• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Lokasi Penelitian

Lokasi pemeliharaan larva, pengokonan, dan pengamatan kokon adalah Kandang Pemeliharaan Ulat Sutera Liar A. atlas di Kompleks Kandang Blok C. Lokasi pengolahan kokon sendiri dilakukan di Laboratorium Non Ruminansia dan Satwa Harapan (NRSH), Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Kokon disimpan dalam box

plastik untuk melindungi kokon dari pengaruh udara, parasit, dan mikroorganisme secara langsung selama penelitian.

Gambar 5. Kandang Pemeliharaan Ulat Sutera Liar A. atlas di Komplek Kandang C Konstruksi bangunan di atas sebagian besar merupakan kisi-kisi dari kawat dengan bagian bawah dinding terbuat dari tembok yang memungkinkan sirkulasi udara berjalan dengan sangat lancar. Rata-rata suhu dan kelembaban selama penelitian dari bulan November 2010 sampai Januari 2011 berturut-turut adalah 25,9 o

C dan 85% , 25,5 oC dan 83% , dan 25,4 oC dengan kelembaban 83%. Kisaran suhu selama penelitian ini yaitu 22,8 oC (Januari 2011) hingga 31,6 oC (November 2010), sedangkan kisaran kelembaban relatif sebesar 71% (Desember 2010) hingga 95% (November 2010).

Kisaran suhu ini melewati batas nyaman larva A. atlas seperti dinyatakan oleh Awan (2007) yang menyatakan bahwa suhu nyaman ulat berada pada kisaran 20-30 ºC. Namun apabila suhu lebih tinggi dari 30 ºC atau kurang dari 20 ºC dapat menyebabkan mortalitas yang tinggi karena terganggunya proses fisiologis dan pertumbuhan ulat sutera. Sebagaimana halnya dengan suhu, kisaran kelembaban juga

berada di luar batas nyaman untuk larva A. atlas sesuai dengan pendapat Veda et al.

(1997) yang menyatakan bahwa kelembaban yang baik untuk larva instar I dan II berkisar 80%-95% sedangkan untuk larva instar III, IV dan V adalah 70%. Kisaran suhu dan kelembaban di luar batas nyaman selama penelitian ini terbukti menyebabkan mortalitas larva yang tinggi selama masa persiapan penelitian. Larva yang dapat bertahan hidup sampai membentuk kokon hanya mencapai 31 ekor dari ratusan larva instar I yang dipelihara. Kelembaban udara juga mempengaruhi karakteristik filamen sutera, Atmosoedarjo et al. (2000) menyatakan bahwa kelembaban yang terlalu tinggi atau terlalu rendah dapat mengakibatkan filamen sutera terputus-putus.

Performa Filamen

Sampel penelitian berupa 12 gulung filamen dari kokon A. atlas dengan usia berbeda ditunjukkan pada Gambar 6.

Gambar 6. Filamen dari Kokon dengan Empat Usia yang Berbeda. (A) 30 Hari, (B) 45 Hari, (C) 60 Hari, dan (D) 75 Hari

(A) (B)

Gambar 6 menunjukkan warna dari gulungan filamen yang bervariasi dari cokelat terang sampai cokelat kehitaman yang berkilau keemasan. Warna filamen menurut Saleh (2000) merupakan pigmen alami yang diproduksi oleh larva A. atlas

pada saat pengokonan. Variasi warna yang dihasilkan dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu kandungan nutrien pakan, kondisi fisiologis, dan genetik dari masing-masing larva (Awan, 2007). Selain itu, belum didomestikasinya ulat sutera ini turut mempengaruhi tidak seragamnya warna filamen.

Tidak ditemukan kecenderungan peningkatan atau penurunan tonase warna filamen yang beraturan seiring bertambahnya usia kokon seperti tampak pada Gambar 6. Akan tetapi, intensitas warna filamen pada usia kokon 75 hari tampak lebih pudar dibandingkan dengan warna filamen pada usia kokon lainnya. Hal ini dapat disebabkan oleh warna awal kokon yang memang lebih pudar dan pertambahan usia kokon. Sebagai perbandingan, dalam Gambar 7 ditampilkan gambar kokon berusia satu minggu dan kokon yang berusia 75 hari.

(A)

(A) (B)

Gambar 7. Kokon mentah sebelum didegumisasi: (A) Kokon segar usia satu minggu, (B) Kokon usia 75 hari.

Kokon yang usianya lebih tinggi tampak lebih kering, permukaan floss sangat berkerut dan berwarna pucat dibandingkan dengan kokon yang usianya lebih muda. Hal ini dapat disebabkan oleh berkurangnya kandungan air selama pertambahan usia kokon yang boleh jadi mempengaruhi pigmentasi kokon dan filamen. Kontak udara yang lebih lama sedikit demi sedikit dapat menguapkan kandungan air kokon, apalagi didukung data suhu selama penelitian yang menunjukkan seiring pertambahan usia kokon, kelembaban udara semakin kering yang diduga turut berkaitan dengan berkurangnya kandungan air kokon. Perlu dilakukan uji lanjutan

untuk mengetahui apakah warna yang lebih terang ini benar-benar dipengaruhi usia kokon yang lebih lama tersebut.

Permukaan filamen yang telah digulung sangat halus saat disentuh (hand feel). Hasil ini sesuai pernyataan Kato (2000) bahwa setelah melalui proses degumisasi menggunakan larutan Na2CO3 3g/l dan ekstraksi menggunakan etanol pada waktu dan suhu yang ditetapkan, permukaan filamen A. atlas sangat halus karena hampir seluruh serisin dan zat lainnya telah hilang dari filamen. Serisin yang merupakan gum (perekat) antar filamen dalam kokon dan zat lainnya jika tertinggal pada filamen akan meninggalkan tekstur yang tidak halus setelah degumisasi.

Bobot Kulit Kokon

Kulit kokon merupakan bagian kokon yang telah dipisahkan dari floss dan pupa. Kulit kokon inilah yang diolah dan diurai menjadi filamen sutera. Penimbangan kulit kokon dilakukan untuk mengetahui bobot kokon yang telah terbentuk sempurna dan dapat diurai sebelum dimasak dan digulung. Bobot kulit kokon dapat digunakan untuk menentukan kualitas kokon yang dihasilkan, karena menurut Lee (1999) berat kokon merupakan karakter kokon yang paling penting secara komersial. Hal ini dikarenakan penjualan kokon didasarkan pada beratnya, semakin berat bobot kokon yang dihasilkan maka semakin bagus kualitas kokon. Kokon yang bobotnya tinggi cenderung menghasilkan filamen atau benang sutera yang lebih panjang dan tebal.

Rata-rata bobot kulit kokon yang dihasilkan dalam penelitian ini adalah 0,80±0,19 g/kokon. Hasil ini lebih besar dibandingkan dengan bobot kulit kokon pada penelitian Baskoro (2004) yakni sebesar 0,5±0,2 g/kokon, penelitian Setiorini (2009) sebesar 0,62±0,35 g/kokon, dan penelitian Erliyani (2011) sebesar 0,46±0,08 g/kokon. Hasil penelitian tersebut menggunakan kokon yang dihasilkan oleh larva dengan pakan daun teh dan diperoleh dari alam, sedangkan dalam penelitian ini larva yang dipelihara merupakan keturunan dari larva yang diperoleh di alam, dengan pakan daun sirsak. Larva dipelihara di kandang pada tiga instar pertama, dan tiga instar berikutnya dipelihara di pohon sirsak. Bobot kulit kokon generasi F3 hasil domestikasi Awan (2007) dengan pakan daun sirsak dan teh memiliki rataan sebesar 1,66±0,4 g/kokon. Berdasarkan uraian di atas, faktor yang juga dapat mempengaruhi bobot kulit kokon diantaranya adalah kualitas dan jenis pakan, kondisi mikroklimat

lingkungan, domestikasi, ukuran larva, dan kesehatan larva semasa proses pengokonan berlangsung. Hasil pengamatan terhadap bobot kulit kokon pada usia kokon yang berbeda disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Bobot Kulit Kokon A. atlas pada Usia Kokon yang Berbeda Usia Kokon

(hari)

Bobot kulit kokon

± SB (g) Kisaran (g) KK (%) 30 0,98 ± 0,24 0,70 - 1,13 24,96 45 0,71 ± 0,10 0,59 - 0,79 14,90 60 0,87 ± 0,14 0,71 - 0,97 16,09 75 0,64 ± 0,11 0,51 - 0,71 17,30 Keseluruhan 0,80 ± 0,19 0,51 - 0,97 24,60

Tabel 3 memperlihatkan nilai rataan dan keragaman tertinggi terdapat pada kokon usia 30 hari (24,96%) dan keragaman paling kecil pada kokon dengan kokon dengan usia 45 hari (14,90%). Keragaman ini dapat disebabkan oleh perbedaan yang tinggi antar bobot kulit kokon individu pada usia 30 hari dan sebaliknya pada usia 45 hari. Selain itu, diduga terdapat kontribusi yang cukup besar dari kandungan air dan jumlah serisin dalam kokon yang usianya lebih singkat (30 hari) terhadap nilai keragaman ini. Hal ini dapat disebabkan oleh aktivitas pupasi yang tidak serentak di dalam kokon, mengingat dalam penelitian, pupa dibiarkan tetap hidup sampai bermetamorfosis menjadi imago (ngengat) selama tidak melewati batas usia kokon yang ditetapkan dalam pengamatan.

Pupa dalam kokon mengalami aktivitas respirasi, dikarenakan selama masa pupasi, terjadi organogenesis dari larva menjadi pupa dan dari pupa menjadi imago (ngengat) yang secara otomatis menggunakan banyak energi yang sebagian dilepaskan berupa uap air. Panas tubuh yang dikeluarkan dari pupa juga dapat menghasilkan uap air. Uap air ini dapat mempengaruhi bobot kulit kokon dikarenakan sifat higroskopis kokon terlebih pada usia kokon yang lebih singkat (30 hari) karena pada beberapa kokon masih terdapat pupa yang belum bermetamorfosis ke fase imago. Sekalipun merupakan masa dormansi, jika pupa dalam kokon dikeluarkan, pupa yang hidup memberikan respon pergerakan pada bagian abdominal ketika diberikan stimulus berupa sentuhan. Kerapkali terdengar pergerakan pupa di dalam kokon selama pengamatan terhadap kokon berlangsung.

Selain aktivitas pupasi, sifat kokon yang higroskopis (menyerap kelembaban udara sekitar) juga dapat menyebabkan keragaman pada bobot kulit kokon, apalagi pada kokon dengan usia 30 hari pada bulan November 2010, dengan kelembaban udara mencapai nilai tertinggi. Kandungan air dalam kokon dapat berasal dari zat penyusun filamen yang dikeluarkan oleh kelenjar sutera, kandungan air dalam udara di sekitar kokon yang diserap oleh filamen karena kokon memiliki sifat higroskopis (menyerap kelembaban) dan aktivitas respirasi pupa yang terdapat di dalam kokon.

Kontak udara yang lebih lama pada kokon yang berusia lebih dari 30 hari tampaknya sedikit demi sedikit menurunkan kandungan air kokon sehingga bobot antar kokon bertambah stabil sehingga keragamannya lebih rendah. Selain itu, permukaan kokon yang berusia lebih lama memiliki penampakan warna yang lebih pudar dan tampak lebih kering jika dibandingkan dengan kokon yang lebih singkat usianya. Rata-rata bobot kulit kokon pada usia 60 hari nilainya cukup tinggi (0,87 g) dengan tingkat keragaman relatif lebih rendah, hal ini juga disebabkan hampir semua kokon pada masa penyimpanan tersebut berukuran besar dan kulitnya tebal.

Kondisi mikroklimat lingkungan seperti kelembaban yang rendah (udara terlalu kering) dapat juga membuat filamen lebih kering dan terputus-putus (Atmosoedarjo et al., 2000) sehingga dapat dikatakan filamen yang kering dapat mempengaruhi bobot kulit kokon. Kelembaban udara selama penelitian berlangsung menunjukkan bahwa kelembaban udara terendah terjadi sepanjang bulan Desember 2010 yang bertepatan dengan pertambahan usia kokon 45 hari dan 60 hari. Hal ini dapat juga menjelaskan rendahnya keragaman bobot kulit kokon pada usia tersebut. Akan tetapi, keragaman terendah pada usia kokon 45 hari dinilai paling baik dikarenakan kokon sudah cukup stabil kandungan airnya baik dari dalam filamen maupun aktivitas respirasi pupa (sebagian besar pupa keluar menjadi imago atau ngengat pada usia 28-40 hari). Meskipun demikian, usia kokon yang lebih tua jika diimbangi dengan kondisi tempat peletakan atau penyimpanan kokon yang baik, minim kontak dengan udara langsung dan pengaruh lainnya, bobot kulit kokon dapat terjaga kestabilannya.

Panjang Filamen

Panjang filamen menunjukkan banyaknya filamen yang dapat diurai dari sebuah kulit kokon setelah didegumisasi dan diekstraksi. Panjang filamen yang

dihasilkan berhubungan dengan tingkat kemudahan penguraian filamen dari kokon. Tingkat kemudahan penguraian filamen yang tinggi menghasilkan filamen yang lebih panjang. Asumsi dugaan awal ialah seiring pertambahan usia kokon terjadi penurunan tingkat kemudahan penguraian filamen sehingga panjang filamen yang dihasilkan semakin rendah sesuai dengan bobot kulit kokonnya.

Panjang filamen yang dihasilkan dalam penelitian ini memiliki rataan sebesar 798,47±189,99 m/kokon dengan panjang filamen minimum sebesar 398,15 m/kokon dan panjang filamen maksimum sebesar 989,07 m/kokon. Hasil ini jauh lebih pendek dibandingkan panjang filamen sutera A. atlas yang diperoleh dengan alat pintal modern yang dinyatakan oleh Saleh (2000) dapat mencapai 2500 meter, sedangkan panjang filamen sutera B. mori memiliki panjang filamen antara 1500-2000 meter.

Panjang filamen dalam penelitian ini (798,47±189,99 m/kokon) berkali lipat lebih tinggi dari hasil penelitian Awan (2007) 83,61 m/kokon, Erliyani (2011) 159,08 m/kokon, dan Aini (2009) 293-413,8 m/kokon. Perbedaan panjang filamen yang sangat besar diantara beberapa hasil penelitian tersebut dapat dipengaruhi oleh perbedaan jenis dan kualitas pakan, kondisi pemeliharaan larva, ukuran dan bobot kokon, metode penggulungan filamen, dan perlakuan penelitian termasuk metode dan bahan degumisasi kokon yang mempengaruhi tingkat kemudahan penguraian filamen. Cara dan bahan degumisasi kokon yang berbeda dapat menghasilkan tingkat degumisasi serisin pada kokon A. atlas yang berbeda pula. Serisin pada sutera liar sebagian besar terikat dengan tanin, zat warna, lilin, dan lain-lain (Kato et al., 1997), sehingga diperlukan metode yang tepat untuk melepaskan serisin yang menyatukan filamen satu sama lain dengan menyeluruh sehingga lebih banyak filamen yang dapat diurai.

Degumisasi filamen sutera dalam penelitian ini menggunakan metode Kato (2000) dinilai menghasilkan filamen yang lebih baik tingkat degumisasinya jika dibandingkan dengan filamen yang didegumisasi dengan sabun dan NaOH seperti dalam Erliyani (2011) baik dari tingkat kehalusan (tekstur), hand feel dan kilau warna filamen. Panjang filamen sutera A. atlas pada usia kokon yang berbeda ditampilkan dalam Tabel 4.

Tabel 4. Panjang Filamen A. atlas pada Usia Kokon yang Berbeda Usia Kokon (hari) Panjang Filamen ± SB (g) Kisaran (g) KK (%) 30 776,22 ± 247,85 496,35 - 967,98 31,93 45 854,83 ± 115,83 729,50 - 957,94 13,55 60 921,79 ± 109,45 795,50 - 989,07 11,87 75 641,03 ± 214,94 398,15 - 806,71 33,53 Keseluruhan 798,47 ± 189,99 398,15 - 989,07 23,79

Berdasarkan Tabel 4, koefisien keragaman panjang filamen terendah terdapat pada kokon dengan usia 60 hari (11,87 %) dan tertinggi pada kokon dengan usia 75 hari (33,53 %). Keragaman pada panjang filamen dapat disebabkan oleh keragaman pada individu dan kemudahan penguraian kokon menjadi filamen.Tentu saja belum dilakukannya proses domestikasi yang ketat juga berperan besar dalam tingginya keragaman tersebut. Apabila ditinjau secara khusus pada kemudahan penguraian filamen berdasarkan usia kokon yang berbeda-beda, maka berdasarkan nilai koefisien keragamannya kokon yang berusia 60 hari (11,87%) dan 45 hari (13,55%) menunjukkan performa terbaik dalam kaitannya dengan variabel panjang filamen.

Penguraian filamen yang lebih mudah sampai lapisan paling dalam menghasilkan panjang filamen yang lebih besar dan sebaliknya. Jika diulas terkait dengan bobot kulit kokon, sepintas tampak panjang filamen ini tidak memperlihatkan hubungan yang berbanding lurus dengan bobot kulit kokon khususnya terlihat pada bobot kulit kokon usia 30 hari pada Tabel 3 dan panjang filamen dari kokon usia 30 hari pada Tabel 4. Hal ini dapat disebabkan oleh kandungan air yang berbeda-beda dan masih fluktuatif antar kokon karena berbagai faktor sebagaimana telah diulas dalam peubah sebelumnya yang dapat mempengaruhi bobot kulit kokon. Hal inilah yang mendasari pentingnya pengeringan kokon sebelum dikomersilkan agar diperoleh bobot kokon yang seragam kandungan airnya sehingga penjelasan keragaman dapat dinyatakan lebih terkendali. Pengeringan kokon tidak dilakukan dalam penelitian ini untuk menjaga kelangsungan siklus reproduksi A. atlas.

Dapat dikatakan bahwa semakin bertambah usia kokon (di atas 30 hari), kestabilan faktor-faktor di luar kendali seperti kandungan air kokon yang dapat

dipengaruhi oleh aktivitas respirasi pupa lebih stabil sehingga pengukuran beberapa variabel menunjukkan hubungan yang lebih konsisten. Selain itu, kontak udara yang lebih lama seiring pertambahan usia kokon tampaknya turut berperan dalam penurunan kandungan air kokon. Terbukti nilai panjang filamen usia kokon lainnya (45, 60, dan 75 hari) merepresentasikan panjang filamen yang berbanding lurus dengan nilai bobot kulit kokon masing-masing secara konsisten.

Bobot Filamen

Bobot filamen diperoleh dari penimbangan filamen yang telah digulung. Bobot filamen berhubungan dengan panjang filamen, menurut Atmosoedarjo et al.,

(2000) semakin panjang filamen, semakin besar bobot filamen sebagaimana halnya semakin besar bobot kulit kokon semakin besar pula bobot filamen. Dengan demikian, secara tidak langsung bobot filamen juga berkaitan dengan tingkat kemudahan penguraian filamen. Bobot filamen dalam penelitian ini memiliki rataan sebesar 0,4±0,14 g dengan nilai minimum 0,18 g dan nilai maksimum 0,69 g. Rata- rata bobot filamen ini lebih besar dibandingkan dengan hasil penelitian Erliyani (2011) dengan bobot filamen 0,06 g dan Aini (2009) dengan bobot filamen 0,2486- 0,3724 g. Merujuk pustaka Atmosoedarjo et al. (2000), bobot filamen ideal yang telah distandarisasi pada B. mori adalah 30-45 centigram (0,30-0,45 g). Hal ini mengindikasikan bobot filamen A. atlas dalam penelitian ini cukup besar dan memiliki potensi tinggi untuk ditingkatkan misalnya melalui seleksi dan domestikasi. Rata-rata bobot filamen pada usia kokon yang berbeda ditunjukkan pada Tabel 5. Tabel 5. Bobot Filamen A. atlas pada Usia Kokon yang Berbeda

Usia Kokon (hari) Bobot Filamen ± SB (g) Kisaran (g) KK (%) 30 0,43 ± 0,19 0,21 - 0,54 43,99 45 0,38 ± 0,08 0,30 - 0,47 22,48 60 0,51 ± 0,16 0,40 - 0,69 30,20 75 0,30 ± 0,10 0,18 – 0,38 35,28 Keseluruhan 0,40 ± 0,14 0,18 - 0,69 35,48

Tabel 5 menunjukkan koefisien keragaman bobot filamen tertinggi terdapat pada kokon dengan usia 30 hari (43,99%), sedangkan terendah pada kokon dengan

usia 45 hari (22,48 %). Keragaman bobot filamen dapat disebabkan oleh perbedaan jumlah fibroin dan serisin pada kokon selain bobot kulit kokon awal. Perbedaan jumlah serisin dan zat lainnya yang dipisahkan dari fibroin masing-masing kokon saat degumisasi berperan besar karena filamen tersusun dari komponen utama berupa fibroin. Semakin banyak kandungan serisin dan zat lain yang terpisah dari fibroin, semakin besar selisih antara bobot kulit kokon dan bobot filamen.

Bobot filamen idealnya berbanding lurus dengan bobot kulit kokon dan panjang filamen. Akan tetapi dalam penelitian ini, bobot filamen yang tinggi tidak selalu menunjukkan panjang filamen yang lebih tinggi pula. Sebagaimana halnya dengan bobot kokon, bobot filamen juga berkaitan dengan ketebalan filamen yang dihasilkan. Hal yang juga dapat menyebabkan perbedaan ini adalah perbedaan kandungan air dan jumlah serisin dan zat lainnya yang dipisahkan dari fibroin masing-masing kokon saat degumisasi, karena filamen tersusun dari komponen utama berupa fibroin. Semakin banyak kandungan serisin dan zat lain yang terpisah dari fibroin, semakin besar selisih antara bobot kulit kokon dan bobot filamen. Atmosoedarjo et al. (2000) menyatakan bahwa semakin besar bobot kokon, semakin besar pula panjang dan bobot filamen. Hal itu berlaku untuk kokon B. mori yang telah didomestikasi sehingga memiliki keseragaman ukuran filamen yang tinggi dan sudah memiliki standarisasi. Kokon A. atlas termasuk ke dalam jenis sutera liar yang belum didomestikasi sehingga memiliki keragaman yang tinggi dalam banyak hal termasuk ketebalan filamen sesuai pernyataan Kato et al. (1997).

Persentase Filamen

Persentase filamen menunjukkan perbandingan jumlah filamen yang dihasilkan dari sebuah kulit kokon. Selisih antara bobot filamen dengan bobot kulit kokon merupakan kandungan air kokon, serisin, mineral, dan zat-zat organik lainnya yang terdapat pada kokon dan terpisah dari fibroin pada proses degumisasi. Usia kokon diduga berpengaruh terhadap bobot kulit kokon dan bobot filamen yang merupakan variabel penentu persentase filamen. Nilai persentase filamen sangat bermanfaat dalam dunia tekstil dikarenakan dengan nilai tersebut dapat diketahui kelayakan kokon untuk dijadikan sumber benang. Semakin tinggi persentase filamen, jumlah atau panjang benang yang dapat dihasilkan dari sebuah kokon semakin besar. Nilai persentase filamen juga menggambarkan perbandingan yang lebih akurat dari

hasil penelitian ini terkait karakteristik filamen sesuai perbedaan usia kokon. Persentase filamen A. atlas pada usia kokon yang berbeda ditunjukkan pada Tabel 5. Tabel 5. Persentase Filamen A. atlas pada Usia Kokon yang Berbeda

Usia Kokon (hari) Persentase Filamen ± SB (g) Kisaran (g) KK (%) 30 41,70 ± 10,15 30,00-48,21 24,35 45 53,45 ± 8,23 46,84-62,67 15,40 60 58,97 ± 14,08 46,39-74,19 23,89 75 46,08 ± 10,01 35,29-55,07 21,72 Keseluruhan 50,05 ± 11,56 30,00 - 74,19 23,09

Rata-rata persentase filamen adalah 50,05±11,56 %, dengan koefisien keragaman persentase filamen tertinggi pada kokon dengan masa penyimpanan 30 hari (24,35%) dan terendah pada kokon dengan masa penyimpanan 45 hari (15,40 %) dalam Tabel 5. Secara keseluruhan, persentase filamen dalam penelitian ini lebih besar dari persentase filamen hasil penelitian Erliyani (2011) yakni 13,38 %. Menurut Atmosoedarjo et al. (2000) bobot filamen kokon B. mori beratnya berkisar antara 30-45 centigram dan memiliki persentase 80-90 % dari berat kulit kokon. Persentase filamen A. atlas dalam penelitian ini tidak mencapai angka 80%, tetapi nilainya berkisar antara 30-74,19 %. Nilai ini sangat bagus mengingat karakter kokon

A. atlas yang termasuk sutera liar yang belum didomestikasi secara ketat dan masih memiliki keragaman tinggi. Untuk itulah, proses domestikasi berkelanjutan dan secara ketat perlu dilangsungkan untuk mendapatkan filamen A. atlas berkualitas tinggi dan seragam.

Apabila dalam kondisi liar A. atlas mampu menghasilkan filamen dengan persentase yang tinggi, peningkatan persentase filamen melalui proses domestikasi memiliki peluang besar. Nilai persentase filamen sangat bergantung pada bobot kokon dan bobot filamen. Persentase filamen berbanding lurus dengan bobot filamen dan berbanding terbalik dengan bobot kulit kokon. Persentase filamen yang tinggi lebih menguntungkan daripada persentase filamen yang rendah. Tingginya persentase filamen juga menandakan jumlah serisin dan jumlah filamen yang tidak dapat diurai pada kokon tidak terlalu banyak.

Tebal Filamen

Ketebalan filamen menunjukkan ukuran filamen sutera. Ketebalan filamen dapat dinyatakan dalam satuan mikrometer (µm) yang diperoleh dengan pengamatan dibawah mikroskop dan dalam satuan denier (d) yang diperoleh dengan perhitungan baku. Penelitian ini menggunakan cara penghitungan manual seperti dinyatakan oleh Atmosoedarjo et al. (2000) yaitu apabila panjang serat 9000 meter dengan berat 1 gram, maka kehalusan filamen adalah satu denier.

Rata-rata tebal filamen dalam penelitian ini adalah 4,49±0,84 d. Filamen yang dihasilkan dalam penelitian ini lebih tebal dibandingkan hasil penelitian Erliyani (2011) yaitu 3,60 d. Kato et al. (1997) menyebutkan bahwa filamen B. mori

berukuran sekitar 3 denier yang setara dengan ketebalan sekitar 20-30 mikron. Jika dibandingkan, tebal filamen A. atlas lebih tinggi daripada ketebalan filamen B. mori. Kondisi ini diperkuat oleh pernyataan Kato et al. (1997) bahwa filamen sutera liar termasuk filamen dari kokon A. atlas memiliki keragaman ukuran dan diameter yang tinggi.

Tabel 6. Tebal Filamen A. atlas pada Usia Kokon yang Berbeda Usia Kokon (hari) Tebal Filamen ± SB (g) Kisaran (g) KK (%) 30 4,79 ± 0,91 3,81-5,62 19,08 45 4,02 ± 0,82 3,08-4,56 20,32 60 4,98 ± 1,19 4,09-6,33 23,87 75 4,19 ± 0,10 4,07-4,26 2,49 Keseluruhan 4,49 ± 0,84 3,08-6,33 18,70

Tabel 6 menunjukkan ketebalan filamen dari kokon yang berusia 60 hari memiliki koefisien keragaman tertinggi (23,87 %) dan terendah pada filamen dari kokon dengan usia 75 hari (2,49%). Keragaman pada tebal filamen tidak hanya disebabkan oleh proses seleksi untuk domestikasi yang belum dilakukan secara ketat, tetapi juga dipengaruhi oleh banyak hal. Mengutip pernyataan Atmosoedarjo et al.

(2000) kehalusan filamen sutera dipengaruhi beberapa faktor: (1) suhu dan kelembaban: filamen mempunyai tendensi ukuran denier yang tinggi (lebih besar seratnya) apabila ulatnya dipelihara semasa instar I dan II, dengan suhu dan

kelembaban udara yang tinggi. Selain itu, suhu yang tinggi pada waktu pengokonan ulat yang belum dewasa, membuat denier filamennya rendah; (2) musim pemeliharaan: pemeliharaan ulat sutera pada musim semi di Jepang menghasilkan denier filamen lebih besar daripada pada pemeliharaan musim gugur; (3) pakan dan kepadatan populasi: pemberian pakan dengan daun yang lunak dan pemeliharaan yang jarang, akan menghasilkan filamen yang lebih besar dibandingkan dengan pada pemeliharaan yang lebih padat; (4) ukuran larva: ulat yang bertubuh besar cenderung menghasilkan pola denier yang lebih besar pula.

Dokumen terkait