dihitung dengan rumus:
Keterangan V = Volume dalam liter [laju alir x t (menit)] = µg sampel yang didapat dari kurva kalibrasi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Bioremediasi dengan Teknik BioslurryAplikasi biodegradasi limbah minyak berat menggunakan metode bioslurry dilakukan selama 1 (satu) bulan. Selama dalam jangka waktu 1 bulan setiap 3 hari sekali dilakukan penyamplingan dan diamati : pH, pertumbuhan bakteri, dan TPH (baik padat maupun cair). Penambahan LMB 5 % (b/v) pada K5 dan D5 didasarkan pada penelitian yang dilakukan Wulandari (2010). Penggunaan Konsorsium mikroba kotoran sapi dan kuda pada penambahan LMB 5 % (b/v) lebih baik dibandingkan dengan dengan 10%. Persen degradasi TPH pada penambahan LMB 5% lebih tinggi dibandingkan dengan LMB 10%. Hal ini karena toksisitas yang rendah pada LMB 5 %.Eris (2006) juga menyatakan bahwa penambahan limbah minyak diesel yang optimum pada teknik bioslurry didapat pada kandungan 9.09%, karena limbah minyak diesel mengandung minyak bumi fraksi ringan.
Bioremediasi dengan teknik bioslurry dilakukan dengan mencampurkan limbah minyak berat dan air dengan perbandingan 4 : 25. Banerji (1997) menyatakan bahwa fase slurry dapat diperoleh dari limbah padat/tanah yang dicampurkan air sehingga slurry memiliki tingkat kepadatan 10-40%. Degradasi hidrokarbon pada persen padatan kurang dari 10% dan lebih dari 40% mengalami penurunan, hal ini disebabkan karena pada persen padatan kurang dari 10% tidak
dapat dikatakan sebagai fase slurry namun berupa fase cair sedangkan persen padatan lebih dari 40% sifatnya cenderung kental sehingga sulit untuk dilakukan agitasi menggunakan shaker akibatnya kandungan oksigen pada keadaan ini sangat rendah. Berikut ini merupakan aplikasi bioslurry setelah pencampuran limbah minyak berat dengan air.
Gambar 3.2 Proses bioremediasi dengan teknik bioslurry dari limbah minyak berat pada hari ke-3
Bioslurry yang telah ditambahkan konsorsium menampakkan butiran-butiran minyak pada permukaan slurry sedangkan pada kontrol tidak terlihat sama sekali minyak yang keluar dari limbah minyak berat (Gambar 3.2). Keluarnya minyak dari limbah minyak berat merupakan kontribusi dari bakteri yang telah dicampurkan sebelumnya. Bakteri menghasilkan biosurfaktan yang dapat membuat minyak bumi fraksi berat yang terdapat dalam limbah terdispersi ke dalam air, hal ini akan mempermudah kerja bakteri untuk mendegradasi senyawa hidrokarbon yang terdapat dalam minyak bumi fraksi berat tersebut. Penambahan surfaktan mempercepat limbah minyak berat untuk terdispersi ke dalam air. Rosenberg dan Ron (1996) mengemukakan bahwa biodegradasi hidrokarbon minyak bumi terjadi bila mikroba menempel di permukaan butiran-butiran minyak karena enzim oksigenase dibutuhkan untuk memecah rantai karbon sifatnya terikat pada membran sel.
Keterangan : K5 = Bioslurry tanpa penambahan konsorsium bakteri (kontrol) D5 = Bioslurry dengan penambahan konsorsium bakteri
K5
minyak
Pertumbuhan Bakteri
Bakteri merupakan faktor penting dalam proses biodegradasi, baik itu bakteri indigen maupun bakteri yang telah dikembangkan sendiri. Konsorsium bakteri yang berasal dari starter (bakteri yang dikembangkan sendiri) dan bakteri indigen yang terdapat dalam limbah minyak berat sangat berperan dalam proses biodegradasi. Pertumbuhan konsorsium bakteri lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol sebagaimana yang terlihat pada Gambar 3.3.
Gambar 3.3 Pertumbuhan populasi bakteri selama proses bioremediasi dengan teknik bioslurry.
Pada Gambar 3.3 populasi bakteri per ml menunjukkan peningkatan pertumbuhan bakteri. Peningkatan jumlah sel ini merupakan indikasi bahwa bakteri tumbuh dengan mengkonsumsi sumber karbon dari hidrokarbon. Sedangkan adanya peningkatan jumlah sel bakteri pada kontrol dikarenakan adanya bakteri yang dapat hidup namun tidak secara efektif menggunakan hidrokarbon sebagai sumber makanannya.
Pengontrolan pH
Selama proses aplikasi bioslurry berlangsung, dilakukan pengontrolan pH untuk mempertahankan kondisi optimum bakteri dalam mendegradasi hidrokarbon. Bakteri dapat optimum mendegradasi senyawa hidrokarbon pada pH 6-8. Jika pH pada bioslurry bernilai di bawah 6 maka ditambahkan NaOH sehingga pH naik menjadi 7 atau 8. Pada bioslurry dengan menggunakan
0 2 4 6 8 10 12 0 3 6 9 12 15 18 21 24 27 30 P op u lai B ak te r i (log C F U /m L ) Waktu (hari) K5 D5
konsorsium bakteri, pH menunjukkan nilai yang relatif stabil yaitu sekitar 8. Dari Gambar 3.4 yang disajikan terlihat bahwa bakteri pendegradasi hidrokarbon pada aplikasi biodegradasi senyawa hidrokarbon dengan penambahan konsorsium bakteri (D5) bekerja pada kondisi basa yaitu pada pH sekitar 7.5 sampai 8.5.
Gambar 3.4 Perubahan pH selama proses bioremediasi dengan teknik bioslurry
Penurunan TPH
Jumlah hidrokarbon yang ada pada cairan dan padatan dari slurry tersebut dapat dilihat dari nilai TPH yang diukur pada jangka waktu tertentu dari aplikasi bioslurry. Nilai TPH pada padatan dapat menunjukkan kecepatan degradasi hidrokarbon pada limbah minyak berat. Pada Gambar 3.6, terlihat bahwa sampel D5 mengalami penurunan sebanyak 99.46 % selama 1 bulan yaitu dari TPH sebesar 207139.87 ppm atau 20.71% menjadi 1108.55 ppm atau 0.11% dan kontrol (K5) sendiri mempunyai nilai TPH yang relatif stabil sampai hari ke 21. Dengan waktu inkubasi yang semakin meningkat, nilai TPH pada kontrol menunjukkan penurunan sampai pada nilai 60792.23 ppm atau 6.08%.
Nilai TPH pada hari ke 28 pada D5 yang disajikan mempunyai nilai 1108.55 ppm atau 0.11 % yang berarti jauh dibawah ambang batas yang ditetapkan pada Keputusan MenLH no. 128 Tahun 2003 yaitu sebesar 10000 ppm
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 0 3 6 9 12 15 18 21 24 27 30 pH Waktu (hari) K5 D5
atau 1 %. Untuk TPH pada fasa cair berada pada kisaran nilai yang kecil (kurang dari 2100 ppm), hal ini diduga senyawa hidrokarbon yang berasal dari limbah minyak berat tersebut langsung terdegradasi ketika senyawa hidrokarbon tersebut lepas dari limbah minyak berat ke fasa cair.
Hasil penelitian Eris (2006) pada skala laboratorium dengan menggunakan slurry bioreaktor 500 ml menunjukkan bahwa hidrokarbon pada limbah minyak diesel dapat terdegradasi secara optimal hingga sebesar 85.29% pada kombinasi perlakuan 9.09% tingkat cemaran dalam tanah dan 32.62% padatan. Perlakuan optimal dari hasil penelitian skala laboratorium yang dikembangkan pada skala 16 liter diperoleh hasil bahwa dengan penambahan konsorsium bakteri Pseudomodas pseudomallei dan Enterobacter agglomerans serta kotoran hewan, hidrokarbon dalam limbah minyak diesel mampu terdegradasi hingga 91.6% (dari 13964 ppm menjadi 1167 ppm) selama 20 hari.
Gambar 3.5 Perubahan nilai TPH fasa cair selama proses bioremediasi dengan teknik bioslurry
0 300 600 900 1200 1500 1800 2100 2400 0 3 6 9 12 15 18 21 24 27 30 T P H F asa C ai r (p p m ) Waktu (hari) K5 D5
.
Gambar 3.6 Penurunan TPH fasa padat selama proses bioremediasi dengan teknik bioslurry
Bioremediasi dengan Teknik Landfarming Perubahan pH
Nilai pH mempengaruhi kemampuan bakteri dalam menjaga kelangsungan aktivitas-aktivitas seluler, transpor membran sel, dan kesetimbangan reaksi yang dikatalis enzim-enzimnya. Berdasarkan pengukuran pH yang dilakukan setiap minggu, pH yang terukur berkisar antara 4 sampai 7 (Gambar 3.7).
Gambar 3.7 Perubahan pH selama proses bioremediasi dengan teknik
landfarming pada perlakuan LMB (
o
), LMB + Kompos (■
), LMB + Tanah liat (▲), LMB + Kompos + Tanah liat (●
), dan Kontrol (♦
)0 5 10 15 20 25 0 3 6 9 12 15 18 21 24 27 30 T P H F asa P ad at ( % ) Waktu (hari) K5 D5 0 1 2 3 4 5 6 7 8 0 2 4 6 8 10 12 14 16 pH Waktu (minggu)
Menurut Cookson (1995) pH yang optimum bagi pertumbuhan bakteri adalah 7 dan memiliki rentang pH antara 4 sampai 10 sedangkan untuk oksidasi nitrogen berkisar antara 6 sampai 8. Degradasi hidrokarbon lebih cepat bila dilakukan pada kondisi pH di atas 7 dibandingkan dengan pH di bawah 5. Dengan demikian, apabila dalam larutan media terkandung bahan organik dengan konsentrasi tinggi sehingga menurunkan alkalinitas larutan, maka ke dalam larutan tersebut perlu ditambahkan CaCO3
Kecenderungan penurunan pH teramati pada setiap sampel dengan nilai penurunan yang hampir sama. Penurunan tersebut menunjukkan bahwa akumulasi asam-asam organik sebagai hasil akhir metabolisme meningkat seiring dengan bertambahnya waktu inkubasi. Nilai pH yang tinggi kemungkinan disebabkan oleh pelepasan amonia dari substrat atau efek kation yang tersisa setelah metabolisme asam-asam organik.
atau basa lainnya sampai pH larutan kembali normal.
Perubahan Kadar Air
Kelembaban sangat penting untuk hidup, tumbuh dan aktivitas metabolik mikroba. Berdasarkan pengukuran yang dilakukan setiap minggu, kadar air yang terukur berkisar antara 10.10–32.67% seperti yang tertera pada Gambar 3.8 dan Lampiran 3.2.
Gambar 3.8 Perubahan kadar air selama proses bioremediasi teknik landfarming pada perlakuan LMB (
o
), LMB + Kompos (■
), LMB + Tanah liat (▲), LMB + Kompos + Tanah liat (●
), dan Kontrol (♦
)0 5 10 15 20 25 30 35 40 0 2 4 6 8 10 12 14 16 K ad ar A ir ( % ) Waktu (minggu)
Nilai yang bervariasi ini diakibatkan karena perbedaan perlakuan pada tiap sampel. Setiap minggunya dilakukan penambahan air pada sampel secara teratur. Menurut Fletcher (1992) selama bioremediasi, jika kandungan air terlalu tinggi akan berakibat sulitnya oksigen untuk masuk kedalam tanah sedangkan tanpa air mikroba tidak dapat hidup dalam limbah minyak. Menurut Dibble dan Bartha (1979) kadar air yang dibutuhkan bakteri untuk metabolisme dalam mendegradasi hidrokarbon berkisar antara 30–90%.
Perubahan Suhu
Suatu proses degradasi, temperatur akan berpengaruh terhadap sifat fisik dan kimia komponen-komponen minyak, kecepatan degradasi oleh mikroba, dan komposisi komunitas mikroba. Berdasarkan pengukuran suhu yang dilakukan setiap minggu, suhu yang terukur berkisar antara 27–51°C (Gambar 3.9).
Gambar 3.9 Perubahan suhu selama proses bioremediasi dengan teknik landfarming pada perlakuan LMB (
o
), LMB + Kompos (■
), LMB + Tanah liat (▲), LMB + Kompos + Tanah liat (●
), dan Kontrol (♦
)
Menurut Leahly dan Colwell (1990) temperatur yang optimal untuk degradasi hidrokarbon adalah 30–40°C. Pada penelitian ini didapatkan suhu yang berfluktuasi (Gambar 3.9 dan Lampiran 3.3), karena pada proses biodegradasi terjadi pemutusan rantai hidrokarbon yang akan menghasilkan energi sehingga
0 10 20 30 40 50 60 0 2 4 6 8 10 12 14 16 SuhuoC Waktu(minggu)
suhu menjadi naik, kemudian suhu kembali turun ke suhu ruang jika proses biodegradasi terhenti atau berjalan sangat lambat. Pada temperatur rendah, viskositas minyak akan meningkat mengakibatkan volatilitas alkana rantai pendek yang bersifat toksik menurun dan kelarutannya di air akan meningkat sehingga proses biodegradasi akan terhambat. Efek penghambatan tersebut juga disebabkan oleh penurunan aktivitas enzim mikrobial.
Perubahan TPH
TPH merupakan parameter penting yang menunjukkan keberhasilan proses biodegradasi hidrokarbon minyak bumi. Pengukuran dilakukan setiap 2 minggu sekali selama 4 bulan pengamatan. Pada perlakuan penambahan konsorsium bakteri terhadap limbah minyak berat (LMB), nilai TPH awal yang terukur adalah sebesar 15.32% dan diakhir pengukuran sebesar 12.61%. Untuk perlakuan tanpa penambahan konsorsium bakteri (kontrol), persen TPH awal yang terukur adalah sebesar 15.84% dan diakhir pengukuran sebesar 13.43%.
Perlakuan limbah minyak berat dengan pencampuran kompos dan penambahan konsorsium bakteri dapat menurunkan nilai TPH dari 11.96% menjadi 5.58%. Adanya penambahan kompos dapat meningkatkan proses biodegradasi. Sedangkan untuk perlakuan limbah minyak berat yang dicampur dengan tanah liat dan penambahan konsorsium bakteri memiliki nilai TPH awal sebesar 8.73% dan diakhir pengukuran sebesar 5.78%. Perlakuan limbah minyak berat dengan pencampuran tanah liat dan penambahan konsorsium bakteri menghasilkan persen TPH awal yang terukur sebesar 6.52% dan diakhir pengukuran 4.87%. Hasil pengukuran TPH secara keseluruhan dapat dilihat pada Gambar 3.10 dan Lampiran 3.4.
Gambar 3.10 Perubahan nilai TPH selama Proses bioremediasi pada perlakuan LMB (
o
), LMB + Kompos (■
), LMB + Tanah liat (▲), LMB + Kompos + Tanah liat (●
), dan Kontrol (♦
)TPH yang terukur pada semua perlakuan menunjukkan grafik turun naik. Penurunan nilai TPH karena dalam proses biodegradasi menghasilkan senyawa hidrokarbon rantai pendek yang bersifat volatil, sedangkan peningkatan nilai TPH diduga terjadi karena adanya insersi O2 dan H2O kedalam senyawa organik sehingga dihasilkan senyawa organik yang memiliki berat molekul yang lebih tinggi. Fluktuasi nilai TPH disebabkan oleh kerja mikroba yang berbeda-beda. Biodegradasi minyak bumi oleh mikroba bisa terjadi di bawah kondisi aerobik maupun anaerobik, dan aktivitas degradasi tersebut merupakan reaksi yang umum terjadi di alam. Kondisi lingkungan yang berbeda akan mempengaruhi perbedaan aktivitas mikroba dalam mendegradasi senyawa polutan. Terdapat perbedaan antara hasil perlakuan dengan penambahan bakteri dan kontrol, hal ini dapat ditunjukkan dengan slope yang dihasilkan pada persamaan regresi (Tabel 3.2). Walaupun perbedaan tidak terlalu signifikan, tapi terbukti pada hasil akhir TPH pada penambahan konsorsium bakteri lebih kecil dibandingkan dengan tanpa penambahan konsorsium bakteri. Hal ini terjadi pada semua perlakuan, slope yang dihasilkan dapat dilihat pada Tabel 3.2 berikut ini.
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 0 2 4 6 8 10 12 14 16 TPH (%) Waktu (minggu)
Tabel 3.2 Persamaan regresi penurunan TPH dari berbagai perlakuan dengan teknik landfarming
Perlakuan Persamaan Regresi Slope
Kontrol y= -0.124x + 15.21 -0.124
LMB y= -0.162x + 15.68 -0.162
LMB + Kompos y= -0.277x + 9.748 -0.277 LMB + Tanah liat y= -0.143x + 7.897 -0.143 LMB + Tanah liat + Kompos y= -0.179x + 6.773 -0.179
Dari slope yang dihasilkan, perlakuan campuran LMB dan kompos memiliki kemiringan garis yang lebih curam dibandingkan dengan perlakuan lainnya, hal ini mengindikasikan perubahan TPH diawal dan diakhir cukup besar sehingga persen degradasi yang dihasilkan cukup tinggi.
Besarnya persen degradasi yang dihasilkan dari perlakuan campuran limbah minyak berat dengan penambahan kompos yaitu sebesar 53.35%, disebabkan kerja bakteri yang lebih baik. Pada perlakuan menggunakan campuran kompos, kompos dapat dijadikan sebagai media yang baik untuk pertumbuhan bakteri karena terdapat nutrien yang bisa digunakan sebagai bahan makanan oleh bakteri. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa perlakuan dengan penambahan kompos paling baik dalam menyimpan kadar air (Gambar 3.10).
Menurut Daubaras dan Chakrabarty (1992) menyatakan bahwa perubahan kondisi lingkungan juga akan mempengaruhi aktivitas mikroba di dalamnya. Aktivitas tersebut meningkat karena adanya ekspresi gen-gen tertentu untuk memproduksi enzim-enzim yang sesuai. Dengan demikian, pada degradasi minyak , di mana 90% komponennya tersusun atas hidrokarbon, maka enzim yang banyak berperan adalah enzim-enzim oksigenase.
Terdapat 2 macam enzim oksigenase yaitu monooksigenase dan dioksigenase. Enzim monooksigenase banyak berperan dalam degradasi hidrokarbon alifatik sementara enzim dioksigenase pada hidrokarbon siklik. Keduanya berfungsi pada tahap awal degradasi, yaitu pada saat insersi molekul oksigen ke dalam struktur hidrokarbon. Pada n-alkana insersi molekul oksigen ke
dalam struktur hidrokarbon terjadi pada gugus metil terminal maupun subterminal. n-alkana dioksigenasi menjadi alkohol kemudian menjadi asam karboksilat, yang selanjutnya akan dilakukan pemisahan dua unit karbon secara berkesinambungan dan dikenal dengan sekuen beta oksidasi (Cookson 1995) seperti yang reaksi yang dijelaskan oleh Hurtig dan Wagner (1992) (Gambar 3.11 dan Gambar 3.12). 1/2O2 CH3COOH asam asetat CO2 reaksi -oksidasi β CH3(CH2)nCOOH asam lemak CH3(CH2)nCHO aldehid CH3(CH2)nCH2OH alkohol primer CH3(CH2)nCH3 alkana 1/2O2 H2 + energi
Gambar 3.11 Degradasi hidrokarbon alkana melalui oksidasi Terminal (Hurtig dan Wagner 1992)
alkana -2H+ +H2O O2+2H+ -H2O R-CH2-O-C-CH3 O asetil ester R-CH2-C-CH3 O metil keton -2H+ R-CH2-CH-CH3 OH alkohol sekunder -H2O O2+2H+ R-CH2-CH2-CH3 -oksidasi
β
asam karboksilat aldehid R-COOH -2H+ -H2O R-CHO R-CH2-OH + CH3-COOHalkohol primer asam asetat
CO2 energi
+
Gambar 3.12 Degradasi hidrokarbon alkana melalui oksidasi Subterminal (Hurtig dan Wagner 1992)
Mekanisme degradasi hidrokarbon alkana melalui oksidasi terminal akan mengalami tahapan perubahan berturut-turut menjadi alkohol primer, aldehid, dan asam lemak. Pada tahapan terakhir asam lemak melalui reaksi β -oksidasi diubah menjadi asam asetat (asam lemak dengan dua atom karbon) yang akan didegradasi lebih lanjut di dalam sel menghasilkan karbon dioksida dan energi. Oksidasi alkana subterminal akan mengalami tahapan perubahan berturut-turut menjadi alkohol sekunder, metilketon, asetilester, alkohol primer, aldehid dan asam lemak atau asam karboksilat. Asam lemak ini melalui reaksi β-oksidasi akan didegradasi menghasilkan karbon dioksida dan energi (Atlas and Bartha, 1998). Rantai panjang dari asam lemak akan dikonversi oleh acyl coenzyme A membentuk asetil-CoA dan rantai pendek asam lemak yang telah berkurang dua unit gugus karbonnya sebagai CO2
Proses degradasi senyawa aromatik yang terdapat pada minyak bumi fraksi berat sangat ditentukan oleh tipe, jumlah dan posisi gugus yang tersubtitusi pada cincin aromatik tersebut. Gugus yang biasanya tersubtitusi pada cincin aromatik seperti benzen adalah :-OH, -CH
melalui siklus tricarboxylic acid (TCA) secara berulang-ulang (Atlas dan Bartha 1998; Bailey dan Ollis 1988).
3, -COOH, -CH2OH, -NH2, dan -SO3H. Pada proses degradasi senyawa aromatik akan dihasilkan senyawa antara, yang jenisnya tergantung dari senyawa asal yang didegradasi. Namun demikian, secara umum senyawa antara yang terbentuk dapat dikelompokan menjadi tiga yaitu : katekol, asam protokatekuat , dan asam gentisat. Beberapa reaksi degradasi senyawa aromatik dengan satu, dua dan tiga cincin, secara berurutan benzen, naftalen, dan fenantren akan menghasilkan senyawa antara berupa katekol (Alexander 1977). Mekanisme benzen, naftalen, dan fenantren menjadi senyawa antara katekol dapat dilihat pada Gambar 3.13, 3.14 dan 3.15.
H OH OH H C C H2O2 OH 3,5 sikloheksadiena 1,2 diol benzena katekol OH
Gambar 3.13 Degradasi benzen menjadi katekol melalui reaksi hidroksilasi aromatik (Alexander 1977) A
Katekol dikatabolisme melalui pemecahan cincin, yang menyebabkan cincin aromatik pecah. Pemecahan cincin dapat terjadi melalui dua jalur, yaitu : jalur pemecahan orto dimana cincin aromatik terbagi diantara dua atom karbon yang menghasilkan kelompok hidroksil, jalur kedua adalah jalur pemecahan meta dimana cincin benzena diputus diantara atom karbon terhidroksilasi dan atom karbon yang berdekatan atau pembukaan cincin benzena terjadi pada posisi meta.
Gambar 3.15 Degradasi senyawa aromatik 3 cincin
(fenantren) menjadi katekol (Alexander 1977) Fe nantrena OH COOH OH OH OH OH
1- Hidroksi-2-as am naftoat 1,2-Dihidroksinaftalena
Ka te kol
COOH OH
as am salisila t Gambar 3.14 Degradasi senyawa aromatik dua cincin
(naftalen) menjadi katekol (Alexander 1977) naftalena OH OH OH OH 1,2-Dihidroksinaftalena Katekol COOH OH asam salisilat
Gambar 3.16 Jalur pemecahan orto untuk katabolisme katekol.
Gambar 3.16 Jalur pemecahan orto untuk katabolisme katekol (Doelle 1994)
Masing-masing reaksi pemecahan cincin dikatalisis oleh enzim dioksigenase. Jalur metabolik selanjutnya sangat berbeda tapi keduanya menuju ke intermediat sklus TCA (asetat dan suksinat) atau ke subsrat yang dapat dengan mudah dikonversi menjadi intermediat siklus TCA (piruvat dan asetaldehid). Jalur pemecahan orto (juga disebut jalur ketoadipat) ditunjukkan pada Gambar 3.16 dan jalur pemecahan meta ditunjukkan pada Gambar 3.17. Higgins et al. (1984) dalam Pritchard et al. (1993) menyatakan bahwa berbagai spesies bakteri yang mengoksidasi hidrokarbon rantai pendek (metana, etana, propana, butana, etilen, propilen, dan asetilen) tidak mengoksidasi alkana rantai panjang. Kondisi tersebut terutama berlaku pada kelompok bakteri metanotrop. Degradasi hidrokarbon rantai pendek lainnya bisa terlaksana melalui proses kometabolisme. Cookson (1995) memberikan contoh mikroba yang mampu melakukan kometabolisme hidrokarbon rantai pendek yaitu Pseudomonas methanic. Pseudomonas methanic menggunakan metan sebagai substrat primer, di samping itu juga mengoksidasi substrat-substrat sekunder seperti etana, propana, dan butana menjadi alkohol, aldehid, dan asam.
Senyawa-senyawa nitrogen juga mengalami perubahan selama proses pengayaan. Menurut Chayabutra dan Ju (2000), senyawa nitrogen yang berasal dari sisa-sisa protein dan asam amino dalam kotoran hewan dan pupuk yang ditambahkan, juga mengalami perubahan. Di mana reaksi berlangsung secara anaerobik, ion amoniak akan dimanfaatkan oleh populasi anaerobik, namun bila jumlah ion-ion amoniak tersebut terlalu banyak maka akan menghambat asam organik, produksi asam lemak dan metanogenesis.
Walaupun variasi populasi mikroba dalam kotoran hewan relatif tinggi, banyak diantara mikroba tersebut yang mati selama proses dekomposisi berlangsung yang kemudian akan digantikan oleh mikroba lain yang lebih sesuai dengan komposisi kimia yang ada pada lingkungan tersebut (Waksman 1957). Perubahan Senyawa Hidrokarbon
Berdasarkan data kromatogram hasil GC-MS dapat dilihat perubahan senyawa hidrokarbon dari luas area yang terukur. Penentuan senyawa hidrokarbon berdasarkan data yang terdapat pada library menggunakan CAS Number. Hasil
identifikasi sampel senyawa dari library dipilih yang memiliki kemiripan lebih dari 90. Perubahan senyawa hidrokarbon pada keseluruhan sampel dapat dilihat pada Lampiran 3.8.
Gambar 3.18 Kromatogram GC-MS dari limbah minyak berat pada awal perlakuan
Kromatogram GCMS pada awal perlakuan (Gambar 3.18) memperlihatkan banyaknya senyawa hidrokarbon yang terkandung dalam limbah minyak berat, baik senyawa hidrokarbon alifatik maupun aromatik. Menurut Lestari (2003), minyak bumi mengandung ratusan komponen yang bervariasi bergantung daerah asalnya: alifatik, alisiklik, aromatic dan senyawa non hidrokarbon seperti naftenat, fenol, tiol dan senyawa sulfur. Suardana (2002) menyatakan bahwa fraksi minyak berat Duri mengandung senyawa aromatik, paraffin, naftenik, dan aspaltena serta senyawa non aromatik seperti Senyawa N, S dan O. Pada pengukuran awal teridentifikasi senyawa hirdrokarbon dari C-6 sampai C-35. Pada semua sampel proses biodegradasinya cukup beragam (Komatogram pada Lampiran 3.5). Kromatogram GCMS pada diakhir perlakuan pada penambahan kompos (Gambar 3.19) memperlihatkan banyaknya senyawa hidrokarbon yang hilang dengan berkurangnya peak yang dihasilkan. Adanya penambahan kompos akan mempercepat proses biodegradasi.
Gambar 3.19 Kromatogram GCMS dari limbah minyak berat + kompos pada akhir perlakuan
Setelah pengukuran pada minggu ke-16 atau akhir banyak senyawa yang hilang. Pada data kromatogram Lampiran 34 dapat dilihat penurunan kelimpahan atau abundance. Hal ini menunjukkan terjadinya proses degradasi senyawa hidrokarbon. Pada degradasi n-alkana insersi molekul oksigen ke dalam struktur hidrokarbon terjadi pada gugus metil terminal maupun subterminal. n-alkana dioksigenasi menjadi alkohol kemudian menjadi asam karboksilat, yang selanjutnya akan dilakukan pemisahan dua unit karbon secara berkesinambungan dan dikenal dengan sekuen beta oksidasi (Cookson 1995). Rantai panjang dari asam lemak akan dikonversi oleh acyl coenzyme A membentuk asetil-CoA dan rantai pendek asam lemak yang telah berkurang dua unit gugus karbonnya sebagai CO2
Perubahan senyawa hidrokarbon pada perlakuan penambahan konsorsium terhadap limbah minyak berat (LMB) saja hampir sama dengan perlakuan campuran LMB dengan tanah liat, begitu juga dengan perlakuan campuran LMB dengan kompos mirip dengan perlakuan campuran LMB dengan tanah liat dan kompos. Dari semua sampel yang paling rendah mengalami perubahan yaitu perlakuan LMB tanpa campuran. Hal ini dapat dilihat dari hasil akhir pengukuran. Pada Lampiran 3.8 masih terdapat hidrokarbon rantai panjang, contohnya dokosana (C-22) dengan luas puncak 0.25%.
melalui siklus tricarboxylic acid (TCA) secara berulang-ulang (Atlas dan Bartha 1998; Bailey dan Ollis 1988).
Tabel 3.3 Senyawa yang hilang pada akhir pengukuran selama proses bioremediasi dengan teknik landfarming
LMB LMB + Kompos LMB + Tanah Liat
LMB + Kompos + Tanah Liat tetrahydro 2-5 dimetil furan tetrahydro 2-5 dimetil furan tetrahydro 2-5 dimetil furan dodekametil sikloheksasiloksan oktametil Siklotetra siloksan oktametil siklotetra siloksan dekametil siklopentasiloksan tetradekana pentatriacontana tetradekana tetradekana pentadekana metil heksadekanoat pentadekana pentadekana heksadekana heksadekana heksadekana heptadekana heptadekana pentatriacontana oktadekana
oktadekana dokosana pentatriakontana
pentatriakontana 1-nonadekana nonadekana
nonadekana metil heksadekanoat
metil heksadekanoat eikosana
Eikosana heneikosana
heneikosana dokosana
dokosana
Pengukuran pada minggu akhir banyak senyawa yang hilang. Walaupun pada perlakuan LMB tanpa campuran dan pada perlakuan campuran LMB dengan tanah liat terjadi perubahan luas area, tetapi tidak terlalu signifikan. Sedangkan pada perlakuan campuran LMB dengan kompos dan perlakuan campuran LMB dengan tanah liat dan kompos terjadi perubahan luas area yang