• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ekstrak air undur-undur (Myrmelon sp.) sebagai hepatoprotektor tikus jantan sprague dawley yang diinduksi parasetamol

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Ekstrak air undur-undur (Myrmelon sp.) sebagai hepatoprotektor tikus jantan sprague dawley yang diinduksi parasetamol"

Copied!
95
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

ARIA YUDAN TARA. Ekstrak Undur-Undur (

Myrmelon

sp.) sebagai

Hepatoprotektor Hati Tikus Jantan (

Sprague-Dawley

) yang Diinduksi

Parasetamol. Dibimbing oleh AHMAD ENDANG ZAINAL HASAN dan AGUS

SETIYONO.

(2)

ABSTRACT

ARIA YUDANTARA. Extract Water of Undur-undur (Myrmelon Sp.) as

Hepatoprotector Liver of Male Mouse (Sprague-Dawley) which is Induced by

Paracetamol. Under the direction of AHMAD ENDANG ZAINAL HASAN and

AGUS SETIYONO.

(3)

PENDAHULUAN

Hati merupakan organ tubuh yang penting untuk menjaga dan menentukan derajat kesehatan seseorang. Kondisi dan fungsi hati dipengaruhi oleh berbagai faktor. Polusi yang semakin meningkat disertai dengan perubahan pola hidup yang cenderung serba instan telah menjadikan masyarakat rentan terhadap berbagai penyakit hati. Hal ini terkait dengan fungsi hati sebagai organ detoksifikasi. Kemampuan hati dalam mendetoksikasi bahan yang berbahaya menjadi bahan yang tidak membahayakan tubuh sangat terbatas sehingga racun pada kadar tertentu dapat menimbulkan kerusakan pada organ hati itu sendiri.

Kebiasaan masyarakat yang kurang baik adalah menggunakan obat-obatan sintetik yang beredar bebas di pasaran. Salah satu jenis obat sintetik yang beredar bebas dan banyak dikonsumsi oleh masyarakat dalam jumlah besar adalah parasetamol. Obat ini sering digunakan sebagai penurun panas (antipiretik) dan penghilang nyeri (analgesik) yang murah dan aman. Obat ini sering digunakan dalam dosis yang berlebihan melebihi yang dianjurkan. Penggunaan parasetamol yang berlebihan dan tidak sesuai anjuran dapat menyebabkan komplikasi penyakit dan berakibat kematian. Menurut Zimerman (1978), senyawa kimia yang dapat menimbulkan kerusakan pada hati apabila digunakan dalam dosis yang berlebihan dan dalam jangka waktu yang lama disebut sebagai senyawa hepatotoksik. Contohnya adalah karbon tetraklorida (CCl4), kloroform, etionin, dan

parasetamol.

Berbagai penelitian pun dilakukan untuk menggali potensi kekayaan alam yang bermanfaat mengingat Indonesia memiliki kekayaan alam berupa keanekaragaman flora dan fauna. Masing-masing keanekaragaman fauna memiliki berbagai manfaat untuk kepentingan manusia. Undur-undur adalah salah satu fauna khas Indonesia yang telah diketahui manfaatnya sebagai hepatoprotektor. Hasil penelitian Afrian (2008) membuktikan bahwa undur-undur memiliki aktivitas antihepatotoksik. Namun penelitian mengenai konsentrasi yang tepat dalam penggunaannya belum diketahui.

Penelitian ini dilakukan secara in vivo

dengan tikus galur Sprague-Dawley sebagai hewan ujinya. Aktivitas antihepatotoksik

dapat diketahui dari uji AST atau ALT tikus. Perubahan biokimiawi karena kerusakan hati ditunjukkan dengan adanya kenaikan aktivitas glutamate piruvat transaminase (GPT) atau alanin aminotransferase (ALT)

dan aktivitas glutamat oksaloasetattransaminase (GOT) atau aspartat aminotransferase (AST). Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh ekstrak undur-undur terhadap kondisi hati dengan temulawak sebagai pembanding, meliputi aktivitas enzim AST dan ALT yang dihasilkan serta gambaran sel hati. Hipotesis penelitian ini adalah semakin besar konsentrasi ekstrak undur-undur semakin bagus untuk memperbaiki kerusakan sel hati. Diharapkan aktivitas antihepatotoksik yang diperoleh dari percobaan ini adalah maksimum sehingga dapat memberikan alternatif pengobatan alami.

TINJAUAN PUSTAKA

Organ Hati

Hati merupakan organ dalam terbesar serta bagian tubuh manusia terbesar kedua setelah kulit. Unit struktural utama hati adalah sel-sel hati (sel hepatosit). Sel-sel ini berkelompok dalam lempeng-lempeng yang saling berhubungan sedemikian rupa (Junqueira dan Carnaero 1995). Di antara lempengan sel hati terdapat kapiler-kapiler yang dinamakan sinusoid yang merupakan cabang dari vena porta dan arteria hepatika (Price dan Wilson 1995). Sinusoid vena dibatasi oleh dua jenis sel yaitu sel endotel dan sel kupffter besar yang merupakan sel retikuloendotel yang mampu memfagositosis bakteri dan benda asing dalam darah (Guyton 1983). Diantara sel hati dan sel endotel terdapat celah sempit yang dinamakan celah disse (Guyton 1983).

(4)

PENDAHULUAN

Hati merupakan organ tubuh yang penting untuk menjaga dan menentukan derajat kesehatan seseorang. Kondisi dan fungsi hati dipengaruhi oleh berbagai faktor. Polusi yang semakin meningkat disertai dengan perubahan pola hidup yang cenderung serba instan telah menjadikan masyarakat rentan terhadap berbagai penyakit hati. Hal ini terkait dengan fungsi hati sebagai organ detoksifikasi. Kemampuan hati dalam mendetoksikasi bahan yang berbahaya menjadi bahan yang tidak membahayakan tubuh sangat terbatas sehingga racun pada kadar tertentu dapat menimbulkan kerusakan pada organ hati itu sendiri.

Kebiasaan masyarakat yang kurang baik adalah menggunakan obat-obatan sintetik yang beredar bebas di pasaran. Salah satu jenis obat sintetik yang beredar bebas dan banyak dikonsumsi oleh masyarakat dalam jumlah besar adalah parasetamol. Obat ini sering digunakan sebagai penurun panas (antipiretik) dan penghilang nyeri (analgesik) yang murah dan aman. Obat ini sering digunakan dalam dosis yang berlebihan melebihi yang dianjurkan. Penggunaan parasetamol yang berlebihan dan tidak sesuai anjuran dapat menyebabkan komplikasi penyakit dan berakibat kematian. Menurut Zimerman (1978), senyawa kimia yang dapat menimbulkan kerusakan pada hati apabila digunakan dalam dosis yang berlebihan dan dalam jangka waktu yang lama disebut sebagai senyawa hepatotoksik. Contohnya adalah karbon tetraklorida (CCl4), kloroform, etionin, dan

parasetamol.

Berbagai penelitian pun dilakukan untuk menggali potensi kekayaan alam yang bermanfaat mengingat Indonesia memiliki kekayaan alam berupa keanekaragaman flora dan fauna. Masing-masing keanekaragaman fauna memiliki berbagai manfaat untuk kepentingan manusia. Undur-undur adalah salah satu fauna khas Indonesia yang telah diketahui manfaatnya sebagai hepatoprotektor. Hasil penelitian Afrian (2008) membuktikan bahwa undur-undur memiliki aktivitas antihepatotoksik. Namun penelitian mengenai konsentrasi yang tepat dalam penggunaannya belum diketahui.

Penelitian ini dilakukan secara in vivo

dengan tikus galur Sprague-Dawley sebagai hewan ujinya. Aktivitas antihepatotoksik

dapat diketahui dari uji AST atau ALT tikus. Perubahan biokimiawi karena kerusakan hati ditunjukkan dengan adanya kenaikan aktivitas glutamate piruvat transaminase (GPT) atau alanin aminotransferase (ALT)

dan aktivitas glutamat oksaloasetattransaminase (GOT) atau aspartat aminotransferase (AST). Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh ekstrak undur-undur terhadap kondisi hati dengan temulawak sebagai pembanding, meliputi aktivitas enzim AST dan ALT yang dihasilkan serta gambaran sel hati. Hipotesis penelitian ini adalah semakin besar konsentrasi ekstrak undur-undur semakin bagus untuk memperbaiki kerusakan sel hati. Diharapkan aktivitas antihepatotoksik yang diperoleh dari percobaan ini adalah maksimum sehingga dapat memberikan alternatif pengobatan alami.

TINJAUAN PUSTAKA

Organ Hati

Hati merupakan organ dalam terbesar serta bagian tubuh manusia terbesar kedua setelah kulit. Unit struktural utama hati adalah sel-sel hati (sel hepatosit). Sel-sel ini berkelompok dalam lempeng-lempeng yang saling berhubungan sedemikian rupa (Junqueira dan Carnaero 1995). Di antara lempengan sel hati terdapat kapiler-kapiler yang dinamakan sinusoid yang merupakan cabang dari vena porta dan arteria hepatika (Price dan Wilson 1995). Sinusoid vena dibatasi oleh dua jenis sel yaitu sel endotel dan sel kupffter besar yang merupakan sel retikuloendotel yang mampu memfagositosis bakteri dan benda asing dalam darah (Guyton 1983). Diantara sel hati dan sel endotel terdapat celah sempit yang dinamakan celah disse (Guyton 1983).

(5)

sel-sel tersebut atau intervensinya dengan sistem vaskular hepatik dapat menimbulkan dampak serius dalam jangka panjang. Dampak tersebut tidak hanya mempengaruhi organ hati tetapi juga organ lain dan sistem pada tubuh lainnya (Runnells et al 1965).

Struktur sel hati tidak berbeda dengan struktur sel tubuh yang lain (Lehninger 1993). Membran sel yang juga disebut membran plasma bersifat selektif permeabel. Membran ini mengangkut nutrien dan garam yang dibutuhkan ke dalam sel. Susunan molekuler membran plasma sel hati sama seperti semua sel pada umumnya yaitu lipid yang mengandung protein.

Di dalam membran terdapat sitosol yang berisi organel dan komponen granula sitoplasma. Sitoplasma mempunyai cairan yang kompleks dan konsistensinya hampir seperti gel. Sitosol mengandung berbagai enzim dalam bentuk terlarut dan protein yang mengikat, menyimpan atau mengangkut zat makanan, mineral dan oksigen. Sitosol hati juga mengandung berbagai ion mineral seperti K+, Mg2+, Ca2+, Cl-, HCO3-, dan HPO42- (Lehninger 1993).

Hati terdiri atas beberapa lobus dan masing-masing dilapisisi oleh peritoneum para viseralis dengan sel-sel misotel melekat pada kapsula tipis. Pembuluh darah yang mensuplai hati adalah vena porta dan arteri hepatik. Aliran darah dari vena porta mengandung sedikit oksigen dan berbagai zat racun dari usus, sel darah, limpa, dan sekresi pankreas. Sedangkan arteri hepatik mengalirkan darah yang kaya akan oksigen. Cabang-cabang kedua pembuluh darah mengikuti jaringan interlobularis di daerah portal (Dellman & Brown 1992).

Hati memiliki dua sumber suplai darah, dari saluran cerna dan limpa melalui vena porta dan dari aorta melalui vena hepatika. Vena porta membawa darah penuh makanan yang diserap dari usus dan organ tertentu, sedangkan arteria hepatika memberi darah pada sel-sel hati dengan darah bersih yang membawa oksigen. Cabang-cabang dari kedua pembuluh darah tersebut mengikuti jaringan ikat interlobularis di daerah portal (Dellmann & Brawn 1992).

Organ hati merupakan organ yang kompleks yang berfungsi sebagai sentral dalam metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein (Giannini et al. 2005). Fungsi-fungsi hati antara lain adalah sekresi empedu, metabolisme dari makromolekul, metabolisme besi (Fe), detoksikasi,

metabolisme dan penyimpanan vitamin, serta penyimpanan darah, bersama dengan vena porta dan limpa berfungsi sebagai reservoir darah (Runnells et al. 1965).

Hati juga memproduksi dan mensekresikan empedu yang dibutuhkan dalam pencernaan makanan. Cairan empedu mengalir secara langsung ke usus dua belas jari dan beberapa di antaranya disimpan di dalam kantong empedu (Koolman & Rohm 2001). Organ terbesar tubuh ini merupakan tempat utama metabolisme alkohol, parasetamol, serta senyawa-senyawa beracun lain yang akan menghasilkan metabolit asetaldehid yang sangat toksik. Hal inilah yang menjadikan hati sangat rentan dan berakibat fatal jika rusak oleh senyawa metabolit yang dihasilkannya (Brick 2004).

Kerusakan pada sel hati akan lebih mudah dipahami melalui gambaran hisopatologi hati. Histopatologi merupakan tinjauan terhadap organ hati secara mikroskopik yang meliputi pengamatan terhadap perubahan sel-sel dan jaringan di dalamnya. Beberapa jenis perubahan mikroskopik yang terjadi dapat dilihat dari perubahan pada inti, sitoplasma, maupun sel secara keseluruhan (tepi sel, perbedaan intensitas warna, serta batas antar sel) (Hodgson & Levi 2000).

Ada beberapa macam kerusakan sel hati. Diantaranya adalah oedema, dilatasi, degenerasi berbutir, dan nekrosis. Oedema atau pembengkakan dapat terjadi karena gangguan metabolisme yang menyebabkan kegagalan hati dalam menyusun asam amino menjadi protein. Akibatnya terjadi perbedaan tekanan osmotik. Rendahnya tekanan osmotik di luar sel menyebabkan cairan masuk ke dalam sel (Hastuti 2008).

(6)

Nekrosis memiliki beberapa ragam berdasarkan perubahan strukturalnya. Piknosis ditandai dengan inti sel yang mengkerut serta sitoplasma yang menyusut. Kariolisis adalah nekrosis yang ditandai dengan inti yang terfragmentasi. Matinya sel diikuti oleh perubahan morfologi seperti oedema pada sitoplasma, dilatasi pada retikulum endoplasma, disagregasi polisom, hilangnya mitokondria karena krista terdisrupsi, hilangnya inti dan beberapa organel lain dan akumulasi trigliserida (Hodgson & Levi 2000).

Gambar 1 Organ hati dan komponen komponennya (Anonim 2010).

Undur-undur Darat (Myrmelon sp.) Undur-undur darat merupakan insekta yang tersebar luas di seluruh dunia. Insekta ini biasa hidup di lingkungan yang kering dan berpasir. Ukuran rumah undur-undur berkisar antara 2-15 cm. Undur-undur termasuk ke dalam hewan omnivora. Larvanya memakan semut dan insekta lainnya sementara pada saat dewasa ia memakan tepung sari dan madu. Secara taksonomi undur-undur termasuk Kingdom Animalia, Filum Arthropoda, Kelas Insekta, Ordo Neuroptera, Sub Family Myrmeleontoidea, Famili myrmeleontidae, dan Genus Myrmeleon (Botz et al 2003).

Larva undur-undur darat hidup di pasir dengan membentuk jebakan lubang pasir dengan kedalaman sekitar 2-3 inci dari permukaan (Gambar 2). Larva ini dapat menangkap dan membunuh berbagai macam insekta dan bahkan mampu membunuh laba-laba berukuran kecil. Sisa makanan yang berupa bangkai kering akan dijentikan ke luar lubang pasir dan kemudian larva siap menyusun kembali jebakan lubang pasirnya.

Senyawa yang terkandung dalam undur-undur darat adalah sulfonilurea. Senyawa ini terdiri dari dua bentuk turunan. Turunan pertama yaitu asetoheksamida, klorpropamida, tolbutamida, dan tolazamida. Sedangkan turunan yang ke dua adalah glipizida, glikazida, gliburida, dan glikuidon. Turunan pertama senyawa ini memiliki potensi sebagai obat kolestasis sedangkan turunan keduanya tidak (Chounta 2003).

Pemeliharaan undur-undur cukup mudah dan praktis. Undur-undur cukup diletakkan pada kotak yang berisi pasir lembut dan kering. Setelah seminggu kemudian undur-undur akan mengeluarkan telurnya di sarangnya yang mirip dengan kawah gunung. Undur-undur hanya membutuhkan serangga kecil seperti semut atau telur semut herang. Setiap pagi kotak yang berisi undur-undur tersebut dijemur selama 2 jam agar tidak lembab (Wahid 2008).

(a)

(b)

(7)

Karakteristik dan Data Biologis Tikus Hewan percobaan atau sering disebut sebagai hewan laboratorium adalah semua jenis hewan dengan persyaratan tertentu yang dipelihara secara intensif di laboratorium. Hewan percobaan digunakan sebagai salah satu sarana dalam berbagai kegiatan penelitian. Tikus merupakan salah satu hewan yang sering digunakan dalam percobaan. Hewan coba yang digunakan dalam percobaan ini adalah galur Sprague-Dawley (Gambar 3).

Tikus adalah hewan pengerat yang mudah berkembang biak dan mudah dipelihara dalam jumlah banyak. Tikus yang baru lahir biasanya memiliki berat badan 5-6 gram dan memiliki kecepatan tumbuh sebesar 5 gram/hari. Umumnya berat badan tikus dewasa rata-rata 200-250 gram, tetapi bervariasi tergantung pada galurnya. Tikus jantan tua dapat mencapai 500 gram dan tikus betina jarang lebih dari 350 gram. Galur Sprague-Dawley paling besar hampir sebesar tikus liar (Mangkoewdjojo & Smith 1988).

Menurut Mangkoewdjojo & Smith (1988) tikus berbeda dengan hewan percobaan lain, tikus tidak dapat muntah karena struktur anatominya yang tidak lazim di tempat esofagus bermuara ke dalam lambung dan tikus tidak mempunyai kantung empedu.

Gambar 3 Tikus Sprague-Dawley.

Parasetamol sebagai Stimulan Kerusakan Hati

Hati sebagai salah satu organ yang fungsinya adalah untuk detoksifikasi memiliki enzim-enzim yang berfungsi dalam metabolisme zat asing (xenobiotik). Enzim-enzim tersebut terbagi menjadi dua kelompok utama yaitu sitokrom P450 dan monooksigenase yang mengandung flavin (FMO). Keduanya lebih banyak berada di hati dan berperan dalam reaksi fase I (oksidasi xenobiotik) (Gonzales 2001).

Kata parasetamol diambil dari kata para asetil amino fenol yang merupakan nama senyawa ini secara tata nama kimia.

Penghilang rasa sakit ini ditemukan secara tidak sengaja saat senyawa yang mirip parasetamol (asetanilida) digunakan sebagai resep obat sekitar 100 tahun lalu. Karena asetanilida bersifat toksik, maka para kimiawan memodifikasi struktur asetanilida sehingga menjadi senyawa yang tidak membahayakan tubuh tetapi masih memiliki kemampuan analgesik.

Parasetamol merupakan obat yang paling banyak digunakan sebagai penghilang rasa sakit dan jumlah produksinya setiap tahun besar. Materi awal dari sintesis parasetamol ialah senyawa fenol, yang kemudian dinitrasi untuk memberikan bentuk orto dan para nitro-toluena. Bentuk orto-nitrotoluena dipisahkan secara destilasi dan grup para-nitrotoluena direduksi menjadi paraamino. Grup para-amino inilah yang diasetilasi menjadi parasetamol.

Parasetamol atau asetaminofen (APAP) dikenal sebagai senyawa antipiretik dan analgesik (Gupta et al. 2004). Parasetamol tergolong obat antiinflamasi nonsteroid atau non steroid antiinflamation

drugs (NSAID). Parasetamol dalam tubuh

akan mengalami biotransformasi di hati menjadi zat yang tidak berbahaya dan dapat dikeluarkan dari tubuh. Seperti yang terlihat pada Gambar 4 biotransformasi parasetamol salah satunya menggunakan reaksi fase II yaitu membentuk senyawa glukoronida dan sulfat yang larut air dan tidak beracun (Moore et al. 1985).

Parasetamol yang dikonsumsi berlebihan dapat menstimulasi sitokrom P450 dan memicu radikal bebas. Parasetamol tersebut akan mengalami hidroksilasi monooksigenase menjadi radikal bebas (Gambar 4). Radikal bebas tersebut berupa metabolit reaktif n-asetil-p-benzoquinonimin (NAPQI). Produksi NAPQI yang terlalu besar tidak dapat dinetralisir oleh glutation. Radikal bebas ini akan mengoksidasi makromolekul seperti lemak dan gugus tiol pada protein serta menganggu homeostasis kalsium akibat menurunnya GSH (Murugesh et al. 2005).

(8)

Gambar 4 Metabolisme parasetamol dalam tubuh (Chemani 2010).

Enzim Alanin Amino Transferase (ALT) dan Aspartat Amino Transferase (AST)

Enzim adalah protein yang berfungsi sebagai katalisator yaitu senyawa yang meningkatkan kecepatan reaksi kimia (Marks et al. 1996). Sering kali tes laboratorium melibatkan enzim untuk mengetahui kesehatan sesorang. Hal ini dikarenakan bila suatu jaringan rusak, sel-sel mati dan enzim-enzim akan dilepas ke dalam darah. Demikian pula untuk mengetahui kondisi hati seseorang, kadar enzim di dalam darah diukur dan di tes. Enzim aspartat aminotransferase (AST) dan alanin aminotransferase (ALT) merupakan enzim-enzim yang sering digunakan untuk mendeteksi kerusakan hati. Enzim ALT disebut juga GPT lebih spesifik untuk hati karena proporsinya paling banyak pada organ ini daripada organ tubuh lainnya (Edem & Akpanabiatu 2006). Kedua enzim ini sesuai golongannya, merupakan enzim yang berperan penting dalam metabolisme asam amino.

Alanin aminotransferase pada sitosol hati mentransfer gugus amino dari alanin ke

α-ketoglutarat membentuk piruvat dan glutamat, sedangkan aspartat aminotransferase pada matriks mitokondria hati mentransfer gugus amino dari aspartat ke α-ketoglutarat membentuk oksaloasetat dan glutamat. Reaksi umum transaminasi dapat dilihat pada Gambar 5.

Glutamat yang dibentuk dari alanin dan aspartat oleh enzim transaminase merupakan asam amino yang berperan penting dalam pembuangan gugus amino dalam katabolisme asam amino (Boyer 2002). Kadar AST dan ALT pada serum darah tikus yang normal adalah berkisar antara 19,3-68,9 U/L dan 29,8-77,0 U/L

(Pilichos et al. 2004). Menurut Girindra (1989) kadar AST dan ALT pada tikus normal masing-masing sebesar 45,7-80,8 u/Ldan 17-30,2 U/L.

Gambar 5 Reaksi transaminasi secara umum (Santoso 2000).

BAHAN DAN METODE

Bahan dan Alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian adalah pipet ukur 5 mL, gelas piala 250 mL, bulp, mortar, penangas air, timbangan digital, gunting, microfuge, mikroskop, Tissue Tec, oven, gelas objek beserta gelas penutup, mikrotom, dan spektrofotometer UV-VIS.

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian adalah tikus putih jantan galur

Sprague-Dawley, undur-undur darat, tablet

parasetamol, kapsul temulawak, kit reagen AST dan ALT, alkohol 70%, akuades, paraffin, xilol, pewarna Mayer’s

Haemotoxylin, larutan buffer neutral

formalin (BNF)10%, etanol 70%, 80%,

96%, 100%, 200%, pewarna eosin, LiCl, dan kloroform.

Metode

Preparasi Parasetamol 100 mg/mL

Satu buah tablet parasetamol dengan dosis 500 mg digerus dalam mortar sampai halus dan dicampurkan dengan akuades sebanyak 5 mL. Campuran kemudian diaduk merata (Afrian 2008).

(9)

Gambar 4 Metabolisme parasetamol dalam tubuh (Chemani 2010).

Enzim Alanin Amino Transferase (ALT) dan Aspartat Amino Transferase (AST)

Enzim adalah protein yang berfungsi sebagai katalisator yaitu senyawa yang meningkatkan kecepatan reaksi kimia (Marks et al. 1996). Sering kali tes laboratorium melibatkan enzim untuk mengetahui kesehatan sesorang. Hal ini dikarenakan bila suatu jaringan rusak, sel-sel mati dan enzim-enzim akan dilepas ke dalam darah. Demikian pula untuk mengetahui kondisi hati seseorang, kadar enzim di dalam darah diukur dan di tes. Enzim aspartat aminotransferase (AST) dan alanin aminotransferase (ALT) merupakan enzim-enzim yang sering digunakan untuk mendeteksi kerusakan hati. Enzim ALT disebut juga GPT lebih spesifik untuk hati karena proporsinya paling banyak pada organ ini daripada organ tubuh lainnya (Edem & Akpanabiatu 2006). Kedua enzim ini sesuai golongannya, merupakan enzim yang berperan penting dalam metabolisme asam amino.

Alanin aminotransferase pada sitosol hati mentransfer gugus amino dari alanin ke

α-ketoglutarat membentuk piruvat dan glutamat, sedangkan aspartat aminotransferase pada matriks mitokondria hati mentransfer gugus amino dari aspartat ke α-ketoglutarat membentuk oksaloasetat dan glutamat. Reaksi umum transaminasi dapat dilihat pada Gambar 5.

Glutamat yang dibentuk dari alanin dan aspartat oleh enzim transaminase merupakan asam amino yang berperan penting dalam pembuangan gugus amino dalam katabolisme asam amino (Boyer 2002). Kadar AST dan ALT pada serum darah tikus yang normal adalah berkisar antara 19,3-68,9 U/L dan 29,8-77,0 U/L

(Pilichos et al. 2004). Menurut Girindra (1989) kadar AST dan ALT pada tikus normal masing-masing sebesar 45,7-80,8 u/Ldan 17-30,2 U/L.

Gambar 5 Reaksi transaminasi secara umum (Santoso 2000).

BAHAN DAN METODE

Bahan dan Alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian adalah pipet ukur 5 mL, gelas piala 250 mL, bulp, mortar, penangas air, timbangan digital, gunting, microfuge, mikroskop, Tissue Tec, oven, gelas objek beserta gelas penutup, mikrotom, dan spektrofotometer UV-VIS.

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian adalah tikus putih jantan galur

Sprague-Dawley, undur-undur darat, tablet

parasetamol, kapsul temulawak, kit reagen AST dan ALT, alkohol 70%, akuades, paraffin, xilol, pewarna Mayer’s

Haemotoxylin, larutan buffer neutral

formalin (BNF)10%, etanol 70%, 80%,

96%, 100%, 200%, pewarna eosin, LiCl, dan kloroform.

Metode

Preparasi Parasetamol 100 mg/mL

Satu buah tablet parasetamol dengan dosis 500 mg digerus dalam mortar sampai halus dan dicampurkan dengan akuades sebanyak 5 mL. Campuran kemudian diaduk merata (Afrian 2008).

(10)

Preparasi Temulawak 100mg/mL

Kapsul temulawak dari Biofarmaka dosis 500 mg, diambil serbuknya. Serbuk temulawak tersebut dilarutkan dengan 5 mL akuades (Afrian 2008).

Hewan Uji dan Rancangan Percobaan Tikus berumur 5 minggu dengan berat 200-230 gram dipelihara dalam kandang berukuran 30x50x30 cm dengan 2 ekor tikus per kandang. Tikus diadaptasikan terlebih dahulu selama 2 minggu sebelum perlakuan. Sebelum dan selama perlakuan, tikus diberi pakan standar sebanyak 50 gram dan minum akuades. Bobot badan tikus diamati setiap hari.

Hewan uji dibagi menjadi 6 kelompok dengan 4 ekor tikus dalam setiap kelompok. Kelompok I diberikan pakan standar, air minum akuades, dengan parasetamol 500 mg/kg BB selama 14 hari pertama, kemudian diberikan undur-undur darat dengan dosis 5 mg/kg BB selama 21 hari berikutnya. Kelompok II diberikan diberikan pakan standar, air minum akuades, dengan parasetamol 500 mg/Kg BB selama 14 hari pertama, kemudian diberikan undur-undur darat dengan dosis 10 mg/Kg BB selama 21 hari berikutnya. Kelompok III diberikan pakan standar, air minum akuades, dengan parasetamol 500 mg/Kg BB selama 14 hari pertama, kemudian diberikan undur-undur darat dengan dosis 15 mg/Kg BB selama 35 hari berikutnya. Kelompok IV (kelompok positif) diberikan pakan standar, air minum akuades, diinduksi dengan parasetamol 500 mg/Kg BB selama 14 hari pertama, kemudian diberi larutan temulawak dosis 42.86 mg/Kg BB selama 21 hari berikutnya. Kelompok V (kelompok negatif) diberikan pakan standard, air minum akuades, diinduksi dengan parasetamol 500 mg/Kg BB selama 14 hari pertama, kemudian pemberian parasetamol dihentikan pada 21 hari berikutnya. Kelompok VI (kontrol netral) hanya diberikan pakan standar dan air minum akuades.

Pengamatan Fisik

Pengamatan fisik hewan uji meliputi berat badan dan tingkah laku yang diamati setiap harinya. Tingkah laku yang diamati meliputi mobilitas.

Pengukuran Enzim AST dan ALT

Darah diambil dari vena ekor kemudian ditampung dalam vial steril hingga mencapai 2 mL. Darah kemudian

didiamkan selama 15 menit dan disentrifugasi pada 3000 g selama 30 menit. Serum yang diperoleh ditambahkan dengan pereaksi AST dan ALT dan diukur aktivitasnya berdasarkan International

Federation of Clinical Chemistry (IFCC).

Sebelum dilakukan pengambilan darah, tikus tidak diberi pakan atau dipuasakan selama satu hari. Masing-masing enzim baik AST maupun ALT terdiri atas dua reagen, yaitu pereaksi 1 (buffer) dan pereaksi 2 (substrat). Reagen 1 untuk pengukuran AST terdiri atas Tris pH 7.8 80 mmol/L, L-aspartat 200 mmol/L dan NADH 0,18 mmol/L serta reagen 2 terdiri atas laktat dehidrogenase (LDH) 800 U/L, malat dehidrogenase (MDH) 600 U/L dan α-ketoglutarat 12 mmol/L. Reagen 1 untuk pengukuran ALT terdiri atas Tris pH 7.8 80 mmol/L , L-alanin 500 mmol/L, dan NADH 0.18 mmol/L serta reagen 2 terdiri atas laktat dehidrogenase (LDH) 1200 U/L dan α-ketoglutarat15 mmol/L. Persiapan reagen AST maupun ALT dilakukan dengan mencampur 4 mL reagen 1 dengan 1 mL reagen 2 dalam tabung reaksi atau botol tertutup dan dihomogenkan, kemudian disimpan pada suhu 2-8 °C selama 3 hari atau 72 jam. Pengukuran aktivitas dilakukan dengan mencampur serum darah sebanyak 0.5 mL dalam 5000 µL reagen campuran AST atau ALT lalu diinkubasi dalam penangas 37 °C selama 15 menit. Pembacaan serapan dilakukan pada panjang gelombang 340 nm dengan spektrofotometer UV-VIS per menit selama 3 menit. Kadar enzim yang terukur dihitung dengan persamaan berikut: (satuan internasional unit (U/L):

Kadar AST/ALT = ΔA/menit x 1768

ΔA : Δabsorban

(11)

70%, 80%, 96%, 100%, 200%). Etanol kemudian dihilangkan dengan xilol I, II, dan III masing-masing pada suhu 60°C selama 4 kali masing-masing selama 30 menit. Sebelum pencetakan, cetakan dicuci dengan campuran etanol 96%, xilol, dan air.

Pencetakan (embedding) dilakukan dengan menuang paraffin panas dalam blok cetakan sebanyak setengah cetakan dengan alat Tissue Tec. Potongan hati dimasukkan ke dalamnya perlahan agar tidak menyentuh dasar cetakan lalu ditutup lagi dengan paraffin cair. Setelah beku, organ dalam paraffin tersebut dipotong dengan alat mikrotom setebal 4-5 µm. Potongan yang diperoleh dimasukkan ke dalam air hangat (40 0C) untuk melelehkan paraffin, potongan lalu diletakkan dalam kaca objek. Potongan tadi dikeringkan dalam oven inkubator bersuhu 56 0C selama satu malam.

Tahap pewarnaan Haematoxylin Eosin

(HE) dilakukan setelah deparaffinisasi, yaitu dengan merendamnya dalam xilol 2 kali masing-masing selama 2 menit, rehidrasi dengan etanol absolut selama 2 menit, dilanjutkan dengan etanol 95% dan 80% masing-masing selama 1 menit, dan dicuci dalam air mengalir. Preparat kemudian direndam dalam pewarna Mayer’s

Haematoxylin selama 8 menit, dicuci dengan

air mengalir, dimasukkan dalam LiCl selama 30 detik, dan dicuci lagi dengan air mengalir. Irisan preparat selanjtunya diberi pewarna eosin selama 2-3 menit, lalu dicuci. Setelah itu, irisan hati dicelupkan dalam etanol 95 % dan absolut I masing-masing sebanyak 10 kali dan diteruskan dengan etanol absolut II selama 2 menit, xilol I selama 1 menit, dan xilol II selama 2 menit. Setelah diangin-anginkan beberapa saat, preparat yang sudah diwarnai tersebut diberi

permounting medium dan ditutup dengan

kaca penutup.

Pengamatan Histopatologi Hati

Kerusakan sel seperti nekrosis, degenerasi butir, oedema, dan dilatasi merupakan parameter pengamatan yang akan digunakan. Pemberian nilainya adalah sebagai berikut :

0 = normal 1 = oedema 2 = dilatasi

3 = degenerasi berbutir 4 = nekrosis

Pengamatan dilakukan sebanyak 10 bidang pandang pada setiap sampel. Hasil pengamatan lalu dirata-rata. Masing-masing

rataan diberi skor lesi berdasarkan besar kecilnya nilai rataan tersebut. Skor lesi menunjukkan tingkat keparahan rusaknya sel. Semakin besar nilai rataannya, semakin besar skor lesi, maka semakin parah sel tersebut mengalami kerusakan.

Skor lesi: 0 = 0,0 <X≤ 0,5 1 = 0,5 <X≤ 1,0 2 = 1,0 <X≤ 1,5 3 = 1,5 <X

X = rataan nilai pengamatan

Analisis Statistika

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap (RAL). Modelnya adalah sebagai berikut:

Yij = µ+ τi + εij

Keterangan :

µ = pengaruh rataan umum

τi = pengaruh perlakuan ke-i, i= 1,2,3,4,5,6

εij = pengaruh galat perlakuan ke-i dan

ulangan ke-j, j= 1,2,3

Yi = pengamatan perlakuan ke-i dan

ulangan ke-j

i1 = kelompok kontrol normal i2 = kelompok temulawak i3 = kelompok parasetamol

i4 = kelompok perlakuan dengan undur-undur (dosis = 5 mg/Kg)

i5 = kelompok perlakuan dengan undur-undur (dosis = 10 mg/Kg)

i6 = kelompok perlakuan dengan undur-undur (dosis = 15 mg/Kg)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Fisik dan Bobot Badan Hewan Uji

Kondisi hewan uji yang sehat merupakan faktor penting dalam penelitian dan merupakan syarat untuk memenuhi asumsi percobaan. Bobot badan dan kondisi fisik merupakan parameter yang mudah diukur dan diamati untuk memantau kondisi kesehatan hewan uji selama percobaan berlangsung. Kondisi fisik hewan uji yang diamati meliputi warna mata, warna feses, tekstur feses, dan tingkah laku.

Masa Adaptasi

(12)

70%, 80%, 96%, 100%, 200%). Etanol kemudian dihilangkan dengan xilol I, II, dan III masing-masing pada suhu 60°C selama 4 kali masing-masing selama 30 menit. Sebelum pencetakan, cetakan dicuci dengan campuran etanol 96%, xilol, dan air.

Pencetakan (embedding) dilakukan dengan menuang paraffin panas dalam blok cetakan sebanyak setengah cetakan dengan alat Tissue Tec. Potongan hati dimasukkan ke dalamnya perlahan agar tidak menyentuh dasar cetakan lalu ditutup lagi dengan paraffin cair. Setelah beku, organ dalam paraffin tersebut dipotong dengan alat mikrotom setebal 4-5 µm. Potongan yang diperoleh dimasukkan ke dalam air hangat (40 0C) untuk melelehkan paraffin, potongan lalu diletakkan dalam kaca objek. Potongan tadi dikeringkan dalam oven inkubator bersuhu 56 0C selama satu malam.

Tahap pewarnaan Haematoxylin Eosin

(HE) dilakukan setelah deparaffinisasi, yaitu dengan merendamnya dalam xilol 2 kali masing-masing selama 2 menit, rehidrasi dengan etanol absolut selama 2 menit, dilanjutkan dengan etanol 95% dan 80% masing-masing selama 1 menit, dan dicuci dalam air mengalir. Preparat kemudian direndam dalam pewarna Mayer’s

Haematoxylin selama 8 menit, dicuci dengan

air mengalir, dimasukkan dalam LiCl selama 30 detik, dan dicuci lagi dengan air mengalir. Irisan preparat selanjtunya diberi pewarna eosin selama 2-3 menit, lalu dicuci. Setelah itu, irisan hati dicelupkan dalam etanol 95 % dan absolut I masing-masing sebanyak 10 kali dan diteruskan dengan etanol absolut II selama 2 menit, xilol I selama 1 menit, dan xilol II selama 2 menit. Setelah diangin-anginkan beberapa saat, preparat yang sudah diwarnai tersebut diberi

permounting medium dan ditutup dengan

kaca penutup.

Pengamatan Histopatologi Hati

Kerusakan sel seperti nekrosis, degenerasi butir, oedema, dan dilatasi merupakan parameter pengamatan yang akan digunakan. Pemberian nilainya adalah sebagai berikut :

0 = normal 1 = oedema 2 = dilatasi

3 = degenerasi berbutir 4 = nekrosis

Pengamatan dilakukan sebanyak 10 bidang pandang pada setiap sampel. Hasil pengamatan lalu dirata-rata. Masing-masing

rataan diberi skor lesi berdasarkan besar kecilnya nilai rataan tersebut. Skor lesi menunjukkan tingkat keparahan rusaknya sel. Semakin besar nilai rataannya, semakin besar skor lesi, maka semakin parah sel tersebut mengalami kerusakan.

Skor lesi: 0 = 0,0 <X≤ 0,5 1 = 0,5 <X≤ 1,0 2 = 1,0 <X≤ 1,5 3 = 1,5 <X

X = rataan nilai pengamatan

Analisis Statistika

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap (RAL). Modelnya adalah sebagai berikut:

Yij = µ+ τi + εij

Keterangan :

µ = pengaruh rataan umum

τi = pengaruh perlakuan ke-i, i= 1,2,3,4,5,6

εij = pengaruh galat perlakuan ke-i dan

ulangan ke-j, j= 1,2,3

Yi = pengamatan perlakuan ke-i dan

ulangan ke-j

i1 = kelompok kontrol normal i2 = kelompok temulawak i3 = kelompok parasetamol

i4 = kelompok perlakuan dengan undur-undur (dosis = 5 mg/Kg)

i5 = kelompok perlakuan dengan undur-undur (dosis = 10 mg/Kg)

i6 = kelompok perlakuan dengan undur-undur (dosis = 15 mg/Kg)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Fisik dan Bobot Badan Hewan Uji

Kondisi hewan uji yang sehat merupakan faktor penting dalam penelitian dan merupakan syarat untuk memenuhi asumsi percobaan. Bobot badan dan kondisi fisik merupakan parameter yang mudah diukur dan diamati untuk memantau kondisi kesehatan hewan uji selama percobaan berlangsung. Kondisi fisik hewan uji yang diamati meliputi warna mata, warna feses, tekstur feses, dan tingkah laku.

Masa Adaptasi

(13)

badan hewan uji pada akhir masa adaptasi naik menjadi sebesar 241.88±8.87 gram. Kenaikan bobot badan hewan uji dapat dikarenakan oleh pertumbuhan yang dialami oleh hewan uji. Kenaikan sebesar 14.39 % ini menunjukkan bahwa hewan uji dalam kondisi sehat. Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa hewan uji dalam kondisi baik untuk mendapat perlakuan. Kenaikan bobot badan hewan uji dapat dilihat pada Gambar 6.

Kenaikan bobot badan pada masa adaptasi antara kelompok satu dengan yang lainnya tidak terlalu berbeda jauh. Bobot badan hewan uji kelompok U2 memiliki nilai kenaikan yang paling tinggi dibandingkan dengan kelompok lainnya (18.07%). Selanjutnya disusul oleh kelompok parasetamol (kontrol negatif) yaitu sebesar 15.66%. Sedangkan untuk kenaikan bobot badan terendah adalah kelompok normal yaitu sebesar 11.09%.

Kondisi fisik hewan uji selama masa adaptasi tidak berbeda antara hewan satu dengan lainnya. Warna mata, warna feses, tekstur feses, dan tingkah laku keseluruhan hewan uji hampir memiliki kesamaan. Warna mata hewan uji selama belum mengalami perlakuan adalah merah. Warna fesesnya hijau tua, tekstur fesesnya padat, dan tingkah lakunya normal. Menurut Afrian (2009) dalam sekripsinya, tikus Sprague

Dawley yang sehat memiliki karakteristik

yang sama seperti yang dimiliki oleh hewan uji pada masa adaptasi.

Gambar 6 Bobot badan hewan uji selama masa adaptasi.

Masa Perlakuan

Hewan uji mengalami perubahan bobot badan dan kondisi fisik setelah mendapat perlakuan. Perlakuan yang menyebabkan perubahan bobot badan dan kondisi fisik diantaranya adalah induksi parasetamol,

pemberian temulawak, dan pemberian ekstrak undur-undur. Hasil pengaruh induksi parasetamol dan pemberian ekstrak undur-undur serta temulawak terhadap bobot badan hewan uji terlihat pada Gambar 7. Bobot badan hewan uji pada seluruh kelompok mengalami kenaikan pada minggu pertama induksi parasetamol. Rerata kenaikan seluruh kelompok adalah 5.10%±1.51. Hal ini dikarenakan parasetamol belum begitu berpengaruh terhadap nafsu makan hewan uji. Penelitian Afrian (2008) sebelumnya juga menunjukkan bahwa bobot badan hewan uji belum mengalami penurunan ketika diinduksi parasetamol selama 7 hari setelah penyesuaian terhadap lingkungan.

Bobot badan hewan uji pada seluruh kelompok kecuali kelompok normal mengalami penurunan setelah hari 7 sampai hari 14. Rerata penurunan bobot badan seluruh kelompok kecuali kelompok normal adalah 8.92%±1.84. Berdasarkan hasil tersebut diduga bahwa pemberian parasetamol dalam dosis toksik (500 mg/Kg bobot badan) dapat mempengaruhi nafsu makan yang mengakibatkan penurunan bobot badan. Menurut Gan (1980) toksisitas parasetamol akan menimbulkan berbagai macam gejala seperti anoreksia, mual-mual, muntah serta sakit perut yang terjadi dalam 24 jam pertama dan dapat berlangsung terus menerus selama seminggu atau lebih. Gejala-gejala inilah yang menimbulkan penurunan nafsu makan sehingga berpengaruh terhadap bobot badan. Kelompok normal tidak mengalami penurunan bobot badan (mengalami kenaikan 2.02%) karena tidak diinduksi parasetamol. Walaupun demikian, kenaikan bobot badan sedikit berkurang setelah seminggu pertama (6.45%). Hal ini diduga disebabkan oleh stress. Stress yang terjadi terkait dengan produksi protein stres yang meningkat (Sumitro et.al 1994). Pada umumnya tikus yang stres mengalami penurunan bobot badan akibat nafsu makan yang berkurang. Gejala lain yang dapat timbul adalah produksi urin dan waktu tidur yang bertambah. Berdasarkan pengamatan, hewan uji segera tidur setelah diinduksi parasetamol.

Hari ke-15 hingga hari ke-35 semua kelompok mengalami kenaikan bobot badan karena pada periode ini pemberian parasetamol sudah dihentikan. Rerata kenaikan bobot badan seluruh kelompok adalah 12.93%±3.31. Kelompok dosis 1

Hari

Bobot badan (

g

(14)

mengalami kenaikan bobot badan yang tertinggi dikarenakan sejak awal bobot badan hewan uji lebih tinggi dari lima kelompok yang lain. Kelompok U1 (5 mg/Kg) mengalami kenaikan sebesar 18.1%, kelompok U2 (10 mg/Kg) 13.13%, kelompok U3 (15 mg/Kg) mengalami kenaikan sebesar 13.13%, kelompok positif mengalami kenaikan bobot badan sebesar 13.86%, kelompok negatif mengalami kenaikan bobot badan sebesar 11.46%, dan kelompok normal mengalami 7.92%.

Berdasarkan hasil tersebut, diduga bahwa pemberian temulawak maupun undur-undur mempengaruhi nafsu makan sehingga menaikkan bobot badan hewan uji. Hal ini sesuai dengan penelitian Liang et al. (1985) yang menyatakan bahwa temulawak dapat digunakan sebagai obat untuk mengatasi gangguan saluran pencernaan, gangguan aliran getah empedu, diare, kurang nafsu makan, radang lambung dan dapat mencegah terjadinya pelemakan dalam sel-sel hati. Kandungan kurkuminoid dalam temulawak juga dapat berfungsi untuk meningkatkan produksi dan sekresi empedu. Kemampuan temulawak menghasilkan senyawa antibakteri mempengaruhi kinerja mikroflora usus sehingga proses pencernaan menjadi lebih optimal (Sedarnawati et al. 1991).

Kenaikan bobot badan dalam jumlah yang tinggi juga terjadi pada kelompok U1, U2, dan U3. Berdasarkan hasil tersebut, diduga pemberian undur-undur juga mempengaruhi nafsu makan. Menurut Chounta (2003) klorpropamida yang merupakan senyawa turunan sulfoniluria pada undur-undur memiliki potensi sebagai obat kolestasis, yaitu berkurang atau terhentinya aliran empedu sehingga di dalam usus tidak terdapat empedu untuk membantu mencerna lemak dan makanan.

Kondisi fisik hewan uji berupa warna feses dan tekstur feses selama masa perlakuan memiliki perbedaan jika dibandingkan dengan masa adaptasi. Sedangkan untuk warna mata dan tingkah laku hewan uji selama masa adaptasi dan masa perlakuan tidak mengalami perubahan. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan yang diberikan berpengaruh terhadap hewan uji secara fisik.

Feses hewan uji setelah pemberian parasetamol terlihat lebih lunak, lebih berbau dan warnanya lebih pucat. Perubahan kondisi fisik hewan uji diduga karena melemahnya fungsi hati akibat dosis toksik

parasetamol. Hal ini mempengaruhi homeostasis tubuh yang kemudian berdampak pada kondisi fisik hewan tersebut. Terlihat pada Gambar 7 kondisi fisik hewan coba mulai membaik setelah diberi undur-undur dan temulawak.

Gambar 7 Bobot badan hewan uji selama perlakuan.

Efek Parasetamol dan Ekstrak Undur-Undur terhadap Aktitivitas ALT dan

AST

Indikator utama yang diamati pada percobaan ini adalah aktivitas enzim transaminase yang meliputi enzim alanin amino transferase (ALT) dan aspartat amino transferase (AST). Enzim transaminase merupakan enzim intraseluler sehingga apabila terjadi kerusakan sel seperti gangguan permeabilitas dinding sel hati akan mengakibatkan aktivitasnya meningkat (Kaneko 1980 & Coles 1986).

Aktivitas ALT hewan uji selama percobaan dapat dilihat pada Gambar 8. Pemberian parasetamol selama 2 minggu telah menaikkan aktivitas baik ALT maupun AST. Hasil tersebut memperlihatkan kerusakan sel-sel hati yang cukup parah oleh parasetamol.

Parasetamol bila dikonsumsi secara berlebihan dapat memicu radikal bebas dan menstimulasi sistem sitokrom P450. Sitokrom P450 akan mengaktivasi pembentukan metabolit reaktif n-asetil-p -benzokuinonimin atau NAPQI. Produksi NAPQI yang terlalu besar tidak dapat dinetralisir oleh glutation (GSH). Akibatnya NAPQI akan mengoksidasi makromolekul seperti lemak dan gugus tiol. Jalur lain yang digunakan oleh sitokrom P450 adalah mengkonversi parasetamol menjadi semikuinon. Semikuinon ini dapat bereaksi dengan gugus –SH atau mereduksi oksigen menjadi O2-. Reduksi senyawa ini akan

menghasilkan suatu radikal bebas lagi yang akan dapat mengoksidasi molekul fosfolipid

Bobot badan (

g

)

(15)

lainnya sehingga terjadi reaksi oksidasi berantai (Murugesh et al. 2005).

Aktivitas ALT Kelompok Normal

Rataan konsentrasi ALT kelompok normal pada hari ke 0 adalah 79.5 U/L (Gambar 8). Rataan konsentrasi ALT pada hari ke 14 adalah 79.25±21.36 U/L (cenderung stabil dan homogen). Setelah diuji, tidak terdapat perbedaan yang signifikan dan dapat dikatakan bahwa konsentrasi darah dari hari ke 0 sampai hari ke 14 cenderung stabil (p=0.46).

Setelah 35 hari berikutnya rataan konsentrasi ALT kelompok normal berubah menjadi 89.5±5.92 U/L. Hal ini disebabkan karena 14 hari pertama hewan uji belum mendapat perlakuan berupa pencekokan. Pencekokan dapat menyebabkan stress pada hewan uji (Afrian 2008). Perubahan nilai konsentrasi ALT antara hari ke 35 dan hari ke 14 sebesar 12.93% tidak signifikan setelah diuji statistika pada α=5% (p>0.05). Hal ini menunjukkan bahwa konsentrasi ALT selama percobaan cenderung stabil.

Nilai konsentrasi ALT dalam Afrian (2008) berbeda dengan hasil yang diperoleh pada percobaan ini. Konsentrasi ALT dalam Afrian 2009 lebih rendah dibandingkan dengan hasil percobaan. Walaupun demikian, nilai yang diperoleh dari percobaan sesuai dengan nilai ALT menurut Pilichos et al. (2004).

Aktivitas ALT Kelompok Parasetamol ( Negatif)

Rataan kelompok negatif awal percobaan adalah 79.5 U/L. Empat belas hari setelah pencekokan rataan ALT naik menjadi 103.75±15,11 U/L. Kenaikan sebesar 30.5% pada kelompok ini memiliki perbedaan yang signifikan setelah diuji statistika (p=0.01). Hal ini menunjukkan bahwa parasetamol berpengaruh terhadap meningkatnya konsentrasi enzim ALT dalam darah.

Rataan kelompok negatif di akhir percobaan menjadi sebesar 82,5±5.69 U/L. Penurunan konsentrasi ALT sebesar 20.48% ini dikarenakan penghentian pencekokan parasetamol terhadap hewan uji. Nilai rataan konsentrasi ALT di awal dan akhir percobaan tidak berbeda nyata. Hal ini menunjukkan bahwa penghentian pemberian parasetamol terhadap hewan uji berpengaruh terhadap menurunnya konsentrasi ALT dalam darah.

Menurut Udupa et al. (2000) dalam Afrian (2008) dosis parasetamol yang digunakan pada percobaan ini merupakan dosis toksik untuk tikus percobaan. Afrian (2008) menyebutkan bahwa pada minggu pertama pemberian parasetamol konsentrasi ALT belum begitu naik, namun setelah itu konsentrasi ALT naik sampai pada minggu berikutnya.

Aktivitas ALT Kelompok Temulawak (Positif)

Kelompok temulawak mengalami kenaikan ALT pada dua minggu pertama pemberian parasetamol walaupun tidak nyata (p=0.51). Konsentrasi ALT mulai menurun setelah pemberian parasetamol dihentikan. Kenaikan konsentrasi ALT kelompok temulawak sangat kecil dibandingkan kelompok lainnya yaitu sebesar 5.32%.

Setelah dua minggu pemberian parasetemol, walaupun tidak nyata konsentrasi ALT mengalami penurunan sebesar 2.07%. Jika diperhatikan, pada Gambar 8 terlihat seluruh kelompok memiliki nilai konsentrasi mengumpul di akhir percobaan. Demikian juga dengan kelompok temulawak. Hal ini menunjukkan konsentrasi ALT mendekati nilai yang sama dengan nilai awal.

Menurut Liza (2010) temulawak terbukti secara klinis sebagai hepatoprotektor. Temulawak mengandung senyawa kurkumin yang bekerja menghambat sitokrom P450. Penelitiannya menyebutkan bahwa kurkumin dengan dosis 80 mg/Kg BB yang diberikan pada tikus mampu menurunkan aktivitas enzim hati dan produk reaktif asam tiobarbiturat.

Aktivitas ALT Kelompok Undur-Undur Dosis 1,2,3 (U1, U2, U3)

(16)

disebabkan karena dosis undur-undur yang dipakai masih terlalu kecil sehingga tidak terlalu berefek terhadap perbaikan kondisi hati. Akibatnya penurunan konsentrasi ALT juga kecil.

Kelompok U2 memiliki nilai konsentrasi yang sama dengan U1 pada awal percobaan. Setelah diberi parasetamol selama 14 hari konsentrasi ALT meningkat sebesar 45.28% menjadi 115.5 U/L. Kenaikan ini akibat dari pemberian parasetamol terhadap hewan uji. Setelah pemberian parasetamol dihentikan ALT turun 25.97% menjadi 85.5 U/L. Secara statistika perubahan nilai ALT hari 0, 14, dan 35 tidak berbeda nyata (p=0.15). Namun terlihat pada Gambar 8 kelompok U2 lah yang paling curam penurunan ALT pada hari 14 sampai 35. Dosis undur-undur yang dipakai pada kelompok U2 sama dengan dosis undur-undur yang dipakai dalam penelitian Afrian (2008). Afrian (2008) dalam skripsinya menyatakan bahwa undur-undur dengan dosis 10 mg/Kg (dosis 2) bobot badan dapat menurunkan aktivitas ALT yang mendekati kondisi normal.

Kelompok U3 memiliki pola aktivitas ALT yang mirip dengan kelompok U1 dan U2 yaitu naik pada hari 0 sampai hari 14 dan menurun setelah hari 14 sampai hari 35. Hari 0 nilai ALT sama dengan nilai ALT kelompok lainnya yaitu 79.5 U/L. Aktivitas ALT naik sampai hari 14 sebesar 13.52% menjadi 90.25 U/L. Setelah hari 14 sampai hari ke-35 aktivitas ALT menurun sebesar 6.65% menjadi 84.25 U/L. Setelah diuji statistika (p=0.69) nilai kelompok U3 tidak berbeda nyata antara hari ke 0, 14, dan 35.

Penurunan paling tajam terjadi pada kelompok undur-undur dosis 2. Hal ini menunjukkan dosis 2 adalah dosis yang efektif untuk menurunkan aktivitas ALT dibandingkan dosis lainnya. Kelompok negatif juga mengalami penurunan yang besar dibandingkan dengan kelompok U1 dan U3. Hal ini diduga mekanisme penyembuhan sendiri sel hepatosit lebih besar daripada mekanisme penyembuhan dengan ekstrak undur-undur dosis 1 dan 3. Kelompok normal mengalami kenaikan setelah hari ke 14. Hal ini diduga karena adanya infeksi lingkungan terhadap hewan coba. Sedangkan untuk kelompok dosis 1, 2, 3 dan kontrol positif juga mengalami penurunan ALT diduga karena adanya senyawa aktif yang dapat menghambat infeksi lingkungan.

Aktivitas enzim seluruh kelompok hari 35 nilainya mendekati normal. Hal ini mengakibatkan tidak adanya perbedaan antara kelompok satu dengan lainnya karena sel hati sudah mulai pulih kembali mendekati normal. Aktivitas enzim akan terlihat bedanya jika dilakukan pengambilan darah sebelum hari 35. Penelitian Afrian (2008) melakukan pengambilan darah pada hari ke 28 pasca pencekokan parasetamol.

Gambar 8 Aktivitas ALT selama percobaan

Aktivitas AST Kelompok Normal

Enzim AST diukur juga pada percobaan ini sebagai bukti penunjang kerusakan sel hepatosit. Enzim ALT saja sudah cukup untuk mengetahui kondisi sel hepatosit karena enzim ini diproduksi di hati saja. Sedangkan AST diproduksi juga di ginjal dan pankreas.

Aktivitas AST di awal percobaan adalah 110 U/L. Setelah pencekokan air mineral selama 14 hari aktivitas AST meningkat 50.68% menjadi 165.75 U/L. Hal ini diduga karena hewan uji stress oleh pencekokan. Kemudian pada hari ke 35 setelah aktivitas AST turun sebesar 2.87% menjadi 161 U/L. Setelah diuji statistika terdapat perbedaan nyata antara hari ke 0 terhadap hari ke 35 dan 14 (p=0.058). Sedangkan AST hari ke 14 dan 35 tidak berbeda. Hal ini menunjukkan aktivitas AST sebelum pencekokan dan sesudah pencekokan berbeda signifikan. Pencekokan dapat mengakibatkan stress yang dapat meningkatkan kadar enzim AST (Afrian 2008).

Aktivitas AST Kelompok Parasetamol (Negatif)

(17)

tersebut dikarenakan pemberian parasetamol terhadap hewan uji seperti yang telah diketahui bahwa parasetamol dapat meningkatkan aktivitas enzim baik AST maupun ALT.

Pemberian parasetamol dihentikan setelah hari 14. Hal ini berpengaruh terhadap aktivitas AST. Terlihat pada Gambar 9 kelompok negatif mengalami penurunan aktivitas setelah hari 14 sampai hari 35 (191.75 U/L). Penurunan aktivitas AST pada hari 35 adalah 10.19 %. Penurunan ini cukup besar jika dibandingkan dengan kelompok lainnya dan setelah diuji statistika hasilnya berbeda nyata (p=0.00).

Aktivitas AST Kelompok Temulawak (Positif)

Aktivitas AST kelompok positif memiliki pola yang sama dengan kelompok normal dan kelompok negatif. Aktivitas AST di awal percobaan juga sama dengan kelompok normal dan negatif yaitu sebesar 110 U/L. Kenaikan aktivitas AST hari 14 kelompok positif (59.10%) tidak sebesar kelompok negatif (94.90%).

Aktivitas AST setelah hari 14 mulai menurun. Hari 35 kadar AST adalah 160.75 U/L. Penurunan sebesar 8.14% ini tidak berbeda nyata dengan AST hari 14. Namun berbeda nyata dengan AST hari 0 (p=0.01). Hal ini menunjukkan pemberian temulawak tidak menurunkan AST paska pemberian parasetamol. Meskipun secara statistika tidak berbeda nyata namun terlihat pada Gambar 9 adanya penurunan AST walaupun kecil.

Temulawak dapat menjadi hepatoprotektor karena mampu menurunkan aktivitas enzim hati seperti yang telah di sebutkan sebelumnya (Liza 2010). Enzim AST adalah salah satu enzim hati yang dapat diturunkan aktivitasnya oleh temulawak. Penelitian ini juga sesuai dengan penelitian Afrian (2008) yang menyebutkan bahwa temulawak mampu menurunkan aktivitas enzim AST hati.

Aktivitas AST Kelompok Undur-Undur Dosis 1, 2, dan 3 (U1, U2, U3)

Kelompok U1, U2, dan U3 memiliki nilai AST yang sama dengan kelompok lainnya pada hari 0 yaitu 110 U/L. Kelompok undur-undur juga memiliki pola yang sama dengan kelompok normal, parasetamol, dan temulawak. Grafik seluruh kelompok hewan uji naik pada hari 0 sampai hari 14 dan turun setelah hari 14 sampai hari

35. Pola grafik seperti ini pun sama dengan grafik aktivitas enzim ALT.

Kelompok U1 mengalami kenaikan pada hari 14 yaitu 166.25 U/L (51.14%). Kenaikan ini cukup signifikan (p=0.05). Hal ini disebabkan oleh pemberian parasetamol dengan dosis yang cukup untuk menaikan AST (100 mg/mL). Setelah hari 14, AST menurun karena pemberian parasetamol dihentikan. Hari 35 AST turun mencapai nilai 115 U/L (30.83%). Berdasarkan uji statistika, AST hari 35 tidak berbeda dengan AST hari 0 sehingga dapat dikatakan kondisi hati hari ke 35 hampir sama dengan hari 0. Oleh karena itu dapat dikatakan dosis 1 dapat memperbaiki kondisi hati karena dapat menurunkan aktivitas AST.

Kelompok U2 memiliki grafik yang polanya sama dengan kelompok U1 (Gambar 9). Hari 0 aktivitas AST kelompok U2 sama dengan kelompok lainnya yaitu 110 U/L. Aktivitas AST meningkat setelah hari 0 sampai hari 14 sebesar 184.75 U/L (67.95%). Sama seperti kelompok lainnya kenaikan ini disebabkan oleh pemberian parasetamol selama 14 hari. Kenaikan aktivitas AST kelompok U2 lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok U1 namun dibandingkan dengan kelompok parasetamol masih lebih rendah.

Aktivitas AST kelompok U2 mulai menurun setelah hari 14 sampai hari 35. Penurunan tersebut sebesar 16.78% (153.75 U/L). Perubahan aktivitas AST kelompok U2 cukup signifikan (p=0.003). Hal ini menunjukkan parasetamol berpengaruh menaikkan aktivitas AST pada kelompok U2. Penurunan AST kelompok U2 (16.78%) lebih besar daripada kelompok parasetamol (10.19 %) namun masih kurang dibandingkan dengan U1(30.83%). Hal ini menunjukkan bahwa dosis 2 dapat menurunkan aktivitas AST namun masih lebih baik dosis 1.

Kelompok U3 juga memiliki grafik yang polanya sama dengan kelompok lainnya. Hari 0 aktivitas AST kelompok U3 110 U/L. Setelah hari 0 sampai hari 14 aktivitas AST mengalami kenaikan sebesar 154 U/L (40%). Penurunan ini cukup signifikan secara statistika (p=0.003). Dibandingkan dengan kelompok U1 dan U2, kenaikan aktivitas AST kelompok U3 lebih rendah. Dibandingkan dengan kelompok lainnya, kelompok U3 juga memiliki kenaikan aktivitas AST yang paling rendah.

(18)

Penurunan aktivitas AST kelompok U3 lebih besar daripada kelompok parasetamol. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian ekstrak undur-undur dengan dosis 3(15 mg/Kg) lebih baik daripada pencabutan parasetamol. Penurunan aktivitas AST ini masih kecil dibandingkan dengan kelompok U2 dan U1. Dengan demikian dosis undur-undur yang digunakan kelompok 3 tidak lebih baik daripada dosis undur-undur yang digunakan kelompok U2 dan U1. Walaupun kelompok U1 yang paling bagus untuk penyembuhan sel hati namun perlu diingat bahwa indikator utama kerusakan hati adalah enzim ALT.

Hasil analisis aktivitas enzim AST tidak selaras dengan enzim ALT. Berdasarkan analisis enzim AST dosis 1 paling baik untuk penyembuhan hati setelah induksi parasetamol sedangkan berdasarkan analisis enzim ALT, dosis 2 yang paling baik. Ketidak selarasan ini dapat dikarenakan oleh aktivitas AST yang terhitung tidak hanya AST yang murni dari hati tapi dapat pula dari organ tubuh lain seperti jantung, otot, ginjal, otak dan paru-paru (Hayward 2007).

Gambar 9 Aktivitas AST selama percobaan

Efek Ekstrak Undur-Undur terhadap Gambaran Histopatologi Hati Tabel 1 menunjukkan hasil penilaian lesi atau luka jaringan hati hewan coba di akhir perlakuan. Jaringan hati normal ditandai dengan inti hepatosit yang terlihat jelas, adanya sitoplasma di dalam membran sel, dan sel-sel hepatosit yang tersusun radial dari vena sentral. Sedangkan untuk jaringan hati yang tidak normal ditandai dengan pembangkakan sel, tidak adanya inti sel, dan jarak antar sel yang tidak rapi. Gambar histopatologi hati dapat dilihat pada Lampiran 11.

Tabel 1 Hasil skoring histopatologi hati

Kelompok X Skor lesi U1 U2 U3 Temulawak Parasetamol Normal 1.3 0.6 1.1 0.9 3 1 2 1 2 1 3 1 Ket: X= rataan nilai pengamatan

Kelompok perlakuan undur-undur yaitu U1, U2, dan U3 memiliki rataan nilai kerusakan yang berbeda. Kelompok U2 (0.6) memiliki nilai yang paling rendah diikuti dengan kelompok U3 (1.1) dan kelompok U1 (1.3). Dosis 1 diperkirakan masih terlalu rendah sehingga belum begitu memberikan efek perbaikan hati. Sedangkan dosis 3 diduga terlalu tinggi sehingga menyebabkan perbaikan sel hati menjadi menurun. Dosis 2 diduga merupakan dosis yang tepat untuk penyembuhan sel hati yang telah diinduksi parasetamol.

Kelompok U2 (0.6) dengan kontrol posistif (0.9) memiliki nilai kerusakan yang hampir sama. Kerusakan hati pada kelompok dosis 2 lebih rendah daripada kontrol positif. Hal ini dapat dikarenakan adanya infeksi lingkungan. Demikian juga dengan kelompok normal (1). Kelompok dosis 2 memiliki nilai kerusakan yang lebih kecil dibandingkan kelompok normal. Diduga dalam ekstrak undur-undur terdapat zat aktif yang dapat melawan infeksi lingkungan. Kelompok normal memiliki kerusakan yang lebih tinggi karena kelompok ini tidak dicekok oleh undur-undur maupun temulawak. Kelompok normal juga mengalami kerusakan hati karena infeksi lingkungan. Berdasarkan gambaran sel hati di atas, dosis 2 merupakan dosis yang paling bagus untuk memperbaiki kondisi hati dibandingkan dosis lainnya.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

(19)

Penurunan aktivitas AST kelompok U3 lebih besar daripada kelompok parasetamol. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian ekstrak undur-undur dengan dosis 3(15 mg/Kg) lebih baik daripada pencabutan parasetamol. Penurunan aktivitas AST ini masih kecil dibandingkan dengan kelompok U2 dan U1. Dengan demikian dosis undur-undur yang digunakan kelompok 3 tidak lebih baik daripada dosis undur-undur yang digunakan kelompok U2 dan U1. Walaupun kelompok U1 yang paling bagus untuk penyembuhan sel hati namun perlu diingat bahwa indikator utama kerusakan hati adalah enzim ALT.

Hasil analisis aktivitas enzim AST tidak selaras dengan enzim ALT. Berdasarkan analisis enzim AST dosis 1 paling baik untuk penyembuhan hati setelah induksi parasetamol sedangkan berdasarkan analisis enzim ALT, dosis 2 yang paling baik. Ketidak selarasan ini dapat dikarenakan oleh aktivitas AST yang terhitung tidak hanya AST yang murni dari hati tapi dapat pula dari organ tubuh lain seperti jantung, otot, ginjal, otak dan paru-paru (Hayward 2007).

Gambar 9 Aktivitas AST selama percobaan

Efek Ekstrak Undur-Undur terhadap Gambaran Histopatologi Hati Tabel 1 menunjukkan hasil penilaian lesi atau luka jaringan hati hewan coba di akhir perlakuan. Jaringan hati normal ditandai dengan inti hepatosit yang terlihat jelas, adanya sitoplasma di dalam membran sel, dan sel-sel hepatosit yang tersusun radial dari vena sentral. Sedangkan untuk jaringan hati yang tidak normal ditandai dengan pembangkakan sel, tidak adanya inti sel, dan jarak antar sel yang tidak rapi. Gambar histopatologi hati dapat dilihat pada Lampiran 11.

Tabel 1 Hasil skoring histopatologi hati

Kelompok X Skor lesi U1 U2 U3 Temulawak Parasetamol Normal 1.3 0.6 1.1 0.9 3 1 2 1 2 1 3 1 Ket: X= rataan nilai pengamatan

Kelompok perlakuan undur-undur yaitu U1, U2, dan U3 memiliki rataan nilai kerusakan yang berbeda. Kelompok U2 (0.6) memiliki nilai yang paling rendah diikuti dengan kelompok U3 (1.1) dan kelompok U1 (1.3). Dosis 1 diperkirakan masih terlalu rendah sehingga belum begitu memberikan efek perbaikan hati. Sedangkan dosis 3 diduga terlalu tinggi sehingga menyebabkan perbaikan sel hati menjadi menurun. Dosis 2 diduga merupakan dosis yang tepat untuk penyembuhan sel hati yang telah diinduksi parasetamol.

Kelompok U2 (0.6) dengan kontrol posistif (0.9) memiliki nilai kerusakan yang hampir sama. Kerusakan hati pada kelompok dosis 2 lebih rendah daripada kontrol positif. Hal ini dapat dikarenakan adanya infeksi lingkungan. Demikian juga dengan kelompok normal (1). Kelompok dosis 2 memiliki nilai kerusakan yang lebih kecil dibandingkan kelompok normal. Diduga dalam ekstrak undur-undur terdapat zat aktif yang dapat melawan infeksi lingkungan. Kelompok normal memiliki kerusakan yang lebih tinggi karena kelompok ini tidak dicekok oleh undur-undur maupun temulawak. Kelompok normal juga mengalami kerusakan hati karena infeksi lingkungan. Berdasarkan gambaran sel hati di atas, dosis 2 merupakan dosis yang paling bagus untuk memperbaiki kondisi hati dibandingkan dosis lainnya.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

(20)

mg/kg BB adalah dosis yang tepat sebagai hepatoprotektor hati tikus.

Konsentrasi ekstrak undur-undur tidak berbanding lurus dengan perbaikan sel hati.

Saran

Perlu diadakan penelitian yang lebih intensif untuk optimasi konsentrasi undur-undur pada interval yang lebih dekat. Perlu dilakukan kajian senyawa aktif undur-undur yang mampu memperbaiki kondisisi sel atau organ. Sebaiknya pengambilan darah setelah pemberian parasetamol dihentikan dilakukan lebih awal (kurang dari 35 hari).

DAFTAR PUSTAKA

Afrian M. 2008. Potensi Hepatoprotektif

Curcuma xanthoriza Roxb,

Myrmelon sp., Propolis Trigona

spp., dan Hibiscus sabdariffa L. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam , Institut Pertanian Bogor. Anonim. 2010. Mari Mengenal Organ Hati

Anda. www.pinginsehat.com [27 Desember 2010]

Botz et al. 2003. Effect of slope and particle size on ant locomotion: Implication for choice of substrate by sand dragons. J. Kans. Entomol. Soc. 76:426-435.

Boyer Rodney. 2002. Concepts in

Biochemistry Second Edition.

Singapore: Books Cole.

Brick J. 2004. Medical consequences of alcohol. www.rutgers-uni.ac.us. [27 November 2008].

Chemani. 2010. Parasetamol Obat Turun Panas dan Toksisitasnya Ditinjau dari Kimia Organik. www. worldmolecul. com.[15 Juli 2010] Chounta et al. 2003. Cholestatic liver injury

after glimepiride therapy. Journal of

Hepatology 42:944-946.

Coles EH. 1986. Veterinary Clinical

Pathology. London: WB Saunders.

Dellman HD, Brown EM. 1992. Histologi

Veteriner II. Ed ke-3. R Hartono,

penerjemah. Jakarta: UI Pr.

Terjemahan dari: Text Book of Veterenary Histology.

Edem DO, Akpanabiatu MI. 2006. Effect of palm oil containing diets on enzyme activities of rats. Pakistan J Nutr

5:301-305.

Gan S et al. 1980. Farmakologi dan Terapi. Ed ke-2. Jakarta: UI Pr.

Giannini EG, Testa R, Savarno V. 2005. Liver enzyme alterations: a guide for clinicians. Canadian Med Asso J

(CMAJ) 172:1497-1503

Girindra A. 1989. Biokimia Patologi Hewan. Bogor: PAU IPB.

Gonzalez FJ. 2001. The use of gene knockout mice to unravel the mechanism of toxicity and chemical carcinogenesis. Toxicology Letters

120: 199-208.

Gupta M, Mazunder UK, Kumar TS, Gomathi P, Kumar RS. 2004. Antioxidant and hepatoprotective effect of Bauhinia racemosa against paracetamol and carbon tetrachloride induced liver damage in rats.

Iranians J Pharmacol Therapeutics.

12-20.

Guyton AC. 1983. Buku Teks Fisiologi Kedokteran. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Hastuti Tri. 2008. Aktivitas Enzim Transaminase dan gambaran Histopatologi Hati Tikus Yang Diberi Kelapa Kopyor Pasca Induksi Parasetamol. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Pertanian Bogor.

Hayward. 2007. Alanine Aminotransferase and Aspartate Aminotransferase. Technical Bulletin 114. www.cholestech.com. [27 Desember 2010]

Hodgson E, Levi PE. 2000. A Textbook of

Modern Toxicologi. Ed ke-2.

Singapore: McGraw-Hill.

(21)

EKSTRAK AIR UNDUR-UNDUR (Myrmelon sp.) SEBAGAI

HEPATOPROTEKTOR TIKUS JANTAN (Sprague-Dawley)

YANG DIINDUKSI PARASETAMOL

ARIA YUDAN TARA

DEPARTEMEN BIOKIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(22)

mg/kg BB adalah dosis yang tepat sebagai hepatoprotektor hati tikus.

Konsentrasi ekstrak undur-undur tidak berbanding lurus dengan perbaikan sel hati.

Saran

Perlu diadakan penelitian yang lebih intensif untuk optimasi konsentrasi undur-undur pada interval yang lebih dekat. Perlu dilakukan kajian senyawa aktif undur-undur yang mampu memperbaiki kondisisi sel atau organ. Sebaiknya pengambilan darah setelah pemberian parasetamol dihentikan dilakukan lebih awal (kurang dari 35 hari).

DAFTAR PUSTAKA

Afrian M. 2008. Potensi Hepatoprotektif

Curcuma xanthoriza Roxb,

Myrmelon sp., Propolis Trigona

spp., dan Hibiscus sabdariffa L. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam , Institut Pertanian Bogor. Anonim. 2010. Mari Mengenal Organ Hati

Anda. www.pinginsehat.com [27 Desember 2010]

Botz et al. 2003. Effect of slope and particle size on ant locomotion: Implication for choice of substrate by sand dragons. J. Kans. Entomol. Soc. 76:426-435.

Boyer Rodney. 2002. Concepts in

Biochemistry Second Edition.

Singapore: Books Cole.

Brick J. 2004. Medical consequences of alcohol. www.rutgers-uni.ac.us. [27 November 2008].

Chemani. 2010. Parasetamol Obat Turun Panas dan Toksisitasnya Ditinjau dari Kimia Organik. www. worldmolecul. com.[15 Juli 2010] Chounta et al. 2003. Cholestatic liver injury

after glimepiride therapy. Journal of

Hepatology 42:944-946.

Coles EH. 1986. Veterinary Clinical

Pathology. London: WB Saunders.

Dellman HD, Brown EM. 1992. Histologi

Veteriner II. Ed ke-3. R Hartono,

penerjemah. Jakarta: UI Pr.

Terjemahan dari: Text Book of Veterenary Histology.

Edem DO, Akpanabiatu MI. 2006. Effect of palm oil containing diets on enzyme activities of rats. Pakistan J Nutr

5:301-305.

Gan S et al. 1980. Farmakologi dan Terapi. Ed ke-2. Jakarta: UI Pr.

Giannini EG, Testa R, Savarno V. 2005. Liver enzyme alterations: a guide for clinicians. Canadian Med Asso J

(CMAJ) 172:1497-1503

Girindra A. 1989. Biokimia Patologi Hewan. Bogor: PAU IPB.

Gonzalez FJ. 2001. The use of gene knockout mice to unravel the mechanism of toxicity and chemical carcinogenesis. Toxicology Letters

120: 199-208.

Gupta M, Mazunder UK, Kumar TS, Gomathi P, Kumar RS. 2004. Antioxidant and hepatoprotective effect of Bauhinia racemosa against paracetamol and carbon tetrachloride induced liver damage in rats.

Iranians J Pharmacol Therapeutics.

12-20.

Guyton AC. 1983. Buku Teks Fisiologi Kedokteran. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Hastuti Tri. 2008. Aktivitas Enzim Transaminase dan gambaran Histopatologi Hati Tikus Yang Diberi Kelapa Kopyor Pasca Induksi Parasetamol. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Pertanian Bogor.

Hayward. 2007. Alanine Aminotransferase and Aspartate Aminotransferase. Technical Bulletin 114. www.cholestech.com. [27 Desember 2010]

Hodgson E, Levi PE. 2000. A Textbook of

Modern Toxicologi. Ed ke-2.

Singapore: McGraw-Hill.

(23)

Junquieira LC, Carneiro J. 1995. Histologi

Dasar. Adji Dharma, penerjemah.

Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Terjemahan dari: The elements of Histology.

Kaneko JJ. 1980. Clinical Biochemistry of

Domestic Animals. Ed ke-3. New

York: Academic Pr.

Koolman J, Rohm KH. 2001. Atlas

Berwarna dan Teks Biokimia.

Septelia I Wanandi, penerjemah. Jakarta: Hipokrates. Terjemahan dari: Color Atlas of Biochemistry. Liang, Apsarton, Widjaja, Puspa. 1985.

Beberapa aspek isolasi, identifikasi dan penggunaan komponen-komponen C. xanthoriza Roxb dan

C. domestica. Prosiding Simposium

Nasional Temulawak. Bandung.

101-116.

Liza. 2010. Temulawak dari Uji Empirik

hingga Uji Klinis. www.lizaherbal.com [27 Desember

2010]

Mark DB, Allan DM., Collen MS. 2000.

Biokimia Kedokteran Dasar. Jakarta:

Penerbut Buku Kedokteran.

Moore M. et al. 1985. The toxicity of acetaminophen and N-acetyl-p-benzoquinone imine in isolated hepatocytes is associated with thiol depletion and increased cytosolic Ca2+. J Biol Chem 260:13035-13040. Murugesh KS, Yeligar VC, Maiti BC, Maity TK. 2005. Hepatoprotective and antioxidant role of Berberis tinctoria lesch leaves on parasetamol induced hepatic damage in rats. Iranian J

Pharmacol 4:64-69.

Pilichos C, Perrea D, Demorakau M, Preza A, Donta I. 2004. Management of carbon tetrachloride-induced acute liver injury in rats by syngeneic hepatocyte transplantation in spleen and peritoneal cavity. World J

Gastroenterol 10:2099-2112.

Runnells RA. 1946. Animal Pathology. Ed ke-4. Iowa: Iowa State University Pr.

Runnells RA, Monlux WS, Monlux AW. 1965. Principle of Veterinary

Pathology. Ed ke-7. Iowa: Iowa

State University Pr.

Santoso Heru. 2000. Petunjuk Praktikum

Biokimia. Yogyakarta: UGM Pr.

Sedarnawati Y, Imaizumi K, Sugano M. 1991. Effect of an Indonesian medicinal plant, Curcuma xanthoriza Roxb, on the levels of serum glucose and triglycerida, fatty acid desaturation , and bile acid excretion in streptozotocin-induced diabetic rats. J. Agric Biol Chem. 55:3005-3010.

Sumitro SB, Widyarti S, Fatchiyah. 1994. Identifikasi protein stres dalam serum darah mencit dan tikus dalam berbagai kondisi stres. J. Universitas

Brawijaya 6:88-99.Zimmerman, H.J.

1978. Hepatotoxicity. New York: appleton Century Croft.

Smith JB, Mangkoewidjojo S. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan, dan Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Jakarta: UI Pr. Wahid Mashuri. 2008. Beternak

Undur-Undur sebagai Obat Penyakit Dalam. www. Indosiar. com. [25 November 2010]

(24)

EKSTRAK AIR UNDUR-UNDUR (Myrmelon sp.) SEBAGAI

HEPATOPROTEKTOR TIKUS JANTAN (Sprague-Dawley)

YANG DIINDUKSI PARASETAMOL

ARIA YUDAN TARA

DEPARTEMEN BIOKIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(25)

ABSTRAK

ARIA YUDAN TARA. Ekstrak Undur-Undur (

Myrmelon

sp.) sebagai

Hepatoprotektor Hati Tikus Jantan (

Sprague-Dawley

) yang Diinduksi

Parasetamol. Dibimbing oleh AHMAD ENDANG ZAINAL HASAN dan AGUS

SETIYONO.

(26)

ABSTRACT

ARIA YUDANTARA. Extract Water of Undur-undur (Myrmelon Sp.) as

Hepatoprotector Liver of Male Mouse (Sprague-Dawley) which is Induced by

Paracetamol. Under the direction of AHMAD ENDANG ZAINAL HASAN and

AGUS SETIYONO.

(27)

EKSTRAK AIR UNDUR-UNDUR (Myrmelon sp.) SEBAGAI

HEPATOPROTEKTOR TIKUS JANTAN (Sprague-Dawley)

YANG DIINDUKSI PARASETAMOL

ARIA YUDAN TARA

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Sains pada

Departemen Biokimia

DEPARTEMEN BIOKIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(28)

Judul

Skripsi

:

Ekstrak Air Undur-Undur (

Myermelon sp

.) sebagai

Hepatoprotektor Tikus Jantan (Sprague Dawley) yang Diinduksi

Parasetamol

Nama

: Aria Yudan Tara

NIM

:

G84050727

Disetujui

Komisi Pembimbing

Ir.A.E Zainal Hasan, MSi.

drh. Agus Setiyono, M.S, PhD.

Ketua Anggota

Diketahui

Dr. Ir. I Made Artika, M. App. Sc.

Ketua Departemen Biokimia

(29)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan

rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis menyeleseikan dengan baik penelitian

dan penulisan karya ilmiah yang berjudul Pengaruh Undur-Undur (

Myrmelon

sp.)

terhadap Kondisi Hati Tikus Jantan (

Sprague Dawley

) yang Diinduksi

Parasetamol. Karya ilmiah ini ditulis berdasarkan penelitian yang dilaksanakan di

Laboratotium Lapang Fakultas Peternakan dan Laboratorium Patologi Fakultas

Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor selama kurang lebih 6 bulan yaitu

pada bulan Desember 2008 sampai Mei 2009 sebagai prasyarat untuk memperoleh

gelar Sarjana Sains Departemen Biokimia, Fakultas Matematika dan Ilmu

Pengetahuan Alam.

Proses menuju keberhasilan yang harus dilalui penulis selama penelitian dan

penyusunan karya ilmiah ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena

itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada Ir. Ahmad Endang Zainal Hasan,

M. Si dan Drh. Agus Setiyono, M. Sc, PhD selaku pembimbing atas segala

kesabaran dan keikhlasan dalam memberikan bimbingan, arahan, dan masukan

bagi penulis. Ucapan terima kasih penulis sampaikan pada Pak Soleh, Pak

Endang, dan Pak Kas selaku teknisi laoratorium atas motivasi, masukan, dan

bantuannya selama penelitian. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan

kepada bapak, ibu, Mas Lendra, teman-teman

Senior Resident

Asrama TPB IPB

dan Dewi Praptiwi atas segala dukungan dan doa bagi penulis serta kepada

teman-teman Biokimia 42 atas segala motivasi dan bantuannya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2011

(30)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Ngawi,

Gambar

Gambar 1 Organ hati dan komponen
Gambar 4 Metabolisme parasetamol dalam  tubuh (Chemani 2010).
Gambar 4 Metabolisme parasetamol dalam  tubuh (Chemani 2010).
Gambar 6 Bobot badan hewan   uji selama
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sebagai kelanjutan dari proses pengumuman ini, akan diterbitkan Surat Penunjukan Penyedia barang/jasa dan Surat Perintah Kerja (SPK). Demikian untuk diketahui dan

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi dengan judul Analisis

Prosedur ini dibuat untuk pelaksanaan dan pengawasan kegiatan perencanaan Sediaan Farmasi - Alat Kesehatan sehingga mendapatkan jumlah dan jenis yang sesuai

Kesimpulan dari hasil analisis dan interpretasi terhadap representasi nasionalisme kebangsaan yang terkandung dalam lirik lagu “Dari Mata Sang Garuda” adalah adanya ungkapan

or primary primary storage storage RAM RAM akan terhapus akan terhapus ketika computer’s ketika computer’s power dimatikan power dimatikan Memory chips yang dapat. Memory

ASG adalah perusahaan yang bergerak di sektor industri manufaktur dengan jenis produk kemasan kaleng, yang berawal dari sebuah industri pengolahan makanan dalam kaleng Dengan

Berdasarkan pemikiran di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti bagaimana komunikasi antarpribadi antara guru Taman Kanak-kanak dengan murid dalam meningkatkan

2013.An Analysis of Speech Function In The Transcript Of Face 2 Face Interview Of Desi Anwar With Richard Gere on July 23, 2011.Skripsi.English Education Department, Teacher