• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Pengertian dan Unsur-Unsur Kompetensi

Terdapat berbagai pengertian “kompetensi” yang dikembangkan oleh berbagai institusi. Menurut Depdiknas (2002) kompetensi adalah seperangkat tindakan cerdas, penuh tanggungjawab/komitmen yang dimiliki seseorang sehingga mampu melaksanakan tugas-tugas di bidang pekerjaan tertentu (Undang-undang nomor 045/U/2002 tentang Kurikulum Inti Pendidikan Tinggi). Elemen-elemen yang menentukan kompetensi seseorang meliputi: (1) landasan kepribadian, (2) penguasaan ilmu dan keterampilan, (3) kemampuan berkarya, (4) sikap dan perilaku dalam berkarya menurut tingkat keahlian berdasarkan ilmu dan keterampilan yang dikuasai dan (5) pemahaman kaidah berkehidupan bermasyarakat sesuai dengan pilihan keahlian dalam berkarya.

Istilah kompetensi diartikan sebagai “kecakapan yang memadai untuk melakukan suatu tugas” atau “memiliki keterampilan dan kecakapan yang disyaratkan.” Pengertian yang lebih luas ini jelas bahwa setiap cara yang digunakan dalam pelajaran yang ditujukan untuk mencapai kompetensi adalah mengembangkan manusia yang bermutu yang memiliki pengetahuan, keterampilan dan kemampuan sebagaimana disyaratkan. Kata kompetensi dipilih untuk menunjukkan tekanan pada “kemampuan mendemonstrasikan pengetahuan” (Suparno 2001).

Shellabear (2002) menyatakan bahwa kompetensi adalah penerapan dari pengetahuan yang bersifat interpersonal, pembuatan keputusan dan keterampilan (psychomotor skills) yang diharapkan dalam menjalankan suatu peran. Menurut McAshan (Mulyasa 2002)

Competency is a knowledge, skill and abilities or capabilities that a person achieves, which become part of his or her being to the exent he or she can satifactorily perform particular cognitive, affective and psychomotor behaviours.

Kompetensi manusia adalah kemampuan berpikir, bersikap dan bertindak yang mendasari dan merefleksikan wujud perilaku dan kinerja seseorang dalam aktivitas dan pergaulan hidupnya (Mangkuprawira 2004). Kompetensi dapat diterjemahkan sebagai penerapan dari pengetahuan, kemampuan dan karakteristik individu yang akan menghasilkan kinerja yang menonjol.

Spencer dan Spencer (1993) kompetensi merupakan karakteristik mendasar seseorang yang menentukan terhadap hasil kerja yang terbaik dan efektif sesuai dengan kriteria yang ditentukan dalam suatu pekerjaan atau situasi tertentu. Kompetensi menentukan perilaku dan kinerja (hasil kerja) seseorang dalam situasi dan peran yang beragam. Tingkat kompetensi seseorang akan mampu menyelesaikan pekerjaannya dengan baik atau tidak. Kompetensi juga menentukan cara-cara seseorang dalam berperilaku atau berpikir, menyesuaikan dalam berbagai situasi dan bertahan lama dalam jangka panjang. Kompetensi yang satu berbeda dengan kompetensi yang lain dalam hal jumlah bagian-bagiannya. Semakin kompleks, kreatif atau profesional suatu kompetensi, makin besar kemungkinan diterapkan dengan cara berbeda (different fashion) pada setiap kali dilakukan bahkan oleh orang yang sama.

Willis dan Samuel (Puspadi 2003) kompetensi merupakan kemampuan untuk melaksanakan tugas secara efektif. Kompetensi kerja adalah segala sesuatu pada individu yang menyebabkan kinerja yang prima. Klemp (Puspadi 2003) mengungkapkan bahwa:

“a job competency in an underlying characteristic of a person which

result in effective and or superior performance in a job. A job competency is an underlying characteristic of a person in that it may be a motive, trait,

skill, aspect of one’s self image or social role, or a body of knowledge

which he or she uses.”

Mulyasa (2002) mengemukakan bahwa dalam hubungannya dengan proses belajar, kompetensi menunjuk kepada perbuatan yang bersifat rasional dan memenuhi spesifikasi tertentu dalam proses belajar. Kompetensi dikatakan perbuatan karena berbentuk perilaku yang dapat diamati, meskipun sering terlihat proses yang tidak nampak seperti pengambilan pilihan sebelum perbuatan dilakukan. Kompetensi dilandasi oleh rasionalitas yang dilakukan dengan penuh kesadaran “mengapa dan bagaimana” perbuatan tersebut dilakukan. Kompetensi merupakan perpaduan dari pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak.

Menurut Widyarini (2004) untuk bertahan (survive) dan meraih keberhasilan hidup, manusia perlu mengembangkan kompetensi. Kompetensi lebih dari sekedar mengembangkan keterampilan, namun mencakup keberhasilan mengatasi tantangan-tantangan, sukses dalam berinteraksi dengan lingkungan,

mampu menyusun tujuan-tujuan dan memandang diri sendiri sebagai orang yang cakap (mampu melakukan sesuatu yang tidak dapat dilakukan oleh orang lain). Seseorang perlu memiliki tiga hal berikut untuk mengembangkan kompetensi: 1. Sense of control adalah keyakinan seseorang bahwa dirinya sendirilah yang

mengendalikan hidupnya atau peristiwa-peristiwa yang ia alami (bukan ditentukan oleh nasib/takdir atau orang lain yang berkuasa). Orang yang memiliki sense of control merasa bahwa sesuatu yang akan terjadi dalam hidupnya dapat diprediksi. Hal ini merupakan pemenuhan atas kebutuhan untuk kelangsungan hidup (survival).

2. Kebutuhan untuk berprestasi dan penguasaan. Kebutuhankebutuhan untuk mencapai tujuan dan menguasai keterampilan tertinggi ini merupakan dasar penting untuk mengembangkan pengetahuan dan keterampilan yang memungkinkan seseorang untuk sukses dalam berinteraksi dengan lingkungan meraih yang diharapkan dalam hidup.

3. Self esteem, dalam psikologi sering diterjemahkan sebagai harga diri dan didefinisikan sebagai penilaian seseorang terhadap diri sendiri, baik positif maupun negatif. Manusia yang mempunyai keyakinan akan kemampuan-kemampuan yang dimiliki dan merasa dirinya bernilai adalah orang yang harga dirinya positif. Sebaliknya, mereka yang harga dirinya negatif akan merasa lemah atau tidak berdaya.

Sejalan dengan pembagian kompetensi secara umum, pembagian lain menurut Carlisle (Rosyada 2004) kompetensi berupa kecerdasan profesional, kecerdasan personal dan kecerdasan manajerial. Kemampuan personal yang dimaksud adalah kemampuan mengenal emosi, kemampuan mengendalikan dan mengarahkan emosi (traits), kemampuan memotivasi diri, kemampuan bekerja keras, pantang menyerah, kepercayaan diri, kemampuan mengembangkan diri, kemampuan mengambil inisiatif dan kemampuan berkreasi (berinovasi). Kemampuan profesional dicirikan dengan kemampuan membaca, kemampuan menulis, kemampuan berhitung, kemampuan membuat rencana pekerjaan atau bisnis, kemampuan mengelola pekerjaan, kemampuan memantau, mengevaluasi, kemampuan menemukan dan memecahkan masalah. Kemampuan manajerial dicirikan dengan kemampuan memberi instruksi/perintah, kemampuan melatih,

kemampuan mengerjakan pekerjaan teknis baik secara umum maupun khusus, kemampuan melihat ke depan, kemampuan berpikir kritis dan dialektis.

Menurut Suparno (2001) kompetensi dipandang sebagai perbuatan (performance) yang rasional dan memuaskan memenuhi tujuan dalam kondisi yang diinginkan. Untuk melakukan kompetensi, maka seseorang memerlukan pengetahuan khusus, keterampilan proses, sikap mental dan manajemen yang harus selalu diperbaharui.

Padmowihardjo (1978) pengetahuan adalah aspek yang berhubungan dengan kemampuan mengingat materi yang telah dipelajari dan kemampuan mengembangkan intelegensia. Purwanto (2002) menyebutkan bahwa kualitas dan kuantitas pengetahuan yang dimiliki seseorang dan jenis pengetahuan apa yang telah dikuasainya memainkan peranan penting di dalam pekerjaannya. Syah (2002) menyebutkan bahwa pengetahuan adalah kemampuan seseorang mengingat-ingat sesuatu ide atau fenomena yang pernah diajarkan, dialami dan dilakukan melalui proses belajar.

Bruner (Suparno 2001) pengetahuan selalu dapat diperbaharui, dikembangkan lebih lanjut sesuai dengan perkembangan kematangan intelektual individu. Pengetahuan bukan produk, melainkan suatu proses. Proses tersebut melibatkan tiga aspek, yaitu: (1) proses mendapatkan informasi baru yang seringkali merupakan pengganti pengetahuan yang telah diperoleh sebelumnya atau merupakan penyempurnaan informasi sebelumnya, (2) proses transformasi, yaitu proses memanipulasi pengetahuan agar sesuai dengan tugas-tugas baru, (3) proses mengevaluasi, yaitu memeriksa/menilai cara pengolahan informasi, telah memadai atau belum.

Menurut van den Ban dan Hawkins (1999) sikap adalah perasaan pikiran dan kecenderungan seseorang yang kurang lebih bersifat permanen mengenai aspek-aspek tertentu dalam lingkungannya. Sikap merupakan kecondongan evaluatif terhadap suatu obyek atau subyek yang memiliki konsekuensi yakni cara seseorang berhadapan dengan obyek sikap. Meyers (Sarwono 2002) menyatakan bahwa sikap adalah suatu reaksi evaluasi yang menyenangkan terhadap sesuatu atau seseorang yang ditujukan dalam kepercayaan, perasaan atau perilaku seseorang. Sikap didefinisikan sebagai keadaan internal seseorang yang

mempengaruhi pilihan-pilihan atas tindakan-tindakan pribadi yang dilakukannya (Suparno 2001).

Menurut Thurstone (Mueller 1992) sikap adalah: (1) pengaruh atau penolakan, (2) penilaian, (3) suka atau tidak suka dan (4) kepositifan atau kenegatifan terhadap suatu obyek psikologis. Suparno (2001) menerangkan bahwa sikap mempunyai tiga karakteristik: (1) intensitas, yakni kekuatan perasaan terhadap obyek, (2) arah terhadap obyek, yakni baik positif, negatif ataupun netral, (3) target, yakni sasaran sikap, terhadap apa sikap yang ditujukan.

Gagne (Suparno 2001) menekankan pada efek sikap terhadap pilihan tingkah laku individu. Keadaan internal yang mempengaruhi pilihan-pilihan ini mempunyai aspek intelektual maupun aspek emosional. Hal tersebut diperoleh individu sepanjang hidupnya melalui pergaulannya baik di rumah, di sekolah maupun di lingkungan lainnya. Perbuatan yang dipilih seseorang dipengaruhi kejadian-kejadian khusus pada waktu itu, tetapi kecenderungan-kecenderungan yang bersifat tetap mengakibatkan tingkah laku yang konsisten dalam situasi tertentu dan itulah yang dimaksud sikap.

Sarwono (2002) menyebutkan bahwa sikap terbentuk dari pengalaman melalui proses belajar. Pandangan ini mempunyai dampak terapan yakni proses belajar dapat disusun dengan berbagai upaya (penerangan, pendidikan, pelatihan, komunikasi dan sebagainya) untuk mengubah sikap seseorang. Harijati (2007) menjelaskan bahwa peningkatan pengetahuan petani berpengaruh langsung terhadap peningkatan sikap mental petani.

Keterampilan adalah kegiatan yang berhubungan dengan urat-urat syaraf dan otot-otot (neuromuscular) lazimnya tampak dalam kegiatan jasmaniah seperti menulis, mengetik olah raga dan lain-lain (Syah 2002). Keterampilan menekankan kemampuan motorik dalam kawasan psikomotor, yaitu bekerja dengan benda-benda atau aktivitas yang memerlukan koordinasi syaraf dan otot. Seseorang dikatakan menguasai kecakapan motorik karena dapat melakukan hal-hal atau gerakan yang telah ditentukan, serta melakukannya dalam keseluruhan gerak yang lancar dan tepat waktu (Suparno 2001).

Menurut Reber (Syah 2002) keterampilan adalah kemampuan melakukan pola-pola tingkah laku yang kompleks dan tersusun rapi secara mulus dan sesuai

dengan keadaan untuk mencapai hasil tertentu. Keterampilan bukan hanya meliputi gerakan motorik, melainkan juga pengejawantahan fungsi mental yang bersifat kognitif. Konotasinya luas sehingga sampai pada mempengaruhi atau mendayagunakan orang lain. Hal ini berarti orang yang mampu mendayagunakan orang lain secara tepat juga dianggap sebagai orang yang terampil.

Kemampuan mengamati secara cermat gerakan, taktik dan kiat-kiat orang yang menjadi contoh (model) baik secara langsung maupun melalui media gambar memungkinkan keterampilan, sebagai bagian yang dapat ditiru dengan lebih mudah. Urutan langkah menjadi amat penting, demikian pula frekuensi dan intensitas praktek akan memberi peluang dikuasainya keterampilan yang semula bersifat kaku, menjadi lancar, luwes dan harmonis (Suparno 2001).

Manajemen sangat penting bagi semua organisasi, baik organisasi besar atau kecil, organisasi formal maupun informal. Keberhasilan organisasi mencapai tujuannya tergantung pada proses manajemen yang dijalankan. Manajemen (pengelolaan) usahatani/ternak adalah kemampuan petani/peternak menentukan, mengorganisir dan mengkoordinasikan faktor-faktor produksi yang dikuasainya dan memberikan produksi pertanian/peternakan sebagaimana yang diharapkan (Siagian 2004).

Fungsi manajerial yang perlu mendapat perhatian adalah: perencanaan, pengorganisasian, penumbuhan dan pemeliharaan motivasi, pengawasan dan penilaian (Siagian 2004). Perencanaan merupakan dasar mengambil langkah-langkah dalam menjalankan usaha. Perencanaan juga merupakan salah satu bentuk pengambilan keputusan untuk menentukan masa depan yang dilakukan oleh manajemen serta dapat memprediksi kondisi masa depan yang akan dihadapi, sehingga perencanaan perlu dibuat secara cermat. Terdapat empat langkah kunci dalam definisi perencanaan (Said & Intan 2001), yakni: (1) pemikiran ke masa depan, yakni memandang masa depan yang gemilang dan bukan merupakan ramalan belaka, tetapi pernyataan berorientasi tindakan, (2) serangkaian tindakan, yakni mengembangkan alternatif-alternatif atau metode-metode untuk terus maju, (3) pemahaman penuh terhadap semua faktor yang terlibat, yaitu memahami dan mempertimbangkan fakta-fakta dan konsekuensi faktor-faktor tersebut yang menjadi penghambat, sehingga dapat diantisipasi sebelumnya, (4) pengarahan

kepada sasaran khusus, yakni semua rangkaian kegiatan diarahkan pada sasaran yang ingin dicapai pada masa depan.

Ditetapkannya suatu rencana, juga mempunyai konsekuensi pekerjaan dan aktivitas yang harus dilaksanakan, semua itu memerlukan koordinasi. Menurut Downey dan Erickson (Said & Intan 2001) fungsi pengorganisasian meliputi kegiatan-kegiatan: (1) menyusun struktur organisasi, (2) menentukan pekerjaan yang dikerjakan, (3) memilih, menentukan dan mengembangkan pekerja, (4) merumuskan kegiatan dan (5) membentuk sejumlah hubungan dalam organisasi kemudian menunjuk stafnya.

Pengawasan merupakan salah satu fungsi manajemen. Oleh karena itu, manajer harus mampu memahami dengan pikirannya yang jernih mengapa terdapat kesenjangan (diskrepansi) antara hasil pekerjaan yang ditetapkan dalam rencana dengan kinerja yang ditampilkan pelaksana. Faktor-faktor penyebab dapat beragam, seperti: (1) tuntutan rencana yang tidak realistis, (2) kekurangan dukungan sarana dan prasarana, (3) terdapat masalah-masalah organisasional seperti koordinasi, (4) cara penyeliaan yang tidak tepat dan (5) kadaluarsanya keterampilan para pelaksana (Siagian 2004).

Fungsi evaluasi menekankan pada upaya untuk menilai proses pelaksanaan rencana, mengenal ada tidaknya penyimpangan dan tercapai tidaknya sasaran yang telah ditetapkan berdasarkan rencana yang telah dibuat. Fungsi evaluasi ditujukan pada suatu obyek tertentu dan dalam periode tertentu. Pengendalian merupakan suatu upaya mengembalikan pada rel yang telah ditentukan, sehingga jika diperoleh penyimpangan dari prosedur kerja dapat dilakukan pengendalian. Pengendalian dapat dilakukan dengan penyesuaian-penyesuaian dari rencana awal karena adanya faktor-faktor yang berubah sehingga pencapaian tujuan dapat dilakukan (Siagian 2004).

Dengan mengacu pada konsep pengertian dan unsur-unsur kompetensi yang telah dikemukakan para pakar tersebut, maka pengertian kompetensi dalam penelitian ini adalah “seperangkat tindakan cerdas, penuh tanggungjawab dan terukur yang dimiliki peternak sebagai syarat dianggap mampu oleh masyarakat dalam melaksanakan tugas pengelolaan usaha sapi potong yang dicirikan dengan adanya kapasitas diri berupa pengetahuan, keterampilan, sikap, percaya diri dan

komitmen dalam melaksanakan manajemen pekerjaan sesuai peran seseorang yang dilakukan secara optimal dalam kondisi normal ataupun situasi berbeda”.

Kompetensi peternak dibentuk oleh beberapa unsur yaitu: pengetahuan yaitu pemahaman terhadap sesuatu yang pernah dipelajari, dialami atau dilakukan dan dalam penelitian ini adalah segala sesuatu yang diketahui peternak berkenaan dengan pengelolaan usaha sapi potong yang didapatkan dari pendidikan, pengalaman dan interaksi dengan pihak lain. Sikap mental adalah penilaian peternak terhadap suatu obyek atau subyek tertentu yang menghasilkan tingkah laku, penilaian tersebut sebagai hasil pengaruh lingkungan dari pengalaman hidup. Sikap peternak dalam penelitian ini dibatasi pada penolakan atau penerimaan terhadap teknologi anjuran dalam aspek pengelolaan teknis budidaya sapi potong. Keterampilan adalah kemampuan motorik peternak berdasarkan pengetahuan yang dimilikinya untuk mencapai hasil tertentu. Keterampilan peternak dalam penelitian ini didefinisikan sebagai tindakan yang dilakukan oleh petani untuk menyelesaikan tugas-tugas dalam pengelolaan usaha sapi potong. Manajerial yang akan digunakan dalam penelitian adalah perencanaan dan evaluasi yakni kemampuan peternak sapi potong dalam membuat perencanaan meliputi tujuan usaha, pola usaha, skala usaha dan teknologi yang akan diterapkan. Sedangkan evaluasi yakni kemampuan peternak menilai tercapai tidaknya perencanaan yang telah ditetapkan.

Usahaternak Sapi Potong

Ternak sapi menghasilkan dua macam produk pangan yaitu daging dan susu. Masing-masing produk tersebut mengandung protein hewani 13,8 dan 3,5 persen. Daging dan sebagian lemak yang merupakan karkas diperoleh setelah ternak dipotong. Menurut Natasasmita dan Mudikdjo (1979) presentase karkas berkisar antara 53,468,5 persen tergantung dari bangsa, umur dan tujuan pemeliharaan.

Pemeliharaan ternak sapi potong merupakan salah satu komponen dalam usahatani, dimana ternak tersebut akan berintegrasi dengan komoditi lain yang dikelola/diusahakan petani. Menurut Sabraniet al. (1981) problema yang dihadapi oleh pengembangan ternak tradisional adalah ketepatan dalam pengalokasian sumberdaya. Selanjutnya ditekankan bahwa bila usahaternak skala kecil yang

berorientasi pada usaha keluarga, maka program pengembangan ternak tersebut didasarkan pada sistem pertanian secara menyeluruh.

Menurut Rahardi (2003) secara umum tipologi usahaternak yang dapat dipilih jika ingin terjun dalam usaha tersebut antara lain: (1) sebagai usaha sambilan yakni dikelola secara sambilan, tingkat pendapatan yang diperoleh dari usaha sambilan ini di bawah 30 persen dari total pendapatan keluarga, (2) usaha peternakan yakni sebagai cabang usaha, tingkat pendapatan yang biasa diperoleh dari usahaternak sebagai cabang usaha sekitar 3070 persen, (3) usaha pokok yakni kegiatan utama dengan tingkat pendapatan yang bisa diperoleh dari usaha ternak berkisar 70100 persen dan (4) usaha industri yakni usaha peternakan yang dikelola secara industri, dengan tingkat pendapatan yang diperoleh dari usaha ini mencapai 100 persen. Selanjutnya pemeliharaan ternak sapi oleh peternak dapat dikategorikan dalam tiga cara yaitu: (1) pemeliharaan intensif, dalam cara ini ternak dipelihara dalam kandang dan biasanya disebut kereman, (2) pemeliharaan semi intensif, dalam cara ini ternak dilepas pada siang hari dan dikandangkan pada malam hari dan (3) pemeliharaan ekstensif, dalam cara ini sapi dipelihara dengan dilepas pada lahan atau padang rumput yang luas.

Berdasarkan uraian di atas, dalam penelitian ini jenis usahaternak yang dikelola oleh masyarakat tergolong dalam usaha skala kecil yang berorientasi pada usaha keluarga. Tipologi usahanya adalah usaha dengan tingkat pendapatan yang diperoleh dari usaha tersebut relatif kecil. Pola pemeliharaan ternak bersifat semi intensif dan pemeliharaan ekstensif dan dikelola secara turun-temurun dalam sistem usahatani yang diusahakan secara majemuk.

Pengelolaan Ternak Sapi Potong Pemilihan bibit

Murtidjo (1990) menyatakan bahwa untuk mengoptimalkan produksi ternak, pemilihan bibit yang baik merupakan salah satu kunci keberhasilan usaha ternak sapi potong. Ternak yang akan diperlihara disesuaikan dengan tujuan pemeliharaan apakah tujuan penggemukan atau untuk breeding (melahirkan anak). Peternak dituntut dapat melakukan seleksi terhadap ternak sapi yang akan dijadikan sebagai bibit, dimana seleksi yang tepat akan menghasilkan ternak-ternak yang memiliki produktivitas tinggi.

Sarwono dan Arianto (2001) seleksi adalah memilih ternak-ternak yang mempunyai sifat-sifat produksi yang tinggi untuk dijadikan bibit bagi generasi yang akan datang. Oleh karena itu, sebelum melakukan seleksi perlu dilakukan

recording (pencatatan) guna merekam tingkat perkembangan produktivitas yang dicapai masing-masing individu ternak. Selanjutnya dinyatakan bahwa seleksi yang umum dipakai mengikuti empat cara yaitu: (1) seleksi berdasarkan atas tampak luar (exterior) yakni berdasarkan penampilan bentuk tubuh seekor ternak. Seleksi ini sebenarnya kurang tepat, karena ternak yang mempunyai bentuk tubuh yang baik, belum tentu menghasilkan produksi tinggi, (2) seleksi berdasarkan pemenangan lomba yakni sama dengan seleksi tampak luar, hanya saja dilakukan oleh tim juri dan ternak-ternak yang menjadi juara dipilih sebagai bibit, (3) seleksi berdasarkan silsilah yakni dengan mempelajari data tetua mengenai produksi rata-rata induk dan keunggulan bapak. Ternak yang mempunyai silsilah baik, dapat dipilih sebagai bibit dan cara seleksi ini dilakukan untuk sapi-sapi yang masih muda atau belum menghasilkan dan (4) seleksi yang paling tepat adalah berdasarkan uji produksi individual ternak (individual merit test) dan uji zuriat (progeny test). Uji produksi individual ternak adalah menguji produksi ternak (daging) yang diperoleh tiap-tiap sapi yang ada di peternakan, dimana ternak-ternak yang memiliki produksi tinggi dijadikan bibit. Sedangkan uji zuriat yaitu pemilihan ternak berdasarkan penilaian prestasi anak-anaknya. Cara ini umumnya dilakukan untuk ternak jantan karena ternak jantan mempunyai lebih banyak keturunan daripada ternak betina.

Berdasarkan uraian di atas, maka kompetensi pemilihan bibit ternak sapi potong yang harus dimiliki oleh peternak adalah kemampuan memilih bibit berdasarkan produksi individual ternak (daging) yang diperoleh tiap-tiap sapi yang ada di peternakan dan berdasarkan penilaian prestasi anak-anaknya, dimana ternak-ternak yang memiliki produksi tinggi dijadikan bibit.

Perkandangan

Kandang berfungsi sebagai tempat berteduh atau berlindung dari hujan serta sebagai tempat istirahat yang nyaman. Kandang sapi potong biasa dibuat dari bahan-bahan sederhana dan murah, tetapi harus dibuat dengan konstruksi yang cukup kuat (Murtidjo 1990). Kandang yang dibangun tidak hanya kuat dan

nyaman tetapi harus mendukung budidaya ternak sapi potong. Abidin (2002) berpendapat bahwa pembuatan kandang harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: (1) dibuat dari bahan berkualitas, (2) luas kandang harus dibuat sesuai dengan jumlah sapi, (3) konstruksi kandang harus dibuat dengan memperhatikan kemudahan dalam melakukan pembersihan, memandikan ternak dan tidak licin, (4) ventilasi udara harus memungkinkan kelancaran sirkulasi udara sehingga tidak terhambat, (5) kandang dibangun dengan memperhatikan arah angin yang dominan, diupayakan agar muka tidak mendapat kontak langsung dengan angin yang bertiup, (6) sedapat mungkin dilalui anak sungai atau dekat sumber air dan (7) atap kandang sedapat mungkin dibuat dari bahan-bahan yang ringan tetapi daya tahannya kuat dan mampu menjaga kehangatan di dalam kandang.

Kandang sapi dapat berupa kandang barak atau kandang individu. Luas kandang barak diperhitungkan tidak boleh kurang dari 2 m²/ekor. Ukuran kandang individu dapat lebih kecil dari kandang barak, yaitu sekitar 1,7 m²/ekor, masing-masing untuk bobot badan sapi sekitar 150 kg. Saluran udara sebaiknya diperhitungkan 510 persen dari luas lantai atau 0,40,6 m³/ekor (Santosa 2003).

Menurut Sarwono dan Arianto (2001) pemilihan lokasi kandang yang sesuai di antaranya dengan mempertimbangkan letak strategis, kondisi tanah dan kesesuaian iklim ternak sapi. Lokasi peternakan juga harus memiliki sumber air bersih yang akan digunakan sebagai sumber air minum.

Peternakan sapi akan ideal jika dibangun tidak jauh dari areal persawahan, perladangan, perkebunan dan di lokasi tersebut kegiatan pertanian dan peternakan dapat saling menunjang. Ternak memanfaatkan sisa hasil pertanian, sedangkan pertanian akan memanfaatkan limbah kandang seperti kotoran dan air urin sebagai pupuk organik. Lokasi kandang sebaiknya cukup jauh dari tempat pemukiman agar bau dan limbah ternak tidak mengganggu penghuni pemukiman. Jarak kandang dari tempat pemukiman minimum 50 m atau dengan membangun tembok atau pagar tanaman setinggi tiga meter untuk meredam angin. Membangun kandang sebaiknya dipilih lokasi berupa lahan terbuka dan tidak tertutup bangunan atau pepohonan (Sarwono & Arianto 2001). Lokasi kandang dipilih dengan kemiringan relatif landai dan tidak berlubang. Hal lain akan menguntungkan bila memiliki akses yang memadai terhadap jalan raya sehingga

arus transportasi kebutuhan peternakan terpenuhi, serta memudahkan akses menuju sungai atau saluran pembuangan untuk membuang kelebihan air dari kolam pengolahan limbah.

Menurut Sarwono dan Arianto (2001) bahwa masing-masing bangsa sapi