• Tidak ada hasil yang ditemukan

Puskesmas Cipatat merupakan salah satu Puskesmas di wilayah UPTD kesehatan Cipatat, termasuk Puskesmas DTP Rajamandala, dan Puskesmas Sumur Bandung. Puskesmas Cipatat terletak di Desa Cipatat Kecamatan Cipatat, tepatnya di Jl. Raya Padalarang-Cianjur, luas wilayah kerja Puskesmas Cipatat sekitar 4.355,94 Ha.

Wilayah kerja Puskesmas Cipatat terdiri dari 4 desa, 78 RW, dan 253 RT. Adapun ke 4 desa tersebut adalah : Desa Cipatat, Desa Citatah, Desa Kertamukti, Desa Sarimukti. Diantara 4 desa tersebut, sebanyak 2 desa yaitu desa Cipatat dan desa Citatah berada di pinggir jalan Padalarang-Cianjur, dan 2 desa lainnya cukup jauh dari jalan raya provinsi sehingga cukup sulit untuk menjangkaunya sehingga sarana transportasi yang dipakai harus menggunakan kendaraan roda dua bila ingin mencapai pelosok. Karena dua desa berada di pinggir jalan maka kecenderungan kecelakaan lalu lintas sering terjadi

Berdasarkan hasil pendataan tahun 2009 jumlah penduduk di Kecamatan Cipatat sebesar 37.939 jiwa yang terdiri dari penduduk laki-laki 18.833 jiwa dan penduduk wanita 19.106 jiwa. Mata pencaharian penduduk sebagian besar petani dan sebagiannya lagi sebagai buruh pabrik kapur dan batu marmer. Data puskesmas setempat menunjukan bahwa para buruh pabrik memiliki kecenderungan terkena penyakit saluran pernafasan dan TBC paru yang cukup tinggi. Dari data tersebut juga didapatkan bahwa jumlah balita yang menderita ISPA sekitar 349 dari 6.322 jiwa maka prevalensi balita ISPA di Puskesmas Kecamatan Cipatat adalah 5,52% (laporan Puskesmas Cipatat 2009).

Karakteristik sosial ekonomi keluarga contoh Tingkat Pendidikan

Sumber daya manusia (SDM) merupakan hal penting dalam pembangunan suatu bangsa dan mutunya sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dan latihan, kesehatan dan gizi, lingkungan hidup mereka tinggal serta kemampuan ekonomi suatu keluarga (Hapsariet al2009). Seseorang yang memiliki tingkat pendidikan tinggi dapat mendapatkan pekerjaan yang layak sehingga dapat memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga, selain itu tingkat pendidikan orang tua juga mempengaruhi terhadap keadaan status gizi anak. Menurut Sab’atmaja et al (2010) orang tua yang memiliki tingkat pendidikan

cukup tinggi mempunyai prevalensi gizi kurang yang rendah pada anaknya, sedangkan orang tua yang memiliki pendidikan yang rendah umumnya balita memiliki prevalensi gizi kurang yang lebih tinggi. Karena variabel pendidikan merupakan indikator pengetahuan dan perilaku yang berhubungan dengan kesadaran individu terhadap kesehatan. Berikut adalah sebaran tingkat pendidikan orang tua contoh dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Sebaran orang tua (ayah) contoh berdasarkan tingkat pendidikan

Kategori ISPA Tidak ISPA

n % n % Tidak Tamat SD 1 3,3 0 0 Tamat SD 7 23,3 7 23,3 Tamat SLTP 11 36,7 7 23,3 Tamat SLTA 9 30 12 40 Perguruan Tinggi 2 6,7 4 13,3 Total 30 100 30 100

Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa tingkat pendidikan orang tua contoh balita ISPA hanya sampai tingkat SLTP (36,7%), sedangkan pada balita tidak ISPA sebanyak 40% sampai tingkat SLTA. Tingkat pendidikan mempengaruhi terhadap perilaku seseorang baik dalam pemilihan bahan makanan untuk memenuhi kebutuhan gizinya maupun pola asuh terhadap anak. Penyakit ISPA merupakan penyakit yang ada sehari-hari di masyarakat. Hal ini perlu mendapat perhatian serius oleh kita semua karena penyakit ini banyak menyerang balita yang rentan terhadap infeksi. Jika tingkat pendidikan rendah maka perilaku seseorang dalam upaya pencegahan maupun penanggulangan penyakit ISPA sangat rendah. Hal ini dapat diartikan bahwa peran keluarga dalam praktek penanganan dini bagi balita sakit ISPA sangatlah penting, sebab bila penanganan kurang atau buruk akan berpengaruh terhadap perjalanan penyakit dari yang ringan menjadi lebih berat.

Jenis Pekerjaan

Jenis pekerjaan orangtua dapat menggambarkan pendapatan keluarga maupun kemampuan seseorang dalam menyerap informasi. Pendapatan yang dihasilkan dari pekerjaan tersebut berpengaruh pada tingkat daya beli bahan makanan sebuah keluarga. Asupan makanan dipengaruhi oleh tinggi rendahnya pendapatan. Semakin tinggi pendapatan seseorang maka daya beli bahan makanannya pun tinggi sehingga asupan makanan menjadi tinggi pula. Asupan

makanan yang kurang akan menimbulkan masalah gizi dimana masalah gizi akan menurunkan tingkat kesehatan masyarakat (Suhardjo 2003).

Jenis pekerjaan masyarakat desa Citatah pada umumnya sebagai petani dan buruh pabrik penambang batu kapur maupun pengrajin batu marmer. Sebaran jenis pekerjaan orangtua ayah contoh dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8 Sebaran jenis pekerjaan ayah contoh

Kategori ISPA Tidak ISPA

n % n % Tidak bekerja 1 3,3 0 0 Petani 7 23,3 6 20 Buruh 18 60 10 33,3 Pegawai swasta 2 6,7 10 33,3 PNS 2 6,7 4 13,3 Total 30 100 30 100

Berdasarkan tabel diatas sebagian besar 60% jenis pekerjaan ayah contoh balita ISPA bekerja sebagai buruh pabrik, sedangkan pada balita tidak ISPA ayah contoh bekerja sebagai buruh dan pegawai swasta yaitu masing-masing sebesar 33,3%. Keadaan gizi erat kaitannya dengan keadaan sosial ekonomi keluarga terutama jenis pekerjaan yang mendukung terhadap tinggi rendahnya pendapatan keluarga. Jika pendapatan kurang maka masalah yang terjadi pada anak balita adalah keadaan gizi kurang dimana hal tersebut disebabkan oleh kekurangan sumber energi dan protein. Pada anak-anak, gizi kurang dapat menghambat pertumbuhan, rentan terhadap infeksi dan mengakibatkan rendahnya tingkat kecerdasan (Almatsier 2003).

Besar Keluarga

Besar keluarga dalam suatu rumah tangga juga termasuk salah satu faktor yang mempengaruhi status gizi balita. Besar keluarga juga menyebabkan bertambahnya biaya pengadaan pangan untuk dikonsumsi. Anak-anak yang sedang tumbuh dari suatu keluarga miskin adalah yang paling rawan terhadap gizi kurang di antara semua anggota keluarga, tahun-tahun awal masa kanak-kanak yaitu pada umur satu hingga enam tahun berada dalam kondisi yang paling terpengaruh oleh kekurangan pangan. Situasi ini sering terjadi sebab seandainya besar keluarga bertambah maka pangan untuk setiap anak berkurang (Suhardjo 1989).

Menurut Robert et al (1994) bahwa pertambahan jumlah anggota keluarga akan memberikan dampak merugikan kepada status gizi anggota rumah tangga termasuk anak berumur di bawah dua tahun. Bertambahnya jumlah anggota keluarga akan menyebabkan masalah kelaparan dan kesempitan ruang. Hal ini menyebabkan terbatasnya ruang gerak dan menghambat jalan sirkulasi udara sehingga memberikan pengaruh yang kurang baik terhadap kesehatan. Berikut adalah sebaran besar keluarga contoh dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9 Sebaran besar keluarga pada contoh

Kategori ISPA Tidak ISPA

n % n %

Keluarga kecil 15 50 22 73.3

Keluarga sedang 12 40 7 23.3

Keluarga besar 3 10 1 3.3

Total 30 100 30 100

Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa dari 30 balita yang dikategorikan menderita ISPA sebesar 50% termasuk dalam keluarga kecil dan 40% temasuk kedalam keluarga sedang, sedangkan pada kategori tidak ISPA mayoritas sebesar 73,3% termasuk kedalam keluarga kecil dan 23,3% termasuk kedalam keluarga sedang. Pada penelitian ini menunjukan bahwa besar keluarga tidak ada kaitaannya dengan kejadian ISPA di Puskesmas Cipatat, namun besar keluarga merupakan faktor yang menyebabkan anak-anak terkena penyakit ISPA. Karena banyaknya anggota keluarga yang tinggal dalam suatu rumah akan menghambat jalan sirkulasi udara, jika besar keluarga tidak diiringi dengan luas rumah yang sesuai maka ruangan akan menjadi sempit sehingga menyebabkan tempat tinggal menjadi kumuh dan berisiko tinggi terhadap tertularnya penyakit ISPA (Endah et al 2009). Penelitian yang dilakukan oleh Victoria pada tahun 1993 menyatakan bahwa makin meningkat jumlah orang per kamar akan meningkatkan kejadian ISPA. Semakin banyak penghuni rumah berkumpul dalam suatu ruangan kemungkinan mendapatkan risiko untuk terjadinya penularan penyakit akan lebih mudah, khususnya bayi yang relatif rentan terhadap penularan penyakit (Depkes RI 2001). Dalam penelitian ini luas rumah dan ketersediaan fentilasi udara tidak diteliti, karena keterbatasan penelitian dan waktu yang diperlukan.

Tingkat Pendapatan

Dengan meningkatnya pendapatan perorangan, maka akan terjadi perubahan-perubahan dalam susunan makanan. Akan tetapi, pengeluaran uang yang lebih banyak untuk pangan tidak menjamin lebih beragamnya konsumsi pangan (Suhardjo 1989). Menurut Madanijah (2004) keadaan ekonomi keluarga relatif lebih mudah diukur dan mempunyai pengaruh besar terhadap konsumsi pangan, terutama pada golongan miskin. Pada golongan miskin mereka menggunakan sebagian pendapatannya untuk kebutuhan makanan. Faktor ekonomi yang paling berperan adalah keluarga dan harga (baik harga pangan, maupun harga komoditas kebutuhan dasar). Berikut adalah Tabel 10 menampilkan sebaran tingkat pendapatan keluarga contoh.

Tabel 10 Sebaran pendapatan keluarga contoh

Kategori ISPA Tidak ISPA

n % n %

Miskin (<Rp. 139.000) 19 63,3 11 36,7 Tidak miskin (≥Rp. 139.000) 11 36,7 19 63,3

Total 30 100 30 100

Tingkat pendapatan berdasarkan BPS pusat (2004) yaitu sebesar Rp. 139.000,- per kapita per bulan, didapatkan bahwa sebagian besar (63,3%) dari rumah tangga balita ISPA tergolong miskin, sedangkan pada balita tidak ISPA sebagian besar (63,3%) tidak miskin. Dalam hal ini ISPA lebih banyak diderita oleh keluarga yang miskin, karena pada keluarga miskin rata-rata mempunyai kondisi lingkungan yang kurang baik misalnya lantai dasar rumah masih memakai semen, dinding rumah masih memakai bilik kayu, dan ketersediaan fentilasi yang kurang ditambah dengan kurangnya daya beli terhadap makanan. Jika daya beli kurang maka konsumsi makan akan menjadi kurang dan asupan energi dan zat gizi akan kurang dan tidak memenuhi kecukupan gizi.

Kebiasaan Merokok dalam Rumah

Determinasi tempat tinggal menentukan daerah rural dan urban dengan asumsi ada perbedaan antara daerah urban yang dihubungkan dengan kepadatan penduduk, serta faktor-faktor yang berpengaruh terhadap daerah tersebut, misalnya sanitasi lingkungan, polusi udara. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Puslit Penyakit Menular dalam Cermin Dunia kedoteran no.70.th 1991 no 15 tentang pengaruh lingkungan terhadap penyakit ISPA menyatakan bahwa faktor yang berpengaruh antara lain jumlah orang yang merokok, jumlah

rokok yang dihisap, masuknya asap dapur kedalam ruangan keluarga, fentilasi rumah yang tidak baik, jarak antara rumah dengan tempat sampah. Keadaan lingkungan dapat mempengaruhi episode kejadian ISPA pada anak. Sebaran kebiasaan merokok adalam rumah contoh dapat dilihat pada Tabel 11 berikut ini. Tabel 11 Sebaran kebiasaan merokok dalam rumah contoh

Kategori ISPA Tidak ISPA

n % n %

Merokok 23 76,7 19 63,3

Tidak merokok 7 23,3 11 36,7

Total 30 100 30 100

Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa pada balita ISPA dan tidak ISPA mayoritas kepala keluarga atau anggota keluarga memiliki kebiasaan merokok dalam rumah dengan anggota keluarga, masing-masing sebanyak 23 orang (76,7%) dan 19 orang (63,3%). Hampir sebagian besar keluarga mempunyai kebiasaan merokok bersama dengan anggota keluarga lain, baik pada kelompok balita ISPA maupun pada kelompok balita tidak ISPA. Kaitannya antara asap rokok dengan kejadian ISPA karena produksi CO terjadi selama merokok. Asap rokok mengandung CO dengan konsentrasi lebih dari 20.000 ppm selama dihisap. Konsentrasi tersebut terencerkan menjadi 400-500 ppm. Konsentrasi CO yang tinggi di dalam asap rokok yang terisap mengakibatkan kadar COHb di dalam darah meningkat. Selain berbahaya terhadap orang yang merokok, adanya asap rokok yang mengandung CO juga berbahaya bagi orang yang berada di sekitarnya karena asapnya dapat terisap (Fardiaz 1992). Semakin banyak jumlah rokok yang dihisap oleh keluarga semakin besar memberikan risiko terhadap kejadian ISPA, khususnya apabila merokok dilakukan oleh ibu bayi (Depkes RI 2001).

Dalam penelitian ini tidak menguji apakah kebiasaan merokok dalam rumah berhubungan dengan kejadian ISPA, namun perlu diwaspadai bahwa udara yang sudah tercemar karena penambangan kapur ditambah dengan asap dari rokok dalam rumah dapat menambah episode kejadian ISPA pada anak dan mempengaruhi proses penyembuhan penyakit ISPA menjadi lama.

Karakteristik Contoh Umur

Umur merupakan faktor gizi sehingga umur berkaitan erat dengan status gizi (Apriadji 1986). Usia balita merupakan kelompok rentan terhadap kesehatan dan gizi, karena masih berlangsungnya proses tumbuh kembang yang sangat pesat, yaitu pertumbuhan fisik dan perkembangan psikomotor, mental dan sosial. Stimulasi psikososial harus dimulai sejak dini dan tepat waktu untuk tercapainya perkembangan psikososial yang optimal. Oleh karena itu, pada usia ini balita sangat membutuhkan asupan gizi yang cukup untuk menunjang pertumbuhan dan perkembangannya. ISPA dapat menyerang semua manusia baik pria maupun wanita pada semua tingkat usia, terutama pada usia kurang dari 5 tahun karena daya tahan tubuh balita lebih rendah dari orang dewasa sehingga mudah menderita ISPA.

Umur diduga terkait dengan sistem kekebalan tubuh, bayi dan balita merupakan kelompok yang kekebalan tubuhnya belum sempurna, sehingga masih rentan terhadap berbagai penyakit infeksi. Hal senada dikemukakan oleh Suwendra (1988), bahkan semakin muda usia anak makin sering mendapat serangan ISPA. Berikut sebaran umur contoh dapat dilihat pada Tabel 12 berikut.

Tabel 12 Sebaran umur contoh

Kategori ISPA Tidak ISPA

n % n %

12-36 bulan 25 83,3 24 80

37-59 bulan 5 16,7 6 20

Total 30 100 30 100

Pada tabel di atas dapat dilihat bahwa mayoritas 83,3% responden yang menderita ISPA berumur satu sampai tiga tahun, sedangkan 16,7% berumur empat sampai lima tahun. Hampir sama pada kelompok tidak ISPA mayoritas 80% responden berumur satu sampai tiga tahun dan 20% responden berumur empat sampai lima tahun. Menurut Endah et al (2009) umur 12-36 bulan merupakan umur yang paling sering dijumpai menderita infeksi saluran pernafasan akut dibandingkan kelompok umur 37-59 bulan. Hal ini dikarenakan seiring bertambahnya umur asupan makan balita yang berumur 37-59 bulan jenis makanannya lebih beragam dan bervariasi sehingga asupan vitamin dan mineral dari makanan semakin baik.

Jenis Kelamin

Jenis kelamin merupakan faktor yang menentukan dalam status gizi, antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan sangat berbeda dari segi aktifitas fisik maupun metabolisme dalam tubuh. Pada balita kebutuhan akan zat gizi belum dibedakan, namun pada saat usia 10 tahun kebutuhan akan zat gizi dibedakan menurut jenis kelamin. Berikut sebaran jenis kelamin contoh dapat dilihat pada Tabel 13 berikut ini :

Tabel 13 Sebaran jenis kelamin contoh

Kategori ISPA Tidak ISPA

n % n %

Laki-Laki 19 63,3 13 43,3

Perempuan 11 36,7 17 56,7

Total 30 100 30 100

Berdasarkan jenis kelaminnya sebagian besar responden laki-laki mempunyai persentase sebesar 63,3% menderita ISPA, sedangkan 43,3% tidak menderita ISPA. Namun pada jenis kelamin perempuan sebesar 56,7% tidak menderita ISPA, hal ini tidak sejalan dengan pernyataan dari Depkes RI (2002) yang menyatakan bahwa balita perempuan lebih rentan menderita ISPA dari pada laki-laki disebabkan karena daya tahan tubuh laki-laki lebih kuat di bandingkan dengan perempuan. Hal ini diduga karena anak laki-laki lebih banyak beraktifitas bermain diluar rumah, dan sering menghirup udara yang sudah tercemar akibat penambangan batu kapur tersebut. Akan tetapi hal tersebut merupakan asumsi saja, disini peneliti akan melakukan percobaan analisis sebab akibat perbedaan sebaran jenis kelamin dengan membandingkan rata-rata asupan energi dan zat gizi contoh balita ISPA dan tidak ISPA menurut jenis kelamin.

Tabel 14 Rata-rata asupan energi dan zat gizi contoh balita ISPA dan tidak ISPA menurut jenis kelamin per hari

Rata-rata asupan per hari

ISPA Tidak ISPA Laki-laki Perempuan Laki-laki perempuan

(n=19) (n=11) (n=13) (n=17) Energi (kkal) 820,26 862,3 981,92 946,93 Protein (gram) 24,06 24,73 30,11 33,96 Vitamin A (RE) 517,47 163,53 214,06 871,6 Vitamin E (mg) 1,78 1,51 1,85 2,5 Vitamin C (mg) 21,38 26,12 26,5 35,7 Seng (mg) 2,99 2,91 3,42 3,64 Besi (mg) 7,35 3,5 5,3 4,89

Dari tabel 14 terlihat bahwa laki-laki yang menderita ISPA mempunyai asupan energi lebih rendah (820,26 kkal) dibandingkan dengan perempuan (862,3 kkal), sedangkan pada balita yang tidak ISPA jenis kelamin laki-laki mempunyai asupan energi lebih tinggi (981,92 kkal) dibandingkan dengan perempuan (946,93 kkal). Dapat disimpulkan bahwa dalam penelitian ini laki-laki yang menderita ISPA mempunyai asupan energi lebih rendah dibandingkan dengan perempuan yang menderita ISPA

Tingkat kecukupan energi dan zat gizi Konsumsi dan tingkat kecukupan energi

Kekurangan energi terjadi bila asupan energi melalui konsumsi makanan kurang dari energi sesuai dengan kebutuhan. Tubuh akan mengalami keseimbangan energi negatif, akibatnya adalah berat badan kurang dari berat badan yang seharusnya (ideal). Kekurangan energi pada bayi dan anak-anak akan menghambat pertumbuhan dan pada orang dewasa akan terjadi penurunan berat badan dan kerusakan jaringan tubuh. Gejala yang ditimbulkan adalah kurang perhatian, gelisah, lemah, cengeng, kurang bersemangat dan penurunan daya tahan terhadap penyakit infeksi. Kelebihan energi terjadi bila konsumsi energi melalui makanan melebihi energi yang dikeluarkan. Kelebihan energi akan dirubah menjadi lemak tubuh, akibatnya adalah berat badan lebih atau kegemukan. Kegemukan bisa disebabkan oleh kebanyakan makan, dalam hal karbohidrat, lemak maupun protein, tetapi juga karena kurang bergerak. Kegemukan merupakan faktor resiko penyakit kronis seperti diabetes mellitus, hipertensi, PJK, kanker dan memperpendek usia harapan hidup (Almatsier 2004). Berikut adalah rata-rata konsumsi pangan sumber energi dapat dilihat pada Tabel 15 :

Tabel 15 Rata-rata konsumsi pangan sumber energi per hari

Jenis pangan ISPA Tidak-ISPA Konsumsi (gr/hari) Kontribusi terhadap AKG Energi (%) Konsumsi (gr/hari) Kontribusi terhadap AKG Energi (%) Nasi 174 37 221,67 41,0 Biskuat 11,73 6,5 11,73 5,7 Roti 11,33 4,4 4,5 1,5 Tahu 28,17 4,3 34,3 4,6 Tempe 10,33 4,0 25,5 8,7 Susu 21 2,7 127,67 8,6 Mie 9,23 3,71 23,5 8,2 Bubur 55,7 3,9 26,6 1,7

Pada tabel 15 hanya menampilkan bahan makanan sumber energi yang mempunyai nilai kontribusi paling besar saja. Jenis pangan sumber energi yang di konsumsi balita ISPA adalah nasi rata-rata konsumsi sebesar 174 gr/hari, biskuat 11,73 gr/hari dan roti 11,33 gr/hari, dibandingkan dengan kelompok tidak ISPA jenis pangan sumber energi yang dikonsumsi adalah nasi rata-rata konsumsi sebesar 221,67 gr/hari, tempe 25,5 gr/hari, dan susu 127,67 gr/hari. Sumber energi yang mempunyai konsentrasi tinggi adalah bahan makanan sumber lemak seperti kacang-kacangan dan biji-bijian, setelah itu bahan makanan sumber karbohidrat seperti padi-padian, umbi-umbian dan gula murni. Jumlah bahan makanan yang dikonsumsi menjamin tercukupinya kebutuhan energi dan zat gizi yang diperlukan oleh tubuh, berikut adalah sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan energi dapat dilihat pada Tabel 16.

Tabel 16 Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan energi

Tingkat kecukupan energi ISPA Tidak ISPA

n % n % Defisiensi berat 17 56,70 12 40,00 Defisiensi sedang 4 13,30 6 20,00 Defisiensi ringan 3 10,00 3 10,00 Normal 5 16,70 8 26,70 Lebih 1 3,30 3 3,30 Total 30 100,0 30 100,00 Rata-rata asupan 837±264,234 962±198,308 Rata-rata tingkat kecukupan (%) 68,32 78,53

Berdasarkan tingkat kecukupan energi diketahui bahwa sebagian besar 56,7% balita ISPA dan balita tidak ISPA (40%) mengalami defisiensi berat. Pada penelitian ini asupan energi yang paling rendah yaitu 409 kkal dan tertinggi yaitu 1521 kkal dengan rata-rata asupan energi pada balita ISPA yaitu 837 kkal dan standar deviasi sebesar 264,234. Sedangkan balita yang tidak ISPA mempunyai rata-rata asupan energi sebesar 962 kkal dan standar deviasinya 198. Berdasarkan uji statistik nilai p = 0,043 (p<0,05). Hal ini menunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara asupan energi pada balita ISPA dan tidak ISPA.

Asupan energi berasal dari sejumlah bahan makanan yang dikonsumsi oleh seseorang. Balita yang terinfeksi ISPA akan mengalami kehilangan nafsu makan dikarenakan karena batuk-batuk, pilek, dan kelelahan sehingga mempengaruhi kemampuan mengkonsumsi makanan karena kegiatan makan

menambah sesak nafas. Oleh karena itu mengapa balita yang menderita ISPA mengalami defisiensi tingkat berat kecukupan energi.

Konsumsi dan tingkat kecukupan protein

Fungsi utama protein bagi tubuh yaitu untuk membentuk jaringan baru dan mempertahankan jaringan yang telah ada. Protein dapat juga berfungsi sebagai bahan bakar apabila keperluan energi tubuh tidak terpenuhi dari karbohidrat dan lemak. Protein dapat mengatur keseimbangan cairan dalam jaringan dan pembuluh darah, yaitu dengan menimbulkan tekanan osmotik koloid yang dapat menarik cairan dari jaringan ke dalam pembuluh darah (Winarno 2002).

Fungsi lain dari protein yaitu untuk tumbuh kembang anak dan pembentukkan hormon, enzim, dan antibodi (Hartono 2000). Kemampuan tubuh untuk memerangi infeksi bergantung pada kemampuannya untuk memproduksi antibodi terhadap organisme yang menyebabkan infeksi tertentu atau terhadap bahan-bahan asing yang masuk ke dalam tubuh. Tingkat kematian pada anak-anak yang menderita gizi kurang kebanyakan disebabkan oleh menurunnya daya tahan terhadap infeksi karena ketidakmampuannya membentuk antibodi dalam jumlah yang cukup (Almatsier 2004).

Tabel 17 Rata-rata konsumsi pangan sumber protein per hari

Jenis pangan ISPA Tidak-ISPA Konsumsi (gr/hari) Kontribusi terhadap AKG Protein (%) Konsumsi (gr/hari) Kontribusi terhadap AKG Protein (%) Nasi 174 15,04 221,67 14,41 Telur 18,73 8,69 36,84 13,14 Tempe 10,33 7,82 25,5 14,53 Tahu 28,17 6,49 34,3 5,95 Susu 21 2,29 127,67 27,67 Mie 9,23 3,0 23,5 5,75 Ikan Segar 2,3 1,31 14,67 6,18

Pada tabel 17 menyajikan bahan makanan yang mempunyai nilai kontribusi protein paling besar. Jenis pangan sumber protein yang di konsumsi balita ISPA adalah nasi rata-rata konsumsi sebesar 174 gr/hari, telur 18,33 gr/hari dan tempe 10,33 gr/hari, di bandingkan dengan kelompok tidak ISPA jenis pangan sumber protein yang dikonsumsi adalah susu rata-rata konsumsi sebesar 127,67 gr/hari, tempe 25,5 gr/hari, dan nasi 217,67 gr/hari. Bahan makanan hewani merupakan sumber protein yang baik dalam jumlah maupun mutu seperti telur, susu, daging, unggas, dan ikan. Sedangkan sumber protein nabati adalah

kedelai dan hasilnya seperti tempe dan tahu. Berikut sebaran tingkat kecukupan protein pada contoh dapat dilihat pada Tabel 18.

Tabel 18 Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan protein

Tingkat kecukupan protein ISPA Tidak ISPA

n % n % Defisiensi berat 12 40 3 10 Defisiensi sedang 2 6,7 3 10 Defisiensi ringan 2 6,7 3 10 Normal 8 26,7 8 26,7 Lebih 6 20 13 43,3 Total 30 100,00 30 100,00 Rata-rata asupan 24,3±9,86 32,3±10,9 Rata-rata tingkat kecukupan (%) 75,93 100,9

Tingkat kecukupan protein pada balita ISPA umumnya (40%) mengalami defisiensi berat, sedangkan pada balita tidak ISPA umumnya (43,3%) mengalami tingkat kecukupan lebih. Rata-rata asupan protein pada balita ISPA sebesar 24,33 gr dan standar deviasinya adalah 910,94. Pada balita tidak ISPA rata-rata asupan protein sebesar 32,3 gr dan standar deviasinya 10,93. Berdasarkan uji terdapat perbedaan yang signifikan antara asupan protein pada balita ISPA dan tidak ISPA (p<0,05). Sumber protein yang dikonsumsi antara balita ISPA dan tidak ISPA hampir sama antara lain nasi, telur, tempe, tahu, susu dan ikan akan tetapi jumlah yang dikonsumsi berbeda. Hal ini disebabkan karena nafsu makan yang menurun diakibatkan karena kondisi tubuh yang sakit karena infeksi merupakan faktor utama konsumsi protein menjadi berkurang. Selain itu keadaan sosial ekonomi juga sangat mempengaruhi terhadap kecukupan protein dan kejadian ISPA.

Konsumsi dan tingkat kecukupan vitamin A

Dokumen terkait