• Tidak ada hasil yang ditemukan

Umur

Lebih dari separuh contoh (53.3%) tergolong pada masa dewasa madya, dan hanya 5.0% yang tergolong dewasa akhir. Pada trayek Kampus Dalam, masih ada 10.0% contoh sopir yang termasuk dalam kelompok masa dewasa akhir, sedangkan untuk trayek Leuwiliang, tidak ada sopir yang termasuk dalam kelompok masa dewasa akhir. Hal ini diduga karena jarak tempuh pada Trayek Leuwiliang lebih jauh daripada jarak tempuh pada Trayek Kampus Dalam, sehingga tidak ada contoh pada sopir Leuwiliang yang tergolong kategori dewasa akhir yang masih kuat untuk mengendarai angkot. Sebaran contoh berdasarkan umur disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Sebaran contoh berdasarkan umur Sopir Kampus Dalam Sopir Leuwiliang Total Kategori Umur*) n % n % n %

Dewasa Awal (30-39 Tahun) 15 50.0 10 33.3 25 41.7 Dewasa Madya(40-60 Tahun) 12 40.0 20 66.7 32 53.3 Dewasa Akhir (>60 Tahun) 3 10.0 0 0.0 3 5.0

Total 30 100.0 30 100.0 60 100.0

*) Hurlock dalam Faiz 2008

Pada penelitian ini, lebih dari separuh contoh (68.0%) yang tergolong dewasa awal telah bekerja sebagai sopir angkot selama 2-10 tahun, sedangkan yang tergolong masa dewasa akhir lebih dari separuhnya (66.7%) telah bekerja sebagai sopir angkot lebih dari 30 tahun. Masa dewasa madya dapat disebut sebagai masa yang rentan terhadap sakit, karena penyakit yang biasanya tidak dirasakan akan lebih terasa, selain itu beban pikiran akan mudah untuk menyebabkan stress. Pada masa dewasa akhir terjadi banyak sekali penurunan kemampuan individu, baik secara fisik maupun psikis (Faiz 2008). Proses penuaan berhubungan dengan kemunduran kapasitas fisiologis, misalnya kekuatan otot, kapasitas aerobik, koordinasi neuromotorik, dan fleksibilitas. Peningkatan disabilitas fungsional yang terkait dengan usia tersebut memiliki risiko terhadap aktivitas fisik yang terbatas (Palestin 2006).

Pendidikan

Tingkat pendidikan formal yang pernah ditempuh oleh contoh sebesar 36.7% adalah SLTA/sederajat. Jika dibandingkan antara sopir Kampus Dalam dan Sopir Leuwiliang, dapat dikatakan bahwa tingkat pendidikan pada sopir Leuwiliang lebih baik daripada sopir Kampus Dalam. Pada sopir Leuwiliang, persentase terbesar contoh memiliki tingkat pendidikan SLTA/sederajat. Sedangkan pada sopir Kampus Dalam, yang memiliki tingkat pendidikan SLTA/sederajat sama persentasenya dengan yang memiliki tingkat pendidikan SD/sederajat. Sebaran contoh berdasarkan tingkat pendidikan dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Sebaran contoh berdasarkan tingkat pendidikan Sopir Kampus Dalam Sopir Leuwiliang Total Tingkat Pendidikan n % n % n % Tidak Tamat SD 2 6.7 0 0.0 2 3.3 SD/sederajat 10 33.3 8 26.7 18 30.0 SLTP/sederajat 8 26.7 9 30.0 17 28.3 SLTA/sederajat 10 33.3 12 40.0 22 36.7 PT/sederajat 0 0.0 1 3.3 1 1.7 Total 30 100.0 30 100.0 60 100.0

Pada penelitian ini, contoh yang tergolong dewasa awal memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi daripada contoh yang tergolong dewasa madya ataupun dewasa akhir. Pendidikan formal serta keikutsertaan dalam pendidikan non-formal sangat penting dalam menentukan status kesehatan dan status gizi (Sukarni 1994). Tingkat pendidikan pun dapat mempengaruhi perilaku seseorang dalam menghadapi suatu masalah (Sumarwan 2004).

Karakteristik Sosial Ekonomi Keluarga Besar Keluarga

Hasil penelitian menunjukkan bahwa separuh contoh termasuk dalam kategori keluarga kecil. Pada sopir Kampus Dalam, lebih dari separuh contoh (60.0%) termasuk dalam kategori keluarga kecil, Sedangkan pada sopir Leuwiliang, persentase keluarga kecil dan sedang adalah sama, yaitu sebesar 40.0%. Sebaran contoh berdasarkan besar keluarga dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Sebaran contoh berdasarkan besar keluarga Sopir Kampus Dalam Sopir Leuwiliang Total Besar Keluarga*) n % n % n % Kecil (< 4 orang) 18 60.0 12 40.0 30 50.0 Sedang (5-6 orang) 11 36.7 12 40.0 23 38.3 Besar (>7 orang) 1 3.3 6 20.0 7 11.7 Total 30 100.0 30 100.0 60 100.0 *) BKKBN 1998

Banyaknya contoh yang termasuk kategori keluarga kecil diduga karena lebih dari separuh contoh termasuk dewasa awal sehingga usia pernikahannya yang belum terlalu lama dan anak-anaknya pun belum begitu banyak. Selain itu, diduga faktor ekonomi pun turut mempengaruhi besar keluarga contoh, karena semakin besar keluarga maka pengeluaran untuk pangan dan non pangan pun akan semakin meningkat. Sumarwan (2004) menyatakan bahwa jumlah anggota keluarga atau rumah tangga akan menentukan jumlah dan pola konsumsi suatu barang dan jasa. Rumah tangga dengan jumlah anggota keluarga yang lebih banyak akan membeli dan mengkonsumsi beras, daging, sayuran, dan buah-buahan yang lebih banyak dibandingkan dengan rumah tangga yang memiliki anggota lebih sedikit.

Pendapatan Perkapita

Pada penelitian ini lebih dari separuh contoh (83.3%) bekerja hanya sebagai sopir angkot saja. Adapun yang memiliki pekerjaan sampingan terdapat sebanyak 16.7%, dengan jenis pekerjaan sampingan yang dilakukan contoh adalah montir, ojeg, berdagang, membantu dekorasi pernikahan, petani, dan buruh. Rata-rata pendapatan contoh bekerja sebagai sopir angkot pada Trayek Kampus Dalam relatif lebih besar daripada sopir pada Trayek Leuwiliang, yaitu Rp.801.400,00 per bulan, sedangkan rata-rata pendapatan contoh pada Trayek Leuwiliang sebagai sopir angkot adalah Rp.751.000,00 per bulan.

Berdasarkan pendapatan perkapita, diketahui bahwa lebih dari separuh contoh (58.3%) tergolong dalam kategori keluarga tidak miskin, dan sebesar 41.7% contoh masih tergolong keluarga miskin. Jumlah kelompok keluarga miskin pada contoh sopir Kampus Dalam lebih banyak daripada sopir Leuwiliang. Adapun sebaran contoh berdasarkan pendapatan per kapita dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Sebaran contoh berdasarkan pendapatan perkapita Sopir Kampus Dalam Sopir Leuwiliang Total Pendapatan

Per Kapita Per Bulan

n % n % n %

Miskin (<183.067.00) 14 46.7 11 36.7 25 41.7 Tidak Miskin (>183.067.00) 16 53.3 19 63.3 35 58.3

Total 30 100.0 30 100.0 60 100.0

Menurut Sumarwan (2004), pendapatan yang diukur biasanya bukan hanya berasal dari pendapatan yang diterima oleh seorang individu, tetapi diukur juga dari pendapatan yang diterima oleh semua anggota keluarga dimana individu itu berada. Lebih banyaknya jumlah keluarga miskin pada contoh sopir Kampus Dalam diduga karena lebih dari separuh contoh pada sopir Kampus Dalam termasuk dalam kategori keluarga kecil, sehingga pemasukan dari anggota keluarga pun tidak terlalu banyak, meskipun rata-rata pendapatan per bulan sopir Kampus Dalam lebih besar daripada pendapatan per bulan sopir Leuwiliang.

Pengetahuan Gizi dan Kesehatan

Berdasarkan data yang diperoleh, separuh contoh memiliki tingkat pengetahuan gizi dan kesehatan yang tinggi, 30.0% sedang, dan sebesar 20.0% masih rendah. Baik pada sopir Kampus Dalam maupun sopir Leuwiliang, yang memiliki tingkat pengetahuan gizi dan kesehatan yang masih rendah adalah sebesar 20.0%. Hal ini perlu diperhatikan dan ditindak secara serius, karena pengetahuan gizi dan kesehatan seseorang berhubungan dengan status gizi dan kesehatan orang tersebut. Sebaran contoh berdasarkan tingkat pengetahuan gizi dan kesehatan disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7. Sebaran contoh berdasarkan tingkat pengetahuan gizi dan kesehatan Sopir

Kampus Dalam

Sopir

Leuwiliang Total Tingkat Pengetahuan

Gizi dan Kesehatan*)

n % N % n % Rendah (skor<60%) 6 20.0 6 20.0 12 20.0 Sedang (60<skor<80%) 10 33.3 8 26.7 18 30.0 Tinggi (skor>80%) 14 46.7 16 53.3 30 50.0 Total 30 100.0 30 100.0 60 100.0 *) Khomsan 2000

Jika dibandingkan, tingkat pengetahuan gizi dan kesehatan yang tinggi pada sopir Leuwiliang lebih banyak persentasenya daripada sopir Kampus Dalam. Uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif dan

sangat signifikan antara tingkat pendidikan dengan pengetahuan gizi dan kesehatan contoh (r=0.394**, p=0.002). Hal ini berarti bahwa tingkat pendidikan seseorang sangat berhubungan dengan pengetahuan gizi dan kesehatan orang tersebut.

Pertanyaan mengenai pengetahuan gizi dan kesehatan yang masih sedikit contoh menjawab dengan benar adalah mengenai akibat yang ditimbulkan bila tubuh kekurangan iodium. Lebih dari separuh contoh menjawab bahwa bila tubuh kekurangan iodium, maka akan menyebabkan gondok saja, sedangkan yang menjawab gondok dan pertumbuhan terhambat hanya sebesar 23.3% contoh.

Lebih dari separuh contoh dapat menjawab dengan benar pertanyaan mengenai akibat yang ditimbulkan akibat kebiasaan merokok. Namun pada kenyataannya, sebagian besar contoh justru memiliki kebiasaan merokok. Uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa pengetahuan mengenai bahaya merokok berhubungan positif dan tidak signifikan dengan kebiasaan merokok (r=0.243, p-value>0.05). Hal ini berarti terdapat kecenderungan di mana pengetahuan mengenai bahaya merokok yang baik belum tentu diikuti dengan kesadaran contoh untuk berhenti merokok.

Sebagian besar contoh (88.3%) dapat menjawab dengan benar pertanyaan mengenai akibat yang ditimbulkan bila tubuh kekurangan vitamin A. Sebanyak 85% contoh pun dapat menjawab pertanyaan mengenai kepanjangan dari P3K (Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan). Sebaran contoh berdasarkan pertanyaan pengetahuan gizi dan kesehatan disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8. Sebaran contoh berdasarkan pertanyaan pengetahuan gizi dan kesehatan yang menjawab sepenuhnya benar

Sopir Kampus Dalam

Sopir

Leuwiliang Total

Pertanyaan

Pengetahuan Gizi dan Kesehatan

n % n % n %

1. Apa yang dimaksud dengan zat gizi 16 53.3 12 40.0 28 46.7 2. Tiga kegunaan makanan dalam tubuh? 20 66.7 12 40.0 32 53.3 3. Akibat yang ditimbulkan bila tubuh

Kekurangan iodium 8 26.7 6 20.0 14 23.3 4. Akibat yang ditimbulkan bila tubuh

Kekurangan zat besi 13 43.3 18 60.0 31 51.7 5. Zat gizi yang diperlukan oleh tubuh 16 53.3 20 66.7 36 60.0 6. Pangan hewani sumber protein 13 43.3 14 46.7 27 45.0 7. Akibat yang ditimbulkan bila tubuh

Kekurangan Vitamin A 26 86.7 27 90.0 53 88.3 8. Jenis makanan sumber zat besi 17 56.7 16 53.3 33 55.0 9. Buah-buahan sumber vitamin C 19 63.3 20 66.7 39 65.0 10.Makanan sumber karbohidrat 16 53.3 16 53.3 32 53.3 11.Nama lain dari Migrain 24 80.0 21 70.0 45 75.0 12.Penyakit yang dapat ditimbulkan

akibat kebiasaan merokok 20 66.7 20 66.7 40 66.7 13.Cara yang dapat dilakukan untuk

menghindari stress 23 76.7 16 53.3 39 65.0 14.Sumber polusi udara 24 80.0 20 66.7 44 73.3 15.Nama lain dari Osteoporosis 14 46.7 22 73.3 36 60.0 16.Kepanjangan dari P3K 24 80.0 27 90.0 51 85.0 17.Penyakit darah tinggi disebut juga 20 66.7 16 53.3 36 60.0 18.Nikotin dan kafein terdapat dalam? 18 60.0 19 63.3 37 61.7 19.Nama lain penyaki kencing manis 17 56.7 16 53.3 33 55.0 20.Manusia bernafas menghirup dan

mengeluarkan gas? 15 50.0 19 63.3 34 56.7

Status gizi dan status kesehatan seseorang dapat dipengaruhi oleh pengetahuannya di bidang gizi dan kesehatan. Suhardjo (1989) menyatakan bahwa pengetahuan akan berpengaruh pada macam bahan makanan dalam konsumsi sehari-hari. Hal ini terkait dengan intake pangan, yang dapat mempengaruhi status gizi seseorang. Menurut Sukarni (1994), pengetahuan sangat penting dalam menentukan status kesehatan, fertilitas dan status gizi seseorang.

Gaya Hidup

Gaya hidup menggambarkan perilaku seseorang, yaitu bagaimana ia hidup, menggunakan uangnya, dan memanfaatkan waktu yang dimilikinya. Gaya hidup seringkali digambarkan dengan kegiatan, minat dan opini dari seseorang (Sumarwan 2004). Gaya hidup ini merupakan hasil kondensasi dari interaksi berbagai faktor sosial, budaya, dan lingkungan hidup. Faktor-faktor yang

mempengaruhi gaya hidup seseorang/keluarga adalah penghasilan, pendidikan, lingkungan, susunan keluarga, pekerjaan, suku bangsa, kepercayaan dan agama, pendapat tentang kesehatan, pengetahuan gizi, dan faktor sosiopolitik lainnya (Suhardjo 1989). Pada penelitian ini, gaya hidup terdiri dari olahraga, merokok, dan konsumsi alkohol.

Olahraga

Kebiasaan Olahraga

Lebih dari separuh contoh (68.3%) pada penelitian ini memiliki kebiasaan olahraga, dan sebesar 31.7% tidak biasa berolahraga. Persentase contoh yang biasa berolahraga pada sopir Kampus Dalam (83.3%) lebih besar daripada sopir Leuwiliang (53.3%). Olahraga yang seimbang merupakan faktor penting dalam menjaga kesehatan tubuh. Sebab olahraga dapat membakar lemak dalam tubuh yang berlebih, yang penumpukkannya hanya akan mendatangkan berbagai macam penyakit seperti tekanan darah, penyumbatan pada pembuluh darah, penyakit gula, dan radang persendian (As-Sayyid 2006).

Jenis Olahraga

Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis olahraga yang paling sering dilakukan oleh contoh adalah lari (43.9%), sepakbola (36.6%), bulutangkis (29.3%), dan tenis meja (24.4%). Pada sopir Kampus Dalam, hampir separuh contoh biasa melakukan jenis olahraga lari, sedangkan pada sopir Leuwiliang sebesar 43.8% biasa melakukan jenis olahraga sepakbola. Kedua jenis olahraga ini dipilih contoh terutama karena jenis olahraga ini tidak perlu mengeluarkan biaya yang mahal. Selain itu, memang sesuai dengan hobi contoh. Olahraga tenis meja biasanya dilakukan contoh di terminal Bubulak ketika menunggu giliran jalan, karena di terminal tersebut sudah tersedia fasilitas untuk bermain tenis meja. Sebaran contoh berdasarkan jenis olahraga dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Sebaran contoh berdasarkan jenis olahraga Sopir Kampus Dalam Sopir Leuwiliang Total Jenis Olahraga n % n % n % Catur 0 0.0 1 6.3 1 2.4 Angkat Besi 2 8.0 0 0.0 2 4.9 Volley 2 8.0 2 12.5 4 9.8 Jalan kaki 6 24.0 2 12.5 8 19.5 Tenis Meja 8 32.0 2 12.5 10 24.4 Bulutangkis 7 28.0 5 31.3 12 29.3 Sepakbola 8 32.0 7 43.8 15 36.6 Lari 12 48.0 6 37.5 18 43.9 Frekuensi Olahraga

Lebih dari separuh contoh (56.1%) biasa melakukan olahraga dengan frekuensi <10 kali dalam satu bulan terakhir. Sopir Kampus Dalam dapat dikatakan relatif lebih rajin berolahraga daripada sopir Leuwiliang. Sebanyak 44% sopir Kampus Dalam melakukan olahraga dengan frekuensi 21-30 kali dalam satu bulan terakhir, sedangkan sebagian besar contoh sopir Leuwiliang (87.6%) biasa berolahraga dengan frekuensi <10 kali dalam satu bulan terakhir. Adapun sebaran contoh berdasarkan frekuensi olahraga dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10. Sebaran contoh berdasarkan frekuensi olahraga satu bulan terakhir Sopir Kampus Dalam Sopir Leuwiliang Total Frekuensi Olahraga Kali/bulan n % n % n % < 10 9 36.0 14 87.6 23 56.1 10 – 20 5 20.0 1 6.3 6 14.6 > 21 11 44.0 1 6.3 12 29.3 Total 25 100.0 16 100.0 41 100.0 Merokok Kebiasaan Merokok

Sebagian besar contoh (86.7%) dalam penelitian ini memiliki kebiasaan merokok. Hanya 23.3% contoh pada sopir Kampus Dalam dan 3.3% contoh pada sopir Leuwiliang yang tidak merokok. Hasil uji beda Mann-Whithey menunjukkan bahwa kebiasaan merokok pada sopir Kampus Dalam dan sopir Leuwiliang berbeda nyata.

Merokok merupakan suatu kebiasaan yang dapat mengganggu kesehatan. Kebiasaan merokok bukan saja merugikan perokok itu sendiri melainkan bagi orang di sekitarnya. Asap rokok merupakan polutan bagi manusia dan lingkungan sekitarnya. Bukan hanya bagi kesehatan, merokok menimbulkan masalah pula di bidang ekonomi. Di negara industri maju, kini terdapat kecenderungan berhenti merokok, sedangkan di negara berkembang, khususnya Indonesia, malah cenderung timbul peningkatan kebiasaan merokok (Tandra 2006).

Merokok dapat meningkatkan resiko terjadinya stroke hampir 2 kali lipat. Adapun perokok pasif beresiko terkena stroke 1,2 kali lebih besar. Nikotin dan karbondioksida yang ada pada rokok menyebabkan kelainan pada dinding pembuluh darah, disamping itu juga mempengaruhi komposisi darah sehingga mempermudah terjadinya proses gumpalan darah (stroke iskemik) (Effendi 2007).

Usia Mulai Merokok

Sebanyak 55.8% contoh mulai merokok pada usia > 19 tahun. Hal ini berarti bahwa lebih dari separuh contoh mulai merokok pada saat masa lepas SLTA. Namun demikian, sebanyak 27.6% contoh sopir Leuwiliang mulai merokok pada usia <15 tahun. Sebaran contoh berdasarkan usia mulai merokok disajikan pada Tabel 11.

Tabel 11. Sebaran contoh berdasarkan usia mulai merokok Sopir

Kampus Dalam

Sopir

Leuwiliang Total Usia Mulai Merokok

(Tahun) n % n % n % < 15 2 8.8 8 27.6 10 19.2 16-18 8 34.7 5 17.2 13 25.0 > 19 13 56.5 16 55.2 29 55.8 Total 23 100.0 29 100.0 52 100.0

Berdasarkan usia mulai merokok, lebih dari separuh contoh (60.0%) yang merokok <15 tahun adalah contoh yang tergolong masa dewasa awal. Aktivitas merokok tidak hanya banyak di kalangan dewasa, namun sejak usia remaja pun, sudah cukup banyak yang sudah merokok. Merokok adalah kebiasaan jelek yang mengakibatkan berbagai macam penyakit. Ironisnya kebiasaan merokok ini khususnya di Indonesia, seolah-olah sudah

membudaya. Berdasarkan hasil penelitian, sekitar 15.0% remaja di Indonesia telah merokok (Notoatmodjo 2007). Hal ini perlu mendapat perhatian dan tindakan yang serius, karena aktivitas merokok dapat mengganggu kesehatan, bahkan seorang perokok mempunyai tingkat kematian 70.0% lebih tinggi akibat penyakit jantung koroner, penyebab utama kematian, dibanding dengan yang tidak merokok (Kusnoputranto 1995).

Jumlah Rokok

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebesar 42.3% contoh termasuk dalam kategori perokok sedang (11-20 batang/hari), dan sebanyak 17.3% contoh termasuk dalam kategori perokok berat (> 20 batang/hari). Jumlah ini masih terlalu banyak, mengingat kerugian yang cukup besar yang dapat ditimbulkan baik dari segi kesehatan maupun segi ekonomi.

Jumlah perokok berat pada sopir Kampus Dalam adalah 13.1%, sedangkan pada sopir Leuwiliang sebesar 20.7%. Jumlah ini masih cukup besar dan perlu adanya penanganan agar para perokok berat ini dapat mengurangi jumlah rokok yang mereka hisap setiap harinya, sehingga diharapkan sedikit demi sedikit terjadi perubahan dari perokok berat menjadi perokok sedang, perokok ringan, bahkan menjadi non perokok. Sebaran contoh berdasarkan jumlah rokok yang dikonsumsi disajikan pada Tabel 12.

Tabel 12. Sebaran contoh berdasarkan jumlah rokok yang dikonsumsi Sopir Kampus Dalam Sopir Leuwiliang Total Jumlah Rokok (Batang/ Hari) n % n % n % <10 9 39,1 12 41,4 21 40,4 11-20 11 47,8 11 37,9 22 42,3 >20 3 13,1 6 20,7 9 17,3 Alasan Merokok

Lebih dari separuh contoh merokok dengan alasan iseng/mengisi waktu luang. Selain itu, sebanyak 34.0% contoh menyatakan bahwa alasan contoh merokok adalah untuk menghilangkan stres. Banyaknya waktu luang sebagai sopir angkot, terutama ketika menunggu giliran jalan, digunakan untuk duduk santai, ngobrol dengan sesama sopir, dan merokok. Padahal, jika waktu luang tersebut digunakan untuk mengerjakan pekerjaan yang lebih bermanfaat,

misalnya dengan memproduksi kerajian tangan ataupun produk yang lain, maka waktu luang tersebut dapat menjadi sumberdaya yang berharga bagi sopir angkot, sehingga dapat meningkatkan produktivitas dan pendapatan mereka. Lamanya waktu menunggu giliran jalan ini biasanya > 3 jam dalam sekali waktu tunggu. Sebaran contoh berdasarkan alasan merokok dapat dilihat pada Tabel 13.

Tabel 13. Sebaran contoh berdasarkan alasan merokok Sopir Kampus Dalam Sopir Leuwiliang Total Alasan Merokok n % n % n %

Iseng/mengisi waktu luang 16 69.6 14 48.3 30 57.6

Lambang kedewasaan 2 8.7 3 10.3 5 9.6

Menghilangkan ngantuk 1 4.3 2 6.8 3 5.8

Menghilangkan stress 8 34.8 10 34.4 18 34.6

Kecanduan 0 0.0 1 3.4 1 1.9

Alasan merokok untuk menghilangkan stres diduga karena bila contoh tidak merokok, maka akan timbul rasa gelisah yang membuat contoh bisa menjadi stres. Hal ini senada dengan hasil penelitian di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia yang menyatakan bahwa seseorang yang terbiasa merokok, bila tidak merokok akan susah berkonsentrasi, gelisah, bahkan bisa menjadi gemuk sedangkan bila merokok akan merasa lebih dewasa dan bisa timbul ide-ide atau inspirasi (Tandra 2006).

Jenis Rokok

Pada penelitian ini lebih dari separuh contoh baik pada sopir Kampus Dalam maupun sopir Leuwiliang merokok dengan jenis rokok kretek, seperti Dji Samsoe, Sampoerna kretek, dan Djinggo. Sedangkan sisanya sebesar 42.3% contoh merokok dengan jenis rokok kretek filter. Sebaran contoh berdasarkan jenis rokok disajikan pada Tabel 14.

Tabel 14. Sebaran contoh berdasarkan jenis rokok Sopir Kampus Dalam Sopir Leuwiliang Total Jenis Rokok n % n % n %

Rokok kretek (Dji Samsoe,

Sampoerna kretek, Djinggo) 12 52.2 18 62.1 30 57.7 Rokok kretek filter (Gudang

Kretek dan Filter merupakan jenis rokok yang dilihat kasat mata sama bentuknya hanya saja yang membedakan adalah isinya. Kalau kretek, di dalamnya berisi tembakau semua sedangkan filter di dalamnya terdapat kapas sebagai saringannya. Dapat dikatakan kretek karena keseluruhan isinya adalah tembakau tanpa kapas saringan atau yang lebih dikenal sebagai filter (penyaring) (Anonim 2007a).

Konsumsi Alkohol

Kebiasaan Minum Alkohol

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar contoh tidak memiliki kebiasaan minum alkohol. Contoh yang memiliki kebiasaan minum alkohol sebanyak 15.0%. Jumlah contoh yang biasa minum alkohol lebih banyak pada sopir Leuwiliang (23.3%) daripada sopir Kampus Dalam (6.7%). Hal ini diduga terkait dengan jarak tempuh trayek Leuwiliang yang lebih jauh sehingga contoh yang minum alkohol merasa perlu mengkonsumsi alkohol untuk mencegah masuk angin. Jumlah contoh yang biasa mengkonsumsi alkohol ini masih relatif besar, dan dikhawatirkan akan menjadi budaya bila tidak segera ditangani. Notoatmodjo (2007) menyatakan bahwa sekitar 1% penduduk Indonesia dewasa diperkirakan sudah mempunyai kebiasaan minum alkohol.

Alasan Minum Alkohol

Sebanyak 33.3% contoh yang mengkonsumsi alkohol menyatakan bahwa alasan mereka minum alkohol adalah untuk menghilangkan stres, dan sebanyak 11.1% contoh minum alkohol untuk menjaga kesehatan. Alasan yang disebutkan oleh contoh menunjukkan bahwa persepsi contoh terhadap alkohol masih kurang tepat. Penggunaan alkohol memang dapat bermanfaat bagi kesehatan, namun dengan cara dan dosis yang benar.

Pada sopir Kampus Dalam, separuh contoh yang mengkonsumsi alkohol minum alkohol dengan alasan untuk mencegah masuk angin, dan separuhnya lagi untuk menghilangkan rasa kesepian. Pada sopir Leuwiliang, sebanyak 42.7% contoh yang mengkonsumsi alkohol menyatakan minum alkohol dengan alasan untuk menghilangkan stres. Adapun Sebaran contoh berdasarkan alasan minum alkohol dapat dilihat pada Tabel 15.

Tabel 15. Sebaran contoh berdasarkan alasan minum alkohol Sopir

Kampus Dalam

Sopir

Leuwiliang Total Alasan Minum Alkohol

n % n % n %

Kesepian 1 50.0 0 0.0 1 11.1

Menghilangkan stress 0 0.0 3 42.7 3 33.3

Mencegah masuk angin 1 50.0 1 14.3 2 44.5

Kesehatan 0 0.0 1 14.3 1 11.1

Alkohol dapat berpengaruh negatif bagi kesehatan manusia jika dikonsumsi secara tidak wajar dan terus-menerus. Pengaruh alkohol dapat dirasakan oleh seluruh anggota tubuh, Selain terhadap otak, alkohol juga dapat berpengaruh negatif terhadap jantung dan pembuluh darah, sel-sel darah, serta hati (liver) (As-Sayyid 2006). Konsumsi alkohol yang berlebihan juga dapat mengganggu metabolisme tubuh, sehingga terjadi dislipidemia, diabetes mellitus mempengaruhi berat badan dan tekanan darah, dapat merusak sel-sel saraf tepi, saraf otak, dan mempermudah terjadinya stroke (Effendi 2007)

Pola Konsumsi Pangan Frekuensi Makan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa contoh memiliki kebiasaan makan yang bervariasi. Lebih dari separuh contoh mempunyai kebiasaan makan 3 kali dalam sehari. Pada sopir Kampus Dalam, persentase contoh yang makan dengan frekuensi 2 kali dalam sehari masih cukup banyak, yaitu sebesar 43.3%. Masih cukup banyaknya sopir Kampus Dalam yang makan 2 kali dalam sehari ini diduga karena berkaitan dengan pendapatan perkapita sopir Kampus Dalam yang relatif lebih rendah daripada sopir Leuwiliang. Sumarwan (2004) menyatakan bahwa jumlah pendapatan menggambarkan besarnya daya beli seseorang.

Waktu makan tiap contoh pada penelitian ini berbeda-beda. Berdasarkan hasil wawancara, contoh yang biasa makan 2 kali dalam sehari biasanya makan pada waktu siang dan sore atau siang dan malam. Sedangkan contoh yang biasa makan 4 kali dalam sehari biasanya waktu makannya adalah pagi, siang, sore, dan malan. Sebaran contoh berdasarkan frekuensi makan per hari dapat dilihat pada Tabel 16.

Tabel 16. Sebaran contoh berdasarkan frekuensi makan per hari Sopir Kampus Dalam Sopir Leuwiliang Total Frekuensi Makan (Kali/hari) n % n % n % 2 13 43.3 11 36.7 24 40.0 3 14 46.7 17 56.7 31 51.7 4 3 10.0 2 6.6 5 8.3 Total 30 100.0 30 100.0 60 100.0

Kebiasaan makan adalah tingkah laku manusia atau kelompok manusia dalam memenuhi kebutuhannya akan makan yang meliputi sikap, kepercayaan dan pemilihan makanan. Pada dasarnya ada dua faktor utama yang mempengaruhi kebiasaan makan manusia, yaitu faktor ekstrinsik (lingkungan alam, lingkungan sosial, lingkungan budaya dan agama, serta lingkungan ekonomi), dan faktor intrinsik (emosional, keadaan jasmani dan kejiwaan yang sedang sakit, serta penilaian yang lebih terhadap mutu makanan) (Khumaidi 1989).

Menurut Khomsan (2002), frekuensi makan yang baik adalah tiga kali sehari. Secara kuantitas dan kualitas rasanya sulit untuk memenuhi kebutuhan gizi apabila frekuensi makannya hanya 1 kali atau 2 kali sehari. Keterbatasan volume lambung menyebabkan tubuh tidak bisa menerima makanan sekaligus dalam jumlah yang banyak. Itulah sebabnya makan sebaiknya dilakukan secara frekuentif yakni 3 kali sehari.

Masyarakat di beberapa daerah di Indonesia mempunyai kebiasaan makan dua kali sehari, tetapi di beberapa daerah lainnya tiga kali sehari. Kebiasaan makan dua kali tersebut biasanya berkembang karena jam kerja yang panjang, kelangkaan pangan atau bahan bakar dalam waktu yang lama (Suhardjo,

Dokumen terkait