STUDI KEARIFAN LOKAL SEBAGAI DASAR PENGELOLAAN LINGKUNGAN LAUT BERBASIS MASYARAKAT
DI DESA BONTOMARANNU KECAMATAN GALESONG SELATAN KABUPATEN TAKALAR
OLEH :
TITIN ARIATI L241 13 017
PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN DEPARTEMEN PERIKANAN
FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017
SKRIPSI
STUDI KEARIFAN LOKAL SEBAGAI DASAR PENGELOLAAN LINGKUNGAN LAUT BERBASIS MASYARAKAT
DI DESA BONTOMARANNU KECAMATAN GALESONG SELATAN KABUPATEN TAKALAR
OLEH:
TITIN ARIATI
L 241 12 271
Skripsi
Disusun Sebagai Salah Satu Syarat Menyelesaikan Studi Pada Departemen Perikanan Fakultas Ilmu Kelautan Dan Perikanan
Universitas Hasanuddin Makassar
PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN DEPARTEMEN PERIKANAN
FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017
SKRIPSI
ABSTRAK
Titin Ariati (L24113017). Studi Kearifan Lokal Sebagai Dasar Pengelolaan Lingkungan Laut Berbasis Masyarakat di Desa Bontomarannu Kecamatan Galesong Selatan Kabupaten Takalar. Dibawa bimbingan Abdul Wahid sebagai pembimbing pertama dan Benny Audy Jaya Gosari sebagai pembimbing anggota.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk dan aktivitas kearifan lokal dalam pengelolaan lingkungan laut, bentuk partisipasi masyarakat nelayan dalam dasar pengelolaan lingkungan laut berbasis masyarakat dan dampak aktivitas kearifan lokal terhadap jasa lingkungan di Desa Bontomarannu. Penelitian dilaksanakan bulan Mei-Juli 2017 di Desa Bontomarannu Kec. Galesong Selatan Kab. Takalar. Penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling yaitu dengan pengambilan sampel dengan pertimbangan tertentu. Informan penelitian terdiri dari pemangku adat, nelayan mandiri, dan sawi yang berjumlah 11 orang. Pengambilan data dilakukan dengan cara observasi, wawancara dan studi pustaka.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk dan aktivitas kearifan lokal dibagi atas dua yaitu pemanfaatan lingkungan laut dan konservasi lingkungan laut.
Dalam kearifan lokal pemanfaatan lingkungan laut yaitu penentuan waktu dan musim penangkapan ikan dan penggunaan alat tangkap. Sedangkan kearifan lokal dalam konservasi lingkungan laut yaitu upacara penghormatan laut, selektif dalam penangkapan ikan, dan pamali/tabu yang dilakukan selama dilaut. Bentuk partisipasi masyarakat terbagi atas 4 tahapan yaitu perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, dan pemanfaatan. Sedangkan dalam hal jasa lingkungan, dengan adanya lima bentuk dan aktivitas kearifan lokal yang ada di Desa Bontomarannu merupakan proses pembangunan berkelanjutan yang termasuk dalam menjaga ekosistem dengan tidak merusak lingkungan laut dan tidak mengubah fungsi ekosistem.
Kata Kunci : Kearifan lokal, pengelolaan lingkungan laut, partisipasi, pembangunan berkelanjutan
ABSTRACT
Titin Ariati (L24113017). Study of Local Wisdom as the Foundation for Community Based Marine Environment Management in Bontomarannu Village, South Galesong Districts, Takalar District. By guidance of Abdul Wahid as a first preceptor and Benny Audy Jaya Gosari as a member of preceptor.
This study aims to determine the form and activities of local wisdom in the management of the marine environment, the form of community participation of fishermen in the basis of community-based marine environment management and the impact of local wisdom activities on environmental services in the Village Bontomarannu. The research was conducted from May to July 2017 at Bontomarannu Village, South Galesong subdistrict, Takalar district. This research uses purposive sampling technique that is by taking samples with certain consideration. The research informants consisted of costum stakeholders, independent fishermen, and mustard greens totaling 11 people. Data collection is done by observation, interview and literature study.
The results showed that the form and activity of local wisdom is divided into two, namely the utilization of the marine environment and the conservation of the marine environment. In the local wisdom of the use of the marine environment is the determination of time and seasons of fishing and the use of fishing gear. While the local wisdom in the conservation of the marine environment is the ceremony of the sea, selective in fishing, and pamali/taboo conducted during the sea. The form of community participation is divided into 4 stages : planning, implementation, evaluation, and utilization. In terms of environmental services, the exixtence of five forms and activities of local wisdom in the village of Bontomarannu is a sustainable development process which includes maintaining the ecosystem by not damaging the marine environment and not changing the function of the ecosystem.
Keywords: Local wisdom, marine environment management, participation, sustainable development
RIWAYAT HIDUP
Titin Ariati lahir di Ujung Pandang, pada tanggal 23 Juni 1996. Penulis merupakan anak pertama dari lima bersaudara, anak dari Ayahanda Aris dan Ibunda Sunarti.
Pada tahun 2002 penulis memasuki sekolah dasar di SD Inpres Jogaya 1 Makassar kemudian pindah sekolah pada tahun 2004 SD Inpres Tamangapa Makassar dan lulus pada tahun 2007, kemudian penulis melanjutkan pendidikan SMP Negeri 1 Watampone dan lulus pada tahun 2010. Pada tahun 2010 penulis melanjutkan pendidikan MAN 1 Watampone dan lulus pada tahun 2013. Pada tahun 2013 penulis melanjutkan pendidikan S1 Program Sosial Ekonomi Perikanan, Jurusan Perikanan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Penulis merupakan anggota dari Himpunan Mahasiswa Sosial Ekonomi Perikanan (Himasei-UH).
Dalam rangka menyelesaikan pendidikan dan merupakan syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan penulis melakukan penelitian dengan judul
“Studi Kearifan Lokal Sebagai Dasar Pengelolaan Lingkungan Laut Berbasis Masyarakat di Desa Bontomarannu Kecamatan Galesong Selatan Kabupaten Takalar”.
”Yang dibimbing oleh Dr. Abdul Wahid, S.Pi., M.Si dan Benny Audy Jaya Gosari, S.Kel., M.Si”
KATA PENGANTAR
Bismillahirahmanirrahim
Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Alhamdulillahi Rabbil Alamin, segala Puji bagi Allah Subhana Wa Ta’ala atas kebesaran dan karunia-Nya sehingga penulis dapat merampungkan penyusunan Skripsi dengan judul “Studi Kearifan Lokal Sebagai Dasar Pengelolaan Lingkungan Laut Berbasis Masyarakat di Desa Bontomarannu Kecamatan Galesong Selatan Kabupaten Takalar”. yang merupakan salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan pada Program Studi Sosial Ekonomi Perikanan Departemen Perikanan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin.
Dalam proses penulisan skripsi ini, penulis banyak mendapat dukungan dan bantuan dari pihak-pihak yang secara langsung maupun tidak langsung telah ikut menyumbangkan pikiran, tenaga dan inspirasi bagi penulis. Dan segala ikhlas dan tulus, penulis mengucapkan terima kasi yang tak terhingga kepada :
1. Orang tua tercinta, terimakasih yang tak terhingga kepada yang terkasih, tersayang dan tercinta Ayahanda Aris dan Ibunda Sunarti. Terima kasih atas do’a, kasih sayang dan pengorbanan yang tak pernah bisa terbalas oleh apapun. Semoga Allah Subhana Wa Ta’ala senantiasa melimpahkan rahmat- Nya kepada kita semua di dunia dan di akhirat kelak. Amin.
2. Ibu Dr. Ir. St. Aisjah Farhum, M. Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanaan, Universitas Hasanuddin.
3. Ibu Dr. Ir. St. Aisjah Farhum, M. Si selaku Pembantu Dekan 1 Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin.
4. Ibu Dr. Nursinah Amir, S.Pi., M.P selaku ketua Jurusan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin.
5. Bapak Dr. Andi Adri Arief, S.Pi., M.Si selaku Ketua Program Studi Sosial Ekonomi Perikanan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin.
6. Bapak Dr. Abdul Wahid, S.Pi., M.Si selaku pembimbing utama yang telah membimbing, membantu serta memberikan saran dan kritikan kepada penulis sehingga dapat melaksanakan penelitian dengan baik dan menyelesaikan skripsi ini.
7. Bapak Benny Audy Jaya Gosari, S.Kel., M.Si selaku panasehat akademik di perguruan tinggi di Universitas Hasanuddin Makassar. Beliau juga pembimbing anggota yang telah banyak membimbing, membantu serta memberikan saran dan kritikan kepada penulis sehingga dapat melaksanakan penelitian dengan baik dan menyelesaikan skripsi ini.
8. Bapak Dr. Andi Adri Arief, S.Pi., M.Si dan Firman, S.Pi, M.Si serta Ibu Dr.
Ir. Mardiana E. Fachry, M.Si selaku dosen penguji yang telah memberikan saran-saran pada penulis untuk kesempurnaan skripsi ini.
9. Seluruh Staf Dosen Jurusan Perikanan khususnya dosen-dosen Program Sosial Ekonomi Perikanan saya ucapkan terima kasih atas bimbingannya selama ini.
10. Seluruh karyawan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, saya ucapkan terima kasih atas bantuannya dalam pengurusan administrasi selama perkuliahan sampai penyelesaian tugas akhir ini.
11. Terima kasih banyak saya ucapkan buat Pak Yesi, Pak Gatot dan Kak Aspar atas segala bantuan dan saran yang diberikan dalam penyelesaian pengurusan administrasi kampus.
12. Kepada adikku Muh. Rio Pambudi Aris, Siti Irmawati Aris, Muh. Isram Syahbana Aris, dan Rezky Ariati Aris tersayang. Semoga Allah selalu melindungi kita, kesehatan yang tidak bisa kita hitung dan senatiasa melimpahkan rahmat-Nya kepada kita semua di dunia dan akhirat kelak. Amin.
13. Seluruh saudara-saudara SOSEK Perikanan Angkatan 2013, terima kasih atas bantuan dan kebersamaannya. Semoga kelak kita bisa sukses dimasa depan dengan akhlak yang baik dan masa depan yang cemerlang. Amiin 14. Buat sahabat saya Jusmawati dan Rahayu sejak semester satu sampai
sekarang terima kasih yang selalu menemani dan memberikan semangat, saran, serta dukungan sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini.
15. Kepada Kak Sandy Rahman terima kasih atas doa, dukungan, dan motivasinya pada saat penelitian maupun dalam pembuatan skripsi ini yang tak henti-hentinya memberikan semangat dan kesabaran.
16. Terima kasih kepada Mustakina Sulaeman dan Muhammad Haris, teman perjuangan satu pembimbing yang tak henti memberikan semangat untuk menyelesaikan skripsi ini.
17. Terima kasih kepada teman penelitian satu desa Ayu Rahayu dan Rada Nipas yang telah memberikan dukungan, masukan, dan telah menemani pada saat melakukan penelitian.
18. Terima kasih kepada teman-teman KKN gelombang 93 Kab. Wajo, Kec.
Belawa, Kel. Malakke, yaitu Uswah Khairi Fadillah, Ruhama Rara, Sri
Ayoesti, Faisal Oddang, Ashar, dan Muslimin yang telah memberikan kenangan yang indah dan pelajaran berharga kepada penulis.
19. Terima kasih kepada seluruh warga Desa Bontomarannu atas kerjasamanya dan bantuan yang telah diberikan selama pelaksanaan pengambilan data untuk skripsi ini.
Penulis telah berusaha menyajikan skripsi ini dengan sebaik mungkin, namun disadari masih banyak kekurangan oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan sarannya yang bersifat membangun agar kedepannya dapat lebih baik. Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi para pembaca sekalian terutama kepada diri pribadi penulis. Amin.
Makassar, 2017
Titin Ariati
DAFTAR ISI
HALAMAN
HALAMAN SAMPUL ... i
HALAMAN JUDUL ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
ABSTRAK ... iv
ABSTRACT ... v
RIWAYAT HIDUP ... vi
KATA PENGANTAR ... vii
DAFTAR ISI ... xi
DAFTAR TABEL ... xiii
DAFTAR GAMBAR ... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ... xv
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 5
C. Tujuan Penelitian ... 6
D. Manfaat Penelitian ... 6
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kearifan Lokal ... 7
B. Dimensi dan Prinsip-prinsip Kearifan Lokal ... 9
C. Perubahan Kearifan Lokal dan Faktor-faktor Penyebab Perubahan Kearifan Lokal Masyarakat Nelayan ... 12
D. Pengelolaan Lingkungan Laut Berbasis Masyarakat ... 21
E. Kearifan Lokal dalam Pembangunan Perikanan ... 25
F. Partisipasi Masyarakat Nelayan Dalam Pengelolaan Lingkungan Laut .... 26
G. Contoh Kearifan Lokal Masyarakat Nelayan di Indonesia ... 32
H. Kerangka Pikir ... 38
III. MEDOTOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat ... 40
B. Jenis Penelitian ... 40
C. Metode Pengambilan Sampel ... 40
D. Sumber Data ... 41
E. Teknik Pengumpulan Data ... 42
F. Analisis Data ... 43
G. Konsep Operasional ... 44
IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Letak Geografis ... 47
B. Kondisi Demografi ... 48
C. Keadaan Sosial Ekonomi ... 50
V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Bentuk dan Aktivitas Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Lingkungan Laut 53 1. Kearifan Lokal dalam Pemanfaatan Lingkungan Laut ... 54
2. Kearifan Lokal dalam Pelestarian Lingkungan Laut ... 65
B. Partisipasi Masyarakat dalam Dasar Pengelolaan Lingkungan Laut Berbasis Masyarakat ... 80
C. Dampak Aktivitas Kearifan Lokal Terhadap Pembangunan Berkelanjutan 85 VI. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 92
B. Saran ... 93
DAFTAR PUSTAKA ... 94
DAFTAR LAMPIRAN ... 97
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Tingkat Partisipasi Masyarakat Menurut Tangga Partisipasi Amstein ... 28
2. Jumlah Penduduk Desa Bontomarannu Berdasarkan Jenis Kelamin ... 48
3. Pembagian Jumlah Penduduk Berdasarkan Dusun Di Desa Bontomarannu 49 4. Jenis Mata Pencaharian Penduduk Desa Bontomarannu ... 50
5. Tingkat Pendidikan Penduduk Desa Bontomarannu ... 51
6. Sarana Dan Prasarana Di Desa Bontomarannu ... 52
7. Jenis Kegiatan Ritual Adat pada Desa Bontomarannu ... 68
8. Bentuk Partisipasi Nelayan Dalam Pengelolaan Lingkungan Laut Berbasis Mayarakat ... 81
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Kerangka Pikir ... 39 2. Peta Desa Bontomarannu ... 47
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Peta Lokasi Desa Bontomarannu ... 98
2. Wawancara Terhadap Salah Satu Nelayan ... 98
3. Alat Tangkap Pancing yang Digunakan Nelayan ... 99
4. Alat Tangkap Pancing dengan Berbagai Ukuran dan Mata Pancing ... 99
5. Rumah Adat atau Tempat Persinggahan Karaeng Loe’ ... 100
6. Kegiatan Padongkok Pakrappo yang Dilakukan Pemangku Adat ... 100
7. Sesaji yang Warga Bawa Kepemangku Adat atau Rumah Roh/Leluhur yang Mereka Percayai ... 101
8. Kegiatan Warga membawakan Sesaji Kepada Patanna Pa’rasangan (Roh Pemilik Kampung) ... 101
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar yang memiliki wilayah laut dan pesisir. Dengan memiliki wilayah laut yang luas serta pulau-pulau, tentunya Indonesia memiliki potensi ekonomi yang sangat besar dan keanekaragaman budaya bahari pada suku bangsa ditiap-tiap daerah. Pada setiap suku bangsa memiliki perbedaan dan keunikan masing-masing baik dari segi bahasa daerah yang digunakan, adat isitiadat serta kebiasaan dan lain-lain.
Sehingga dengan potensi tersebut, masyarakat Indonesia memiliki cara tersendiri dalam melakukan pengelolaan lingkungan laut.
Pengelolaan laut yang terpadu lintas sektor ini berupa pengelolaan pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di kawasan laut, dengan cara melakukan penilaian menyeluruh tentang kawasan laut dan sumberdaya alam serta jasa-jasa lingkungan yang terdapat di dalamnya, menentukan tujuan dan sasaran pemanfaatan guna mencapai pembangunan yang optimal dan berkelanjutan (Sinurat, 2015). Karena hal ini, Indonesia yang memiliki wilayah laut yang amat luas sehingga pengelolaan lingkungan disetiap wilayah berbeda-beda. Salah satunya dengan dipengaruhinya kearifan lokal yang telah ada sejak dahulu hingga sekarang dan masih dipertahankan oleh masyarakat lokal.
Kearifan lokal merupakan pengetahuan lokal yang diketahui oleh masyarakat dan telah dijalankan secara turun-temurun atau dari generasi ke generasi dalam waktu yang sangat lama. Biasanya kearifan lokal berisi tentang cara memelihara dan memanfaatkan sumberdaya alam. Menurut Kosmaryandi (2005) dalam Pawarti (2012), kekayaan pengetahuan masyarakat lokal sudah berkembang dalam jangka waktu yang panjang sejalan dengan perkembangan
peradaban manusia. Sehingga pengetahuan masyarakat lokal yang didapat karena hasil dari pengalaman yang telah dilalui dan proses adaptasi tehadap lingkungan sekitar.
Dalam proses pengelolaan lingkungan laut, tentunya masyarakat mempunyai kebiasaan dalam memanfaatkan dan menjaga kelestarian lautnya.
Bagi masyarakat pesisir, sikap hidup dasar masyarakat adalah memiliki atau menganggap bahwa laut merupakan sumberdaya untuk kelangsungan, pertumbuhan dan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, masyarakat pesisir di wilayah Indonesia memiliki cara pandang tertentu terhadap sumber daya laut dan persepsi kelautan. Melalui latar belakang budaya yang dimiliki oleh masyarakat pesisir, muncul suatu tradisi untuk menghormati kekuatan sumber daya laut. Tradisi tersebut lazimnya diwujudkan melalui ritual, yang bertujuan untuk mengungkapkan rasa syukur karena alam melalui sumber daya laut telah memberikan kelimpahan serta rezeki dalam kelangsungan hidup mereka (Ismail, 2007 dalam Hasmah, 2014).
Perilaku masyarakat sebagai sebuah kearifan lokal dalam pelestarian lingkungan dengan cara-cara yang sesuai dengan pola pikir dan tradisi setempat, sehingga diharapkan mampu memunculkan konsep dan cara menjaga keseimbangan pelestarian lingkungan. Berbagai macam bentuk pantangan, larangan, tabu, pepatah-petitih dan berbagai tradisi lainnya dapat mengungkapkan beberapa pesan yang memiliki makna sangat besar bagi pelestarian lingkungan khususnya sumberdaya pesisir (Zulkarnain, 2007).
Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menetapkan kewajiban pemerintah untuk menetapkan sustainable development sebagai solusi untuk memperbaiki kerusakan lingkungan tanpa mengorbankan kebutuhan pembangunan ekonomi dan keadilan sosial. Penerapan prinsip pembangunan berkelanjutan dalam
pembangunan nasional memerlukan kesepakatan semua pihak untuk memadukan pilar pembangunan secara proporsional. Konsep pembangunan berkelanjutan timbul dan berkembang karena timbulnya kesadaran bahwa pembangunan ekonomi dan sosial tidak dapat dilepaskan dari kondisi lingkungan hidup (Renjaan, 2013). Dengan adanya UU No. 32 Tahun 2009, diharapkan masyarakat melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup tanpa menimbulkan kerusakan lingkungan sekitarnya.
Dalam perkembangannya, peranan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) modern di bidang perikanan telah memberi kesempatan yang luas pada masyarakat pesisir dalam mengeksploitasi sumber daya hayati laut semaksimal mungkin. Namun manfaat teknologi yang terperagakan tersebut mulai pula dipertanyakan akibat merosotnya kualitas dan kuantitas sumber daya hayati perairan serta kualitas lingkungan. Oleh karena itu, dalam konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) maka pendekatan secara non- struktural, melalui peranan pengetahuan lokal penduduk asli dalam mengelola dan memanfaatkan sumber daya hayati perairan yang sarat dengan nilai konservasi memiliki peranan penting dan strategis. Sementara pendekatan secara struktural, pemerintah harus mengenal dan mendorong sepenuhnya indentitas, budaya dan keinginan masyarakat dalam melestarikan aktivitas- aktivitas secara tradisional yang tetap dipertahankan yang mendukung pemanfaatan sumberdaya hayati perairan secara berkelanjutan (Hasmah, 2014).
Pengelolaan sumberdaya air harus disesuaikan dengan kondisi lokal dan kearifan lokal pada setiap daerah karena setiap daerah memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Pada suatu komunitas tertentu dapat ditemukan kearifan lokal yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya alam sebagai tata pengaturan lokal yang telah ada sejak masa lalu dengan sejarah dan adaptasi yang lama. Kearifan lokal tidak hanya berfungsi sebagai ciri khas suatu
komunitas saja, tetapi juga berfungsi sebagai upaya untuk pelestarian lingkungan ekologis suatu komunitas masyarakat (Rusnita, 2016).
Bagi masyarakat di Indonesia, kearifan lokal mengandung nilai, norma, sistem kepercayaan, mitos, dan ritual yang diyakini masyarakat terhadap lingkungannya. Setiap daerah memiliki kearifan lokal tersendiri yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan laut. Pengelolaan lingkungan laut melalui kearifan lokal memiliki kelebihan tersendiri, selain untuk memelihara lingkungan alam juga dapat menjaga kebudayaan masyarakat setempat. Masyarakat dengan memiliki kearifan lokal yang telah ada sejak dahulu sampai sekarang telah memberikan perilaku positif terhadap alam dan lingkungan sekitarnya.
Dengan melihat gejala-gejala yang muncul di alam sekitar sehingga dapat memprediksi apa yang akan terjadi serta penggunaan teknologi yang tradisional tentunya akan menjaga kelestarian lingkungannya meskipun banyak faktor penyebab perubahan kearifan lokal yang mulai tergerus oleh zaman teknologi yang canggih.
Salah satu pulau di Indonesia yaitu Pulau Sulawesi yang terdapat beberapa daerah yang masih mempertahankan eksistensi kearifan lokal mereka hingga saat ini. Terdapat di Provinsi Sulawesi Selatan, tepatnya Kabupaten Takalar yang masih mempertahankan budaya bahari dalam penangkapan ikan yang dilakukan secara tradisional dengan sistem pengetahuan dan peralatan yang cukup sederhana. Salah satu desa yang terdapat di Kabupaten Takalar yaitu Desa Bontomarannu yang merupakan pemukiman masyarakat nelayan yang masih mempertahankan kearifan lokalnya seperti alat tangkap tradisional yang mereka gunakan, jenis ikan tertentu yang tidak dapat mereka tangkap, serta pamali atau pantangan yang tidak boleh dilakukan selama melaut dan lain- lain. Hal diatas merupakan kearifan lokal yang mereka lakukan sejak dahulu
hingga sekarang dan telah memberikan kontribusi besar dalam pengelolaan lingkungan laut.
Berdasarkan hal tersebut diatas, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tradisi yang dilakukan masyarakat dan nelayan dalam mengelola lingkungan lautnya, partisipasi masyarakat nelayan terhadap kearifan lokal serta pembangunan berkelanjutan yang dihasilkan dari kearifan lokal tersebut. Dengan dasar itulah peneliti mengambil judul ”Studi Kearifan Lokal Sebagai Dasar Pengelolaan Lingkungan Laut Berbasis Masyarakat di Desa Bontomarannu Kecamatan Galesong Selatan Kabupaten Takalar”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas maka dapat dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana bentuk dan aktivitas kearifan lokal dalam pengelolaan lingkungan laut di Desa Bontomarannu Kecamatan Galesong Selatan Kabupaten Takalar ?
2. Bagaimana bentuk partisipasi masyarakat nelayan di Desa Bontomarannu Kecamatan Galesong Selatan Kabupaten Takalar dalam dasar pengelolaan lingkungan laut berbasis masyarakat ?
3. Bagaimana dampak aktivitas kearifan lokal terhadap pembangunan berkelanjutan di Desa Bontomarannu Kecamatan Galesong Selatan Kabupaten Takalar ?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui bentuk dan aktivitas kearifan lokal dalam pengelolaan lingkungan laut di Desa Bontomarannu Kecamatan Galesong Selatan Kabupaten Takalar.
2. Untuk mengetahui bentuk partisipasi masyarakat nelayan di Desa Bontomarannu Kecamatan Galesong Selatan Kabupaten Takalar dalam dasar pengelolaan lingkungan laut berbasis masyarakat.
3. Untuk mengetahui dampak aktivitas kearifan lokal terhadap pembangunan berkerlanjutan di Desa Bontomarannu Kecamatan Galesong Selatan Kabupaten Takalar.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang dapat diberikan sebagai berikut :
1. Dari segi akademis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu sumber informasi dan bahan acuan untuk melakukan penelitian- penelitian terkait yang akan dilaksanakan.
2. Dari segi sosial, dapat memperoleh penjelasan mengenai lingkungan masyarakat setempat, seberapa jauh kelestarian sumberdaya alam dan pengelolaan lingkungan laut dipengaruhi oleh kearifan lokal.
3. Dari segi praktis, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk menentukan suatu kebijakan yang tepat bagi masyarakat pedesaan.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Kearifan Lokal
Kearifan lokal merupakan suatu bentuk pengetahuan atau pola pikir masyarakat secara tradisional yang telah dilaksanakan dan diwariskan secara turun temurun dari masa ke masa. Pada setiap daerah memiliki keunikan tersendiri dalam menjalankan kearifan lokal baik yang berhubungan dengan lingkungan alam dan sosial. Menurut Putu Oka Ngakan dalam Suhartini (2009), kearifan lokal merupakan tata nilai atau perilaku hidup masyarakat lokal dalam berinteraksi dengan lingkungan tempatnya hidup secara arif. Maka dari itu kearifan lokal tidaklah sama pada tempat dan waktu yang berbeda dan suku yang berbeda.
Kearifan lokal juga dapat diartikan sebagai pandangan hidup dan pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka, meliputi seluruh unsur kehidupan agama, ilmu dan teknologi, organisasi sosial, bahasa dan komunikasi, serta kesenian. Mereka mempunyai pemahaman, program, kegiatan, pelaksanaan terkait untuk mempertahankan, memperbaiki, dan mengembangkan unsur kebutuhan dan cara pemenuhannya, dengan memperhatikan sumber daya manusia dan sumber daya alam disekitarnya (Suparmini, 2013).
Sedangkan menurut Zakaria (1994) dalam Arafah (2002) sebagaimana dikutip oleh Aulia (2010), pada dasarnya kearifan lokal atau kearifan tradisional dapat didefinisikan sebagai pengetahuan kebudayaan yang dimiliki oleh suatu masyarakat tertentu yang mencakup sejumlah pengetahuan kebudayaan yang berkenaan dengan model-model pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam secara lestari. Kearifan tersebut berisikan gambaran tentang anggapan
masyarakat yang bersangkutan tentang hal-hal yang berkaitan dengan struktur lingkungan, fungsi lingkungan, reaksi alam terhadap tindakan-tindakan manusia, dan hubungan-hubungan yang sebaiknya tercipta antara manusia (masyarakat) dan lingkungan alamnya.
Umumnya kearifan lokal diwujudkan dengan cara tersendiri yang unik dalam norma budaya dalam ritual dan tradisi masyarakat. Menurut pendapat Aulia (2010) menjelaskan bahwa bentuk-bentuk kearifan lokal yang ada dalam masyarakat dapat berupa : nilai, norma, kepercayaan, dan aturan-aturan khusus.
Bentuk yang bermacam-macam ini mempengaruhi fungsi kearifan lokal menjadi beragam pula. Kearifan lokal berfungsi untuk konservasi dan pelestarian sumber daya alam, pengembangan sumber daya manusia, pengembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan dan sebagai petuah, kepercayaan, sastra dan pantangan.
Sementara itu dalam memelihara kearifan lokal agar tetap bertahan perlu diperhatikan tantangan-tantangan yang akan dihadapi di masa mendatang.
sedangkan menurut Saharuddin (2009), tantangan-tantangan kearifan lokal adalah pertumbuhan penduduk, teknologi modern dan budaya, modal besar, kemiskinan dan kesenjangan, kesulitan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan pokok seringkali menimbulkan masalah-masalah sosial dalam pemanfaatan sumber daya alam (Zamzami, 2016).
Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa kearifan lokal adalah suatu sikap atau pola pikir (pengetahuan) masyarakat lokal yang diketahui berdasarkan pengalaman yang mereka dapatkan atau yang telah mereka jalankan secara turun temurun dalam melakukan aktivitas dan masalah yang dihadapi dikehidupan sehari-hari.
Konsep kearifan lokal yang menjadi ciri khas pada masyarakat tertentu karena konsep kearifan lokal menjadi suatu norma yang memiliki nilai-nilai tertentu yang harus dikembangkan untuk selanjutnya diwariskan oleh masyarakat
pemiliknya secara turun-temurun. Sesuai dengan pernyataan Gadgil dkk dalam Mitchell (2007), yang dikutip oleh Saryani (2010), bahwa pengetahuan lokal masyarakat yang terakumulasi sepanjang sejarah hidup mereka memiliki peran yang sangat besar dimana pandangan bahwa manusia merupakan bagian dari alam dan sistem kepercayaan yang menekankan penghormatan pada alam merupakan nilai yang sangat positif untuk pembangunan yang berkelanjutan.
Kedekatan masyarakat lokal dengan lingkungannya inilah kemudian melahirkan suatu pola pemanfaatan sumberdaya melalui “uji coba” telah mengembangkan pemahaman terhadap sistem ekologi yang mereka kelola dan manfaatkan tersebut.
B. Dimensi dan Prinsip-Prinsip Kearifan Lokal
Kearifan lokal dipandang sangat bernilai dan mempunyai manfaat tersendiri dalam kehidupan masyarakat. Sistem tersebut dikembangkan karena adanya kebutuhan untuk menghayati, mempertahankan, dan melangsungkan hidup sesuai dengan situasi, kondisi, kemampuan, dan tata nilai yang dihayati di dalam masyarakat yang bersangkutan. Dengan kata lain, kearifan lokal tersebut kemudian menjadi bagian dari cara hidup mereka yang arif untuk memecahkan segala permasalahan hidup yang mereka hadapi. Berkat kearifan lokal mereka dapat melangsungkan kehidupannya, bahkan dapat berkembang secara berkelanjutan (sustainable development) (Suparmini, 2013).
Menurut Mitchell (2003) dalam Riadi (2017), kearifan lokal memiliki enam dimensi, yaitu :
1. Pengetahuan Lokal
Setiap masyarakat memiliki kemampuan untuk beradaptasi dengan lingkungan hidupnya karena masyarakat memiliki pengetahuan lokal dalam
menguasai alam. Seperti halnya pengetahuan masyarakat mengenai perubahan iklim dan sejumlah gejala-gejala alam lainnya.
2. Nilai Lokal
Setiap masyarakat memiliki aturan atau nilai-nilai lokal mengenai perbuatan atau tingkah laku yang ditaati dan disepakati bersama oleh seluruh anggotanya tetapi nilai-nilai tersebut akan mengalami perubahan sesuai dengan kemajuan masyarakatnya. Nilai-nilai perbuatan atau tingkah laku yang ada di suatu kelompok belum tentu disepakati atau diterima dalam kelompok masyarakat yang lain, terdapat keunikan. Seperti halnya suku Dayak dengan tradisi tato dan menindik di beberapa bagian tubuh.
3. Keterampilan Lokal
Setiap masyarakat memiliki kemampuan untuk bertahan hidup (survival) untuk memenuhi kebutuhan kekeluargaan masing-masing atau disebut dengan ekonomi substansi. Hal ini merupakan cara mempertahankan kehidupan manusia yang bergantung dengan alam mulai dari cara berburu, meramu, bercocok tanam, hingga industri rumah tangga.
4. Sumber daya Lokal
Setiap masyarakat akan menggunakan sumber daya lokal sesuai dengan kebutuhannya dan tidak akan mengeksploitasi secara besar-besar atau dikomersialkan. Masyarakat dituntut untuk menyimbangkan keseimbangan alam agar tidak berdampak bahaya baginya.
5. Mekanisme Pengambilan Keputusan Lokal
Setiap masyarakat pada dasarnya memiliki pemerintahan lokal sendiri atau disebut pemerintahan kesukuan. Suku merupakan kesatuan hukum yang memerintah warganya untuk bertindak sesuai dengan aturan yang telah disepakati sejak lama. Kemudian jika seseorang melanggar aturan tersebut,
maka dia akan diberi sangsi tertentu dengan melalui kepala suku sebagai pengambil keputusan.
6. Solidaritas Kelompok Lokal
Manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan bantuan orang lain dalam melakukan pekerjaannya, karena manusia tidak bisa hidup sendirian.
Seperti halnya manusia bergotong-royong dalam menjaga lingkungan sekitarnya.
Pada umumnya masyarakat Indonesia yang masih bersifat tradisional, mengetahui lingkungan alam yang ada disekitarnya. Mereka beradaptasi dengan ekosistem alam dengan baik dengan hidup secara berdampingan sehingga dapat mengenal kondisi alam dan memanfaatkan sumberdaya alam dengan berbagai cara.
Dalam kearifan lokal juga terwujud upaya pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan yang juga merupakan wujud dari konservasi oleh masyarakat.
Berkaitan dengan hal itu, Nababan (1995) yang dikutip oleh Suparmini (2013) mengemukakan : “Prinsip-prinsip konservasi dalam pengelolaan sumberdaya alam secara tradisional meliputi :
(1) Rasa hormat yang mendorong keselarasan (harmoni) Hubungan manusia dengan alam sekitarnya. Dalam hal ini masyarakat tradisional lebih condong memandang dirinya sebagai bagian dari alam itu sendiri,
(2) Rasa memiliki yang eksklusif bagi komunitas atas suatu kawasan atau jenis sumberdaya alam tertentu sebagai hak kepemilikan bersama (communal property resource). Rasa memiliki ini mengikat semua warga untuk menjaga dan mengamankan sumberdaya bersama ini dari pihak luar,
(3) Sistem pengetahuan masyarakat setempat (lokal knowledge system) yang memberikan kemampuan kepada masyarakat untuk memecahkan masalah- masalah yang mereka hadapi dalam memanfaatkan sumberdaya alam yang terbatas,
(4) Daya adaptasi dalam penggunaan teknologi sederhana yang tepat guna dan hemat (input) energi sesuai dengan kondisi alam setempat,
(5) Sistem alokasi dan penegakan aturan-aturan adat yang bisa mengamankan sumberdaya milik bersama dari penggunaan berlebihan, baik oleh masyarakat sendiri maupun oleh masyarakat luar (pendatang). Dalam hal ini masyarakat tradisional sudah memiliki pranata dan hukum adat yang mengatur semua aspek kehidupan bermasyarakat dalam satu kesatuan sosial tertentu,
(6) Mekanisme pemerataan (distribusi) hasil panen atau sumber daya milik bersama yang dapat mencegah munculnya kesenjangan berlebihan di dalam masyarakat tradisional. Tidak adanya kecemburuan atau kemarahan sosial akan mencegah pencurian atau penggunaan sumberdaya di luar aturan adat yang berlaku”.
C. Perubahan Kearifan Lokal Dan Faktor-Faktor Penyebab Perubahan Kearifan Lokal Masyarakat Nelayan
Di era sekarang, dengan segala bentuk perkembangan yang terjadi diseluruh dunia baik dalam hal teknologi serta cara berpikir yang membuat masyarakat hanya mementingkan diri sendiri menyebabkan perubahan kearifan lokal yang telah ada sejak dulu mulai pudar. Masyarakat adat dengan segala kearifan lokal yang dimilikinya tentu saja akan mengalami perubahan layaknya pada kebudayaan. Hal ini mengingat bahwa kearifan lokal merupakan salah satu wujud dari kebudayaan masyarakat. Perubahan ini tentu saja dipengaruhi oleh berbagai faktor. Dalam Sartini (2004) yang dikutip oleh Aulia (2010), menjelaskan bahwa kebudayaan akan berubah dengan dipengaruhi oleh pertumbuhan penduduk, perpindahan atau masuknya penduduk lain pada suatu komunitas tertentu, masuknya peralatan baru sebagai produk modernisasi, dan kemudahan
akses masuk ke dalam atau ke luar suatu komunitas. Bahkan hubungan antar individu atau kelompok juga dapat mempengaruhi kebudayaan.
Seiring dengan perkembangan zaman, praktek-praktek kearifan lokal yang sudah merupakan bagian dari budaya ini mulai dilupakan bahkan di anggap tabu. Kepercayaan, takhayul, mitos, kebiasaan, pengetahuan serta keyakinan adalah bagian dari budaya yang mempengaruhi sikap dan tindakan masyarakat.
Padahal jika kita lihat, program-program pembangunan di daerah bisa gagal apabila tidak memperhitungkan faktor budaya dan kearifan lokal masyarakat.
Setiap masalah yang terjadi di masyarakat, tidak dapat dilihat hanya dari satu sudut pandang saja. Akan tetapi aspek-aspek lain juga harus diperhitungkan.
Misalnya saja pada saat menyelesaikan masalah kemiskinan, kita tidak bisa melihat itu sebagai suatu akibat dari rendahnya tingkat pendidikan saja, tetapi kita harus juga memahami aspek pengetahuan lokal masyarakat, kepercayaan, dan pola perilaku masyarakat (Saryani, 2010)
Berdasarkan penjelasan diatas, bahwa dengan perkembangan zaman yang sekarang menyebabkan adanya perubahan kearifan lokal. Masyarakat tertentu berubah secara dinamis terhadap kearifan lokal yang ada atau yang berlaku diwilayahnya. faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan sosial dan kebudayaan ini merupakan faktor-faktor yang akan mempengaruhi perubahan kearifan lokal. Seperti yang diketahui bahwa kearifan lokal merupakan produk kebudayaan masyarakat yang melembaga pada masyarakat. Sehingga seiring dengan adanya perubahan sosial dan kebudayaan pada masyarakat, maka kearifan lokal ini juga akan ikut mengalami perubahan.
Berikut adalah beberapa faktor-faktor penyebab perubahan kearifan lokal adalah sebagai berikut :
1. Pertumbuhan Penduduk
Salah satu faktor penyebab perubahan kearifan lokal adalah dengan
adanya pertumbuhan penduduk. Jumlah penduduk tiap tahunnya semakin bertambah seiring dengan jumlah kelahiran yang terus meningkat. Pertumbuhan penduduk ini menyebabkan beberapa masalah, seperti semakin sedikitnya jumlah lapangan pekerjaan yang ada dan rendahnya daya dukung pada lingkungan sekitar. Sehingga menyebabkan masyarakat memulai segala macam cara untuk memunuhi kebutuhan sehari-harinya dan mulai tidak mengindahkan kearifan lokal atau aturan lokal yang berlaku. Mereka mulai berpikir secara realistis berdasarkan fakta yang ada bukan percaya akan takhayui atau ritual kearifan lokal.
Seperti yang dijelaskan oleh Sartini (2004) dalam Saryani (2010), bahwa pertumbuhan penduduk akan menjadi salah satu faktor penyebab perubahan kearifan lokal yang merupakan pembentuk budaya suatu komunitas. Pada saat jumlah komunitas dalam suatu masyarakat terus meningkat, maka seiring dengan itu, kebutuhan mereka pun meningkat. Misalnya saja kebutuhan untuk pemukiman. Masyarakat dengan jumlah penduduk yang besar, untuk pemukiman atau pun untuk mata pencaharian dalam memenuhi kebutuhan hidup penduduk tersebut. Pada saat itulah mereka mulai meninggalkan praktek-praktek kearifan lokal. Misalnya saja, hutan yang semula dianggap sakral sehingga dilarang untuk dibuka, maka pada saat jumlah penduduk meningkat dan mereka butuh lahan untuk bermukim dan mencari nafkah, maka pada saat itulah mereka mulai membuka hutan tersebut.
2. Kemudahan Akses Keluar Masuknya Individu Atau Komunitas Pada Komunitas Lain
Pada saat peraturan adat dan budaya tidak membatasi/mengatur akses keluar dan masuknya seorang individu atau anggota komunitas tertentu ke dalam komunitasnya, maka masuknya kebudayaan asing kedalam komunitas tersebut akan sangat mudah. Masuknya budaya luar yang dibawa oleh penduduk baru
dari luar tersebut akan memberi pengaruh terhadap budaya komunitas yang dimasukinya (Saryani, 2010).
Kemudahan akses keluar atau masuknya komunitas budaya yang satu dengan yang lain akan menyebabkan terjadinya percampuran budaya dan selalu berhubungan dengan komunikasi lintas budaya. Artinya adalah pada saat anggota komunitas tertentu masuk, maka dia akan berusaha mengkomunikasikan budayanya atau mungkin dia akan mencoba menerima budaya setempat sebagai budaya barunya bergantung seberapa besar kekuatan budayanya dan seberapa pintar dia mengkomunikasikan budayanya untuk di terima oleh komunitas barunya tersebut. Pada saat itulah sedikit demi sedikit akan terjadi dinamika perubahan kebudayaan (beserta kearifan lokal yang ada didalamnya) yang akan berlangsung secara evolusi, difusi dan akulturasi melalui inovasi (Sartini, 2004 dalam Saryani, 2010).
Berdasarkan pendapat Sartini (2004) yang dikutip sebagaimana oleh Saryani (2010) bahwa kearifan lokal dapat berubah karena benturan nilai dan relativitas budaya pada komunikasi lintas budaya. Dalam aneka ragam budaya dengan nilai-nilai kulturnya akan ada pemahaman yang tidak selalu sama dalam hal nilai dan pemahamannya. Hal inilah yang kemudian menyebabkan adanya benturan nilai antar budaya. Benturan nilai ini akan diselesaikan salah satunya dengan cara mengkomunikasikan identitas/nilai budaya masing-masing sehingga akan ditemukan suatu kesepakatan bersama. Saat itulah setiap anggota yang berkepentingna akan mencoba menerima budaya masing-masing. Hal ini memberi kesempatan budaya tertentu untuk tumbuh dan berkembang dalam suatu komunitas sehingga dapat mengakibatkan terjadinya perubahan kebudayaan yang berimplikasi pada berubahnya kearifan lokal masyarakat setempat.
3. Globalisasi
Globalisasi adalah suatu proses tatanan masyarakat dunia yang tidak mengenal batas wilayah dan menghubungkan antara masyarakat di suatu negara dengan masyarakat di negara lain di seluruh dunia. Globalisasi berangkat dari suatu gagasan untuk menyatukan tatanan antar bangsa yang diharapkan menjadi sebuah kesepakatan bersama dan menjadi pedoman bersama bagi bangsa- bangsa di seluruh dunia. Sebagai proses yang berkesinambungan, globalisasi mampu mengurangi kendala dimensi ruang dan waktu sehingga interaksi dan komunikasi antar bangsa bisa dilakukan dengan cepat dan tepat sasaran. Dengan dukungan teknologi informasi dan komunikasi, globalisasi merambah semua sektor kehidupan dan memberi pengaruh yang signifikan pada tatanan masyarakat dunia (Masduqi, 2011).
Harus diakui, aktor utama dalam proses globalisasi masa kini adalah negara-negara maju. Mereka berupaya mengekspor nilai-nilai lokal di negaranya untuk disebarkan ke seluruh dunia sebagai nilai-nilai global. Mereka dapat dengan mudah melakukan itu karena mereka menguasai arus teknologi informasi dan komunikasi lintas batas negara-bangsa. Sebaliknya, pada saat yang sama, negara-negara berkembang tak mampu menyebarkan nilai-nilai lokalnya karena daya kompetitifnya yang rendah. Akibatnya, negara-negara berkembang hanya menjadi penonton bagi masuk dan berkembangnya nilai-nilai negara maju yang dianggap nilai-nilai global ke wilayah negaranya (Mubah, 2011).
Situasi yang kemudian muncul adalah Indonesia menjadi salah satu pasar potensial berkembangnya budaya asing milik negara maju berkekuatan besar. Situasi ini mengancam budaya-budaya lokal yang telah lama mentradisi dalam kehidupan sosiokultural masyarakat Indonesia. Budaya lokal dihadapkan pada persaingan dengan budaya asing untuk menjadi budaya yang dianut masyarakat demi menjaga eksistensinya. Daya tahan budaya lokal sedang diuji
dalam menghadapi penetrasi budaya asing yang mengglobal itu.
Permasalahannya, daya tahan budaya lokal relatif lemah dalam menghadapi serbuan budaya asing. Perlahan tapi pasti, budaya lokal sepi peminat karena masyarakat cenderung menggunakan budaya asing yang dianggap lebih modern (Mubah, 2011).
4. Pengaruh Teknologi Baru dan Media Massa
Kearifan lokal sebenarnya ada dan hendaknya diperhatikan oleh setiap individu yang hidup dalam masyarakat lokal. Tidak ada orang yang lepas sepenuhnya dari adanya kearifan lokal dimana orang tersebut hidup. Indonesia sebagai negara dengan kekayaan budaya yang tinggi, tentunya memiliki kearifan lokal yang kuat pula. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi dewasa ini menunjukkan perubahan yang cepat dan drastis, terutama di ranah perkembangan media komunikasi massa. Sebagaimana yang kita tahu, media komunikasi massa memiliki perkembangan yang cukup signifikan. Dimulai dari menjamurnya media lokal, berkembangnya media online, hingga populernya media sosial di berbagai kalangan masyarakat (Watie, 2015).
Perubahan sistem mata pencaharian disebabkan oleh masuknya teknologi baru dalam penagkapan ikan seperti trawl yang telah menggeser alat tangkap tradisional. Diawal, pendapatan nelayan relatif meningkat. Akan tetapi seiring dengan peningkatan pendapatan, praktek penangkapan ikan dengan teknologi baru itu mengarah pada eksploitasi sumber daya perairan yang sangat berlebihan. Akibatnya keseimbangan ekologi jadi tidak stabil, degradasi lingkungan, kerusakan terumbu karang, ikan mulai berkurang dan sebagainya.
Hal ini telah mengakibatkan berkurangnya jumlah tangkapan ikan di laut dan pendapatan nelayan menjadi berkurang secara drastis. Fenomena ini disebabkan oleh penggunaan teknologi oleh segelintir orang yang tidak memperhatikan kearifan lokal masyarakat dan keseimbangan lingkungan dan
hanya memperhitungkan kebutuhan sesaat saja, sehingga kegiatan penangkapan ikan mengarah pada bentuk eksploitasi yang berlebihan.
Masyarakat yang menggunakan tanda-tanda alam dalam melaut dan kebijakan lokal masyarakat yang tidak menangkap ikan yang masih kecil, perlahan ditinggalkan. Sementara penggunaan teknologi baru ini tidak memikirkan hal-hal seperti itu akibatnya populasi ikan tertentu di laut menjadi berkurang bahkan punah. Implikasinya adalah pendapatan nelayan menurun drastis dan nelayan tidak mampu memenuhi kebutuhannya. Sehingga masyarakat akan mencari alternatif baru dalam mencari nafkah (Saryani, 2010).
Terlihat bahwa dengan diintroduksikannya teknologi baru melalui media massa telah dapat merubah kearifan lokal yang masyarakat lokal miliki dalam sistem mata pencaharian masyarakat. Akibat dari pemakaian teknologi yang tidak memperhatikan keseimbangan lingkungan dan kearifan lokal masyarakat akhirnya melahirkan berbagai permasalahan yang penanganannya harus disegerakan. Pada saat mata pencaharian masyarakat nelayan tidak lagi menjanjikan disektor perikanan, maka mereka akan mencari alternatif lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pada saat itulah mereka meninggalkan peran sebagai nelayan dan meninggalkan kearifan lokal mereka dalam menangkap ikan di laut (Saryani, 2010).
5. Perubahan Kebijakan Pemerintah
Pada pasal 1 ayat (1) UU RI No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dinyatakan bahwa lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya. Terkait dengan pengelolaan sumber daya laut, mulai dengan pengertian lingkungan sumber daya ikan, yakni bagian dari lingkungan hidup yang
merupakan perairan tempat kehidupan sumber daya ikan, termasuk biota dan faktor alamiah sekitarnya (UU RI Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan). Tidak terkecuali dengan pengelolaan sumber daya laut yang merupakan bagian dari tindakan terhadap lingkungan hidup, di mana pengelolaan sumber daya laut adalah segala upaya mengoptimalkan manfaat sumber daya laut. Sumber daya laut itu sendiri adalah unsur hayati, non hayati yang terdapat di wilayah laut dan dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan manusia (Peraturan Menteri dalam Negeri Nomor 30 Tahun 2010 tentang Pedoman Pengelolaan Sumber Daya di Wilayah Laut) (Siregar, 2014).
Peraturan tersebut merupakan peraturan tertulis yang mengatur pengelolaan lingkungan hidup terkait dengan pengelolaan sumber daya laut, baik bagi pihak pemerintah itu sendiri, badan hukum lainnya, maupun bagi individu khususnya para nelayan di Indonesia. Selain itu, pada pasal 3 UU RI No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dikatakan bahwa tujuan dari Pengelolaan lingkungan hidup adalah :
a. Melindungi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dari pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup;
b. Menjamin keselamatan, kesehatan, dan kehidupan manusia;
c. Menjamin kelangsungan kehidupan makhluk hidup dan kelestarian ekosistem;
d. Menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup;
e. Mencapai keserasian, keselarasan, dan keseimbangan lingkungan hidup;
f. Menjamin terpenuhinya keadilan generasi masa kini dan generasi masa depan;
g. Menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan hidup sebagai bagian dari hak asasi manusia;
h. Mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana;
i. Mewujudkan pembangunan berkelanjutan; dan j. Mengantisipasi isu lingkungan global.
Meskipun demikian, tidak menutup kemungkinan terjadinya suatu pelanggaran yang dilakukan oleh oknum-oknum tertentu. Hal tersebut dapat memberi dampak yang nyata pada suatu daerah dan masyarakat yang tinggal di atasnya. Sebagai contoh, adanya ketegangan dan konflik antarkelompok nelayan yang merupakan konsekuensi dari sifat sumber daya perikanan sebagai sumber daya milik bersama (common pool resources). Konflik antarkelompok nelayan juga terjadi dalam bentuk tumpang-tindih di antara kelompok-kelompok nelayan yang menggunakan sumber daya yang sama dengan memakai peralatan yang sama pula atau di antara para nelayan yang menggunakan peralatan berbeda tetapi menangkap persediaan ikan yang berbeda pada daerah penangkapan yang sama. Maka itu perlu adanya suatu strategi pengelolaan (Siregar, 2014).
6. Pergeseran Nilai Budaya
Pergeseran merupakan suatu perubahan secara sedikit demi sedikit atau berkala pada seorang yang dipengaruhi oleh perkara lain yang mengakibatkan perubahan pandangan hidup. Pendapat tersebut menegaskan bahwa, perubahan dari setiap diri seseorang tidak datang dengan begitu saja melainkan harus diusahakan dan diupayakan. Menurut Smith dalam Prayogi (2016), menyatakan bahwa makna dari pergeseran tersebut merupakan peningkatan kemampuan sistem sosial, kemampuan sistem sosial memproses informasi- informasi, baik yang langsung maupun tidak langsung dan proses modernisasi ini sesuai dengan pilihan dan kebutuhan masyarakat. Proses pergeseran nilai-nilai ini tidak terjadi secara spontan melainkan dilandasi oleh kesadaran dan waktu yang cukup lama menuju kearah suasana kehidupan yang lebih baik, secara
tidak langsung pergeseran atau perubahan akan terjadi secara perlahan-lahan dan tanpa disadari.
Setiap masyarakat manusia selama hidup pasti mengalami perubahan- perubahan, yang dapat berupa perubahan yang tidak menarik dalam arti mencolok. Ada pula perubahan-perubahan yang pengaruhnya terbatas maupun luas. Serta ada pula perubahan-perubahan yang lambat sekali, tetapi ada juga yang berjalan dengan cepat. Perubahan-perubahan masyarakat dapat mengenai nilai-nilai sosial, norma-norma sosial, pola-pola perilaku organisasi, susunan lembaga kemasyarakatan, lapisan dalam masyarakat, kekuasaan dan wewenang, interaksi sosial dan lain sebagainya (Soekanto, 2012 dalam Rohmawati, 2012)
Eksistensi kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya air di Indonesia, sayangnya, telah mengalami penurunan. Kondisi ini digambarkan dari banyaknya nilai-nilai kearifan lokal yang sudah tidak dipraktikkan lagi, dan di banyak tempat, keberadaan kearifan lokal sudah diabaikan dan tinggal menjadi cerita masyarakat. Di beberapa tempat lainnya, kearifan lokal bahkan telah hilang.
Masyarakat, terutama generasi muda sudah tidak mengetahui lagi adanya kearifan lokal di daerahnya, hanya ada satu atau dua ‘sesepuh’ anggota masyarakat yang mengetahui namun karena faktor usia (sudah tua) dan kesehatan, beliau sudah tidak dapat menjelaskannya dengan lengkap dan baik.
Pergeseran nilai sosial kearifan lokal digambarkan dari memudarnya tatanan yang disepakati masyarakat dan dipraktikkan oleh anggota masyarakat secara besama-sama (Hidayati, 2016).
D. Pengelolaan Lingkungan Laut Berbasis Masyarakat
Menurut Tulungen et al. (2002) yang dikuti oleh Mardijono (2008), pengelolaan berbasis masyarakat merupakan pengelolaan yang dilakukan oleh
masyarakat bersama-sama dengan pemerintah setempat. Pengelolaan berbasis masyarakat bertujuan untuk melibatkan masyarakat secara aktif dalam kegiatan perencanaan dan pelaksanaan suatu pengelolaan. Masyarkat mempunyai kemampuan untuk memperbaiki kualitas hidupnya sendiri sehingga yang diperlukan hanyalah dukungan untuk mengelola dan menyadarkan masyarakat dalam memanfaatkan sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhanannya.
Dalam pelaksanaan suatu kegiatan dukungan pemerintah memegang peranan penting dalam memberikan pengarahan, bantuan teknis serta pengambilan keputusan sehingga sangat penting untuk melibatkan masyarakat dan pemerintah secara bersama-sama dalam pengeloaan suatu kawasan pesisir.
Pengelolaan berbasis masyarakat dapat diartikan juga sebagai suatu sistem pengelolaan sumber daya alam disuatu tempat dimana masyarakat lokal ditempat tersebut terlibat secara aktif dalam proses pengelolaan sumber daya alam yang terkandung didalamnya (Nurmalasari, 2001 dalam Hudiansyah, 2010).
Di Indonesia pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat sebenarnya telah ditetapkan dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.
Ketentuan tersebut secara tegas menginginkan agar pelaksanaan penguasaan Negara atas sumber daya alam khususnya sumber daya pesisir dan lautan diarahkan kepada tercapainya manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat banyak, dan juga harus mampu mewujudkan keadilan dan pemerataan sekaligus memperbaiki kehidupan masyarakat pesisir serta memajukan desa-desa pantai.
Dalam segi ekonomi lingkungan sangat berperan penting karena memberikan manusia sumber makanan, bahan baku industri serta lahan untuk ditinggali. Dalam segi sosial lingkungan sangat penting karena memberikan
ruang untuk masyarakat agar bersosialisasi dan mengembangkan budayanya.
Oleh karena itu betapa pentingnya fungsi lingkungan bagi keberlangsungan hidup manusia, karena sangat pentingnya fungsi dari lingkungan maka dibutuhkanlah pengelolaan yang serius untuk menjaga lingkungan guna menstabilkan keberlangsungan hidup untuk masa depan. Dalam perkembangannya masyarakat melakukan adaptasi terhadap lingkungan dengan mengembangkan suatu kearifan yang berwujud ide-ide kreatif, pengetahuan, peralatan dan teknologi yang dipadukan dengan nilai norma adat dan budaya, aktifitas lingkungan hanya untuk mencukupi kebutuhan hidupnya (Cahya, 2016)
Soerjani (1987) dalam Resosoedarmo et al. (1987) yang dikutip sebagaimana oleh Aprianto (2008), menyatakan bahwa ada tiga upaya yang harus dijalankan secara seimbang, yaitu upaya teknologi, upaya tingkah laku atau sikap dan upaya untuk memahami dan menerima koreksi alami yang terjadi karena dampak interaksi manusia dengan lingkungannya. Manusia mempengaruhi lingkungan hidupnya atau juga mengusahakan sumberdaya alam lingkungannya untuk mempertahankan jenisnya, dan sebaliknya manusia dipengaruhi oleh lingkungannya.
Manusia bersama lingkungan hidupnya berada dalam suatu ekosistem.
Kedudukan manusia di dalam kesatuan ekosistem adalah sebagai bagian penting yang tidak mungkin dipisahkan, karena itu kelangsungan hidup manusia tergantung pula pada kelestarian ekosistemnya. Agar kelestarian ekosistem tersebut dapat terjamin, maka manusia harus menjaga keserasian hubungan timbal balik antara manusia dengan lingkungannya. Jika keserasian hubungan manusia dengan lingkungannya terganggu, maka terganggu pula kesejahteraannya. Jadi manusia dan lingkungannya merupakan ikatan yang tidak dapat dipisahkan, karena kedua hal tersebut saling mempengaruhi (Natsir, 1986 dalam Aprianto, 2008).
Meskipun kerja sama merupakan sifat interaksi antara masyarakat, namun pengelolaan dan pemanfaatan lingkungan laut cenderung makin berkurang, interaksi antara masyarakat lebih banyak terekspresi dalam bentuk saling kompetisi. Saling kompetisi dalam memanfaatkan sumberdaya ikan adalah alasan terjadinya kegagalan pengelolaan laut yang ditunjukkan dengan rusaknya sumberdaya serta adanya kemiskinan. Meskipun demikian, saling berinteraksi antara masyarakat dapat dipandang juga sebagai potensi yang dapat dikembangkan untuk merumuskan suatu mekanisme pengelolaan lingkungan laut yang efektif. Keinginan masyarakat yang saling bertentangan atau berkompetisi merupakan salah satu alamiah masyarakat. Namun, sifat ini juga merupakan alasan perlunya dikembangkan mekanisme pengelolaan lingkungan laut yang dapat mengatasi konflik. Mekanisme tersebut adalah dengan membiarkan masyarakat sendiri menentukan cara-cara pengelolaan lingkungan laut yang ditujukan untuk mencapai tujuan yang juga ditetapkan mereka sendiri (Alains, 2009).
Community Based atau pendekatan yang Berbasis Masyarakat adalah upaya pemberdayaan kapasitas masyarakat untuk dapat mengenali, menalaah dan mengambil inisiatif guna memecahkan permasalahan yang ada secara mandiri (Budi, 2004 dalam Cahya, 2016). Terdapat Pengertian, Tujuan dan Sasaran Kegiatan yang Berbasis Masyarakat sebagai berikut :
1. Tujuan : Tujuan pendekakatan yang berbasis masyarakat adalah meningkatnya kapasitas masyarakat dan mencoba untuk menurunkan kerentanan individu, keluarga dan masyarakat luas serta adanya perubahan masyarakat dalam upaya menangani permasalahan yang terjadi di lingkungannya. Disamping itu program berbasis masyarakat menggunakan pendekatan yang berbasis realita bahwa dengan cara- cara yang relatif sederhana dan mudah dilaksanakan, maka masyarakat
di kalangan bawah pun dapat melakukan perubahan yang positif untuk menuju ke arah yang lebih baik.
2. Sasaran : Sasaran dari program ini adalah masyarakat rentan yang hidup didaerah rawan serta bersedia untuk menerima perubahan. Dan juga Penekanan perencanaan program berbasis masyarakat lebih bersifat internal daripada faktor ekternal dengan pendekatan bottom up, bukan top down. Potensial ancaman tidak di luar, namun di dalam dengan sistem sosial. Untuk mengurangi tingkat ancaman/bahaya dan resiko kejadian bencana harus menjadi bagian dari pertimbangan pembangunan.
E. Kearifan Lokal dalam Pembangunan Perikanan
Dalam aspek pembangunan perikanan dan kelautan dengan pemberdayaan kearifan lokal, tampak belum begitu berjalan secara sinergis.
Banyak program dan kegiatan pembangunan yang melibatkan masyarakat pesisir dan nelayan umumnya didesain dari atas (top down). Kearifan lokal dan tradisi serta aturan-aturan adat belum dilirik sebagai suatu yang dapat menjembatani suksesnya program kegiatan pembangunan. Orientasi perencanaan dan pelaksanaan pembangunan masih bersifat proyek, belum terlalu menyentuh pada aspek-aspek pemberdayaan dan belum mengakomodasi sumberdaya lokal beserta capital culture yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia (Santara, 2011).
Padahal di sisi lain, adanya pemberdayaan kearifan lokal dan perlibatan masyarakat dalam keseluruhan proses dapat membangkitkan kesadaran, motivasi, keikhlasan dan kesungguhan hati sehingga mereka ikut bertanggung jawab secara penuh terhadap suksesnya suatu program. Lebih lanjut perilaku positif yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya pesisir akan mampu
bertahan dan menjadi dasar filosofi dalam membangun kehidupan bersama dengan makhluk lain secara serasi, selaras, dan harmonis dengan lingkungan alam dalam suatu ekologis. Selain itu alokasi dana pembangunan perikanan dan kelautan selama lima tahun relatif sangat kecil jika dibandingkan dengan total pembelajaran pembangunan daerah seluruhnya. Sebaliknya, jika dibandingkan dengan dana pengembangan ekonomi rakyat adopsi dana sektor perikanan dan kelautan relatif cukup besar. Namun demikian, kondisi ini belum dapat mempengaruhi kecepatan pertumbuhan pembangunan perikanan dan kelautan (Santara, 2011)
Secara ekologis, manusia merupakan salah satu subsistem dalam ekosistem lingkungan hidup. Dengan demikian manusia adalah satu kesatuan terpadu dengan lingkungannya dan diantaranya terjalin suatu hubungan fungsional yang sedemikian rupa. Dalam hubungan fungsional tersebut manusia tidak dapat dipisahkan dengan lingkungannya. Manusia akan selalu bergantung pada lingkungan yang sekaligus dipengaruhi dan mempengaruhi dan pada akhirnya akan mempengaruhi ekosistem secara keseluruhan (Tuhulele, 2013).
F. Partisipasi Masyarakat Nelayan Dalam Pengelolaan Lingkungan Laut
Pemberdayaan merupakan jalan atau sarana menuju partisipasi.
Sebelum mencapai tahap tersebut, tentu saja dibutuhkan upaya-upaya pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan memiliki dua elemen pokok, yakni kemandirian dan partisipasi. Nasdian (2006) dalam Rosyida (2011) mendefinisikan partisipasi sebagai proses aktif, inisiatif diambil oleh warga komunitas sendiri, dibimbing oleh cara berfikir mereka sendiri, dengan menggunakan sarana dan proses (lembaga dan mekanisme) dimana mereka dapat menegaskan kontrol secara efektif.
Menurut Keith Davis dalam Maryuningsih (2014), Partisipasi berasal dari bahasa Inggris yaitu “participation” adalah pengambilan bagian atau pengikutsertaan. Partisipasi adalah suatu keterlibatan mental dan emosi seseorang kepada pencapaian tujuan dan ikut bertanggung jawab di dalamnya.
Dalam defenisi tersebut kunci pemikirannya adalah keterlibatan mental dan emosi. Sebenarnya partisipasi adalah suatu gejala demokrasi dimana orang diikutsertakan dalam suatu perencanaan serta dalam pelaksanaan dan juga ikut memikul tanggung jawab sesuai dengan tingkat kematangan dan tingkat kewajibannya. Partisipasi itu menjadi baik dalam bidang-bidang fisik maupun bidang mental serta penentuan kebijakan.
Titik tolak dari partisipasi adalah memutuskan, bertindak, kemudian mereka merefleksikan tindakan tersebut sebagai subjek yang sadar. Nasdian (2006) dalam Rosyida (2011) juga memaparkan bahwasanya partisipasi dalam pengembangan komunitas harus menciptakan peran serta yang maksimal dengan tujuan agar semua orang dalam masyarakat tersebut dapat dilibatkan secara aktif pada proses dan kegiatan masyarakat. Cohen dan Uphoff (1979) dalam Rosyida (2011) membagi partisipasi ke beberapa tahapan, yang menyatakan bahwa keseluruhan tingkatan partisipasi merupakan kesatuan integratif dari kegiatan pengembangan perdesaan, meskipun sebuah siklus konsisten dari kegiatan partisipatoris mungkin dinilai belum biasa. Berikut adalah penjelasan tahapan partisipasi yaitu sebagai berikut :
1. Tahap pengambilan keputusan, yang diwujudkan dengan keikutsertaan masyarakat dalam rapat-rapat. Tahap pengambilan keputusan yang dimaksud disini yaitu pada perencanaan dan pelaksanaan suatu program.
2. Tahap pelaksanaan yang merupakan tahap terpenting dalam pembangunan, sebab inti dari pembangunan adalah pelaksanaanya. Wujud nyata partisipasi pada tahap ini digolongkan menjadi tiga, yaitu partisipasi dalam bentuk
sumbangan pemikiran, bentuk sumbangan materi, dan bentuk tindakan sebagai anggota proyek.
3. Tahap evaluasi, dianggap penting sebab partisipasi masyarakat pada tahap ini merupakan umpan balik yang dapat memberi masukan demi perbaikan pelaksanaan proyek selanjutnya.
4. Tahap menikmati hasil atau pemanfaatan, yang dapat dijadikan indikator keberhasilan partisipasi masyarakat pada tahap perencanaan dan pelaksanaan proyek. Selain itu, dengan melihat posisi masyarakat sebagai subjek pembangunan, maka semakin besar manfaat proyek dirasakan, berarti proyek tersebut berhasil mengenai sasaran.
Partisipasi masyarakat menggambarkan bagaimana terjadinya pembagian ulang kekuasaan yang adil (redistribution of power) antara penyedia kegiatan dan kelompok penerima kegiatan. Partisipasi masyarakat tersebut bertingkat, sesuai dengan gradasi, derajat wewenang dan tanggung jawab yang dapat dilihat dalam proses pengambilan keputusan. Gradasi peserta dapat digambarkan dalam Tabel 1 sebagai sebuah tangga dengan delapan tingkatan yang menunjukkan peningkatan partisipasi tersebut (Rosyida, 2011) :
Tabel 1. Tingkat Partisipasi Masyarakat menurut Tangga Partisipasi Amstein
No. Tangga/Tingkatan
Partisipasi Hakekat Kesertaan
Tingkat Pembagian Kekuasaan 1. Manipulasi
(Manipulation)
Permainan oleh pemerintah
Tidak ada partisipasi 2. Terapi (Therapy)
Sekedar agar masyarakat tidak marah/Sosialisasi 3. Pemberitahuan
(Informing)
Sekedar pemberitahuan searah/sosialisasi
Tokenism/sekedar justifikasi agar
mengiyakan 4. Konsultasi (Consultation)
Masyarakat didengar, tapi tidak selalu dipakai
sarannya
5. Penentraman (Placation)
Saran Masyarakat diterima tapi tidak selalu
dilaksanakan 6. Kemitraan (Partnership) Timbal balik
dinegoisasikan
Tingkat kekuasaan ada di
masyarakat 7.
Pendelegasian Kekuasaan (Delegated
Power)
Masyarakat diberi kekuasaan (sebagian atau seluruh program) 8. Control Masyarakat
(Citizen Control)
Sepenuhnya dikuasai oleh masyarakat
Pada dasarnya partisipasi dibedakan menjadi dua, yaitu partisipasi yang bersifat swakarsa dan partisipasi yang sifat simobilisasikan. Partisipasi swakarsa mengandung arti bahwa keikutsertakan dan peran sertanya atas dasar kesadaran dan kemauan sendiri, sementara partisipasi yang dimobilisasikan memiliki arti keikutsertakan dan berperan serta atas dasar pengaruh orang lain.
Menurut Tjokroamidjoyo (1990) dalam Mardijono (2008), ada tiga faktor yang mempengaruhi peran serta atau partisipasi yaitu :
1. Kepemimpinan
Faktor pertama proses pengendalian usaha dalam pembangunan ditentukan sekali oleh kepemimpinan.
2. Pendidikan
Tingkat pendidikan yang memadai akan memberikan kesadaran yang lebih tinggi dalam berwarga negara dan memudahkan bagi pengembangan identifikasi terhadap tujuan-tujuan pembangunan yang bersifat nasioanal.
3. Komunikasi
Gagasan-gagasan, kebijaksanaan dan rencana-rencana akan memperoleh dukungan bila hal tersebut diketahui dan dimengerti oleh masyarakat.
Partisipasi yang baik adalah yang mendukung suksesnya suatu program.
Beberapa sifat dari partisipasi antara lain : positif, kreatif, kritis, korektif konstruktif dan realistis. Partisipasi dikatakan positif, bila partisipasi tersebut mendukung kelancaran usaha bersama dalam mencapai tujuan. Partisipasi kreatif, berarti keterlibatan yang berdaya cipta, tidak hanya melaksanakan instruksi atasan melainkan memikirkan sesuatu yang baru baik gagasan, metode maupun cara baru yang lebih efektif dan efisien. Partisipasi dapat dikatakan kritis, korektif- konstruktif bila keterlibatan dilakukan dengan mengkaji suatu jenis atau bentuk kegiatan, menunjukkan kekurangan bila ada dan memberikan alternatif yang lebih baik. Partisipasi yang realistis mempunyai arti bahwa keikutsertaan seseorang dengan memperhitungkan realitas atau kenyataan, baik kenyataan dalam masyarakat maupun realitas mengenai kemampuannya, waktunya yang tersedia dan adanya kesempatan ketrampilan (Gultom, 1985 dalam Mardijono, 2008).
Faktor-faktor yang mempengaruhi peran serta masyarakat menurut Sastropoetro (1986), adalah keadaan sosial masyarakat, kegiatan program
pembangunan dan keadaan alam sekitarnya. Keadaan sosial masyarakat meliputi pendidikan, pendapatan, kebiasaan dan kedudukan sosial dalam sistem sosial. Kegiatan program pembangunan merupakan kegiatan yang direncanakan dan dikendalikan oleh pemerintah yang dapat berupa organisasi masyarakat dan tindakan kebijaksanaan. Sedangkan alam sekitar merupakan faktor fisik atau keadaan geografis daerah yang ada pada lingkungan tempat tinggal masyarakat setempat. Tokoh masyarakat, pemimpin adat, tokoh agama adalah merupakan komponen yang juga berpengaruh dalam menggerakkan masyarakat yang berperan serta dalam suatu kegiatan (Rahardjo, 1996 dalam Mardijono, 2008).
Menurut Dahuri (1996) dalam Erwiantono (2006) menyatakan bahwa, partisipasi masyarakat nelayan dalam pengelolaan lingkungan laut dapat diwujudkan dengan mengadakannya program pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu dengan membutuhkan partisipasi masyarakat yang tinggi dan setepat mungkin. Masyarakat yang hidup di sepanjang pantai dan telah memanfaatkan sumberdaya secara tradisional dapat terpengaruh oleh peraturan dan prosedur baru. Oleh karena itu, masayarakat harus diikutsertakan dalam pembentukan kebijaksanaan dan aturan terhadap pemanfaatan sumberdaya, jika aturan tersebut dibuat untuk mendukung kemajuan bagi masyarakat.
Tingkat pastisipasi masyarakat dalam pengelolaan lingkungan dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah pengalaman masyarakat yang melihat masa lalu. Dengan melihat kondisi alam yang sekarang telah lebih baik, yang telah memberikan manfaat sehingga membuat masyarakat sadar akan pentingnya menjaga lingkungan. Partisipasi masyarakat nelayan sebenarnya sangat tinggi terhadap pengelolaan lingkungan laut. Mereka sadar bahwa lingkungan laut perlu dijaga dan dilestarikan tetapi ada beberapa faktor yang mulai memunurunkan partisipasi masyarakat atau mulai bersikap acuh tak acuh. Sehingga disinilah peran pemerintah setempat dalam melakukan
pengendalian lingkungan laut melalui sistem pengelolaan berbasis masyarakat yang dapat meningkatkan partispasi masyarakat. Pemerintah harus melakukan pendekatan terhadap masyarakat yang akan berdampak positif pada kesejahteraan umum masyarakat.
Masyarakat harus merasa bertanggung jawab, berpartisipasi, dan turut menjaga kelestarian sumberdaya laut dari kegiatan-kegiatan yang dapat merusak lingkungan. Inti dari permasalahan partisipasi masyarakat adalah dengan melakukan kerjasama antara pemerintah dalam merencanakan, melaksanakan, mengevaluasi, dan memanfaatkan serta membiayai pembangunan karena masyarakat tidak dapat bekerja secara sendiri dalam mengatasi masalah lingkungan laut dan menjaga lingkungan laut, sehingga pemerintah harus ikut ambil peran dalam menjaga lingkungan dan mengatasi masalah yang terjadi.
G. Contoh Kearifan Lokal Masyarakat Nelayan di Indonesia
Di Indonesia terdapat berbagai macam bentuk kearifan lokal yang tersebar disetiap daerah di bagian pesisir yang dipercayai dan dilaksanakan oleh masyarakat setempat. Kearifan lokal adalah sebuah bentuk kepercayaan dan adat istiadat yang telah mereka jalankan sejak dahulu hingga sekarang meskipun sedikit demi sedikit mulai tergerus akan zaman modern yang dimana alat teknologi canggih dan pengetahuan yang lebih luas mulai mengikis akan kearifan lokal tersebut. Tetapi disetiap daerah masih saja ada orang yang mampu mempertahankannya sebagai budaya dan aturan yang berlaku untuk menjaga lingkungan alam sekitarnya terkhususnya lingkungan laut.
Berikut ini adalah beberapa contoh kearifan lokal yang ada di Indonesia hingga saat ini.