• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kondisi lingkungan tanam meliputi tanah dan iklim. Faktor tanah meliputi sifat fisik tanah dan kimia tanah. Tanah pada lokasi penelitian termasuk kriteria lempung dengan kandungan bahan organik yang rendah (Tabel 1). Tanah dengan tekstur pasir yang dominan, umumnya memiliki kandungan organik yang rendah. Anda (2003) menyatakan bahawa tanah bertekstur kasar yaitu banyak mengandung pasir, memiliki ruang pori tanah lebih besar dan jumlahnya lebih banyak mengakibatkan banyak permukaan tanah yang terekspos. Kondisi ini mempengaruhi aksebilitas mikroorganisme dekomposer pada substrat bahan organik menjadi lebih cepat dan lebih luas sehingga bahan organik akan cepat terurai dan hilang dari dalam tanah.

Tabel 1 Hasil analisis tekstur tanah, bahan organik dan kadar air tanah

Variabel Satuan Hasil

Analisis Kriteria*** Kesesuaian agroklimat**** Tekstur* Pasir % 47 Lempung Sesuai Debu % 29 Liat % 24 Bahan Organik*

C % 0.82 Sangat Rendah Kurang sesuai

N % 0.18 Rendah Sesuai bersyarat

C/N % 5 Rendah Sesuai bersyarat

Kadar Air Tanah**

Kapasitas lapang % 35.81

Titik layu % 8.86

Air tersedia % 26.95 Rendah Sesuai bersyarat

Keterangan: * Analisis dilakukan pada bulan Juli 2011 di Laboratorium Balai Penelitian Tanah; **Analisis dilakukan di Laboratorium Pascapanen IPB; ***Penilaian kriteria berdasarkan Diagram Kriteria Tekstur Tanah dalam Hardjowigeno (2010)****Sumber dari: Sumarno dan Manshuri (2006).

Sifat fisik tanah seperti tekstur dan kandungan bahan organik secara langsung menentukan kesuburan atau kondisi optimal dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman. Sumarno dan Manshuri (2006) menyatakan bahwa tekstur tanah menentukan kemudahan akar berkembang, kemampuan daya serap dan permeabilitas terhadap air permukaan. Lengkong dan Kawulusan (2008)

18

menyatakan bahwa bahan organik di dalam tanah berperan memperbaiki sifat fisik, kimia maupun biologi tanah. Peranan bahan organik terhadap sifat fisik tanah yaitu dalam pembentukan agregat tanah sehingga dapat meningkatkan kemampuan menahan air. Pengaruh bahan organik terhadap sifat kimia tanah yaitu meningkatkan kapasitas tukar kation dan menyuplai hara N, P, K dan S. Pengaruh bahan organik terhadap biologi tanah yaitu meningkatnya jumlah dan aktivitas metabolik mikroorganisme tanah dalam dekomposisi bahan organik.

Kadar air tanah tersedia rendah yaitu sebesar 26.95%, hal ini dikarenakan tekstur tanah didominasi oleh pasir dengan persentase liat yang rendah. Hardjowigeno (2010) menyatakan bahwa kemampuan tanah menahan air dipengaruhi antara lain oleh tektur tanah. Tanah yang bertekstur pasir mempunyai luas permukaan lebih kecil sehingga sulit menyerap (menahan) air. Tanah yang bertekstur liat mempunyai luas permukaan lebih besar sehingga kemampuan menahan air lebih tinggi.

Sifat kimia tanah (Tabel 2) menunjukkan reaksi tanah (pH) agak masam pada pH aktual (pH H2O) dan masam pada pH potensial (pH KCl). Reaksi tanah aktual yang tidak terlalu masam mengindikasikan unsur hara dapat tersedia bagi tanaman. Hal ini dapat terlihat pada tingkat ketersediaan hara Fosfor (87.78 mg/kg) dan Kalium (105.07 mg/kg) yang tergolong tinggi. Adapun kandungan hara potensial Fosfor tergolong tinggi (475.00 mg/kg), sedangkan hara potensial Kalium tergolong rendah (163.00 mg/kg).

Kapasitas tukar kation (KTK) termasuk rendah karena ion bermuatan positif seperti K+ Ca2+, Mg+, Na+, H+ dan Al3+ di dalam koloid tanah berada dalam jumlah yang rendah. Kejenuhan basa (KB) tergolong tinggi karena kation asam seperti H+ dan Al3+ berada dalam jumlah yang rendah dibandingkan kation basa (K+ Ca2+, Mg+, Na+). Kandungan hara mikro seperti Fe dan Mn berada dalam jumlah tergolong tinggi, yang bersifat racun bagi tanaman. Hardjowigeno (2010) menyatakan bahwa pada reaksi tanah yang masam, unsur mikro seperti Fe dan Mn menjadi mudah larut. Unsur hara mikro yang tersedia dalam jumlah besar menjadi racun bagi tanaman, karena unsur hara mikro dibutuhkan tanaman dalam jumlah yang sangat kecil.

19 Tabel 2 Hasil analisis kimia tanah*

Variabel Satuan Metode Hasil

Analisis Kriteria** Kesesuaian agroklimat*** pH H2O 5.82 Agak Masam Sesuai pH KCl 4.86 Masam - P2O5 mg/kg Ekstrak HCl 25%

475.00 Tinggi Sangat sesuai

K2O mg/kg 163.00 Rendah bersyarat Sesuai

P2O5 mg/kg Bray I 87.78 Sangat

Tinggi Sangat sesuai

K mg/kg Ekstrak

Morgan 105.07 Tinggi Sangat sesuai Susunan Kation K cmol(+)/kg Ekstrak Amonium Asetat (CH3COONH4) 1 M pH 7 0.19 Rendah Sesuai bersyarat

Ca cmol(+)/kg 4.51 Rendah Sesuai

bersyarat

Mg cmol(+)/kg 0.76 Rendah Sesuai

bersyarat

Na cmol(+)/kg 0.06 Sangat

Rendah -

KTK % 6.26 Rendah

KB % 88.00 Sangat

Tinggi Sangat sesuai Al cmol(+)/kg

Ekstrak KCl 1 M

0.00 Sangat

Rendah Sangat sesuai

H cmol(+)/kg 0.02 Sangat

Rendah Sangat sesuai

Fe mg/kg

Ekstrak DTPA

39.13 Sangat

Tinggi Tidak sesuai

Mn mg/kg 135.35 Sangat

Tinggi Tidak sesuai

Keterangan: * Analisis dilakukan pada bulan Juli 2011 di Laboratorium Balai Penelitian Tanah; **Penilaian kriteria berdasarkan Kriteria Penilaian Sifat Kimia Tanah (Staf Pusat Penelitian Tanah 1983 dalam Hardjowigeno 2010)*** Sumber dari: Sumarno dan Manshuri (2006).

Komponen lingkungan yang menentukan keberhasilan produksi kedelai selain faktor tanah adalah faktor iklim. Faktor iklim yang menentukan pertumbuhan tanaman kedelai diantaranya: intensitas sinar matahari, suhu, kelembaban udara dan curah hujan. Kondisi iklim pada lokasi penelitian yaitu intensitas cahaya tergolong tinggi, semakin meningkat dari awal tanam sampai fase generatif (bulan Juli sampai bulan September) dengan lama penyinaran nilai

20

tertinggi didapatkan 89.5% dan tingkat keawanan yang rendah. Suhu udara tergolong tinggi yaitu rata-rata 26.6 oC dengan suhu maksimal mencapai 33.5 oC. Kelembaban udara mengalami penurunan dari awal tanam sampai masuk fase generatif dengan rata-rata 71%. Curah hujan tergolong rendah, hujan hanya turun pada awal tanam yaitu satu bulan sebelum tanam dan setelah tanam (67.2 mm), kemudian tidak ada hujan yang turun ketika fase pertumbuhan maksimum dan masuk fase generatif yaitu bulan Agustus (Lampiran 5).

Kedelai termasuk tanaman golongan strata A, yang memerlukan penyinaran matahari secara penuh. Sumarno dan Manshuri (2006) menyatakan bahwa berdasarkan kelimpahan cahaya matahari, kedelai optimal ditanam pada musim kemarau (Juli-Agustus). Suhu yang sesuai bagi pertumbuhan kedelai berkisar 22-27 0C. Kelembaban udara yang optimal berkisar RH 75-90% selama periode pertumbuhan hingga stadia pengisian polong dan kelembaban udara rendah (RH 60-75%) pada waktu pematangan polong hingga panen. Curah hujan yang merata 100-150 mm per bulan pada dua bulan sejak tanam merupakan kondisi yang cukup baik bagi pertumbuhan kedelai.

Kondisi lahan yang kering pada awal tanam karena tidak turun hujan maka dilakukan penyiraman sampai dua minggu setelah tanam. Hal ini dilakukan untuk mendukung ketersediaan air sehingga benih dapat berkecambah dengan baik sampai menjadi bibit. Pengendalian hama dilakukan pada saat awal gejala muncul dengan penyemprotan insektisida dengan bahan aktif klorantraniliprol 50 g/l. Hama yang mengganggu tanaman di lapangan yaitu: ulat grayak, ulat jengkal dan ulat penggerek polong. Subandi et al. (2006) menyatakan bahwa kendala pertanaman kedelai pada MK 2 selain kekeringan juga ancaman hama.

Rekapitulasi Hasil Sidik Ragam

Hasil uji F menunjukkan interaksi perlakuan genotipe dengan sistem olah tanah hanya berpengaruh nyata pada awal fase pertumbuhan tanaman yaitu terhadap variabel tinggi tanaman pada saat 2 mst. Pengaruh perlakuan genotipe secara tunggal nyata berpengaruh terhadap pertumbuhan tinggi tanaman pada 2 mst sampai 6 mst, jumlah daun trifoliat pada 2 mst dan bobot 100 butir. Pengaruh perlakuan sistem olah tanah secara tunggal nyata berpengaruh terhadap hampir

21 semua pengamatan (tinggi tanaman pada 2 mst sampai 8 mst, jumlah daun trifoliat pada 4 mst sampai 8 mst, jumlah cabang pada 6 mst dan 8 mst, bobot kering daun pada 6 mst dan 8 mst, bobot kering batang pada 6 mst dan 8 mst, bobot kering akar pada 6 mst dan 8 mst, jumlah polong isi, bobot 100 butir dan bobot ubinan) (Tabel 3).

Tabel 3 Rekapitulasi hasil sidik ragam komponen pertumbuhan dan produksi Variabel Umur Tanaman (mst) Perlakuan Genotipe (G) Sistem olah tanah (S) Interaksi (GxS) KK (%) Tinggi Tanaman (cm) 2 0.0001** <0.0001** 0.0347* 6.23 4 0.0045** <0.0001** 0.2826tn 6.85 6 0.0299* <0.0001** 0.1351tn 8.04 8 0.3906tn <0.0001** 0.6756tn 7.57 Jumlah Daun Trifoliat

(helai) 2 0.0487* 0.2519tn 0.3196tn 17.06 4 0.0836tn 0.0005** 0.5308tn 11.03 6 0.2105tn <0.0001** 0.9878tn 14.97 8 0.5622tn <0.0001** 0.9892tn 14.01 Jumlah Cabang 4 0.6246tn 0.4114tn 0.5381tn (6.41) 6 0.1786tn 0.0001** 0.4677tn (22.62) 8 0.4498tn <0.0001** 0.3465tn (14.55) Jumlah Bintil Akar 6 0.2137tn 0.1174tn 0.6459tn (29.81) 8 0.0969tn 0.3346tn 0.2708tn (30.71) Bobot Kering Daun (g) 6 0.2915tn <0.0001** 0.7342tn (11.51) 8 0.2102tn <0.0001** 0.9851tn (14.66) Bobot Kering Batang (g) 6 0.4904tn <0.0001** 0.7823tn (9.73)

8 0.1638tn <0.0001** 0.1962tn (12.51) Bobot Kering Akar (g) 6 0.8977tn <0.0001** 0.9407tn (5.21)

8 0.2171tn <0.0001** 0.5962tn (8.62)

Jumlah Polong Isi 0.2015tn

<0.0001** 0.1947tn 7.48

Jumlah Polong Hampa 0.4582tn

0.2384tn 0.7735tn (27.65)

Bobot 100 Butir (g) 0.0012**

<0.0001** 0.6356tn 2.88 Bobot ubinan (g/2 m2) 0.1590tn <0.0001** 0.2981tn 9.05

Keterangan: tn: tidak berbeda nyata berdasarkan uji F taraf 5%; *: berbeda nyata berdasarkan uji F taraf 5%; **: berbeda nyata berdasarkan uji F taraf 1%; KK: koefisien korelasi; ( ) data hasil transformasi √x + 0.5; mst: minggu setelah tanam.

22

Pertumbuhan Tanaman Tinggi Tanaman (cm)

Variabel tinggi tanaman (cm) pada awal pertumbuhan dipengaruhi secara nyata oleh interaksi antara genotipe dengan sistem olah tanah. Interaksi antara Genotipe Anjasmoro dan perlakuan sistem olah tanah alur dengan penambahan pupuk dasar, kapur, kompos dan pemulsaan menghasilkan tinggi tanaman nyata lebih tinggi daripada interaksi genotipe PG-57-1, SP-30-4 dan Tanggamus dengan berbagai perlakuan sistem olah tanah. Genotipe Anjasmoro, Tanggamus dan SP- 30-4 lebih tanggap dengan perlakuan sistem olah tanah yang berbeda. Kondisi ini terlihat dari interaksi antara genotipe dengan sistem olah tanah, dimana pertumbuhan tinggi tanaman pada setiap genotipe nyata berbeda antar perlakuan sistem olah tanah, sedangkan interaksi antara Genotipe PG-57-1 dengan sistem olah tanah yang berbeda tidak menghasilkan tinggi tanaman yang nyata berbeda (Tabel 4).

Tabel 4 Pengaruh interaksi genotipe kedelai dan sistem olah tanah terhadap tinggi tanaman (cm) pada 2 mst

Sistem olah tanah Genotipe

SP-30-4 PG-57-1 Tanggamus Anjasmoro Tinggi tanaman (cm)

Alur tanpa pupuk 8.68 fhijkl 8.00 ijkl 9.40 efgh 11.00 cd Konvensional tanpa

pupuk

7.88 jkl 7.58 l 8.84 fhijkl 10.27 de

Alur+PD 9.19 efghi 7.72 kl 9.66 efg 11.75 abc

Alur+PD+KP 9.05 fghij 8.39 hijkl 9.79 ef 11.91 abc Alur+PD+KP+KM 8.90 fghijk 8.43 hijkl 9.30 efgh 11.58 abc Alur+PD+KP+KM

+MS

9.28 efgh 7.75 kl 9.53 efgh 12.56 a Konvensional+PD 8.41 hijkl 7.83 jkl 9.28 efgh 11.22 bcd Konvensional+PD+KP 7.65 kl 7.57 l 8.35 hijkl 11.90 abc Konvensional+PD+KP

+KM

8.58 ghijkl 7.61 kl 8.91 fghijk 11.72 abc Konvensional+PD+KP

+KM+MS

9.53 efgh 7.64 kl 8.39 hijkl 12.18 ab

Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada semua kolom dan baris menunjukkan nilai berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5 %; PD: pupuk dasar; KP: kapur; KM; kompos; MS: mulsa.

23 Pertumbuhan tinggi tanaman pada Genotipe Anjasmoro yang berinteraksi dengan sistem olah tanah alur, penambahan pupuk dasar, kapur, kompos dan pemulsaan menghasilkan tinggi tanaman nyata lebih tinggi daripada interaksi antara Genotipe Anjasmoro dengan sistem olah tanah konvensional tanpa pemupukan. Kondisi yang sama juga tampak pada pertumbuhan tinggi tanaman Genotipe SP-30-4 yang berinteraksi dengan sistem olah tanah alur, penambahan pupuk dasar, kapur, kompos dan pemulsaan menghasilkan tinggi tanaman nyata lebih tinggi daripada interaksi antara Genotipe SP-30-4 dengan sistem olah tanah konvensional tanpa pemupukan. Pertumbuhan tinggi tanaman pada Genotipe Tanggamus yang berinteraksi dengan sistem olah tanah alur, penambahan pupuk dasar, kapur, kompos dan pemulsaan dibandingkan interaksi antara Genotipe Tanggamus dengan sistem olah tanah konvensional tanpa pemupukan menunjukkan hasil yang sama. Pertumbuhan tinggi tanaman pada Genotipe Tanggamus yang berinteraksi dengan sistem olah tanah alur, penambahan pupuk dasar dan kapur menghasilkan tinggi tanaman nyata lebih tinggi daripada interaksi antara Genotipe Tanggamus dengan sistem olah tanah konvensional, penambahan pupuk dasar dan kapur.

Pertumbuhan tinggi tanaman pada 4 mst dan 6 mst dipengaruhi secara nyata oleh faktor tunggal genotipe. Akan tetapi pada 8 mst pengaruh perlakuan genotipe terhadap tinggi tanaman tidak berbeda nyata. Genotipe Anjasmoro menghasilkan tinggi tanaman nyata lebih tinggi dibandingkan genotipe lainnya pada 4 mst dan 6 mst. Pertumbuhan tinggi tanaman pada 4 mst sampai 8 mst dipengaruhi secara nyata oleh faktor tunggal sistem olah tanah. Perlakuan olah tanah alur dengan penambahan pupuk dasar, kapur, kompos dan pemulsaan menghasilkan tinggi tanaman nyata lebih tinggi pada 4 mst dan 6 mst dibandingkan pada perlakuan olah tanah konvensional tanpa pupuk, tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan sistem olah tanah konvensional dengan penambahan pupuk dasar, kapur, kompos dan pemulsaan (Tabel 5).

Perlakuan olah tanah alur dengan penambahan pupuk dasar, kapur, kompos dan pemulsaan menghasilkan tinggi tanaman nyata lebih tinggi pada 8 mst dibandingkan pada perlakuan olah tanah konvensional tanpa pupuk, tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan sistem olah tanah konvensional dengan

24

penambahan pupuk dasar, kapur, kompos dan pemulsaan. Hasil yang tidak berbeda nyata juga terdapat pada perlakuan olah tanah alur dengan penambahan pupuk dasar, kapur dan kompos. Pengaruh kapur yang diberikan tidak dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman pada sistem olah tanah alur. Kondisi ini dapat terlihat pada perlakuan olah tanah alur dengan penambahan pupuk dasar menghasilkan tinggi tanaman pada 4 mst sampai 8 mst tidak berbeda nyata dengan perlakuan olah tanah alur dengan penambahan pupuk dasar dan kapur. Adapun pengaruh pemberian pupuk dasar pada olah tanah alur mampu meningkatkan pertumbuhan tinggi tanaman dibandingkan tanpa pemberian pupuk.

Tabel 5 Pengaruh genotipe kedelai dan sistem olah tanah terhadap tinggi tanaman (cm) dari 4 mst sampai 8 mst

Perlakuan Tinggi Tanaman

(cm) Genotipe 4 MST 6 MST 8 MST SP-30-4 15.36 c 26.81 c 36.71 PG-57-1 15.53 c 28.61 b 39.28 Tanggamus 17.12 b 29.03 b 40.01 Anjasmoro 19.55 a 33.31 a 43.20

Sistem olah tanah

Alur tanpa pupuk 15.38 ef 25.47 fg 33.49 e

Konvensional tanpa pupuk 14.47 f 24.45 g 31.65 e

Alur+PD 16.79 cd 28.25 de 38.46 cd Alur+PD+KP 17.45 bc 29.69 bcd 40.74 bc Alur+PD+KP+KM 17.63 bc 31.58 b 43.62 a Alur+PD+KP+KM +MS 18.64 a 34.13 a 46.16 a Konvensional+PD 16.16 de 27.34 ef 37.86 d Konvensional+PD+KP 16.75 cd 29.28 cde 39.92 bcd Konvensional+PD+KP+KM 17.23 c 30.46 bc 41.15 b Konvensional+PD+KP+KM+MS 18.40 ab 33.74 a 44.93 a

Keterangan: Angka-angka sekolom diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan nilai berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5 %; PD: pupuk dasar; KP: kapur; KM; kompos; MS: mulsa; MST: minggu setelah tanam.

Jumlah Daun Trifoliat (helai)

Pertumbuhan daun trifoliat dipengaruhi oleh faktor genotipe secara tunggal terlihat pada 2 mst, kemudian pada 4 mst sampai 8 mst tidak nyata pengaruh dari perlakuan genotipe. Perlakuan sistem olah tanah nyata berpengaruh terhadap pertumbuhan daun trifoliat mulai dari 4 mst sampai 8 mst. Pertambahan

25 jumlah daun trifoliat maksimal pada 6 mst kemudian terjadi penurunan. Pertumbuhan daun trifoliat Genotipe PG-57-1 pada 2 mst nyata lebih tinggi dibandingkan genotipe lainnya dengan rata-rata jumlah daun trifoliat 1.73 buah daun. Pertumbuhan daun trifoliat Genotipe Tanggamus tidak berbeda nyata dibandingkan dengan Genotipe Anjasmoro, sedangkan Genotipe SP-30-4 menghasilkan daun trifoliat nyata lebih rendah dibandingkan genotipe lainnya (Tabel 6).

Tabel 6 Pengaruh genotipe kedelai dan sistem olah tanah terhadap jumlah daun trifoliat (helai) dari 2 mst sampai 8 mst

Perlakuan Jumlah Daun Trifoliat (helai)

Genotipe 2 MST 4 MST 6 MST 8 MST

SP-30-4 1.28 c 3.90 6.99 7.46

PG-57-1 1.73 a 4.54 7.72 8.08

Tanggamus 1.58 b 4.21 6.98 7.61

Anjasmoro 1.55 b 3.78 6.37 7.15

Sistem olah tanah

Alur tanpa pupuk 1.52 3.83 bc 6.06 de 6.50 de

Konvensional tanpa pupuk 1.40 3.52 c 5.65 e 5.98 e Alur+PD 1.67 4.04 ab 6.54 cde 7.17 cd Alur+PD+KP 1.67 4.25 ab 7.00 bc 7.60 bc Alur+PD+KP+KM 1.56 4.35 a 7.58 ab 8.19 ab Alur+PD+KP+KM +MS 1.58 4.21 ab 8.00 a 8.63 a Konvensional+PD 1.50 4.13 ab 6.65 bcd 7.25 bcd Konvensional+PD +KP 1.50 4.19 ab 7.33 abc 7.92 abc Konvensional+PD +KP+KM 1.46 4.19 ab 7.31 abc 7.92 abc Konvensional+PD +KP+KM+MS 1.50 4.35 a 8.00 a 8.60 a

Keterangan: Angka-angka sekolom diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan nilai berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5 %; PD: pupuk dasar; KP: kapur; KM; kompos; MS: mulsa; MST: minggu setelah tanam.

Pengaruh perlakuan sistem olah tanah terhadap jumlah daun trifoliat tidak berbeda nyata pada 2 mst. Perlakuan olah tanah alur dengan penambahan pupuk dasar, kapur, kompos dan pemulsaan menghasilkan jumlah daun trifoliat nyata

26

lebih tinggi dibandingkan perlakuan olah tanah konvensional tanpa pupuk pada 4 mst sampai 8 mst. Jumlah daun trifoliat yang dihasilkan pada 8 mst dengan perlakuan olah tanah alur penambahan pupuk dasar, kapur, kompos dan pemulsaan tidak berbeda nyata dengan perlakuan sistem olah tanah konvensional dengan penambahan pupuk dasar, kapur, kompos dan pemulsaan. Hasil yang tidak berbeda nyata juga terdapat pada perlakuan olah tanah alur dengan penambahan pupuk dasar, kapur, kompos, dan pada perlakuan konvensional dengan penambahan pupuk dasar, kapur, kompos, serta pada perlakuan konvensional dengan penambahan pupuk dasar dan kapur.

Jumlah daun trifoliat meningkat rata-rata jumlahnya pada 6 mst kemudian terjadi penurunan pada 8 mst. Penurunan jumlah daun dikarenakan tanaman memasuki fase generatif dimana tampak di lapangan terjadi pengguguran daun. Marschner (1995) menyatakan bahwa proses senescence pada daun mengindikasikan terjadinya ekspor mineral nutrisi (remobilisasi) dari daun tua ke bagian sink tanaman. Biji merupakan sink yang kuat, sehingga remobilisasi mineral nutrisi lebih diarahkan pada pengisian biji.

Jumlah Cabang

Perlakuan genotipe tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan cabang tanaman mulai dari 4 mst sampai 8 mst. Perlakuan sistem olah tanah berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan cabang pada 6 mst sampai 8 mst. Pertumbuhan cabang maksimal terjadi pada 6 mst kemudian jumlah cabang yang muncul mengalami penurunan. Jumlah cabang yang dihasilkan pada 6 mst dengan perlakuan olah tanah alur penambahan pupuk dasar, kapur, kompos dan pemulsaan nyata lebih tinggi dibandingkan tiga perlakuan yaitu olah tanah konvensional tanpa pupuk, olah tanah alur tanpa pupuk dan konvensional dengan penambahan pupuk dasar. Akan tetapi jumlah cabang yang dihasilkan perlakuan olah tanah alur penambahan pupuk dasar, kapur, kompos dan pemulsaan tidak berbeda nyata dengan enam perlakuan lainnya (Tabel 7).

Pengaruh perlakuan olah tanah alur penambahan pupuk dasar, kapur, kompos dan pemulsaan terhadap jumlah cabang yang dihasilkan pada 8 mst nyata lebih tinggi dibandingkan perlakuan olah tanah konvensional tanpa pupuk, tetapi

27 tidak berbeda nyata dengan perlakuan sistem olah tanah konvensional dengan penambahan pupuk dasar, kapur, kompos dan pemulsaan. Hasil yang tidak berbeda nyata juga terdapat pada perlakuan olah tanah alur dengan penambahan pupuk dasar, kapur dan kompos. Pengaruh perlakuan olah tanah alur penambahan pupuk dasar, kapur, kompos dan pemulsaan konstan nyata lebih tinggi terhadap variabel pertumbuhan yang dihasilkan dibandingkan olah tanah konvensional tanpa pupuk, hal ini dikarenakan terdapat korelasi nyata antar variabel. Terdapat korelasi nyata antara tinggi tanaman 6 mst, jumlah daun 6 mst dan jumlah cabang 6 mst dengan jumlah cabang yang terbentuk pada 8 mst (Lampiran 6).

Tabel 7 Pengaruh genotipe kedelai dan sistem olah tanah terhadap jumlah cabang dari 4 mst sampai 8 mst

Perlakuan Jumlah Cabang

Genotipe 4 MST 6 MST 8 MST

SP-30-4 0.72 0.99 1.35

PG-57-1 0.72 1.29 1.53

Tanggamus 0.73 1.16 1.49

Anjasmoro 0.71 1.06 1.39

Sistem olah tanah

Alur tanpa pupuk 0.71 0.87 c 1.01 d

Konvensional tanpa pupuk 0.71 0.86 c 0.99 d

Alur+PD 0.73 1.15 ab 1.44 c Alur+PD+KP 0.73 1.19 ab 1.54 bc Alur+PD+KP+KM 0.74 1.24 ab 1.58 abc Alur+PD+KP+KM +MS 0.73 1.34 a 1.76 a Konvensional+PD 0.71 1.04 bc 1.42 c Konvensional+PD+KP 0.71 1.14 ab 1.50 bc Konvensional+PD+KP+KM 0.71 1.18 ab 1.53 bc Konvensional+PD+KP+KM+MS 0.71 1.22 ab 1.65 ab

Keterangan: Angka-angka sekolom diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan nilai berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5 %; PD: pupuk dasar; KP: kapur; KM; kompos; MS: mulsa; MST: minggu setelah tanam.

Nilai korelasi meningkat seiring meningkatnya laju pertumbuhan yaitu 6 mst. Korelasi positif tinggi tanaman 6 mst dan jumlah cabang 8 mst sebesar 0.81. Korelasi positif jumlah daun 6 mst dan jumlah cabang 8 mst sebesar 0.90. Korelasi positif jumlah cabang 6 mst dan jumlah cabang 8 mst sebesar 0.95. Hal ini mengindikasikan terdapat hubungan linier yang nyata antara tinggi tanaman

28

pada 6 mst, jumlah daun 6 mst dan jumlah cabang 6 mst dengan jumlah cabang 8 mst. Semakin meningkat pertumbuhan tinggi tanaman pada 6 mst, jumlah daun 6 mst dan jumlah cabang 6 mst diikuti oleh peningkatan jumlah cabang pada 8 mst.

Jumlah Bintil Akar

Faktor genotipe dan sistem olah tanah tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah bintil akar yang tumbuh pada 6 mst dan 8 mst. Jumlah bintil akar yang rendah disebabkan oleh kondisi lingkungan yang tidak optimal. Ketersediaan air yang rendah, kondisi ini tampak dari jumlah curah hujan yang rendah dan pada saat fase pertumbuhan maksimum tidak ada turun hujan yaitu pada bulan Agustus (Lampiran 5). Kondisi lingkungan tersebut tidak mendukung perkembangbiakan bakteri di sekitar perakaran yang menginfeksi munculnya bintil akar. Lingkungan tumbuh yang tidak optimal juga dapat menyebabkan bintil akar yang telah terbentuk cepat mengalami pelapukan, sehingga jumlah bintil akar rendah pada 6 mst dan 8 mst (Tabel 8).

Tabel 8 Pengaruh genotipe kedelai dan sistem olah tanah terhadap jumlah bintil akar pada 6 mst dan 8 mst

Perlakuan Jumlah Bintil Akar

Genotipe 6 MST 8 MST

SP-30-4 1.29 1.24

PG-57-1 1.00 1.01

Tanggamus 1.13 1.11

Anjasmoro 1.11 1.23

Sistem olah tanah

Alur tanpa pupuk 1.03 1.30

Konvensional tanpa pupuk 1.06 1.00

Alur+PD 1.14 1.22 Alur+PD+KP 1.07 1.23 Alur+PD+KP+KM 1.26 1.07 Alur+PD+KP+KM +MS 1.39 1.27 Konvensional+PD 1.03 1.00 Konvensional+PD+KP 1.00 1.12 Konvensional+PD+KP+KM 1.10 1.08 Konvensional+PD+KP+KM+MS 1.22 1.20

Keterangan: Angka-angka sekolom diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan nilai berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5 %; PD: pupuk dasar; KP: kapur; KM; kompos; MS: mulsa; MST: minggu setelah tanam.

29 Modifikasi lingkungan tanam dengan perlakuan sistem olah tanah belum mampu meningkatkan jumlah bintil akar yang dihasilkan. Hal ini dikarenakan sistem olah tanah tidak mampu menjadikan lingkungan tumbuh yang optimal untuk perkembangbiakan bakteri. Sistem olah tanah hanya mampu mengatasi permasalahan lingkungan tumbuh agar optimal untuk perkembangan perakaran tanaman. Pengaruh sistem olah tanah terhadap perkembangan perakaran tanaman, tampak dari bobot kering akar yang dihasilkan (Tabel 10).

Kandungan Hara dan Serapan Hara

Secara umum tanaman dapat beradaptasi dengan lingkungan tumbuh yang kurang optimum. Cekaman dari lingkungan tumbuh terutama kekeringan yang meningkat, diasumsikan dari data curah hujan yang rendah sebelum memasuki fase generatif memicu tanaman untuk menyerap unsur hara lebih banyak

Dokumen terkait