• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dampak Aktivitas Kearifan Lokal Terhadap Pembangunan Berkelanjutan 85

Indonesia merupakan negara kepualauan terbesar yang memiliki wilayah laut dan pesisir tentunya memiliki potensi ekonomi yang sangat besar dibidang kelautan dan perikanan. Apabila potensi tersebut dikelola secara baik dan benar, tentunya akan menjadikan Indonesia sebagai negara yang maju. Kearifan lokal terhadap pembangunan keberlanjutan merupakan salah satu potensi sumberdaya yang sering diabaikan oleh pemerintah. Pemberdayaan kearifan lokal kurang tersosialisasikan oleh pemerintah dan masyarakat yang seharusnya dapat membangun Indonesia dan meningkatkan kesejahteraan rakyat sehingga dengan menjaga kesinambungan melalui Sustainable development dapat menjadi solusi dalam menangani berbagai masalah.

Pembangunan berkelanjutan merupakan suatu pembangunan yang dilakukan untuk memenuhi akan kebutuhan sekarang dan dengan memperhatikan kebutuhan yang akan datang. Upaya ini dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan dengan menggunakan sumberdaya lingkungan laut secara bijaksana dan memperhatikan akan terpenuhinya kebutuhan generasi yang akan datang. Dalam melakukan pengelolaan lingkungan, tentu harus menjaga kualitas, keanekaragaman hayati dan ketersediaan akan sumberdaya alam dalam jumlah yang mencukupi untuk masa sekarang dan generasi mendatang agar mencegah terjadinya pengelolaan lingkungan yang berlebihan dan merusak.

Dalam melakukan pemanfaatan sumberdaya alam tidak boleh dilakukan dengan cara-cara yang berlebihan sehingga tidak dapat diperbaharui yang akan menimbulkan masalah pada lingkungan laut. Kearifan lokal saat ini masih dapat dilihat dan diamati secara langsung tetapi dimasa mendatang akan hanya tinggal cerita apabila tidak dijaga dengan baik. Oleh karena itu, pengelolaan lingkungan

perlu ditingkatkan agar seimbang dengan pemanfaatan alam demi menjamin masa depan manusia. Kearifan lokal adalah salah satu pengelolaan lingkungan laut terhadap proses pembangunan berkelanjutan yang sering dikesampingkan padahal kearifan lokal memiliki potensi yang besar apabila dimanfaatkan secara optimal.

Kearifan lokal merupakan suatu perilaku masyarakat tertentu yang menjadi kebiasaan turun temurun dan tradisi yang bersifat sakral bagi masyarakat tertentu. Dengan adanya kearifan lokal tersebut secara tidak langsung masyarakat akan melakukan hal-hal yang berbeda dari masyarakat lainnya dalam hal pengelolaan laut. Contohnya bagi masyarakat Desa Bontomarannu yang melakukan persembahan untuk laut seperti memberikan sesajen dalam bentuk makanan. Mereka meyakini bahwa di laut terdapat roh leluhur yang menjadi panutan mereka. Selain itu, mereka juga mengenal istilah pamali. Pamali yang dimaksud yaitu adanya larangan-larangan bagi masyarakat Desa Bontomarannu dalam hal 'memperlakukan' laut. Di balik dari berbagai kearifan lokal tersebut ternyata menyimpan berbagai dampak positif bagi pengelolaan lingkungan laut di Desa Bontomarannu.

Secara tidak langsung masyarakat Desa Bontomatannu telah melakukan usaha pembangunan berkelanjutan dalam pemanfaatan kearifan lokal. Kearifan lokal terhadap pengelolaan lingkungan laut adalah sebagai berikut :

1. Penggunaan alat tangkap tradisional yaitu pancing dengan jumlah mata pancing yang berbeda sesuai dengan jenis ikan yang akan ditangkap.

Penggunaan alat tangkap pancing tersebut dapat membantu pemeliharaan lingkungan laut sekaligus menjaga kelangsungan hidup keanekaragaman biota laut di Desa Bontomarannu. Hal ini sangat berbeda dengan penggunaan alat tangkap di berbagai wilayah laut Indonesia, sebagian besar masyarakat nelayan modern menggunakan pukat harimau ataupun

dengan bahan peledak. Bayangkan saja, apabila sebuah kapal yang melakukan penangkapan ikan dengan pukat harimau, mulai dari ikan-ikan kecil hingga dewasa, semua jenis ikan tersebut akan terperangkap di dalam pukat harimau tersebut. Karena jaring-jaring pada pukat harimau lebih kecil ukuran diameternya daripada jaring yang digunakan oleh masyarakat nelayan tradisional. Selain itu, pukat harimau yang dilemparkan jauh hingga ke dasar laut secara tidak langsung akan merusak ekosistem terumbu karang dan rumput laut ketika pukat tersebut mulai ditarik naik ke permukaan oleh para nelayan modern. Pukat harimau ini sangatlah efektif dalam penggunaannya, namun sayangnya tidak selektif dalam hasil tangkapannya. Tidak hanya dalam hal penggunaan pukat harimau.

Seringkali nelayan masa kini juga menggunakan bahan peledak atau meracuni ikan-ikan laut dengan bahan sianida. Mereka benar-benar tidak memikirkan keberlanjutan lingkungan untuk masa depan. Dengan menggunakan bahan peledak, ekosistem terumbu karang akan rusak seketika dan sangat sulit untuk memulihkannya.

Maka dari itu, dengan adanya kearifan lokal masyarakat Bontomarannu, isu-isu kerusakan lingkungan laut tersebut dapat diminimalisasi. Kearifan lokal tersebut berkaitan dengan terbitnya Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 2 Tahun 2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets). UU tersebut menegaskan pentingnya perhatian atas daya dukung dan kelestarian sumber daya perikanan untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia. Hal itu sejalan dengan UU No 31 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan.

Dalam Pasal 9 Ayat (1) UU tersebut disebutkan: “Setiap orang dilarang memiliki, menguasai, membawa, dan/atau menggunakan alat penangkapan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak

keberlanjutan sumber daya ikan di kapal penangkap ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia“. Di dalam undang-undang ini, alat penangkapan ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan termasuk di antaranya jaring trawl atau pukat harimau, dan/atau kompresor jelas diharamkan.

2. Adanya penghormatan untuk laut.

Masyarakat Bontomarannu meyakini bahwa laut dijaga oleh roh leluhur yang bernama Karaeng Loe. Setiap tahunnya mereka melakukan ritual sebagai penghormatan untuk leluhur mereka. Mereka sangat menjaga kelestarian laut dan amat berhati-hati ketika melakukan aktivitas di laut. Secara tidak langsung, kearifan lokal tersebut membawa dampak positif terhadap pengelolaan lingkungan laut di Desa Bontomarannu. Dengan keyakinan bahwa adanya roh leluhur yang selalu menjaga laut, secara otomatis masyarakat Bontomarannu tidak akan melakukan kerusakan di lingkungan laut. Mereka sangat menjunjung tinggi tradisi dalam menjaga dan melestarikan alam laut karena mereka takut akan murka dari roh leluhur yang mereka yakini tersebut. Mereka akan menjaga kebersihan laut, tidak membuang sampah dan limbah yang akan merusak ekosistem bawah laut. Mereka juga akan mencintai laut sebagaimana laut telah menjadi sumber mata pencaharian mereka.

3. Masyarakat Bontomarannu selektif dalam melakukan penangkapan dengan tidak menangkap lumba-lumba, hiu martil, penyu dan kura-kura.

Wilayah perairan Desa Bontomarannu memiliki berbagai jenis biota laut, mulai dari ikan-ikan yang berukuran besar maupun ikan yang berukuran kecil.

Hal ini dapat dijadikan sebagai keuntungan tersendiri bagi masyarakat Bontomarannu yang menjadikan wilayah laut sebagai sumber mata pencaharian.

Meskipun wilayah laut mereka terdapat berbagai jenis biota yang bernilai jual tinggi seperti ikan hiu, penyu, kura-kura serta lumba-lumba. Namun mereka tidak

serta merta mengeksploitasi biota-biota tersebut. Adanya kearifan lokal yang berlaku menyebabkan mereka tidak dapat memanfaatkan biota tersebut. Mereka meyakini dengan adanya lumba-lumba tersebut sebagai pertanda bahwa di perairan itu masih terdapat ikan. Selain itu, adanya pula larangan yang dikeluarkan bahwa lumba-lumba tidak ditangkap karena mereka percaya bahwa lumba-lumba adalah jelmaan arwah manusia yang telah meninggal di laut.

Berbagai kearifan lokal ini tentu saja sangat membantu pemerintah dalam hal pelestarian jenis-jenis ikan yang langka. Lumba-lumba adalah spesies yang dilindungi dibawah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan diikuti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, dimana didalam lampirannya ditegaskan bahwa lumba-lumba adalah mamalia laut yang dilindungi oleh undang-undang.

4. Diberlakukannya mitos laut.

Mitos laut yang ada di masyarakat nelayan Desa Bontomarannu yaitu tidak boleh mencemari wilayah laut dan berlaku tidak sopan selama berada di tengah laut seperti membuang sampah sembarangan dilaut dan buang air disembarang tempat. Mitos ini sejalan dengan upaya pemerintah dalam hal pengelolaan lingkungan laut yaitu untuk menjaga kestabilan ekologi laut dan menghindari terjadinya pencemaran. Pencemaran laut merupakan salah satu masalah lingkungan yang dihadapi saat ini dan seringkali disebabkan oleh aktivitas atau kegiatan manusia. Sebagian besar pencemaran laut yang disebabkan oleh manusia dilakukan baik secara langsung maupun tidak langsung. Indonesia yang sebagian besar wilayahnya adalah laut dan banyak orang yang menggantungkan hidup dari laut sangatlah perlu menjaga laut dari berbagai pencemaran agar sumber daya laut tetap lestari.

Pencemaran Laut menurut Peraturan Pemerintah No.19/1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan laut oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan laut tidak sesuai lagi dengan baku mutu dan/atau fungsinya. Di Indonesia terdapat satu peraturan yang khusus mengatur tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut, yaitu Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 1999. Keberadaan Peraturan Pemerintah ini ditetapkan dalam kaitannya dengan UU No. 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan Konvensi PBB tentang Hukum Laut, dan undang-undang Iainnya antara lain UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan.

Sustainable develompent dalam konteks pengelolaan pembangunan kelautan secara teknis didefinisikan sebagai berikut : "Suatu upaya pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan termaksud tidak melebihi daya dukung kawasan pesisir dan laut untuk menyediakannya".

5. Persyaratan ekologis agar pembangunan suatu wilayah (pesisir dan laut) berlangsung secara berkelanjutan :

a. Perlu adanya keharmonisan ruang untuk kehidupan manusia dan kegiatan pembangunan yang dituangkan dalam peta tata ruang.

b. Tingkat laju pemanfaatan sumberdaya dapat pulih (seperti sumberdaya terumbu karang, perikanan dan mangrove) tidak boleh melebihi kemampuan pulih dari sumberdaya tersebut dalam kurun waktu tertentu.

c. Jika kita mengekploitasi sumberdaya tidak terbarukan harus dilakukan dengan cara-cara yang tidak merusak lingkungan agar tidak mematikan kelayakan usaha sektor pembangunan ekonomi lainnya.

d. Tidak membuang limbah yang bersifat meracuni kekayaan biota laut

e. Merancang dan membangun kawasan pesisir dan laut sesuai dengan kaidah-kaidah alam.

Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa kearifan lokal yang berlaku di masyarakat Bontomarannu sangat sejalan dengan syarat-syarat pembangunan berkelanjutan tersebut. Kegiatan kearifan lokal yang masih dipertahankan dan dilakukan oleh nelayan sangat berpengaruh dan ikut ambil bagian dalam proses pembangunan dimana menjaga lingkungan laut dan melestarikannya. Hingga saat ini, kearifan lokal masih dipandang sebelah mata dan dianggap bukan suatu hal yang penting bagi pemerintah padahal dalam proses pembangunan, kearifan lokal akan menjadi peran penting bagi masyarakat dan pemerintah.

VI. PENUTUP

A. Kesimpulan

Adapun kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bentuk dan aktivitas kearifan lokal dalam pengelolaan lingkungan laut terbagi atas dua yaitu dalam pemanfaatan dan pelestarian. Jenis kegiatan kearifan lokal dalam pemanfaatan lingkungan laut yaitu penentuan waktu dan musim dalam penangkapan ikan dan penggunaan alat tangkap tradisional. Sedangkan untuk jenis kegiatan kearifan lokal dalam pelestarian lingkungan laut yaitu upacara penghormatan terhadap laut, tidak menangkap dan membunuh lumba-lumba, hiu martil, penyu, dan kura-kura, dan terakhir pamali atau tabu tidak melakukan kegiatan membuang sampah dilaut atau melakukan hal yang tidak sopan selama dilaut.

2. Bentuk partisipasi nelayan dalam pengelolaan lingkungan laut berbasis kearifan lokal terbagi atas 4 (empat) tahapan yaitu tahapan perencanaan, tahapan pelaksanaan, tahapan evaluasi, dan tahapan pemanfaatan.

3. Dampak aktivitas kearifan lokal terhadap pengelolaan lingkungan laut adalah bahwa semua nilai-nilai kearifan lokal yang terdapat di Desa Bontomarannu tidak hanya bersifat tradisonal dan sekedar tradisi tetapi dapat memberikan manfaat yang sangat besar terhadap pembangunan berkelanjutan. Seperti penggunaan alat tangkap pancing yang dapat membantu pemeliharaan lingkungan laut dan menjaga kelangsungan hidup keanekaragaman biota laut, adanya penghormatan untuk laut, selektif dalam melakukan penangkapan, dan berlakunya mitos laut yang menghindari terjadinya pencemaran.

Dokumen terkait