• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tantangan utama pembangunan peternakan sapi potong dewasa ini adalah permintaan kebutuhan daging terus meningkat sebagai akibat dari tuntutan masyarakat terhadap pemenuhan kebutuhan gizi yang bersumber dari protein hewani. Di lain pihak, kondisi pertambahan populasi ternak belum mampu mencukupi pemotongan yang cukup besar, sehingga pemerintah harus melakukan impor sapi bakalan dari luar. Guntoro (2006) mengungkapkan bahwa pada tahun 2005 konsumsi daging sapi masyarakat dinilai masih rendah yakni rata-rata 1,71 kg/kapita/tahun dari target yang dipersyaratkan Departemen Kesehatan dalam pemenuhan gizi masyarakat yakni rata-rata 3,5 kg/kapita/tahun.

Untuk mengatasi masalah tersebut, pemerintah telah melakukan program pengembangan sapi potong pada beberapa wilayah yang tergolong sentra-sentra produksi, salah satu wilayahnya adalah Kabupaten Konawe, Provinsi Sulawesi Tenggara. Pemilihan lokasi pengembangan dinilai strategis karena didukung oleh berbagai ketersediaan sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan sebagai basis ekologi budidaya seperti padang rumput (meadows) seluas 34.279 ha, lahan potensi/persawahan (wet rice field) seluas 34.077 ha, tegalan/kebun (dryland/ garden) seluas 24.886 ha (BPS Kabupaten Konawe 2008). Di samping itu masyarakatnya sudah akrab mengusahakan sapi potong dalam sistem usahatani yang dikelola secara majemuk dengan jumlah peternak pada tahun 2005 adalah 15.561 jiwa (Disnak Kabupaten Konawe 2008).

Pembangunan peternakan Kabupaten Konawe pada hakekatnya dinilai belum optimal karena tingkat pendapatan masyarakat masih relatif rendah. Oleh karena itu, isu pokok pembangunan ke depan masih mengarah pada upaya peningkatan pendapatan, menciptakan lapangan kerja, mengentaskan masyarakat dari kemiskinan dan mendorong pertumbuhan ekonomi wilayah.

Proses pembangunan merupakan upaya yang terus-menerus dilakukan dan kebijaksanaan dirumuskan sebagai suatu kegiatan pembinaan terhadap berbagai aktivitas usaha dalam memanfaatkan segala sumberdaya dan sumberdana yang dimiliki secara optimal untuk mencapai tujuan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Hal tersebut sejalan dengan pernyataan Soekartawi (1995) bahwa

melalui peningkatan produksi hasil pertanian/peternakan dapat diupayakan peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Berbagai pendekatan telah dilakukan sebagai upaya menyelaraskan dengan kegiatan usaha yang digeluti para petani dan secara operasional keseluruhannya dituntut dapat memanfaatkan ketersediaan potensi sumberdaya alam secara optimal dalam menopang akselerasi dan sinkronisasi berbagai aspek program pembangunan yang telah dilakukan. Hal tersebut dipandang penting karena sektor pertanian masih merupakan salah satu sandaran utama perekonomian masyarakat dan penyumbang utama dalam pembangunan daerah.

Peternakan sapi potong adalah bagian dari sektor pertanian dan merupakan sub-sektor penting dalam menunjang perekonomian masyarakat. Kontribusinya sangat penting dalam penyediaan kebutuhan akan protein hewani dan sumber pendapatan dalam peningkatan kesejahteraan peternak. Sapi potong dipandang sebagai salah satu mesin penggerak (engine of growth) perekonomian masyarakat desa. Salah satu faktor pendorong pengembangan peternakan sapi potong adalah permintaan produksi sapi potong semakin meningkat, dipicu oleh pertumbuhan jumlah penduduk yang semakin besar serta tingkat kesadaran masyarakat akan produk pangan bergizi tinggi juga semakin meningkat.

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah berdampak terhadap berbagai kemajuan dalam pengembangan teknologi peternakan sapi potong, kemajuan-kemajuan tersebut memungkinkan peternak dapat meningkatkan kapasitas usahanya. Di lain pihak, kenyataan menunjukkan bahwa tingkat kemampuan dan partisipasi masyarakat dalam berusaha masih sangat rendah bahkan cenderung menurun khususnya dalam dekade terakhir.

Jumlah dan jenis permasalahan yang dihadapi bukan semakin berkurang, melainkan bertambah terus sesuai dengan perkembangan dan kemajuan sistem peternakan itu sendiri. Perkembangan teknologi dan kemajuan sistem berusaha ternak semakin membutuhkan cara-cara penanganan dengan keterampilan-keterampilan khusus yang lebih rumit dan membutuhkan banyak pemikiran karena sifat teknologinya cenderung mempergunakan peralatan dan sarana yang spesifik, sehingga dalam mengoperasionalkan membutuhkan persyaratan kondisional peternak yakni berbagai kompetensi harus dimiliki peternak.

Menurut Suparno (2001) kompetensi adalah kecakapan yang memadai dalam melakukan suatu tugas atau memiliki keterampilan yang disyaratkan. Kompetensi merupakan perbuatan rasional dan memuaskan dalam memenuhi tujuan yang diinginkan. Kecakapan tersebut dapat dicapai jika peternak memiliki kemampuan dalam mengkombinasikan pengetahuan, sikap, keterampilan dan berbagai faktor yang dibutuhkan untuk berperan secara efektif. Oleh karena itu peternak hanya akan melakukan perubahan ke arah pembaharuan kalau memiliki kompetensi untuk melakukan perubahan. Hal tersebut dapat terjadi bila peternak memperoleh pengetahuan yang cukup dan mampu mendukung terciptanya semangat untuk melakukan pembaharuan.

Masalah Penelitian

Sapi bali merupakan jenis sapi potong yang umum diusahakan oleh masyarakat Kabupaten Konawe dengan sistem pemeliharaan masih bertumpuh pada sistem pemeliharaan ekstensif dan semi intensif serta dikelola secara turun-temurun. Usaha peternakan sapi potong pada umumnya masih ditempatkan sebagai cabang usaha dalam sistem usahatani yang dikelola secara majemuk.

Terdapat dua kategori utama basis ekologi budidaya yaitu lahan kering dan lahan persawahan. Penyebaran ternak di lahan kering terdapat pada 12 wilayah Kecamatan, sedangkan di lahan persawahan penyebarannya terdapat pada 13 Kecamatan. Lahan persawahan merupakan basis budidaya yang paling umum dimanfaatkan oleh peternak. Tahun 2007 jumlah populasi sapi potong yang diusahakan pada basis lahan persawahan adalah 27.174 ekor dengan jumlah peternak sebanyak 9.280 jiwa, sedangkan pada lahan kering jumlah populasi sebesar 9.312 ekor dengan jumlah peternak sebanyak 2.446 jiwa, sehingga total populasi yang diusahakan sebanyak 36.486 ekor (Disnak Kabupaten Konawe 2008).

Dekade terakhir, kinerja pengembangan sapi potong belum menunjukkan kinerja yang menggembirakan, bahkan dalam dua tahun terakhir, seiring dengan gencarnya program percetakan lahan persawahan, kinerja usaha sapi potong mengalami penurunan yang sangat tajam. Gencarnya pelaksanaan program perluasan areal persawahan, trendjumlah rumah tangga yang mengusahakan sapi potong dan kinerja pengembangannya mengalami penurunan. Tahun 2005

populasi sapi potong masih mencapai 44.554 ekor dan diusahakan oleh peternak sebanyak 14.588 jiwa. Selanjutnya pada tahun 2006 populasi mengalami penurununan menjadi 42.530 ekor dan hanya diusahakan oleh peternak sebanyak 12.518 jiwa. Penurunan masih terus berlanjut pada tahun 2007 yakni populasinya tinggal 36.486 ekor dan hanya diusahakan oleh peternak sebanyak 11.726 jiwa (Disnak Kabupaten Konawe 2008).

Alih fungsi lahan tampaknya membawa implikasi terhadap berkurangnya basis ekologi budidaya yang selama ini dimanfaatkan peternak sebagai padang penggembalaan pola pemeliharaan ekstensif dan semi intensif. Luas areal persawahan pada tahun 2006 sebesar 20.672,8 ha dan mengalami peningkatan yang cukup drastis pada tahun 2007 menjadi 22.126,4 ha (Distan Kabupaten Konawe 2008). Hal tersebut mengindikasikan bahwa perubahan basis ekologi budidaya, tidak diikuti dengan perubahan kompetensi pengelolaan dalam memanfaatkan sumberdaya alam baru yang tersedia di sekitarnya.

Secara ideal dengan dukungan teknologi, pengembangan sapi potong pada wilayah tersebut seharusnya dapat ditingkatkan karena pertambahan luas areal persawahan secara otomatis akan menghasilkan limbah pertanian berupa jerami yang melimpah dan dapat dimanfaatkan sebagai pakan sapi potong. Namun dukungan atau pemanfaatan teknologi membutuhkan cara penanganan yang lebih spesifik serta membutuhkan keterampilan-keterampilan khusus, sehingga memerlukan persyaratan kondisional peternak dalam memanfaatkan potensi sumberdaya yang tersedia dalam mengembangkan usahanya. Salah satu persyaratan kondisional yang mutlak diperlukan adalah kompetensi dalam pengelolaan usaha sapi potong.

Berdasarkan rumusan tersebut di atas, perlu diteliti faktor-faktor yang mempengaruhi kompetensi peternak dalam pengembangan usaha sapi potong di Kabupaten Konawe dengan beberapa pertanyaan penelitian berikut ini:

1. Sejauh mana tingkat kompetensi peternak sapi potong pada basis ekologi budidaya lahan persawahan dan lahan kering?

2. Variabel-variabel apa saja yang berhubungan dengan kompetensi peternak sapi potong pada basis ekologi budidaya lahan persawahan dan lahan kering?

3. Sejauh mana tingkat kinerja peternak sapi potong pada basis ekologi budidaya lahan persawahan dan lahan kering?

4. Sejauh mana hubungan variabel internal dan eksternal peternak dengan kompetensi pengelolaan usaha sapi potong pada basis ekologi budidaya lahan persawahan dan lahan kering?

5. Sejauh mana hubungan kompetensi dengan kinerja peternak sapi potong pada basis ekologi budidaya lahan persawahan dan lahan kering?

Tujuan Penelitian

Keberhasilan pengembangan sapi potong pada dasarnya adalah karya peternak, yang berarti bahwa secara filosofis peternak sebagai subyek pembangunan. Karena itu pengembangan “kompetensi” peternak menjadi fokus perhatian dalam mempersiapkan masyarakat menjadi mandiri dan mampu menentukan nasibnya sendiri. Berbagai model pengembangan usaha sapi potong telah dilakukan, namun masih dinilai belum mampu meningkatkan kompetensi peternak dalam berusaha sapi potong yang lebih efisien. Hal tersebut diduga akibat dari proses penyuluhan yang bertujuan memberi penyadaran kepada petani dan penentu kebijakan belum efektif. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan: 1. Menganalisis tingkat kompetensi peternak sapi potong pada basis ekologi

budidaya lahan persawahan dan lahan kering.

2. Menentukan variabel-variabel yang berhubungan dengan kompetensi peternak sapi potong pada basis ekologi budidaya lahan persawahan dan lahan kering. 3. Menganalisis tingkat kinerja peternak sapi potong pada basis ekologi budidaya

lahan persawahan dan lahan kering.

4. Menganalisis hubungan variabel internal dan eksternal peternak dengan kompetensi pengelolaan usaha sapi potong pada basis ekologi budidaya lahan persawahan dan lahan kering.

5. Menganalisis hubungan kompetensi dengan kinerja peternak sapi potong pada basis ekologi budidaya lahan persawahan dan lahan kering.

Kegunaan Penelitian

Keberhasilan pembangunan peternakan sapi potong ditentukan oleh efektivitas tiga sub-sistem yang saling terkait yaitu generating system (rantai

pemasok teknologi/inovasi), delivery system (penyebarluasan inovasi teknologi) dan receiving system (pengadopsi inovasi teknologi). Kegiatan penyuluhan merupakan delivery system yang memberi dukungan terhadap penyebarluasan informasi teknologi dalam bentuk pendidikan nonformal. Kegiatan penyuluhan semula hanya ditujukan kepada petani/peternak agar dapat melibatkan diri dalam berbagai kegiatan sektor produksi pertanian/peternakan. Dalam perkembangannya penyuluhan tidak hanya sebatas peningkatan produksi, tetapi harus dapat mengembangkan teknik-teknik baru guna meningkatkan efisiensi produksi dan pendapatan serta dapat memperoleh tingkat kehidupan yang lebih tinggi bagi diri dan keluarganya. Oleh karena itu kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Sebagai bahan informasi dan penyadaran bagi peternak tentang perlunya

memiliki kemampuan cerdas (kompetensi) dalam pemecahan masalah pengembangan sapi potong di Kabupaten Konawe.

2. Sebagai sumbangan pemikiran bagi pengembangan metode penelitian ilmu penyuluhan pembangunan dalam mengintegrasikan pendekatan deskriptif kuantitatif.

3. Sebagai bahan masukan bagi pihak terkait (pemerintah) dalam merumuskan kebijakan dan strategi pembangunan peternakan sapi potong, khususnya strategi peningkatan kompetensi peternak dalam mewujudkan kinerja pengelolaan sapi potong yang lebih baik.

4. Secara akademis diharapkan akan memberikan perluasan wawasan bagi penelitian-penelitian serupa di kemudian hari.

Kerangka Pemikiran

Pembangunan peternakan sapi potong merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari pembangunan pertanian. Sapi potong memberi sumbangan yang cukup besar terhadap perekonomian masyarakat dalam hal peningkatan pendapatan, memberi lapangan kerja dan penyumbang pendapatan daerah. Pada hakekatnya, keberhasilan pengembangan sapi potong ditentukan oleh kemampuan atau kompetensi sumberdaya manusia dalam mengelola sistem usaha sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Oleh karena itu, peningkatan kemampuan petani/peternak perlu terus ditingkatkan melalui proses pendidikan (Rogers 1983).

Pengembangan sapi potong menuntut dukungan ketersediaan sumberdaya manusia yang berkompeten dan berkemampuan tinggi agar dapat mengatur kebiasaan berusaha dan memecahkan masalah secara mandiri. Peningkatan kemampuan individu dalam konteks aktualisasi berkaitan erat dengan pengembangan diri sebagai suatu proses memperkuat ketahanan diri, agar dapat berinteraksi dengan lingkungan dalam rangka melaksanakan fungsi dan peranannya. Peternak yang berkemampuan dan memiliki kompetensi tinggi, memiliki kecakapan atau keterampilan yang memadai untuk melakukan suatu tugas yang disyaratkan.

Kinerja yang dapat ditampilkan seseorang dalam melaksanakan pekerjaan tidak lepas dari faktor masyarakat itu sendiri. Menurut Kusai (1996) kemampuan untuk menentukan sikap menerima atau mengadopsi teknologi erat hubungannya dengan faktor internal peternak dan adanya dukungan faktor eksternal berupa lingkungan usaha yang memadai. Oleh karena itu kinerja pengembangan sapi potong tidak dapat dipisahkan dari kemampuan atau keahlian peternak berupa kompetensi dalam menerapkan teknologi: (1) pemilihan bibit, (2) perkandangan, (3) pemberian pakan, (4) mengawinkan ternak, (5) penanganan kesehatan ternak dan (6) pemasaran hasil secara efektif dan efisien.

Kompetensi peternak dibentuk oleh pengetahuan, keterampilan, sikap mental dan manajerial dalam melaksanakan sistem usaha secara optimal dalam kondisi normal ataupun situasi berbeda sesuai ukuran atau tujuan yang ditentukan. Secara teoritis, berkembang atau tidaknya kompetensi peternak dalam mengelola usaha sapi potong dipengaruhi oleh bayak hal dan dalam penelitian ini dikelompokkan dalam dua variabel yakni variabel internal dan eksternal. Variabel internal yang mempengaruhi meliputi: umur peternak, tingkat pendidikan, pengalaman berusaha, skala usaha, ketersediaan tenaga kerja, motivasi berusaha dan kekosmopolitan. Sedangkan variabel eksternal yang mempengaruhi meliputi: ketersediaan sarana produksi, layanan penyuluhan, keterlibatan peternak dalam kelompok dan akses kredit. Variabel internal dan eksternal sebagai peubah

antecedent, sedangkan kompetensi yang tinggi berkorelasi dengan terciptanya kinerja peternak yang semakin meningkat merupakan konsekuensi. Keterkaitan

antara peubah kunci pada penelitian kompetensi peternak dalam pengelolaan usaha ternak sapi potong di Kabupaten Konawe, tersaji pada Gambar 1.

Gambar 1 Kerangka konseptual kompetensi peternak dalam pengelolaan usaha sapi potong.

Hipotesis

Berdasarkan kerangka pemikiran tersebut, dapat diturunkan hipotesis yang diuji kebenarannya dalam penelitian ini adalah :

H1 = Terdapat hubungan nyata antara variabel internal peternak dengan kompetensi pengelolaan usaha sapi potong di Kabupaten Konawe.

H2 = Terdapat hubungan nyata antara variabel eksternal peternak dengan kompetensi pengelolaan usaha sapi potong di Kabupaten Konawe.

H3 = Terdapat hubungan nyata antara kompetensi peternak dengan kinerja pengelolaan usaha sapi potong di Kabupaten Konawe.

H3 H2 H1 Variabel Internal: X1 Umur peternak X2 Tingkat pendidikan X3 Pengalaman berusaha X4 Skala usaha

X5 Ketersediaan tenaga kerja X6 Motivasi berusaha X7 Kekosmopolitan

Variabel Eksternal: X8 Ketersediaan sarana produksi X9 Layanan penyuluhan X10 Keterlibatan dalam kelompok X11Akses kredit

Kompetensi Peternak dalam Pengelolaan Usaha Sapi Potong

(Y1) 1. Pengetahuan dalam hal:

(a) pemilihan bibit (b) perkandangan (c) pemberian pakan (d) penanganan kesehatan (e) perkawinan

(f) pemasaran hasil, 2. Sikap dalam hal:

(a) pemilihan bibit (b) perkandangan (c) pemberian pakan (d) penanganan kesehatan (e) perkawinan

(f) pemasaran hasil 3. Keterampilan dalam hal:

(a) pemilihan bibit (b) perkandangan (c) pemberian pakan (d) penanganan kesehatan (e) perkawinan

(f) pemasaran hasil 4. Manajerial dalam hal:

(a) perencanaan usaha (b) evaluasi usaha

Kinerja Peternak (Y2): ProduktivitasKeuntungan

TINJAUAN PUSTAKA

Pengertian dan Unsur-Unsur Kompetensi

Terdapat berbagai pengertian “kompetensi” yang dikembangkan oleh berbagai institusi. Menurut Depdiknas (2002) kompetensi adalah seperangkat tindakan cerdas, penuh tanggungjawab/komitmen yang dimiliki seseorang sehingga mampu melaksanakan tugas-tugas di bidang pekerjaan tertentu (Undang-undang nomor 045/U/2002 tentang Kurikulum Inti Pendidikan Tinggi). Elemen-elemen yang menentukan kompetensi seseorang meliputi: (1) landasan kepribadian, (2) penguasaan ilmu dan keterampilan, (3) kemampuan berkarya, (4) sikap dan perilaku dalam berkarya menurut tingkat keahlian berdasarkan ilmu dan keterampilan yang dikuasai dan (5) pemahaman kaidah berkehidupan bermasyarakat sesuai dengan pilihan keahlian dalam berkarya.

Istilah kompetensi diartikan sebagai “kecakapan yang memadai untuk melakukan suatu tugas” atau “memiliki keterampilan dan kecakapan yang disyaratkan.” Pengertian yang lebih luas ini jelas bahwa setiap cara yang digunakan dalam pelajaran yang ditujukan untuk mencapai kompetensi adalah mengembangkan manusia yang bermutu yang memiliki pengetahuan, keterampilan dan kemampuan sebagaimana disyaratkan. Kata kompetensi dipilih untuk menunjukkan tekanan pada “kemampuan mendemonstrasikan pengetahuan” (Suparno 2001).

Shellabear (2002) menyatakan bahwa kompetensi adalah penerapan dari pengetahuan yang bersifat interpersonal, pembuatan keputusan dan keterampilan (psychomotor skills) yang diharapkan dalam menjalankan suatu peran. Menurut McAshan (Mulyasa 2002)

Competency is a knowledge, skill and abilities or capabilities that a person achieves, which become part of his or her being to the exent he or she can satifactorily perform particular cognitive, affective and psychomotor behaviours.

Kompetensi manusia adalah kemampuan berpikir, bersikap dan bertindak yang mendasari dan merefleksikan wujud perilaku dan kinerja seseorang dalam aktivitas dan pergaulan hidupnya (Mangkuprawira 2004). Kompetensi dapat diterjemahkan sebagai penerapan dari pengetahuan, kemampuan dan karakteristik individu yang akan menghasilkan kinerja yang menonjol.

Spencer dan Spencer (1993) kompetensi merupakan karakteristik mendasar seseorang yang menentukan terhadap hasil kerja yang terbaik dan efektif sesuai dengan kriteria yang ditentukan dalam suatu pekerjaan atau situasi tertentu. Kompetensi menentukan perilaku dan kinerja (hasil kerja) seseorang dalam situasi dan peran yang beragam. Tingkat kompetensi seseorang akan mampu menyelesaikan pekerjaannya dengan baik atau tidak. Kompetensi juga menentukan cara-cara seseorang dalam berperilaku atau berpikir, menyesuaikan dalam berbagai situasi dan bertahan lama dalam jangka panjang. Kompetensi yang satu berbeda dengan kompetensi yang lain dalam hal jumlah bagian-bagiannya. Semakin kompleks, kreatif atau profesional suatu kompetensi, makin besar kemungkinan diterapkan dengan cara berbeda (different fashion) pada setiap kali dilakukan bahkan oleh orang yang sama.

Willis dan Samuel (Puspadi 2003) kompetensi merupakan kemampuan untuk melaksanakan tugas secara efektif. Kompetensi kerja adalah segala sesuatu pada individu yang menyebabkan kinerja yang prima. Klemp (Puspadi 2003) mengungkapkan bahwa:

“a job competency in an underlying characteristic of a person which

result in effective and or superior performance in a job. A job competency is an underlying characteristic of a person in that it may be a motive, trait,

skill, aspect of one’s self image or social role, or a body of knowledge

which he or she uses.”

Mulyasa (2002) mengemukakan bahwa dalam hubungannya dengan proses belajar, kompetensi menunjuk kepada perbuatan yang bersifat rasional dan memenuhi spesifikasi tertentu dalam proses belajar. Kompetensi dikatakan perbuatan karena berbentuk perilaku yang dapat diamati, meskipun sering terlihat proses yang tidak nampak seperti pengambilan pilihan sebelum perbuatan dilakukan. Kompetensi dilandasi oleh rasionalitas yang dilakukan dengan penuh kesadaran “mengapa dan bagaimana” perbuatan tersebut dilakukan. Kompetensi merupakan perpaduan dari pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak.

Menurut Widyarini (2004) untuk bertahan (survive) dan meraih keberhasilan hidup, manusia perlu mengembangkan kompetensi. Kompetensi lebih dari sekedar mengembangkan keterampilan, namun mencakup keberhasilan mengatasi tantangan-tantangan, sukses dalam berinteraksi dengan lingkungan,

mampu menyusun tujuan-tujuan dan memandang diri sendiri sebagai orang yang cakap (mampu melakukan sesuatu yang tidak dapat dilakukan oleh orang lain). Seseorang perlu memiliki tiga hal berikut untuk mengembangkan kompetensi: 1. Sense of control adalah keyakinan seseorang bahwa dirinya sendirilah yang

mengendalikan hidupnya atau peristiwa-peristiwa yang ia alami (bukan ditentukan oleh nasib/takdir atau orang lain yang berkuasa). Orang yang memiliki sense of control merasa bahwa sesuatu yang akan terjadi dalam hidupnya dapat diprediksi. Hal ini merupakan pemenuhan atas kebutuhan untuk kelangsungan hidup (survival).

2. Kebutuhan untuk berprestasi dan penguasaan. Kebutuhankebutuhan untuk mencapai tujuan dan menguasai keterampilan tertinggi ini merupakan dasar penting untuk mengembangkan pengetahuan dan keterampilan yang memungkinkan seseorang untuk sukses dalam berinteraksi dengan lingkungan meraih yang diharapkan dalam hidup.

3. Self esteem, dalam psikologi sering diterjemahkan sebagai harga diri dan didefinisikan sebagai penilaian seseorang terhadap diri sendiri, baik positif maupun negatif. Manusia yang mempunyai keyakinan akan kemampuan-kemampuan yang dimiliki dan merasa dirinya bernilai adalah orang yang harga dirinya positif. Sebaliknya, mereka yang harga dirinya negatif akan merasa lemah atau tidak berdaya.

Sejalan dengan pembagian kompetensi secara umum, pembagian lain menurut Carlisle (Rosyada 2004) kompetensi berupa kecerdasan profesional, kecerdasan personal dan kecerdasan manajerial. Kemampuan personal yang dimaksud adalah kemampuan mengenal emosi, kemampuan mengendalikan dan mengarahkan emosi (traits), kemampuan memotivasi diri, kemampuan bekerja keras, pantang menyerah, kepercayaan diri, kemampuan mengembangkan diri, kemampuan mengambil inisiatif dan kemampuan berkreasi (berinovasi). Kemampuan profesional dicirikan dengan kemampuan membaca, kemampuan menulis, kemampuan berhitung, kemampuan membuat rencana pekerjaan atau bisnis, kemampuan mengelola pekerjaan, kemampuan memantau, mengevaluasi, kemampuan menemukan dan memecahkan masalah. Kemampuan manajerial dicirikan dengan kemampuan memberi instruksi/perintah, kemampuan melatih,

kemampuan mengerjakan pekerjaan teknis baik secara umum maupun khusus, kemampuan melihat ke depan, kemampuan berpikir kritis dan dialektis.

Menurut Suparno (2001) kompetensi dipandang sebagai perbuatan (performance) yang rasional dan memuaskan memenuhi tujuan dalam kondisi yang diinginkan. Untuk melakukan kompetensi, maka seseorang memerlukan pengetahuan khusus, keterampilan proses, sikap mental dan manajemen yang harus selalu diperbaharui.

Padmowihardjo (1978) pengetahuan adalah aspek yang berhubungan dengan kemampuan mengingat materi yang telah dipelajari dan kemampuan mengembangkan intelegensia. Purwanto (2002) menyebutkan bahwa kualitas dan kuantitas pengetahuan yang dimiliki seseorang dan jenis pengetahuan apa yang telah dikuasainya memainkan peranan penting di dalam pekerjaannya. Syah (2002) menyebutkan bahwa pengetahuan adalah kemampuan seseorang mengingat-ingat sesuatu ide atau fenomena yang pernah diajarkan, dialami dan dilakukan melalui proses belajar.

Bruner (Suparno 2001) pengetahuan selalu dapat diperbaharui, dikembangkan lebih lanjut sesuai dengan perkembangan kematangan intelektual individu. Pengetahuan bukan produk, melainkan suatu proses. Proses tersebut melibatkan tiga aspek, yaitu: (1) proses mendapatkan informasi baru yang seringkali merupakan pengganti pengetahuan yang telah diperoleh sebelumnya atau merupakan penyempurnaan informasi sebelumnya, (2) proses transformasi, yaitu proses memanipulasi pengetahuan agar sesuai dengan tugas-tugas baru, (3) proses mengevaluasi, yaitu memeriksa/menilai cara pengolahan informasi, telah memadai atau belum.

Menurut van den Ban dan Hawkins (1999) sikap adalah perasaan pikiran dan kecenderungan seseorang yang kurang lebih bersifat permanen mengenai aspek-aspek tertentu dalam lingkungannya. Sikap merupakan kecondongan evaluatif terhadap suatu obyek atau subyek yang memiliki konsekuensi yakni cara seseorang berhadapan dengan obyek sikap. Meyers (Sarwono 2002) menyatakan bahwa sikap adalah suatu reaksi evaluasi yang menyenangkan terhadap sesuatu atau seseorang yang ditujukan dalam kepercayaan, perasaan atau perilaku seseorang. Sikap didefinisikan sebagai keadaan internal seseorang yang

mempengaruhi pilihan-pilihan atas tindakan-tindakan pribadi yang dilakukannya