• Tidak ada hasil yang ditemukan

Halaman 1 Alur penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Fisik dan Bobot Badan Hewan Uji

Kondisi hewan uji yang sehat merupakan faktor penting dalam penelitian dan merupakan syarat untuk memenuhi asumsi percobaan. Bobot badan dan kondisi fisik merupakan parameter yang mudah diukur dan diamati untuk memantau kondisi kesehatan hewan uji selama percobaan berlangsung. Kondisi fisik hewan uji yang diamati meliputi warna mata, warna feses, tekstur feses, dan tingkah laku.

Masa Adaptasi

Bobot badan hewan uji selama masa adaptasi mengalami kenaikkan dari hari ke 0 sampai hari ke 14 (Gambar 6). Bobot badan hewan uji pada masa awal adaptasi rata-rata sebesar 211.47±9.76 gram. Rerata bobot

badan hewan uji pada akhir masa adaptasi naik menjadi sebesar 241.88±8.87 gram. Kenaikan bobot badan hewan uji dapat dikarenakan oleh pertumbuhan yang dialami oleh hewan uji. Kenaikan sebesar 14.39 % ini menunjukkan bahwa hewan uji dalam kondisi sehat. Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa hewan uji dalam kondisi baik untuk mendapat perlakuan. Kenaikan bobot badan hewan uji dapat dilihat pada Gambar 6.

Kenaikan bobot badan pada masa adaptasi antara kelompok satu dengan yang lainnya tidak terlalu berbeda jauh. Bobot badan hewan uji kelompok U2 memiliki nilai kenaikan yang paling tinggi dibandingkan dengan kelompok lainnya (18.07%). Selanjutnya disusul oleh kelompok parasetamol (kontrol negatif) yaitu sebesar 15.66%. Sedangkan untuk kenaikan bobot badan terendah adalah kelompok normal yaitu sebesar 11.09%.

Kondisi fisik hewan uji selama masa adaptasi tidak berbeda antara hewan satu dengan lainnya. Warna mata, warna feses, tekstur feses, dan tingkah laku keseluruhan hewan uji hampir memiliki kesamaan. Warna mata hewan uji selama belum mengalami perlakuan adalah merah. Warna fesesnya hijau tua, tekstur fesesnya padat, dan tingkah lakunya normal. Menurut Afrian (2009) dalam sekripsinya, tikus Sprague

Dawley yang sehat memiliki karakteristik

yang sama seperti yang dimiliki oleh hewan uji pada masa adaptasi.

Gambar 6 Bobot badan hewan uji selama masa adaptasi.

Masa Perlakuan

Hewan uji mengalami perubahan bobot badan dan kondisi fisik setelah mendapat perlakuan. Perlakuan yang menyebabkan perubahan bobot badan dan kondisi fisik diantaranya adalah induksi parasetamol,

pemberian temulawak, dan pemberian ekstrak undur-undur. Hasil pengaruh induksi parasetamol dan pemberian ekstrak undur-undur serta temulawak terhadap bobot badan hewan uji terlihat pada Gambar 7. Bobot badan hewan uji pada seluruh kelompok mengalami kenaikan pada minggu pertama induksi parasetamol. Rerata kenaikan seluruh kelompok adalah 5.10%±1.51. Hal ini dikarenakan parasetamol belum begitu berpengaruh terhadap nafsu makan hewan uji. Penelitian Afrian (2008) sebelumnya juga menunjukkan bahwa bobot badan hewan uji belum mengalami penurunan ketika diinduksi parasetamol selama 7 hari setelah penyesuaian terhadap lingkungan.

Bobot badan hewan uji pada seluruh kelompok kecuali kelompok normal mengalami penurunan setelah hari 7 sampai hari 14. Rerata penurunan bobot badan seluruh kelompok kecuali kelompok normal adalah 8.92%±1.84. Berdasarkan hasil tersebut diduga bahwa pemberian parasetamol dalam dosis toksik (500 mg/Kg bobot badan) dapat mempengaruhi nafsu makan yang mengakibatkan penurunan bobot badan. Menurut Gan (1980) toksisitas parasetamol akan menimbulkan berbagai macam gejala seperti anoreksia, mual-mual, muntah serta sakit perut yang terjadi dalam 24 jam pertama dan dapat berlangsung terus menerus selama seminggu atau lebih. Gejala-gejala inilah yang menimbulkan penurunan nafsu makan sehingga berpengaruh terhadap bobot badan. Kelompok normal tidak mengalami penurunan bobot badan (mengalami kenaikan 2.02%) karena tidak diinduksi parasetamol. Walaupun demikian, kenaikan bobot badan sedikit berkurang setelah seminggu pertama (6.45%). Hal ini diduga disebabkan oleh stress. Stress yang terjadi terkait dengan produksi protein stres yang meningkat (Sumitro et.al 1994). Pada umumnya tikus yang stres mengalami penurunan bobot badan akibat nafsu makan yang berkurang. Gejala lain yang dapat timbul adalah produksi urin dan waktu tidur yang bertambah. Berdasarkan pengamatan, hewan uji segera tidur setelah diinduksi parasetamol.

Hari ke-15 hingga hari ke-35 semua kelompok mengalami kenaikan bobot badan karena pada periode ini pemberian parasetamol sudah dihentikan. Rerata kenaikan bobot badan seluruh kelompok adalah 12.93%±3.31. Kelompok dosis 1

Hari

Bobot badan (

g

mengalami kenaikan bobot badan yang tertinggi dikarenakan sejak awal bobot badan hewan uji lebih tinggi dari lima kelompok yang lain. Kelompok U1 (5 mg/Kg) mengalami kenaikan sebesar 18.1%, kelompok U2 (10 mg/Kg) 13.13%, kelompok U3 (15 mg/Kg) mengalami kenaikan sebesar 13.13%, kelompok positif mengalami kenaikan bobot badan sebesar 13.86%, kelompok negatif mengalami kenaikan bobot badan sebesar 11.46%, dan kelompok normal mengalami 7.92%.

Berdasarkan hasil tersebut, diduga bahwa pemberian temulawak maupun undur-undur mempengaruhi nafsu makan sehingga menaikkan bobot badan hewan uji. Hal ini sesuai dengan penelitian Liang et al. (1985) yang menyatakan bahwa temulawak dapat digunakan sebagai obat untuk mengatasi gangguan saluran pencernaan, gangguan aliran getah empedu, diare, kurang nafsu makan, radang lambung dan dapat mencegah terjadinya pelemakan dalam sel- sel hati. Kandungan kurkuminoid dalam temulawak juga dapat berfungsi untuk meningkatkan produksi dan sekresi empedu. Kemampuan temulawak menghasilkan senyawa antibakteri mempengaruhi kinerja mikroflora usus sehingga proses pencernaan menjadi lebih optimal (Sedarnawati et al. 1991).

Kenaikan bobot badan dalam jumlah yang tinggi juga terjadi pada kelompok U1, U2, dan U3. Berdasarkan hasil tersebut, diduga pemberian undur-undur juga mempengaruhi nafsu makan. Menurut Chounta (2003) klorpropamida yang merupakan senyawa turunan sulfoniluria pada undur-undur memiliki potensi sebagai obat kolestasis, yaitu berkurang atau terhentinya aliran empedu sehingga di dalam usus tidak terdapat empedu untuk membantu mencerna lemak dan makanan.

Kondisi fisik hewan uji berupa warna feses dan tekstur feses selama masa perlakuan memiliki perbedaan jika dibandingkan dengan masa adaptasi. Sedangkan untuk warna mata dan tingkah laku hewan uji selama masa adaptasi dan masa perlakuan tidak mengalami perubahan. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan yang diberikan berpengaruh terhadap hewan uji secara fisik.

Feses hewan uji setelah pemberian parasetamol terlihat lebih lunak, lebih berbau dan warnanya lebih pucat. Perubahan kondisi fisik hewan uji diduga karena melemahnya fungsi hati akibat dosis toksik

parasetamol. Hal ini mempengaruhi homeostasis tubuh yang kemudian berdampak pada kondisi fisik hewan tersebut. Terlihat pada Gambar 7 kondisi fisik hewan coba mulai membaik setelah diberi undur-undur dan temulawak.

Gambar 7 Bobot badan hewan uji selama perlakuan.

Efek Parasetamol dan Ekstrak Undur- Undur terhadap Aktitivitas ALT dan

AST

Indikator utama yang diamati pada percobaan ini adalah aktivitas enzim transaminase yang meliputi enzim alanin amino transferase (ALT) dan aspartat amino transferase (AST). Enzim transaminase merupakan enzim intraseluler sehingga apabila terjadi kerusakan sel seperti gangguan permeabilitas dinding sel hati akan mengakibatkan aktivitasnya meningkat (Kaneko 1980 & Coles 1986).

Aktivitas ALT hewan uji selama percobaan dapat dilihat pada Gambar 8. Pemberian parasetamol selama 2 minggu telah menaikkan aktivitas baik ALT maupun AST. Hasil tersebut memperlihatkan kerusakan sel-sel hati yang cukup parah oleh parasetamol.

Parasetamol bila dikonsumsi secara berlebihan dapat memicu radikal bebas dan menstimulasi sistem sitokrom P450. Sitokrom P450 akan mengaktivasi pembentukan metabolit reaktif n-asetil-p- benzokuinonimin atau NAPQI. Produksi NAPQI yang terlalu besar tidak dapat dinetralisir oleh glutation (GSH). Akibatnya NAPQI akan mengoksidasi makromolekul seperti lemak dan gugus tiol. Jalur lain yang digunakan oleh sitokrom P450 adalah mengkonversi parasetamol menjadi semikuinon. Semikuinon ini dapat bereaksi dengan gugus –SH atau mereduksi oksigen menjadi O2-. Reduksi senyawa ini akan

menghasilkan suatu radikal bebas lagi yang akan dapat mengoksidasi molekul fosfolipid

Bobot badan (

g

)

lainnya sehingga terjadi reaksi oksidasi berantai (Murugesh et al. 2005).

Aktivitas ALT Kelompok Normal

Rataan konsentrasi ALT kelompok normal pada hari ke 0 adalah 79.5 U/L (Gambar 8). Rataan konsentrasi ALT pada hari ke 14 adalah 79.25±21.36 U/L (cenderung stabil dan homogen). Setelah diuji, tidak terdapat perbedaan yang signifikan dan dapat dikatakan bahwa konsentrasi darah dari hari ke 0 sampai hari ke 14 cenderung stabil (p=0.46).

Setelah 35 hari berikutnya rataan konsentrasi ALT kelompok normal berubah menjadi 89.5±5.92 U/L. Hal ini disebabkan karena 14 hari pertama hewan uji belum mendapat perlakuan berupa pencekokan. Pencekokan dapat menyebabkan stress pada hewan uji (Afrian 2008). Perubahan nilai konsentrasi ALT antara hari ke 35 dan hari ke 14 sebesar 12.93% tidak signifikan setelah diuji statistika pada α=5% (p>0.05). Hal ini menunjukkan bahwa konsentrasi ALT selama percobaan cenderung stabil.

Nilai konsentrasi ALT dalam Afrian (2008) berbeda dengan hasil yang diperoleh pada percobaan ini. Konsentrasi ALT dalam Afrian 2009 lebih rendah dibandingkan dengan hasil percobaan. Walaupun demikian, nilai yang diperoleh dari percobaan sesuai dengan nilai ALT menurut Pilichos et al. (2004).

Aktivitas ALT Kelompok Parasetamol ( Negatif)

Rataan kelompok negatif awal percobaan adalah 79.5 U/L. Empat belas hari setelah pencekokan rataan ALT naik menjadi 103.75±15,11 U/L. Kenaikan sebesar 30.5% pada kelompok ini memiliki perbedaan yang signifikan setelah diuji statistika (p=0.01). Hal ini menunjukkan bahwa parasetamol berpengaruh terhadap meningkatnya konsentrasi enzim ALT dalam darah.

Rataan kelompok negatif di akhir percobaan menjadi sebesar 82,5±5.69 U/L. Penurunan konsentrasi ALT sebesar 20.48% ini dikarenakan penghentian pencekokan parasetamol terhadap hewan uji. Nilai rataan konsentrasi ALT di awal dan akhir percobaan tidak berbeda nyata. Hal ini menunjukkan bahwa penghentian pemberian parasetamol terhadap hewan uji berpengaruh terhadap menurunnya konsentrasi ALT dalam darah.

Menurut Udupa et al. (2000) dalam Afrian (2008) dosis parasetamol yang digunakan pada percobaan ini merupakan dosis toksik untuk tikus percobaan. Afrian (2008) menyebutkan bahwa pada minggu pertama pemberian parasetamol konsentrasi ALT belum begitu naik, namun setelah itu konsentrasi ALT naik sampai pada minggu berikutnya.

Aktivitas ALT Kelompok Temulawak (Positif)

Kelompok temulawak mengalami kenaikan ALT pada dua minggu pertama pemberian parasetamol walaupun tidak nyata (p=0.51). Konsentrasi ALT mulai menurun setelah pemberian parasetamol dihentikan. Kenaikan konsentrasi ALT kelompok temulawak sangat kecil dibandingkan kelompok lainnya yaitu sebesar 5.32%.

Setelah dua minggu pemberian parasetemol, walaupun tidak nyata konsentrasi ALT mengalami penurunan sebesar 2.07%. Jika diperhatikan, pada Gambar 8 terlihat seluruh kelompok memiliki nilai konsentrasi mengumpul di akhir percobaan. Demikian juga dengan kelompok temulawak. Hal ini menunjukkan konsentrasi ALT mendekati nilai yang sama dengan nilai awal.

Menurut Liza (2010) temulawak terbukti secara klinis sebagai hepatoprotektor. Temulawak mengandung senyawa kurkumin yang bekerja menghambat sitokrom P450. Penelitiannya menyebutkan bahwa kurkumin dengan dosis 80 mg/Kg BB yang diberikan pada tikus mampu menurunkan aktivitas enzim hati dan produk reaktif asam tiobarbiturat.

Aktivitas ALT Kelompok Undur-Undur Dosis 1,2,3 (U1, U2, U3)

Gambar 8 memperlihatkan bahwa ketiga kelompok perlakuan undur-undur memiliki pola yang sama yaitu meningkat pada empat belas hari pemberian parasetamol dan menurun setelahnya. Kelompok U1 pada awal percobaan memiliki konsentrasi ALT sebesar 79.5 U/L. Setelah empat belas hari diberi parasetamol konsentrasi ALT meningkat sebesar 6.29% menjadi 84.5 U/L. Meskipun secara statistika tidak signifikan (p=0.55), namun terlihat pada grafik peningkatannya. Setelah pemberian parasetamol dihentikan, konsentrasi ALT menurun sebesar 0.89%. Penurunan yang sedikit ini diduga

disebabkan karena dosis undur-undur yang dipakai masih terlalu kecil sehingga tidak terlalu berefek terhadap perbaikan kondisi hati. Akibatnya penurunan konsentrasi ALT juga kecil.

Kelompok U2 memiliki nilai konsentrasi yang sama dengan U1 pada awal percobaan. Setelah diberi parasetamol selama 14 hari konsentrasi ALT meningkat sebesar 45.28% menjadi 115.5 U/L. Kenaikan ini akibat dari pemberian parasetamol terhadap hewan uji. Setelah pemberian parasetamol dihentikan ALT turun 25.97% menjadi 85.5 U/L. Secara statistika perubahan nilai ALT hari 0, 14, dan 35 tidak berbeda nyata (p=0.15). Namun terlihat pada Gambar 8 kelompok U2 lah yang paling curam penurunan ALT pada hari 14 sampai 35. Dosis undur-undur yang dipakai pada kelompok U2 sama dengan dosis undur-undur yang dipakai dalam penelitian Afrian (2008). Afrian (2008) dalam skripsinya menyatakan bahwa undur-undur dengan dosis 10 mg/Kg (dosis 2) bobot badan dapat menurunkan aktivitas ALT yang mendekati kondisi normal.

Kelompok U3 memiliki pola aktivitas ALT yang mirip dengan kelompok U1 dan U2 yaitu naik pada hari 0 sampai hari 14 dan menurun setelah hari 14 sampai hari 35. Hari 0 nilai ALT sama dengan nilai ALT kelompok lainnya yaitu 79.5 U/L. Aktivitas ALT naik sampai hari 14 sebesar 13.52% menjadi 90.25 U/L. Setelah hari 14 sampai hari ke-35 aktivitas ALT menurun sebesar 6.65% menjadi 84.25 U/L. Setelah diuji statistika (p=0.69) nilai kelompok U3 tidak berbeda nyata antara hari ke 0, 14, dan 35.

Penurunan paling tajam terjadi pada kelompok undur-undur dosis 2. Hal ini menunjukkan dosis 2 adalah dosis yang efektif untuk menurunkan aktivitas ALT dibandingkan dosis lainnya. Kelompok negatif juga mengalami penurunan yang besar dibandingkan dengan kelompok U1 dan U3. Hal ini diduga mekanisme penyembuhan sendiri sel hepatosit lebih besar daripada mekanisme penyembuhan dengan ekstrak undur-undur dosis 1 dan 3. Kelompok normal mengalami kenaikan setelah hari ke 14. Hal ini diduga karena adanya infeksi lingkungan terhadap hewan coba. Sedangkan untuk kelompok dosis 1, 2, 3 dan kontrol positif juga mengalami penurunan ALT diduga karena adanya senyawa aktif yang dapat menghambat infeksi lingkungan.

Aktivitas enzim seluruh kelompok hari 35 nilainya mendekati normal. Hal ini mengakibatkan tidak adanya perbedaan antara kelompok satu dengan lainnya karena sel hati sudah mulai pulih kembali mendekati normal. Aktivitas enzim akan terlihat bedanya jika dilakukan pengambilan darah sebelum hari 35. Penelitian Afrian (2008) melakukan pengambilan darah pada hari ke 28 pasca pencekokan parasetamol.

Gambar 8 Aktivitas ALT selama percobaan

Aktivitas AST Kelompok Normal

Enzim AST diukur juga pada percobaan ini sebagai bukti penunjang kerusakan sel hepatosit. Enzim ALT saja sudah cukup untuk mengetahui kondisi sel hepatosit karena enzim ini diproduksi di hati saja. Sedangkan AST diproduksi juga di ginjal dan pankreas.

Aktivitas AST di awal percobaan adalah 110 U/L. Setelah pencekokan air mineral selama 14 hari aktivitas AST meningkat 50.68% menjadi 165.75 U/L. Hal ini diduga karena hewan uji stress oleh pencekokan. Kemudian pada hari ke 35 setelah aktivitas AST turun sebesar 2.87% menjadi 161 U/L. Setelah diuji statistika terdapat perbedaan nyata antara hari ke 0 terhadap hari ke 35 dan 14 (p=0.058). Sedangkan AST hari ke 14 dan 35 tidak berbeda. Hal ini menunjukkan aktivitas AST sebelum pencekokan dan sesudah pencekokan berbeda signifikan. Pencekokan dapat mengakibatkan stress yang dapat meningkatkan kadar enzim AST (Afrian 2008).

Aktivitas AST Kelompok Parasetamol (Negatif)

Aktivitas AST kelompok parasetamol memiliki pola yang sama dengan kelompok normal. Namun kelompok parasetamol memiliki kenaikan yang lebih besar (213.5 U/L) daripada kelompok normal (165.75) pada hari ke 14. Kenaikan sebesar 94.90%

tersebut dikarenakan pemberian parasetamol terhadap hewan uji seperti yang telah diketahui bahwa parasetamol dapat meningkatkan aktivitas enzim baik AST maupun ALT.

Pemberian parasetamol dihentikan setelah hari 14. Hal ini berpengaruh terhadap aktivitas AST. Terlihat pada Gambar 9 kelompok negatif mengalami penurunan aktivitas setelah hari 14 sampai hari 35 (191.75 U/L). Penurunan aktivitas AST pada hari 35 adalah 10.19 %. Penurunan ini cukup besar jika dibandingkan dengan kelompok lainnya dan setelah diuji statistika hasilnya berbeda nyata (p=0.00).

Aktivitas AST Kelompok Temulawak (Positif)

Aktivitas AST kelompok positif memiliki pola yang sama dengan kelompok normal dan kelompok negatif. Aktivitas AST di awal percobaan juga sama dengan kelompok normal dan negatif yaitu sebesar 110 U/L. Kenaikan aktivitas AST hari 14 kelompok positif (59.10%) tidak sebesar kelompok negatif (94.90%).

Aktivitas AST setelah hari 14 mulai menurun. Hari 35 kadar AST adalah 160.75 U/L. Penurunan sebesar 8.14% ini tidak berbeda nyata dengan AST hari 14. Namun berbeda nyata dengan AST hari 0 (p=0.01). Hal ini menunjukkan pemberian temulawak tidak menurunkan AST paska pemberian parasetamol. Meskipun secara statistika tidak berbeda nyata namun terlihat pada Gambar 9 adanya penurunan AST walaupun kecil.

Temulawak dapat menjadi hepatoprotektor karena mampu menurunkan aktivitas enzim hati seperti yang telah di sebutkan sebelumnya (Liza 2010). Enzim AST adalah salah satu enzim hati yang dapat diturunkan aktivitasnya oleh temulawak. Penelitian ini juga sesuai dengan penelitian Afrian (2008) yang menyebutkan bahwa temulawak mampu menurunkan aktivitas enzim AST hati.

Aktivitas AST Kelompok Undur-Undur Dosis 1, 2, dan 3 (U1, U2, U3)

Kelompok U1, U2, dan U3 memiliki nilai AST yang sama dengan kelompok lainnya pada hari 0 yaitu 110 U/L. Kelompok undur-undur juga memiliki pola yang sama dengan kelompok normal, parasetamol, dan temulawak. Grafik seluruh kelompok hewan uji naik pada hari 0 sampai hari 14 dan turun setelah hari 14 sampai hari

35. Pola grafik seperti ini pun sama dengan grafik aktivitas enzim ALT.

Kelompok U1 mengalami kenaikan pada hari 14 yaitu 166.25 U/L (51.14%). Kenaikan ini cukup signifikan (p=0.05). Hal ini disebabkan oleh pemberian parasetamol dengan dosis yang cukup untuk menaikan AST (100 mg/mL). Setelah hari 14, AST menurun karena pemberian parasetamol dihentikan. Hari 35 AST turun mencapai nilai 115 U/L (30.83%). Berdasarkan uji statistika, AST hari 35 tidak berbeda dengan AST hari 0 sehingga dapat dikatakan kondisi hati hari ke 35 hampir sama dengan hari 0. Oleh karena itu dapat dikatakan dosis 1 dapat memperbaiki kondisi hati karena dapat menurunkan aktivitas AST.

Kelompok U2 memiliki grafik yang polanya sama dengan kelompok U1 (Gambar 9). Hari 0 aktivitas AST kelompok U2 sama dengan kelompok lainnya yaitu 110 U/L. Aktivitas AST meningkat setelah hari 0 sampai hari 14 sebesar 184.75 U/L (67.95%). Sama seperti kelompok lainnya kenaikan ini disebabkan oleh pemberian parasetamol selama 14 hari. Kenaikan aktivitas AST kelompok U2 lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok U1 namun dibandingkan dengan kelompok parasetamol masih lebih rendah.

Aktivitas AST kelompok U2 mulai menurun setelah hari 14 sampai hari 35. Penurunan tersebut sebesar 16.78% (153.75 U/L). Perubahan aktivitas AST kelompok U2 cukup signifikan (p=0.003). Hal ini menunjukkan parasetamol berpengaruh menaikkan aktivitas AST pada kelompok U2. Penurunan AST kelompok U2 (16.78%) lebih besar daripada kelompok parasetamol (10.19 %) namun masih kurang dibandingkan dengan U1(30.83%). Hal ini menunjukkan bahwa dosis 2 dapat menurunkan aktivitas AST namun masih lebih baik dosis 1.

Kelompok U3 juga memiliki grafik yang polanya sama dengan kelompok lainnya. Hari 0 aktivitas AST kelompok U3 110 U/L. Setelah hari 0 sampai hari 14 aktivitas AST mengalami kenaikan sebesar 154 U/L (40%). Penurunan ini cukup signifikan secara statistika (p=0.003). Dibandingkan dengan kelompok U1 dan U2, kenaikan aktivitas AST kelompok U3 lebih rendah. Dibandingkan dengan kelompok lainnya, kelompok U3 juga memiliki kenaikan aktivitas AST yang paling rendah.

Setelah hari 14 sampai hari 35 aktivitas AST menurun sebesar 129 U/L (16.23%).

Penurunan aktivitas AST kelompok U3 lebih besar daripada kelompok parasetamol. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian ekstrak undur-undur dengan dosis 3(15 mg/Kg) lebih baik daripada pencabutan parasetamol. Penurunan aktivitas AST ini masih kecil dibandingkan dengan kelompok U2 dan U1. Dengan demikian dosis undur-undur yang digunakan kelompok 3 tidak lebih baik daripada dosis undur-undur yang digunakan kelompok U2 dan U1. Walaupun kelompok U1 yang paling bagus untuk penyembuhan sel hati namun perlu diingat bahwa indikator utama kerusakan hati adalah enzim ALT.

Hasil analisis aktivitas enzim AST tidak selaras dengan enzim ALT. Berdasarkan analisis enzim AST dosis 1 paling baik untuk penyembuhan hati setelah induksi parasetamol sedangkan berdasarkan analisis enzim ALT, dosis 2 yang paling baik. Ketidak selarasan ini dapat dikarenakan oleh aktivitas AST yang terhitung tidak hanya AST yang murni dari hati tapi dapat pula dari organ tubuh lain seperti jantung, otot, ginjal, otak dan paru- paru (Hayward 2007).

Gambar 9 Aktivitas AST selama percobaan

Efek Ekstrak Undur-Undur terhadap Gambaran Histopatologi Hati Tabel 1 menunjukkan hasil penilaian lesi atau luka jaringan hati hewan coba di akhir perlakuan. Jaringan hati normal ditandai dengan inti hepatosit yang terlihat jelas, adanya sitoplasma di dalam membran sel, dan sel-sel hepatosit yang tersusun radial dari vena sentral. Sedangkan untuk jaringan hati yang tidak normal ditandai dengan pembangkakan sel, tidak adanya inti sel, dan jarak antar sel yang tidak rapi. Gambar histopatologi hati dapat dilihat pada Lampiran 11.

Tabel 1 Hasil skoring histopatologi hati

Kelompok X Skor lesi U1 U2 U3 Temulawak Parasetamol Normal 1.3 0.6 1.1 0.9 3 1 2 1 2 1 3 1 Ket: X= rataan nilai pengamatan

Kelompok perlakuan undur-undur yaitu U1, U2, dan U3 memiliki rataan nilai kerusakan yang berbeda. Kelompok U2 (0.6) memiliki nilai yang paling rendah diikuti dengan kelompok U3 (1.1) dan kelompok U1 (1.3). Dosis 1 diperkirakan masih terlalu rendah sehingga belum begitu memberikan efek perbaikan hati. Sedangkan dosis 3 diduga terlalu tinggi sehingga menyebabkan perbaikan sel hati menjadi menurun. Dosis 2 diduga merupakan dosis yang tepat untuk penyembuhan sel hati yang telah diinduksi parasetamol.

Kelompok U2 (0.6) dengan kontrol posistif (0.9) memiliki nilai kerusakan yang hampir sama. Kerusakan hati pada kelompok dosis 2 lebih rendah daripada kontrol positif. Hal ini dapat dikarenakan adanya infeksi lingkungan. Demikian juga dengan kelompok normal (1). Kelompok dosis 2 memiliki nilai kerusakan yang lebih kecil dibandingkan kelompok normal. Diduga dalam ekstrak undur-undur terdapat zat aktif yang dapat melawan infeksi lingkungan. Kelompok normal memiliki kerusakan yang lebih tinggi karena kelompok ini tidak dicekok oleh undur- undur maupun temulawak. Kelompok normal juga mengalami kerusakan hati karena infeksi lingkungan. Berdasarkan gambaran sel hati di atas, dosis 2 merupakan dosis yang paling bagus untuk memperbaiki kondisi hati dibandingkan dosis lainnya.

Dokumen terkait