• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kabupaten Konawe merupakan salah satu wilayah provinsi Sulawesi Tenggara yang beribukota Unaaha dengan jarak 73 km dari Kota Kendari. Secara geografis terletak di bagian selatan khatulistiwa yang melintang dari utara ke selatan antara 3O.00’ dan 4O.25’ lintangselatan dan membujur dari barat ke timur yaitu antara 121O.73’sampai 123O.15’ bujurtimur, dengan batas wilayah sebagai berikut: sebelah utara berbatasan dengan Provinsi Sulawesi Tengah, sebelah timur berbatasan dengan laut Banda dan laut Maluku, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Konawe Selatan dan sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Kolaka.

Sebagaimana daerah-daerah lain di Indonesia, Kabupaten Konawe juga mengenal dua musim yaitu musim kemarau dan musim penghujan. Keadaan musim dipengaruhi oleh arus angin yang bertiup di atas wilayahnya. Bulan November sampai Maret, angin banyak mengandung uap air yang berasal dari Benua Asia dan Samudera Pasifik, setelah sebelumnya melewati beberapa lautan. Pada bulan-bulan tersebut terjadi musim penghujan. Sekitar bulan April, arus angin selalu tidak menentu dengan curah hujan kadang-kadang kurang dan kadang-kadang lebih. Musim ini oleh para pelaut setempat dikenal sebagai musim pancaroba. Sedangkan pada bulan Mei sampai dengan Agustus, angin bertiup dari arah Timur yang berasal dari Benua Australia kurang mengandung uap air. Hal tersebut mengakibatkan minimnya curah hujan di daerah ini. Pada bulan Agustus sampai dengan Oktober terjadi musim Kemarau. Sebagai akibat perubahan kondisi alam yang sering tidak menentu, keadaan musim juga sering menyimpang dari kebiasaan.

Secara umum kepadatan penduduk Kabupaten Konawe mengalami peningkatan dari 22,6 jiwa perkilometer persegi tahun 2005 menjadi 22,8 jiwa pada tahun 2006. Konsentrasi penduduk yang tidak merata masih merupakan ciri yang paling menonjol dari penduduk Kabupaten Konawe. Hal ini ditandai dengan besarnya perbedaan kepadatan antara kecamatan satu dengan yang lainnya.

Struktur umur sangat ditentukan oleh perkembangan tingkat kelahiran, kematian dan migrasi. Berdasarkan tingkat usia, penduduk dapat dibagi atas

anak-anak (di bawah usia 15 tahun), dewasa serta lanjut usia (65 tahun ke atas). Anak-anak dan lanjut usia disebut kelompok usia tidak produktif, sedangkan dewasa (15-64 tahun) disebut kelompok usia produktif. Tahun 2006 komposisi penduduk anak-anak sekitar 33,92 persen atau 90.109 jiwa, penduduk dewasa 61,95 persen atau 164.575 jiwa dan penduduk lanjut usia sekitar 4,13 persen atau 10.962 jiwa. Dengan demikian angka beban ketergantungan sebesar 61,41 persen. Artinya dalam 100 penduduk produktif masih dibebani oleh 61 penduduk tidak produktif. Dari 265.646 jiwa penduduk, 51,08 persen atau 135.692 jiwa adalah laki-laki dan 48,92 persen atau 129.954 jiwa adalah perempuan. Berarti rasio jenis kelamin (sex ratio) penduduk adalah sebesar 104. Artinya dalam setiap 204 penduduk terdapat 100 penduduk perempuan dan 104 penduduk laki-laki(BPS Kabupaten Konawe 2008).

Karakteristik Internal Peternak Sapi Potong di Kabupaten Konawe

Karakteristik individu adalah sifat-sifat atau ciri yang melekat pada diri individu yang berhubungan dengan aspek kehidupan di lingkungannya. Karakteristik ini dianggap sebagai pertimbangan pokok terhadap pelaksanaan suatu program yang berbasis komunitas. Baik-buruknya kinerja seseorang dalam melaksanakan pekerjaan tidak lepas dari faktor masyarakat itu sendiri. Karakteristik akan banyak berpengaruh terhadap tingkat adopsi inovasi teknologi (Rogers 2003).

Rogers dan Shoemaker (1995) mengemukakan bahwa dalam penyebaran ide baru atau difusi inovasi pada suatu sistem sosial, pelakunya paling tidak memiliki tiga karakteristik personal, yaitu: (1) status sosial ekonomi meliputi umur, pendidikan, status sosial dan skala usaha, (2) perilaku komunikasi meliputi partisipasi sosial, kontak dengan penyuluh, kekosmopolitan dan keterdedahan media massa dan (3) kepribadian, di antaranya empati, kemampuan mengambil resiko dan lain sebagainya. Karakteristik individu petani yang diamati dalam penelitian adalah: umur, pendidikan formal, pengalaman berusaha, skala usaha, ketersediaan tenaga kerja, motivasi berusaha dan sifat kekosmopolitan.

Pengetahuan mengenai potensi atau kekuatan sumberdaya peternak secara detail, akan membantu dalam ketepatan penyusunan program penyuluhan,

sehingga proses pemberdayaan masyarakat dapat lebih mengenai sasaran dan perubahan lebih cepat dapat tercapai.

Kecepatan terjadinya perubahan individu, ditentukan oleh sinergitas variabel-variabel internal yang dimiliki peternak. Oleh karena itu dalam upaya mencapai efektivitas penyuluhan di dua basis pemeliharaan, sinergitas asosiasi variabel internal berdasarkan variabel umur, tersaji dalam Tabel 4.

Tabel 4 Asosiasi variabel umur peternak dengan variabel internal lain pada dua basis pemeliharaan

Variabel internal

Lahan sawah Lahan kering Umur Produktif (91,7) Umur tua (8,3) Jumlah (100) Umur Produktif (81,9) Umur tua (18,1) Jumlah (100) ... % ... ... % ... Pendidikan formal Rendah (0-8 th) 45,8 4,2 50 54,2 16,7 70,9 Menengah (9-12 th) 45,8 4,2 50 27,7 1,4 29,1 Pengalaman berusaha Rendah (1-14 th) 45,8 1,5 47,3 75 13,9 88,9 Tinggi (15-41 th) 45,8 6,9 52,7 6,9 4,2 11,1 Skala usaha Rendah (1-5 ST) 86 6,9 92,9 80,5 16,7 97,2 Tinggi (6-15 ST) 5,6 1,5 7,1 1,4 1,4 2,8 Tenaga kerja Rendah (1-2 orang) 51,3 5,6 56,9 48,6 9,7 58,3 Tinggi (3-6 orang) 40,3 2,8 43,1 33,4 8,3 41,7 Motivasi berusaha Rendah (skor 1-2,1) 88,8 6,9 95,7 75 6,9 81,9 Tinggi (skor 2,2-3,25) 2,8 1,5 4,3 16,7 1,4 18,1 Sifat kekosmopolitan Rendah (skor 1-2,1) 88,8 6,9 95,7 81,9 0 81,9 Tinggi (skor 2,2-3,25) 2,8 1,5 4,3 16,7 1,4 18,1 Keterangan : n = 144 (basis lahan sawah dan lahan kering masing-masing 72 sampel),

th = Tahun dan ST = Satuan Ternak dan Umur

Umur peternak merupakan salah satu faktor penunjang dalam menjalankan usaha sapi potong, karena perbedaan umur dapat menggambarkan perilaku seseorang yang diperoleh dari perbedaan pengalaman yang dimiliki serta hakekat dan jenis dari struktur dalam bersikap (attitude).

Tabel 4 menunjukkan bahwa kelompok umur produktif (27-58 tahun) di basis lahan sawah dan di lahan kering merupakan kelompok umur yang dominan mengusahakan sapi potong. Penyebaran peternak kelompok umur produktif pada basis lahan sawah sebanyak 91,7 persen dan 81,9 persen pada basis lahan kering.

Secara psikologis peternak yang berada pada kelompok umur tersebut memiliki kelebihan relatif senang mencoba cara-cara baru dan dapat belajar lebih cepat menguasai suatu teknologi serta mampu mempertahankan retensi belajar dalam jumlah besar baik secara sendiri-sendiri maupun berkelompok dan memiliki sikap cepat mengadopsi suatu inovasi (Padmowihardjo 1994). Selain itu kelompok umur produktif juga memiliki potensi fisik dan sosiologis yang cukup baik dalam mengelola usahaternak sapi potong. Dominasi peternak umur produktif di kedua basis pemeliharaan menunjukkan bahwa usaha sapi potong dapat dikelola dengan baik. Oleh karena itu dalam upaya mengoptimalkan program peningkatan kompetensi pengelolaan usaha sapi potong di dua basis pemeliharaan, kelompok umur produktif merupakan sasaran penyuluhan yang paling baik dikembangkan ke arah yang lebih berkompeten.

Usaha sapi potong yang dikelola oleh peternak berumur tua (59-74 tahun) memiliki penyebaran sebanyak 8,3 persen pada basis lahan sawah dan 18,1 persen di lahan kering. Secara psikologis kelompok umur tersebut karakteristiknya lamban mengadopsi inovasi dan relatif kemampuan belajarnya akan berkurang secara gradual dan terasa nyata setelah mencapai 55 atau 60 tahun, setelah itu penurunan akan lebih cepat lagi (Padmowihardjo 1994). Oleh karena itu dalam upaya mengembangkan kompetensi peternak dalam pengelolaan usaha sapi potong, karakteristik psikologis peternak yang berumur tua relatif kurang baik dijadikan sasaran penyuluhan peningkatan kompetensi terutama dalam hal memperkenalkan inovasi dan teknologi baru karena memiliki kecenderungan relatif ingin mempertahankan kegiatan-kegiatan yang sudah biasa dilaksanakan. Lestari (1994) melaporkan bahwa umur mempunyai hubungan negatif nyata dengan tingkat adopsi teknologi sapta usahatani yang berarti bahwa semakin tua umur petani, semakin rendah atau berkurang tingkat adopsinya. Lionberger (1960) dan Mardikanto (1993) menyatakan bahwa semakin tua umur biasanya semakin lamban mengadopsi suatu inovasi dan cenderung hanya melaksanakan kegiatan-kegiatan yang sudah biasa diterapkan oleh warga masyarakat setempat.

Gambaran dominasi peternak berumur produktif di dua basis pemeliharaan mengindikasikan, bahwa peluang pengembangan kompetensi peternak dalam mengelola usaha sapi potong masih terbuka luas karena memiliki sejumlah

potensi kemampuan berupa potensi fisik, psikologis dan sosiologis yang lebih baik dibanding usia tua. Selain itu gambaran asosiasi dukungan variabel internal lain seperti pendidikan formal, pengalaman berusaha, skala usaha, ketersediaan tenaga kerja keluarga, motivasi berusaha dan sifat kekosmopolitan peternak yang berumur produktif, pada umumnya juga masih rendah. Hal tersebut menunjukkan bahwa pengelolaan usaha sapi potong di dua basis pemeliharaan belum ditangani oleh peternak yang berkompeten. Oleh karena itu dalam upaya percepatan peningkatan kompetensi peternak dalam pengelolaan usaha sapi potong di dua basis pemeliharaan, sasaran penyuluhan yang perlu mendapat prioritas utama adalah yang masih berumur produktif. Program peningkatan kapasitas dan kemampuan individu peternak dalam berusaha sapi potong masih perlu terus dilakukan dan hendaknya mengacu pada variabel-variabel internal yang masih rendah menuju kemampuan internal yang lebih baik (berkompeten).

Pendidikan Formal

Pendidikan formal merupakan salah satu faktor yang mendukung kompetensi peternak, karena pengetahuan yang dimiliki dapat mempengaruhi untuk berpikir lebih rasional, memilih alternatif dan cepat menerima atau melaksanakan suatu inovasi (Soekartawi 2005). Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang cenderung semakin kuat potensi daya kritisnya dalam berpikir lebih rasional dan menentukan pilihan mengadopsi atau tidak suatu inovasi.

Tabel 4 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan tingkat pendidikan formal peternak basis lahan sawah dengan peternak basis lahan kering. Usaha sapi potong di basis lahan sawah dikelola oleh peternak berpendidikan rendah (0-8 tahun) sebanyak 50 persen dan berpendidikan menengah (9-12 tahun) sebanyak 50 persen. Sedangkan di basis lahan kering dikelola oleh peternak berpendidikan rendah sebanyak 70,9 persen dan hanya 29,1 persen berpendidikan menengah.

Hasil tersebut memberi gambaran bahwa pengelolaan usaha sapi potong di basis lahan sawah didukung oleh sumberdaya manusia (SDM) yang relatif lebih berkualitas dibanding di basis lahan kering. Perbedaan kualitas SDM pengelola usaha sapi potong akan mengakibatkan perbedaan kemampuan dalam memilih jenis teknologi, metode dan manajemen yang dibutuhkan dalam meningkatkan

produktivitas usaha. Perbedaan tingkat pendidikan formal yang dimiliki peternak di basis lahan sawah dan lahan kering dapat mengakibatkan penampilan pengelolaan usaha sapi potong di basis lahan sawah akan lebih baik dibanding di basis lahan kering. Mulyasa (2002) menyatakan bahwa pendidikan berperan dalam mewujudkan masyarakat yang berkualitas atau menampilkan individu-individu yang memiliki keunggulan yang tangguh, kreatif dan profesional dalam bidangnya masing-masing.

Gambaran tersebut menunjukkan bahwa dalam upaya membentuk peternak yang unggul, tangguh, kreatif dan profesional dalam mengelola usaha sapi potong, khususnya di basis lahan kering masih diperlukan tambahan dukungan pendidikan. Jenis pendidikan yang dianggap sesuai adalah pendidikan

nonformal atau penyuluhan dalam mempercepat peningkatan kemampuan dan kapasitas SDM pengelola usaha sapi potong. Peningkatan keterampilan dalam menerapkan paket teknologi usaha sapi potong dan dinamisasi keterbukaan peternak terhadap segala informasi mendukung pengembangan usaha merupakan jenis penyuluhan yang sesuai dalam mendukung kompetensi peternak di dua basis pemeliharaan,

Berdasarkan faktor umur yang menyatakan bahwa peternak berumur produktif merupakan sasaran penyuluhan yang tergolong paling baik untuk ditingkatkan kompetensinya, maka perbedaan tingkat pendidikan formal yang dimiliki peternak di basis lahan sawah dan lahan kering dapat menjadi dasar pemilihan metode atau pendekatan penyuluhan yang tepat agar pengembangan kompetensi pengelolaan usaha sapi potong dapat berhasil dan lebih optimal.

Penerapan metode penyuluhan yang sesuai dengan tingkat pendidikan peternak, akan mengakibatkan proses belajar mengajar berjalan secara efektif yang pada gilirannya dapat mempercepat peningkatan produktivitas tenaga kerja pengelola usaha sapi potong. Soekartawi (1996) menyatakan bahwa rendahnya produktivitas tenaga kerja disebabkan faktor rendahnya pendidikan formal yang dimiliki, sehingga mengalami kendala dalam menyerap informasi baru, khususnya yang berkaitan dengan proses difusi inovasi teknologi. Oleh karena itu peternak basis lahan kering membutuhkan metode penyuluhan lebih sederhana dibanding

dengan peternak basis lahan sawah karena tingkat pendidikan peternak basis lahan kering lebih rendah dibanding peternak basis lahan sawah.

Berdasarkan asosiasi umur produktif dengan pendidikan formal, maka pemilihan metode penyuluhan atau pendidikan nonformal yang dianggap dapat efektif dan efisien pada peternak basis lahan sawah dapat dilakukan dengan menggunakan metode pendekatan individu dan pendekatan kelompok secara seimbang karena tingkat pendidikan formal peternak berumur produktif juga berimbang antara yang berpendidikan menengah dan yang rendah yakni masing-masing terdapat sebanyak 45,8 persen. Metode pendekatan kelompok dapat diterapkan pada peternak yang telah memiliki pendidikan formal menengah, namun pada peternak yang tingkat pendidikan formal masih rendah, sebaiknya menggunakan metode kombinasi yaitu pendekatan individu dan pendekatan kelompok. Selain itu pemberian materi penyuluhan yang berkaitan dengan peningkatan keterampilan berusaha sapi potong, peternak yang berpendidikan menengah dapat dilakukan dengan cara pemberian informasi yang intensif dari berbagai macam media komunikasi, tetapi pada peternak yang tingkat pendidikan masih rendah harus dilakukan dengan cara kombinasi yakni pemberian informasi dari berbagai media dan diikuti dengan proses pembimbingan guna memberi pemahaman atau tuntunan secara intensif tentang informasi teknologi yang diperkenalkan kepada peternak.

Pemilihan metode penyuluhan atau pendidikan nonformal yang dianggap efektif dan efisien pada peternak di basis lahan kering harus dilakukan lebih sederhana. Metode penyuluhan dalam meningkatkan keterampilan pengelolaan usaha sapi potong harus dilakukan dengan cara lebih mengedepankan pendekatan individu dibanding pendekatan kelompok karena tingkat pendidikan formal peternak berumur produktif di basis lahan kering pada umumnya masih dalam kategori rendah yakni sebanyak 54,2 persen dan hanya 27,7 persen tergolong menengah. Pendekatan kelompok juga dapat dilakukan dengan sasaran pada peternak yang berpendidikan menengah, namun pendekatan individu harus lebih diutamakan. Selain itu pemberian materi pendidikan melalui berbagai media informasi, seperti media cetak, elektronik dan media terproyeksi harus dilakukan

secara intensif dan diikuti dengan proses pendampingan memahami informasi teknologi yang telah diperkenalkan.

Pengalaman Berusahaternak

Pengalaman adalah segala sesuatu yang muncul dalam riwayat hidup seseorang. Pengalaman seseorang menentukan perkembangan keterampilan, kemampuan dan kompetensi. Pengalaman merupakan hasil dari proses yang dialami oleh seseorang yang mempengaruhi terhadap informasi yang diterima. Pengalaman menjadi dasar terhadap pembentukkan pandangan individu untuk memberikan tanggapan dan penghayatan. Tidak adanya pengalaman sama sekali terhadap suatu obyek, secara psikologis cenderung membentuk sikap negatif terhadap obyek tersebut. Orang yang telah lama menggeluti suatu pekerjaan akan lebih terampil dan cenderung menghasilkan suatu hasil yang lebih baik dari pada orang yang baru.

Soekartawi (2005) menjelaskan bahwa petani yang lebih berpengalaman akan lebih cepat menyerap inovasi teknologi pertanian dibandingkan dengan petani yang belum atau kurang berpengalaman. Tabel 4 menunjukkan bahwa dari variabel pengalaman berusaha, terdapat perbedaan kondisi pengelolaan usaha sapi potong basis lahan sawah dan lahan kering. Pemeliharaan sapi potong di basis lahan sawah didominasi peternak berpengalaman tinggi (15-41 tahun) yakni sebanyak 52,7 persen dan yang berpengalaman rendah (1-14 tahun) sebanyak 47,3 persen. Sedangkan di basis lahan kering didominasi peternak yang berpengalaman rendah yakni sebanyak 88,9 persen dan hanya 11,1 persen berpengalaman kategori tinggi.

Pengalaman peternak dalam berusaha sapi potong di basis lahan sawah lebih baik dibanding di lahan kering, sehingga peternak basis lahan sawah lebih memiliki sejumlah pengalaman dan informasi yang menjadi dasar pembentukkan pandangan dalam memberikan tanggapan dan penghayatan, serta akan lebih terampil dan cenderung menghasilkan suatu hasil yang lebih baik dari pada peternak yang tersebar di basis lahan kering. Adanya sejumlah peternak yang berpengalaman tinggi di basis lahan sawah, dapat berpengaruh terhadap proses pendistribusian pengetahuan kepada peternak yang kurang berpengalaman di basis lahan sawah. Sedangkan di basis lahan kering kondisi pendistribusian

pengetahuan sesama peternak kurang dapat berlangsung karena kurang tersedia peternak yang memiliki banyak pengalaman dalam berusaha sapi potong.

Pengalaman berusaha peternak basis lahan sawah yang lebih tinggi dibanding dengan di basis lahan kering akan berpengaruh terhadap pembentukan kompentensi pengelolaan usaha sapi potong di basis lahan sawah dapat lebih baik dibanding di basis lahan kering. Suparno (2001) menyebutkan bahwa kompetensi dapat dikembangkan dari proses berpikir, praktek dan pengalaman hidup seseorang. Keterbatasan pengalaman akan menutup cakrawala gagasan yang ada pada memori pikiran.

Berdasarkan variabel umur yang menyatakan bahwa peternak berumur produktif merupakan sasaran penyuluhan yang paling baik ditingkatkan kompetensinya, maka dalam upaya meningkatkan kompetensi pengelolaan usaha sapi potong, perbedaan pengalaman berusaha yang dimiliki peternak basis lahan sawah dan lahan kering dapat menjadi dasar pemilihan metode atau pendekatan penyuluhan yang tepat agar dapat berhasil lebih cepat dan lebih optimal.

Asosiasi pengalaman berusaha peternak dengan umur produktif di basis lahan sawah tampak berimbang antara pengalaman tinggi dan rendah yakni masing-masing sebanyak 45,8 persen. Sedangkan di basis lahan kering yang berumur produktif terdapat sebanyak 75 persen berpengalaman rendah dan 6,9 persen berpengalaman tinggi. Hal tersebut menunjukkan bahwa upaya mempercepat peningkatan pengalaman dalam mengimplementasikan paket teknologi anjuran di dua basis pemeliharaan perlu terus dilakukan. Metode-metode penyuluhan yang bersifat peragaan teknologi diperlukan sebagai salah satu upaya mempercepat peningkatan keterampilan peternak dalam menggunakan paket teknologi anjuran. Peragaan teknologi dapat dilakukan dengan cara membangun dan memperbanyak lokasi-lokasi percontohan pemeliharaan sapi potong atau membawa peternak melihat percontohan pada peternak yang lebih maju dalam menerapkan teknologi. Selain itu juga harus dilengkapi dengan dukungan informasi teknologi dari berbagai sumber, baik dari media cetak, media elektronik, maupun dari proses pendampingan yang intensif oleh penyuluh agar teknologi dapat diadopsi dengan tepat dan cepat.

Skala Usaha

Skala usaha berpengaruh terhadap kompetensi peternak dalam megelola usaha sapi potong. Besar-kecilnya jumlah ternak yang dimiliki, akan mendorong bangkitnya motivasi peternak dalam berusaha. Peternak yang jumlah ternaknya sedikit, akan berpengaruh terhadap semangat/motivasi dan kreativitas kerja agar pendapatan yang diperoleh dapat lebih baik (Soekartawiet al. 1986).

Tabel 4 menunjukkan bahwa skala usaha ternak yang dikelola oleh peternak di basis lahan sawah dan lahan kering didominasi oleh skala rendah (1-5 Satuan Ternak), dengan penyebaran masing-masing 92,9 persen di basis lahan sawah dan 97,2 persen di basis lahan kering. Gambaran tersebut menunjukkan bahwa peternak di dua basis pemeliharaan, secara psikologis memiliki kecenderungan lebih mudah termotivasi menggunakan teknologi baru dan inovasi guna menghasilkan produktivitas yang lebih baik. Di samping didominasi peternak skala kepemilikan yang rendah, di dua basis pemeliharaan juga tersebar peternak yang memiliki skala usaha tergolong tinggi (6-15 Satuan Ternak) yakni sebanyak 7,1 persen dibasis lahan sawah dan 2,8 persen di basis lahan kering. Hal tersebut menggambarkan bahwa pada basis lahan sawah dan lahan kering juga tersebar sejumlah peternak yang secara psikologis sulit termotivasi menggunakan teknologi yang baik dalam menghasilkan produktivitas yang lebih tinggi dan hanya cenderung mempertahankan prestasi yang sudah dicapai. Menurut Soekartawi et al. (1986), ukuran usahatani/ternak selalu berhubungan positif dengan adopsi inovasi.

Berdasarkan asosiasi variabel skala usaha dengan variabel umur produktif yakni sasaran penyuluhan yang paling baik ditingkatkan kompetensinya, maka proses penyuluhan di dua basis pemeliharaan perlu dilakukan secara persuasif dan intensif agar peternak dapat termotivasi meningkatkan skala usahanya. Proses peningkatan skala usaha dimaksudkan agar insentif yang diperoleh peternak di dua basis pemeliharaan juga dapat meningkat, namun penambahan hendaknya difokuskan pada peternak yang masih berskala usaha rendah yakni pada peternak yang tersebar sebanyak 86 persen di basis lahan sawah dan pada peternak basis lahan kering yang tersebar sebanyak 80,5 persen. Selain itu juga dapat dilakukan

intervensi berupa pemberian bantuan penambahan skala usaha dengan persyaratan yang dapat dijangkau oleh peternak.

Ketersediaan tenaga kerja

Ketersediaan tenaga kerja keluarga dapat mempengaruhi kompetensi peternak dalam pengelolaan usaha sapi potong, karena usahaternak memerlukan tenaga kerja untuk melakukan kegiatan seperti: pembuatan kandang, pemeliharaan ternak yang meliputi penanganan kesehatan, pembersihan dan pemeliharaan kandang, perkawinan serta pemberian pakan. Soekartawi (1996) menyatakan terdapat beberapa faktor yang perlu diperhatikan pada faktor produksi tenaga kerja yaitu: tersedianya tenaga kerja dalam jumlah yang memadai, serta kualitas tenaga kerja yang berkaitan dengan pengalaman beternak, sikap mental, penyerapan teknologi dan lain-lain.

Tabel 4 memberi gambaran bahwa pengelolaan usaha sapi potong di dua basis pemeliharaan didominasi oleh tingkat ketersediaan tenaga kerja kategori rendah (1-2 orang) dengan persentase penyebaran sebanyak 56,9 persen di basis lahan sawah dan 58,3 persen di basis lahan kering. Sedangkan ketersediaan tenaga kerja kategori tinggi (3-6 orang) tersebar sebanyak 43,1 persen peternak di basis lahan sawah dan 41,7 persen di basis lahan kering.

Gambaran tersebut menunjukkan bahwa anjuran paket teknologi yang membutuhkan dukungan tenaga kerja yang banyak, masih sulit diadopsi oleh peternak di dua basis pemeliharaan. Namun jika dibandingkan di dua basis pemeliharaan, pengelolaan usaha sapi potong di basis lahan sawah relatif lebih berpeluang dalam mewujudkan produktivitas usaha yang lebih baik dibanding di basis lahan kering karena persentase peternak yang memiliki ketersediaan tenaga kerja tergolong kategori tinggi jumlahnya lebih besar dibanding basis lahan kering.

Keterbatasan tenaga kerja keluarga yang dimiliki peternak di dua basis pemeliharaan merupakan faktor penghambat dalam mengadopsi teknologi khususnya komponen teknologi yang membutuhkan tenaga kerja yang banyak. Oleh karena itu dalam upaya peningkatan kompetensi pengelolaan usaha sapi potong pada peternak yang tergolong kategori umur produktif, proses penyuluhan perlu diarahkan pada penyediaan materi atau informasi teknologi yang sesuai

dengan keterbatasan tenaga kerja peternak yakni teknologi atau inovasi pengelolaan usaha sapi potong yang tidak membutuhkan tenaga yang banyak. Berdasarkan asosiasi variabel ketersediaan tenaga kerja dengan variabel umur produktif, maka hendaknya diprioritaskan pada peternak yang tersebar sebanyak 51,3 persen di basis lahan sawah dan 48,6 persen di basis lahan kering.