• Tidak ada hasil yang ditemukan

Secara teoritis lahan kering di Indonesia dibedakan menjadi dua kategori, yaitu lahan kering beriklim kering, yang banyak dijumpai di kawasan timur Indonesia dan lahan kering beriklim basah, yang banyak terdapat di kawasan barat Indonesia. Cukup banyak tipologi wilayah pengembangan lahan kering yang terdapat di dua kategori tersebut. Namun wilayah pengembangan lahan kering di Indonesia diklasifikasikan berdasarkan potensi dan dominasi vegetasinya (Mayrowani et al. 2010).

Lahan kering dipilah lebih lanjut menjadi lahan kering masam dan non- masam. Lahan kering bertanah masam dicirikan dengan pH < 5.0 dan kejenuhan basa < 50%, yang tergolong pada tanah-tanah yang mempunyai sifat distrik. Sebaliknya lahan yang bertanah tidak masam adalah lahan dengan pH > 5.0 dan kejenuhan basa > 50%, yang tergolong pada tanah-tanah yang bersifat eutrik (Hidayat & Mulyani 2002).

Lahan kering masam cukup luas di Indonesia sekitar 102 juta ha dan sekitar 56.3 juta ha diantaranya adalah lahan yang sesuai untuk usaha pertanian yaitu wilayah datar-berbukit dengan lereng <30% (Mulyani et al. 2009). Berdasarkan data dari Pusat Penelitian Pengembangan Tanaman Pangan (Puslitbangkan) terdapat 7 provinsi memiliki potensi pengembangan tanaman lahan kering seperti kedelai dan padi gogo. Salah satunya adalah Provinsi Lampung yang memiliki luasan lahan kering mencapai 802 341 ha (Direktorat Perluasan Areal 2009).

Lahan kering masam merupakan lahan yang mempunyai sifat-sifat seperti pH rendah, kapasitas tukar kation (KTK), kejenuhan basa (KB) dan C-organik rendah, kandungan aluminium (kejenuhan Al) tinggi, fiksasi P tinggi, kandungan besi dan mangan mendekati batas meracuni tanaman, peka erosi, dan miskin unsur biotik (Soepardi 2001). Lahan kering di Indonesia didominasi oleh jenis tanah podsolik merah kuning (Ultisol). Jenis tanah ini mempunyai tingkat kemasaman tinggi, kandungan hara makro dan mikro rendah. Selain itu, terjadi kekurangan air terutama pada musim kemarau, menyebabkan terjadinya cekaman kekeringan.

6

Keadaan ini akan mempengaruhi perkembangan morfologi dan proses fisiologi tanaman kedelai yang menyebabkan rendahnya hasil (Hapsoh et al. 2005).

Curah hujan yang tinggi di sebagian wilayah Indonesia menyebabkan tingkat pencucian hara tinggi terutama basa-basa, sehingga basa-basa dalam tanah akan segera tercuci keluar lingkungan tanah dan yang tinggal dalam kompleks adsorpsi liat dan humus adalah ion H dan Al. Akibatnya tanah menjadi bereaksi masam dengan kejenuhan basa rendah, dan menunjukkan kejenuhan aluminium yang tinggi. Selain itu, tanah-tanah yang terbentuk umumnya merupakan tanah berpenampang dalam, berwarna merah-kuning, dan mempunyai kesuburan alami yang rendah (Subagyo et al. 2000).

Pengembangan komoditas pertanian di lahan kering masam akan menghadapi berbagai permasalahan teknis yaitu berupa rendahnya tingkat kesuburan tanah dan ketersediaan air pada musim kemarau. Tanah masam umumnya dicirikan oleh sifat reaksi tanah masam (pH rendah) yang berkaitan dengan kadar Al tinggi, fiksasi P tinggi, kandungan basa-basa dapat tukar rendah, kandungan besi dan mangan yang mendekati batas meracuni, peka erosi, miskin elemen biotik. Kendala tersebut dapat diatasi dengan teknologi pemupukan, pengapuran, serta pengelolaan bahan organik (Mulyani et al. 2009).

Tanggap Kedelai Pada Lahan Kering Masam

Kedelai termasuk tanaman golongan strata A, yang memerlukan penyinaran matahari secara penuh. Intensitas penyinaran matahari di wilayah tropika Indonesia terutama pada lahan kering cukup melimpah. Oleh karena itu kedelai optimal ditanam pada akhir musim hujan (Maret-April) atau musim kemarau (Juli-Agustus), dengan syarat suplementasi air irigasi tersedia (Sumarno & Manshuri 2006).

Tanaman harus dapat menyeimbangkan antara proses kehilangan air dan proses penyerapannya. Apabila besarnya kehilangan air tidak diimbangi dengan penyerapan melalui perakaran tanaman maka, akan terjadi kekurangan air di dalam sel tanaman. Kondisi ini dapat menyebabkan berbagai kerusakan pada banyak proses biokimia dalam sel tanaman. Tanaman memiliki mekanisme untuk mencegah kehilangan air dengan melakukan penutupan stomata. Perubahan pada

7 ketahanan mekanisme stomata sangat diperlukan untuk mengatur kehilangan air dan mengatur pengambilan karbondioksida (CO2) yang dibutuhkan dalam proses fotosintesis (Taiz & Zeiger 2002).

Cekaman kekeringan merupakan pengaruh faktor lingkungan yang menyebabkan air tidak tersedia bagi tanaman. Hal ini disebabkan antara lain tidak tersedianya air di daerah perakaran tanaman dan permintaan air yang besar dari daun. Adapun secara fisiologi, cekaman kekeringan pada tanaman terjadi dimana laju evaporasi melebihi laju absorbsi air oleh perakaran tanaman (Hamim 2004).

Kendala lahan kering masam ketika musim kemarau selain dihadapkan pada keracunan ion logam, bahan organik yang rendah, juga permasalahan kekeringan. Dampak kekeringan yang terjadi pada setiap periode tumbuh kedelai yaitu: pada periode tumbuh aktif dapat menghambat perkembangan dan meluruhkan daun-daun pada cabang bagian bawah, pada periode pembungaan dapat mempertinggi kerontokan bunga, pada periode pembentukan polong dapat menghambat perkembangan polong dan merontokkan polong-polong yang terbentuk dan periode pengisian polong dapat mengurangi jumlah biji dan kepadatan jumlah biji (Lestari 2004). Tanaman kedelai yang mengalami kekurangan air pada fase pembungaan menyebabkan gugurnya bunga, sedangkan pada fase pengisian polong mengakibatkan biji yang dihasilkan kecil dan hampa (Rismaneswati 2006). Adisarwanto et al. (2007) menambahkan bahwa, terdapat empat tahap pertumbuhan kedelai yang kritis apabila tidak ada air, yaitu pertumbuhan awal (V0-V1-2), saat berbunga (R1-R2), pembentukan polong (R3), dan pengisian biji (R4-R5).

Pada lahan kering bereaksi masam (pH kurang dari 5.5), mineral Mn, Al, dan Fe tersedia secara berlebihan, sehingga dapat meracun bagi tanaman. Kadar Al yang tinggi (lebih dari 20%) menyebabkan keracunan pada akar kedelai dan daun berwarna kecoklatan. Selain itu, perkembangan bakteri Rhizobium juga terhambat pada tanah masam, kemungkinan disebabkan oleh kurangnya fotosintat dari daun (Sumarno & Manshuri 2006).

Konsentrasi Al yang tinggi pada tanah masam merupakan faktor pembatas dalam produksi tanaman. Kerusakan organ tanaman lebih erat hubungannya dengan keberadaan Al dibandingkan tingginya konsentrasi ion hidrogen.

8

Keracunan Al menyebabkan kerusakan langsung pada sistem akar. Perkembangan akar terhambat dan menjadi tebal, pendek, kaku dan memperlihatkan bagian- bagian yang mati (Wijanarko 2004).

Genotipe Kedelai Adaptif Lahan Kering Masam

Cekaman lingkungan merupakan tantangan utama dalam memproduksi tanaman secara berkelanjutan. Tanaman memberikan tanggap secara fisiologi dan biokimia, sebagai upaya untuk menerima, menghindari dan menetralisir pengaruh dari cekaman. Sifat peka dan toleran tanaman bergantung kepada genetik dan tanggap biokimia yang dimiliki suatu spesies. Oleh karena itu penelitian lebih difokuskan untuk membangun adaptabilitas tanaman secara genetik dan biokimia dalam menghadapi berbagai kondisi cekaman lingkungan (Dubey 1999). Patakas et al. (2002) menambahkan bahwa tanaman tidak dapat mengekspresikan potensial genetiknya secara penuh pada kondisi cekaman. Cekaman lingkungan menyebabkan perubahan pada ekspresi gen, terjadi peningkatan akumulasi ion anorganik, perubahan sintesis protein yang mengakumulasi protein spesifik dan perubahan prilaku banyak enzim.

Masalah utama yang dihadapi dalam pengembangan budidaya kedelai di lahan kering masam adalah relatif rendahnya tingkat kesuburan tanah (pH, kandungan hara makro, dan bahan organik rendah), cekaman kekeringan pada pertanaman akhir musim hujan (MH II), gangguan hama, gulma dan penyakit tanaman. Perakitan varietas adaptif lahan kering masam lebih banyak diarahkan untuk mendapatkan varietas yang relatif toleran kemasaman tanah dan toleran kekeringan serta memiliki sifat-sifat agronomis yang baik seperti tanaman kokoh, tinggi, tidak mudah rebah, polong lebat dan tidak mudah pecah (Arsyad et al. 2006). Purwantoro et al. (2009) menambahkan bahwa upaya mengoptimalkan produktivitas kedelai di lahan masam melalui pendekatan genetik dengan penyediaan varietas kedelai adaptif lahan masam memiliki keuntungan yakni biaya murah dan mudah diadopsi oleh petani.

Hingga tahun 2008, sudah banyak varietas unggul kedelai yang dilepas, diantaranya tiga varietas dinilai adaptif lahan kering masam pH 5 dan kejenuhan Al-dd 25-30%, yaitu Tanggamus, Sibayak, dan Nanti dengan Produktivitas 1.4

9 hingga 1.5 ton/ha. Varietas Slamet dan Sandoro juga dinilai toleran terhadap kemasaman tetapi produktivitas lebih rendah (1 ton/ha). Penggunaan varietas toleran pada lahan masam merupakan salah satu alternatif teknologi untuk meningkatkan produktivitas kedelai, selain pengapuran dan penggunaan pupuk organik (Kuntyastuti dan Taufiq 2008).

Teknologi Budidaya Lahan Kering Masam

Pengolahan tanah merupakan salah satu aspek yang mempengaruhi pertumbuhan dan hasil tanaman kedelai, karena dapat memperbaiki kegemburan dan drainase tanah. Namun demikian, pengolahan tanah secara konvensional juga berdampak terhadap kerusakan tanah, misalnya meningkatnya evaporasi dan menurunnya kadar bahan organik. Untuk memperkecil kerusakan tanah, maka disarankan untuk diolah seperlunya, agar lapisan atas tanah (top soil) tetap dalam keadaan menguntungkan bagi tanaman dan tidak terangkut ke tempat lain (Fahrurrozi et al. 2005).

Peningkatan dan pengawetan lengas tanah merupakan upaya konservasi air tanah. Hubungan pengawetan lengas tanah dalam upaya konservasi air tanah melalui dua cara yaitu: meningkatkan kemampuan tanah menyimpan air dan mengurangi besarnya energi matahari yang jatuh ke bidang evaporasi. Usaha yang dilakukan agar air tersedia dalam tanah dan dimanfaatkan secara efisien bagi tanaman yaitu: pengolahan tanah, pemberian bahan organik, penggunaan mulsa dan pengendalian gulma (Harsono et al. 2007).

Penambahan bahan organik dapat mensuplai hara N, P, K, dan S, meningkatkan keefektifan pemupukan, mengurangi kadar aluminium (sementara) karena terbentuknya senyawa komplek dengan aluminium sehingga P tersedia bagi tanaman, meningkatkan aktivitas biologi, meningkatkan daya menahan air dan memperbaiki sifat fisik tanah (Umar & Istina 2003). Jenis pupuk organik yang banyak digunakan adalah kompos, yang merupakan produk pembusukan dari limbah tanaman (jerami, sabut kelapa, alang-alangan, daun-daunan, tongkol jagung) dan kotoran hewan yang mengalami proses dekomposisi oleh mikroorganisme pengurai seperti fungi, aktinomiset, dan cacing tanah. Pupuk kandang merupakan bahan organik yang mudah terdekomposisi dan menghasilkan

10

C-organik, N-total yang tinggi dibandingkan dengan jerami padi, hijauan jagung, dan flemingia (Erfandi & Widati 2008).

Pupuk kandang merupakan jenis pupuk organik yang umum digunakan dalam budidaya tanaman. Adapun kandungan hara yang terdapat pada pupuk kandang bervariasi tergantung pada jenis ternak, makanan ternak, umur, dan kesehatan ternak (Rachman et al. 2006). Rismaneswati (2006) menambahkan bahwa tindakan pengelolaan pada lahan kering dalam upaya memelihara dan memperbaiki kesuburan tanah antara lain dengan pemberian bahan organik dan mulsa. Pemberian mulsa dilakukan untuk meningkatkan jumlah air yang masuk ke dalam tanah dan meningkatkan daya menyimpan air dari tanah. Pemanfaatan sisa tanaman sebagai mulsa juga efektif melindungi tanah dari pukulan hujan untuk menghindari penghancuran agregat.

Pemberian mulsa jerami dengan ketebalan 5 cm, 80% menutupi permukaan tanah memberikan hasil lebih baik pada bobot 100 biji kering dibandingkan mulsa batu dan tanpa mulsa. Mulsa jerami lebih menjamin ketersediaan air sampai fase pengisian polong dan dengan tersedianya air membuat perkembangan akar semakin baik. Kondisi ini mendukung proses penyerapan hara lebih baik oleh akar tanaman (Jamila & Kaharuddin 2007).

Salah satu usaha untuk menaikkan pH tanah pada tanah-tanah masam adalah melalui pengapuran. Pengapuran selain dapat menaikkan pH tanah, juga dapat meningkatkan ketersediaan kalsium, fosfor dan mengurangi keracunan Al (Wijanarko 2004). Rachman et al. (2006) menambahkan bahwa pemberian kapur seperti dolomit sebagai pembenah tanah mampu menyediakan unsur Ca dan Mg serta memperbaiki sifat fisik tanah.

BAHAN DAN METODE

Dokumen terkait