam mempelajari asal muasal dan biologi populasi suatu hibrid. Studi keragaman genetik interspesifik berdasarkan perbedaan dan persamaan mtDNA dapat menghasilkan konstruksi filogenik dari beberapa spesies yang saling berdekatan. Berdasarkan penanda mtDNA, dapat diketahui proses terjadinya pemecahan dari spesies yang satu terhadap yang lain. Dengan demikian, genom mitokondria memiliki banyak sifat khusus dan positif yang dapat dijadikan sebagai penanda genetik sehingga besar sekali manfaatnya untuk studi keragaman genetik dan biologi populasi. Oleh karena mtDNA hewan relatif kecil dan terdapat dalam jumlah banyak maka eksplorasi dan penelaahannya lebih mudah (Solihin, 1994).

Metode PCR-RFLP(Polymerase Chain Reaction-Restriction Fragment Lenght Polymorpmism)

Metode Polymerase Chain Reaction (PCR) merupakan suatu metode yang dapat digunakan untuk memperbanyak segmen DNA secara in vitro (Ausabel, 1995). Segmen DNA tersebut kemudian dapat diketahui runutan nukleotidanya, salah satunya yaitu dengan menggunakan enzim restriksi. Enzim restriksi dapat memotong DNA secara spesifik dan terbatas pada situs yang dikenalinya (Lewin, 1994). Proses

PCR untuk memperbanyak DNA melibatkan serangkaian siklus temperatur yang berulang dan masing-masing siklus terdiri atas tiga tahapan. Tahapan yang pertama adalah denaturasi cetakan DNA (DNA template) pada temperatur 94-96°C, yaitu pemisahan utas ganda DNA menjadi dua utas tunggal. Sesudah itu, dilakukan penurunan temperatur pada tahap kedua sampai 45-60°C yang memungkinkan terjadinya penempelan (annealing) atau hibridisasi antara oligonukleotida primer dengan utas tunggal cetakan DNA. Primer merupakan oligonukelotida utas tunggal yang sekuens-nya dirancang komplementer dengan ujung fragmen DNA yang ingin disalin, primer menentukan awal dan akhir daerah yang hendak disalin. Tahap yang terakhir adalah tahap ekstensi atau elongasi (elongation), yaitu pemanjangan primer menjadi suatu utas DNA baru oleh enzim DNA polimerase. Temperatur pada tahap ini bergantung pada jenis DNA polimerase yang digunakan. Pada akhirnya, satu siklus PCR akan menggandakan jumlah molekul cetakan DNA atau DNA target, sebab setiap utas baru yang disintesis akan berperan sebagai cetakan pada siklus selanjutnya (Ausubel, 1995).

Perbedaan pola pemotongan DNA dari jenis gen yang sama antar beberapa ternak disebut Restriction Fragment Lenght Polymorphism (RFLP). Pada prinsipnya, RFLP merupakan semua mutasi yang menghilangkan atau menciptakan sekuen rekognisi subtitusi nukleotida yang terjadi pada daerah rekognisi suatu enzim restriksi menyebabkan tidak lagi dikenalinya situs pemotongan enzim restriksi dan terjadinyan perbedaan pola pemotongan DNA (Lewin, 1994). Metode RFLP telah diterapkan untuk mendeteksi Quantitative Traits Loci (QTL) pada ternak. Pendeteksian RFLP dilakukan pada sekuen DNA yang telah diketahui fungsinya, misalnya gen (penyandi protein), dan juga pada sekuen DNA yang belum jelas fungsinya (Montgomery dan Kinghorn, 1997).

Sekuensing DNA

Satu dari terobosan utama dalam genetika molekuler adalah perkembangan metode mensekuen potongan DNA secara cepat. Terdapat dua metode yang dikembangkan, yaitu metode Maxam-Gilbert dan metode Sanger yang keduanya diperkenalkan pada tahun 1977. Karena lebih mudah, praktis dan efisien, metode Sanger lebih sering digunakan dalam jutaan nukleotida dari berbagai spesies telah berhasil disekuens dengan menggunakan metode ini. Prinsip dari metode Maxam

-Gilbert adalah menggunakan pendekatan degradasi fragmen DNA secara kimiawi, sedangkan metode Sanger menggunakan pendekantan sintesis molekul DNA baru dan pemberhentian sintesis tersebut pada basa tertentu (Muladno, 2002).

Ada banyak aktivitas yang memerlukan informasi sekuens, misalnya untuk mengetahui struktural gen. Penggunaan penting lainnya dari data sekuens adalah dalam membandingkan sekuens dari gen yang sama pada spesies yang berbeda, yang memungkinkan dibuatnya diagram filogenetik (Muladno, 2002).

METODE

Dokumen terkait