KARAKTERISTIK FILAMEN SUTERA (
Attacus atlas
) PADA
USIA KOKON YANG BERBEDA
SKRIPSI YULIANA FAJAR
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN
KARAKTERISTIK FILAMEN SUTERA (
Attacus
atlas
)
PADA
USIA KOKON YANG BERBEDA
YULIANA FAJAR D14062271
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada
Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN
RINGKASAN
Yuliana Fajar. D14062271. 2011. Karakteristik Filamen Sutera Attacus atlas pada Usia Kokon yang Berbeda. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan. Institut Pertanian Bogor.
Pembimbing Utama : Dr. Ir. Asnath M. Fuah, M.S. Pembimbing Anggota : Ir. Hotnida C. H. Siregar, M.Si.
Sutera liar dari spesies ulat sutera Attacus atlas telah dikenal sebagai komoditi pertanian yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Komponen utama sutera yang telah banyak digunakan dalam berbagai industri adalah filamen atau serat sutera. Filamen sutera A. atlas diperoleh dari penguraian kulit kokon melalui beberapa tahap pemrosesan. Filamen sutera ini memiliki banyak keunggulan dibandingkan filamen sutera domestik Bombyx mori. Karakter kain sutera liar lebih sejuk saat dipakai, tahan kusut, anti alergi, lebih halus, dan memiliki variasi warna eksklusif. Penggunaan sutera yang meluas, tidak terbatas dalam dunia tekstil saja membuat kualitas sutera penting untuk dipertahankan dan ditingkatkan. Kualitas sutera sangat bergantung kepada karakteristik kokon dan filamennya. Salah satu hal yang diduga dapat mempengaruhi karakteristik kokon dan filamen adalah usia kokon saat diolah. Belum diketahui berapa usia kokon maksimum tanpa mengurangi atau mengubah mutu karakteristik kokon dan filamen. Biasanya pengolahan kokon dilakukan segera setelah dipanen, karena dikhawatirkan kualitas karakteristik filamen menurun. Akibatnya, setelah panen, kokon yang harus segera diolah secara bersamaan cukup banyak, sehingga dapat mengurangi efektivitas pengolahan kokon. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh usia kokon yang berbeda-beda terhadap karakteristik filamen sutera A. atlas.
Penelitian ini menggunakan kokon ulat sutera liar A. atlas yang indukannya berasal dari perkebunan teh Walini, Purwakarta. Pemeliharaan larva dilakukan di Laboratorium Non Ruminansia dan Satwa Harapan, Institut Pertanian Bogor. Perlakuan pada penelitian ini terdiri atas kokon usia 30 hari, kokon usia 45 hari, kokon usia 60 hari, dan kokon usia 75 hari. Setiap taraf perlakuan terdiri atas 3 ulangan, sehingga terdapat 12 unit percobaan. Peubah yang diamati adalah bobot kulit kokon, panjang filamen, bobot filamen, tebal filamen, persentase filamen, dan panjang filamen sekali putus. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan ukuran pemusatan data dan disajikan dalam bentuk tabel.
udara lancar dan dalam tempat yang minim kontak dengan udara, tidak terjadi perubahan berarti dalam karakteristik filamen sutera.
ABSTRACT
The Characteristics of Attacus atlas Filament Silk at Various Cocoon Age Fajar, Y., A. M. Fuah and H. C. H. Siregar
Attacus atlas wild silk has been known as the commodity with a variety of economic usefulness, such as in the textile industry, crafts, medical devices, cosmetics, electronics production, and so on. Due to the nature of this multifunction, silk quality became very important. The quality of the silk depends on the characteristics of the cocoon skin and filament. It is important to know the maximum cocoon age that does not change cocoon filaments quality. The purpose of this study was to analyze the influence of the cocoon age on silk filament characteristics. As many as 12 cocoonswere divided into four age groups (30, 45, 60, and 75 days). The cocoons were degummed using Kato's method(2000).The results showed that the age of 45 and 60 days were the best cocoon age to yield qualified silk filament. The observed silk filament characteristics were cocoon skin weights (0.8 ± 0.2 g), the total length of the filament (798.47 ± 189.99 m), the weight of the filaments (0.4 ± 0.14 g), the percentage of the filaments (50.05±11.06%), the thickness of the filament (4.49 ± 0.84 d), and the length of each filament (2.69 ± 0.91 m). It can be concluded that the characteristics of filament hang on to good quality does not exceed 60 days cocoon age.
Judul : Karakteristik Filamen Sutera (Attacus atlas) pada Usia Kokon yang Berbeda
Nama : Yuliana Fajar NIM : D14062271
Menyetujui,
Pembimbing Utama,
(Dr. Ir. Asnath M. Fuah, M.S.) NIP. 19541018 197903 2 001
Pembimbing Anggota,
(Ir. Hotnida C.H. Siregar, M.Si.) NIP. 19620617 199003 2 001
Mengetahui: Ketua Departemen,
Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan
(Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc.) NIP. 19591212 198603 1 004
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 2 Juli 1988 di Pamijahan, Kabupaten Bogor.
Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Andi
Suhandi dan Ibu Diah.
Penulis menempuh pendidikan dasar di SDN Gunung Picung V dan SDN
Gunung Picung VII pada tahun 1994 dan selesai pada tahun 2000. Pendidikan
menengah pertama diselesaikan pada tahun 2003 di SMP PGRI Gunung Picung dan
pendidikan menengah atas diselesaikan pada tahun 2006 di SMAN 1 Cibungbulang,
Bogor.
Penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor pada tahun 2006
melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru). Tahun 2007 Penulis
diterima sebagai mahasiswa Mayor Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan,
Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut
Pertanian Bogor. Selama mengikuti pendidikan di Institut Pertanian Bogor, Penulis
aktif dalam beberapa organisasi mahasiswa diantaranya Ikatan Pengurus Mushala
Asrama Putri TPB IPB tahun kepengurusan 2006-2007 sebagai staf Divisi Syi’ar,
Unit Kegiatan Mahasiswa Pramuka IPB (Racana Surya Tirta Kencana-Inggita Puspa
Kirana) sebagai Koordinator Divisi Rumah Tangga tahun kepengurusan 2007-2008
dan sebagai Kerani Putri tahun kepengurusan 2008-2009, Dewan Perwakilan
Mahasiswa Fakultas Peternakan (DPM-D) sebagai sekretaris Komisi Advokasi dan
Kesejahteraan Mahasiswa tahun kepengurusan 2007-2008, dan Himpunan
Mahasiswa Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan (Himaproter) sebagai staf
Divisi Peduli Pangan Peternakan tahun kepengurusan 2008-2009. Penulis juga
pernah terlibat dalam beberapa kegiatan profesional dan kepanitiaan. Penulis
merupakan penerima beasiswa Supersemar (2007-2008), beasiswa Karya Salemba
Empat (KSE) tahun 2008-2010 dan berhasil mendapatkan pendanaan penelitian serta
bantuan biaya hidup selama satu tahun dari PT Wide and Pin untuk menyelesaikan
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala limpahan
rahmat, nikmat dan karunia-Nya sehingga Penulis mampu menyelesaikan skripsi ini.
Skripsi yang berjudul “Karakteristik Filamen Sutera Attacus atlas pada Usia Kokon yang Berbeda” merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan di Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Attacus atlas merupakan ulat sutera liar asli Indonesia yang sudah mulai
disadari manfaatnya sebagai penghasil sutera. Budidaya A. atlas sampai saat ini
belum berhasil dilakukan karena informasi tentang kebutuhan mikroklimat dan
tingkah lakunya masih minim. Hal ini menyebabkan masyarakat melakukan
pemanenan kokon dari alam. Kokon di alam biasanya berbeda-beda umurnya, ada
kokon yang baru, bahkan ada kokon yang sudah lama/tua. Kokon yang sudah lama
biasanya tidak dipanen karena dianggap rendah kualitasnya. Sistem pilih kokon ini
belum diketahui keakuratannya, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
karakteristik filamen sutera A. atlas pada usia kokon yang berbeda-beda.
Penulis menyadari terdapat banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini.
Akhir kata Penulis mengucapkan terimakasih, semoga tulisan ini bermanfaat
terutama kepada pihak-pihak yang memerlukan informasi mengenai Attacus atlas
dan pembaca pada umumnya.
Bogor, Desember 2011
Kesimpulan ... 36
Saran ... 36
UCAPAN TERIMA KASIH ... 37
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Metode Degumisasi Kokon Anaphe, Criculatrifenestrata dan
Attacusatlas ... 12
2. Rata-rata Kandungan Nutrien Daun Sirsak ... 13
3. Rata-rata dan Keragaman Bobot Kulit Kokon ... 24
4. Rata-rata dan Keragaman Panjang Filamen ... 27
5. Rata-rata dan Keragaman Bobot Filamen ... 28
6. Rata-rata dan Keragaman Persentase Filamen ... 30
7. Rata-rata dan Keragaman Tebal Filamen ... 31
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Siklus Hidup Attacus atlas ... 5
2. Kokon Mentah ... 8
3. Alat penggulung manual (hand spun) kokon ... 16
4. Prosedur Penelitian ... 17
5. Kandang Pemeliharaan Ulat Sutera Liar A. atlas di Komplek Kandang C ... 20
6. Hasil Penggulungan Filamen Sutera ... 21
PENDAHULUAN Latar Belakang
Sutera liar Attacus atlas merupakan komoditi bernilai ekonomi tinggi yang
dihasilkan serangga asli Indonesia. Serat sutera yang dihasilkan dari kokon A. atlas
ini memiliki keistimewaan berupa warna keemasan dan memiliki variasi warna alami
yang khas, dari warna cokelat gelap sampai cokelat terang yang berkilau.
Dibandingkan dengan kokon sutera murbei, harga kokon ulat sutera A. atlas
mencapai Rp 600.000 per kg, dengan harga benang Rp 1.500.000 sedang harga
kokon ulat sutera murbei (Bombyx mori) hanya Rp 25.000 per kg dengan harga
benang Rp 300.000 per kg (Solihin & Fuah, 2010). Kebutuhan terhadap kokon ulat
sutera liar jenis A. atlas untuk dijadikan benang sangat tinggi namun pemenuhannya
masih terbatas. Dewasa ini penggunaan komponen sutera A. atlas tidak hanya dalam
dunia tekstil dan fashion kelas atas, tetapi juga sudah digunakan dalam dunia
elektronik, bahan kosmetik, perlengkapan medis, dan lain sebagainya. Berdasarkan
harga pasaran sutera A. atlas yang tinggi dan kebutuhan pasar yang belum terpenuhi,
potensi pengembangan A. atlas masih sangat besar dan cukup menjanjikan.
Kemampuan A. atlas yang dapat hidup lebih dari dua generasi dalam setahun
merupakan keunggulan lain dari ulat sutera ini. Ulat sutera murbei hanya dapat hidup
dua generasi dalam setahun dan hanya dapat memakan pakan daun murbei. Attacus
atlas dapat hidup pada sekitar lebih dari 90 tanaman inang dari 48 famili, salah
satunya adalah tanaman sirsak (Peigler, 1989). Larva A. Atlas ditemukan hidup pada
tanaman inang sirsak di banyak tempat. Ketersediaan daun sirsak yang melimpah di
Indonesia berpotensi untuk mendukung keberlangsungan penyediaan pakan dalam
budidaya A. atlas. Pakan merupakan faktor yang sangat penting dalam pemeliharaan
ulat sutera dan harus selalu tersedia pada fase larva (ulat). Pertumbuhan,
perkembangan dan reproduksi A. atlas sangat bergantung pada kualitas dan kuantitas
pakan yang dikonsumsi, yang secara langsung berpengaruh terhadap kualitas sutera
yang dihasilkan. Pakan yang memenuhi kebutuhan pokok, produksi dan reproduksi
A. atlas akan menghasilkan kokon dengan karakteristik sutera yang berkualitas
tinggi.
Penilaian kualitas sutera ditentukan oleh dua faktor, yaitu karakteristik kokon
komersial karena harga jual kokon didasarkan pada bobotnya, yakni semakin tinggi
bobot kokon, semakin tinggi harganya. Karakteristik kokon menentukan kualitas
serat sutera, yang terdiri dari beberapa parameter, diantaranya yaitu panjang filamen,
bobot filamen, persentase filamen, tebal filamen, dan daya urai filamen. Kokon
sutera diharapkan memiliki panjang dan bobot filamen yang tinggi dalam produksi
benang dan kain sutera dalam dunia tekstil. Semakin tinggi panjang dan bobot
filamen, semakin banyak benang dan kain yang dihasilkan. Persentase filamen
menandakan banyaknya filamen yang diperoleh dari sebutir kokon. Persentase
filamen yang tinggi lebih menguntungkan dalam produksi sutera, karena
mengindikasikan lebih banyak kandungan fibroin yang merupakan komponen utama
filamen sutera dalam kokon. Ketebalan filamen berbanding lurus dengan bobot
filamen. Filamen yang tebal juga menurunkan jumlah filamen yang digunakan dalam
pembuatan benang sehingga lebih efisien. Daya urai filamen yang tinggi
memudahkan dan mempersingkat waktu penguraian filamen.
Karakteristik kokon dan filamen tersebut dapat dipengaruhi oleh pakan,
genetik, kesehatan larva saat mengokon, dan kondisi lingkungan. Salah satu hal yang
juga diduga dapat mempengaruhi kualitas filamen sutera adalah usia kokon sebelum
diproses menjadi filamen. Biasanya, kokon diproses menjadi filamen pada waktu
seminggu setelah pengokonan sehingga akan sangat banyak kokon yang harus diolah
secara bersamaan. Pengolahan kokon dalam jumlah besar secara bersamaan dalam
usaha pemintalan benang sutera dinilai kurang efektif untuk memperoleh hasil
penguraian yang kualitasnya seragam. Selain itu, batas usia maksimum pada kokon
A. atlas yang tidak mengubah kualitas kokon dan filamen belum diketahui sehingga
perlu dilakukan penelitian untuk menganalisis pengaruh usia kokon yang berbeda
terhadap karakteristik serat sutera A. atlas.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk menelusuri performa karakteristik filamen
TINJAUAN PUSTAKA Biologi Attacus atlas
Ulat sutera liar Attacus atlas adalah salah satu serangga yang berukuran besar
dan banyak ditemukan di wilayah Asia (Peigler, 1989). A. atlas memiliki tahapan
metamorfosis sempurna yang terdiri dari telur (embrio), larva, pupa, dan tahap
dewasa (Chapman, 1971). Secara ilmiah, klasifikasi A. atlas menurut Triplehorn dan
Johnson (2005) adalah sebagai berikut:
Attacus atlas dikenal sebagai ngengat sutera raksasa atau “si rama-rama” dan
merupakan ngengat terbesar di Asia dengan bentang sayap mencapai 250 mm.
Spesies A. atlas banyak ditemukan di hutan tropis dan tersebar di Asia Tenggara,
daerah selatan Cina, dan India (Peigler, 1989). Penyebaran A. atlas hampir di seluruh
wilayah Indonesia diantaranya Pulau Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi,
Maluku, dan Papua (Awan, 2007). Di daerah Jawa Barat khususnya ulat sutera liar
A.atlas sering disebut hileud (ulat) badori, hileud orok (bayi), atau ulat gajah karena
larvanya yang besar, adapun kupu-kupunya disebut kupu-kupu sirama-rama atau
kupu-kupu gajah (Saleh, 2000). Di Yogyakarta dan sekitarnya serta daerah
Temanggung, Wonosari, dan Wonogiri (Jawa Tengah), ngengat dari A. atlas ini
disebut kupu gajah atau kupu sirama-rama (Situmorang, 1996).
Larva A. atlas dapat memakan daun dari 90 jenis tumbuh-tumbuhan dari 48
famili tanaman (Peigler, 1989). Ulat sutera liar A. atlas merupakan serangga
polivoltin yaitu dapat hidup lebih dari dua generasi dalam satu tahun. Sifat polivoltin
ini menguntungkan bagi usaha pembudidayaan ulat sutera A. atlas karena: a) bibit
dalam bentuk ketersediaan telur dapat dipenuhi sepanjang tahun, b) musim
berkembang biak terjadi sepanjang tahun, c) pada musim hujan maupun musim
kemarau dapat dipelihara, d) produksi kokon akan ada sepanjang tahun, e) produksi
dilakukan secara kontinyu sehingga pemuliaan ke arah peningkatan produktivitas
dapat dicapai (Awan, 2007).
Attacus atlas merupakan serangga yang mengalami metamorfosis sempurna
yang biasa disebut holometabola terdiri dari telur (embrio), larva, pupa, dan tahap
dewasa (Chapman, 1971). Lama periode tiap fase hidup A. atlas seperti dilaporkan
Awan (2007) dan Mulyani (2008), masa inkubasi telur A. Atlas 10-12 hari, lama
periode larva dengan pakan daun sirsak 30-42 hari, lama periode pupa adalah 20-29
hari, lama periode imago betina dan jantan masing-masing adalah 2-10 hari dan 2-4
hari. Total waktu yang diperlukan A. Atlas yang diberi pakan daun sirsak untuk
menyelesaikan sekali daur hidupnya, mulai dari telur sampai imago bertelur lagi
memerlukan waktu 63-82 hari (Awan, 2007).
Telur. Telur dihasilkan oleh imago betina baik yang kawin maupun tidak, tetapi telur yang dapat menetas adalah telur yang telah dibuahi. Imago betina yang tidak
melakukan perkawinan akan menghasilkan telur steril yang tidak menetas menjadi
larva (Awan, 2007). Telur yang dibuahi (fertil) berwarna cokelat gelap, sedangkan
telur yang tidak dibuahi (infertil) berwarna kuning pucat (Mulyani, 2008). Ukuran
telur dari ngengat A. atlas yaitu panjang 2,7 mm, lebar 2,3 mm dan tinggi 2,1 mm
(Peigler, 1989); berbentuk oval, agak pipih dan hampir selalu ditutupi cairan agak
kental berwarna merah kecokelatan yang disekresikan oleh ngengat betina agar telur
melekat pada substrat (Mulyani, 2008) dengan masa inkubasi telur antara 7-13 hari
(Adria dan Idris, 1997).
Larva. Larva A. atlas melalui 6 tahapan instar, dimana pada setiap instar, ciri-ciri, ukuran dan tingkah laku larva berbeda sesuai dengan pertumbuhan dan
perkembangan larva. Pergantian masa instar ditandai dengan pergantian kulit
(molting) pada larva instar pertama sampai instar keenam (Awan, 2007). Larva instar
pertama dimulai saat larva menetas dari telur dan memiliki ciri-ciri kepala dan badan
berwarna hitam dan seluruh tubuh berbulu kuning yang tumbuh tegak kecuali bulu
pada bagian punggung berupa duri halus berwarna coklat kehitaman (Nazar, 1990).
Larva instar kedua memiliki kepala yang berwarna coklat tua, kaki berwarna hitam,
badan ditutupi oleh serbuk putih, bagian tubuh samping memiliki tanda berwarna
jingga pada bagian metathoraks di segmen 8-10, tanda ini akan ada sampai instar
kekuningan dan tubuhnya ditutupi oleh tepung putih. Instar lima dan enam memiliki
ciri-ciri kepala dan tubuh yang berkilau warna hijau terang (Peigler, 1989), terdapat
tonjolan-tonjolan seperti bulu kasar yang jarang pada beberapa ruas abdomen (Nazar,
1990) dan panjang segmen badan bisa mencapai ± 15 cm (Pracaya, 2005).
Gambar 1. Siklus Hidup Attacus atlas
Sumber: Koleksi pribadi
Pupa. Kokon terbentuk saat instar keenam mulai mengeluarkan cairan sutera yang ukurannya disesuaikan dengan ukuran tubuhnya. Cairan sutera yang dikeluarkan oleh
instar enam berfungsi sebagai alat untuk melekatkan kokon pada daun atau ranting.
Larva akan meneruskan pembuatan kokon sampai sempurna, biasanya daun dilipat di
bagian ujung atau tepi daun kemudian dihubungkan dengan serat-serat sutera
sehingga akan terbentuk suatu rongga tempat pupa. Bagian kokon yang menghadap
Telur Larva Instar
Larva Instar II
Larva Instar III
Larva Instar IV Larva Instar V
Pupa Imago
ke atas biasanya terdapat lubang sebagai tempat keluar imago. Posisi larva sebelum
berubah menjadi pupa biasanya dengan kepala di bagian atas, posisi ini akan
menguntungkan ketika imago keluar dari kokon. Pupa telah sempurna apabila isi
kokon bergeser jika digoyangkan dan terdapat rongga antar isi kokon dengan kokon,
sedangkan apabila kokon tidak dapat bergeser berarti isi di dalam kokon masih
berbentuk larva (Awan, 2007).
Imago. Setelah masa pupasi berakhir, biasanya pada siang hari imago A. atlas akan muncul dari kokon. Imago yang muncul umurnya pendek, tidak makan, dan biasanya
istirahat pada siang hari (Peigler, 1989). Ngengat ulat sutera merupakan hewan yang
cenderung aktif pada malam hari atau biasa disebut nokturnal (Beck, 1980). Ngengat
jantan memiliki sayap dengan ujung yang lebih runcing dan panjang antenanya 23-30
mm serta lebar 10-13 mm; betina memiliki panjang antena 17-21 mm dan lebar 3
mm. Imago A. atlas memiliki umur yang singkat, imago jantan berumur 2-4 hari
sedangkan imago betina berumur 2-10 hari (Peigler, 1989; Awan, 2007). Imago
betina yang telah kawin akan bertelur setelah beberapa jam dan akan menghasilkan
telur sebanyak 100 sampai 360 butir (Awan, 2007).
Keistimewaan Sutera
Sutera merupakan serat yang istimewa. Tujuan asli dari pembentukan sutera
pada kokon di alam liar adalah untuk melindungi pupa dari gangguan alam dan
predator selama proses metamorfosis menjadi ngengat. Sutera diproduksi dalam
sebuah kelenjar di kepala ulat, dikeluarkan dan dibentuk dengan pola angka delapan
yang diulangi ribuan kali pada seluruh kokon (Cook, 2005). Secara umum, sutera
tersusun dari dua jenis protein: fibroin dan serisin. Fibroin adalah inti dari filamen
sutera, sedangkan serisin adalah protein berupa perekat yang mengelilingi serat dan
menyatukannya menjadi kulit kokon (Nogueira et al., 2010). Serisin pada sutera liar
sebagian besar terikat dengan tanin, zat warna, lilin, dan lain-lain (Kato et al., 1997).
Serisin terdapat pada lapisan luar filamen yang merekatkan filamen satu dengan yang
lain membentuk dinding (Rukaesih, 1990). Fibroin dan serisin merupakan
serangkaian asam-asam amino yang terdiri atas: glisin, alanin, lisin, asam aspartat,
asam glutamat, serin, prolin, oksiprolin, tirosin, dan fenilalanin (JOVC, 1975).
Sutera yang telah diolah menjadi bentuk produk tekstil memiliki beberapa
keistimewaan kain sutera antara lain: ringan, kepadatan sutera relatif lebih ringan
jika dibandingkan dengan wool atau katun; tidak mudah kusut, karena sifat sutera
yang liat dan elastis; mempunyai daya menahan panas dan meresap air, karena sifat
inilah maka bila kita memakai bahan sutera akan merasa hangat pada suhu dingin
dan sejuk pada waktu panas; daya menahan warna kuat sehingga warna tidak cepat
pudar; seperti wool jika sutera kontak dengan api tidak akan menjalarkan api, sutera
akan hangus dan mengkerut tidak mudah menimbulkan kebakaran (P3H, 1992).
Indonesia memiliki 5 jenis ulat sutera liar, antara lain: A. atlas, Samia cynthia
ricini, Cricula alaezea, Cricula trifenestrata, dan Antherae pernyi yang semuanya
termasuk dalam familia Saturniidae. Kekayaan ini belum banyak dimanfaatkan dan
didayagunakan secara maksimal untuk industri tekstil Indonesia (Situmorang, 1996).
Menurut Akai (1997), ulat sutera liar seperti A. atlas dan S.c. ricini menghasilkan
jenis sutera yang berbeda dengan sutera B. mori. Sifat yang dimiliki serat sutera liar
jauh lebih lembut, tahan panas, dan anti bakteri. Keunggulan lainnya adalah adanya
macam sutera yang bervariasi, filamen kokon banyak yang mengandung pori dan
tidak menyebabkan alergi bagi pemakainya. Kelebihan serat sutera yang dihasilkan
dari kokon A. atlas menurut Gusa et al. (2002) memiliki warna yang beragam dari
cokelat tua, cokelat keputihan dan cokelat kehitaman. Keragaman warna serat sutera,
dapat menambah kekayaan warna alami dan tidak perlu dilakukan pewarnaan.
Karakter Kokon dan Serat Sutera
Hasil akhir dari proses pemeliharaan ulat sutera adalah kokon. Kokon inilah
yang akan diproses lebih lanjut untuk menjadi benang dan kain. Kualitas dari produk
tersebut ditentukan oleh beberapa faktor yang saling terkait dan yang paling
menentukan kualitas produk adalah kokon itu sendiri. Kokon yang berkualitas baik
ditentukan oleh beberapa faktor antara lain bibit ulat sutera, teknik pemeliharaan,
temperatur, kelembaban, dan proses pengokonan (Sampe, 1991).
Kokon diselimuti filamen sutera yang kusut, yang disebut cocoon floss
(serabut serat). Di bawahnya terdapat lapisan sutera, atau cocoon shell (kulit kokon),
yang terdiri dari lapisan filamen, yang didalamnya terdapat pupa dan kulit ulat sutera
yang sudah lepas. Makin berat kulit kokon, makin besar kandungan suteranya. Hal
ini bervariasi, sesuai dengan varietas ulat, dan kondisi pemeliharaan dan pengokonan
A B
Gambar 2. Kokon (A) Kokon Mentah; (B) Kulit Kokon
Sumber: Koleksi pribadi
Syarat kokon yang baik menurut Samsijah dan Andadari (1995) adalah sehat
(tidak cacat), bersih, bagian dalamnya (pupa) tidak hancur, bagian kulit kokon keras
dan terbukti kalau ditekan sedikit berat sedangkan kokon berkualitas rendah adalah
kokon rangkap, kokon berlubang, kokon kotor di bagian dalam, kotor di bagian luar,
kulit kokon tipis, kokon berbentuk aneh, kokon berbulu, kulit kokon berlapis dan
kokon berlekuk. Kokon yang terbentuk sempurna menurut Awan (2007) berbentuk
elips, ujungnya membulat, dan pada ujung anteriornya terdapat celah. Kokon
berwarna coklat keemasan, kokon yang baru terbentuk masih agak lemah dan agak
basah, oleh pengaruh sinar matahari dan gerakan angin, lama kelamaan akan lebih
kuat dan lebih kering.
Beberapa karakter sutera yang penting untuk penilaian kualitasnya, antara
lain adalah karakter kokon dan karakter seratnya. Berat kokon merupakan karakter
kokon yang paling penting secara komersial. Hal ini disebabkan karena penjualan
kokon di pasaran berdasarkan beratnya. Semakin berat kokon yang dihasilkan maka
semakin bagus kualitas kokon yang dihasilkan (Lee, 1999).
Pembentukan lapisan filamen kokon B. mori terdiri dari 75% fibroin dan 25%
serisin. Selebihnya mengandung sedikit malam, lemak, karbohidrat, abu, dan zat
warna. Fibroin dan serisin seluruhnya terbentuk dari protein murni yang mengandung
berbagai macam asam amino. Namun fibroin tidak larut di dalam air, karena struktur
molekul yang longgar dan kaya akan asam amino yang hidrofobik. Fibroin
merupakan bagian utama filamen, sedang serisin merupakan pelindung yang
Filamen sutera yang dihasilkan tentunya diharapkan memenuhi mutu standar.
Berat filamen kokon yang diurai dari satu kokon tunggal, proporsional dengan berat
kulit kokon, tetapi berbeda sesuai daya urainya. Beratnya berkisar antara 30-45
centigram dan 80-90 % dari berat kulit kokon (Atmosoedarjo etal., 2000).
Filamen kokon Bombyx mori terdiri dari sepasang serat yang dikeluarkan
oleh larvanya. Rata-rata filamen B. mori berukuran sekitar 2-3 denier yang setara
dengan ketebalan sekitar 20-30 mikron dan struktur bagian dalam padat. Serat sutera
liar ukurannya 2-3 kali lebih tebal dari serat sutera mori. Serat sutera liar memiliki
keragaman ukuran dan diameter yang tinggi dan menunjukkan penampang melintang
yang seragam. Terdapat banyak jenis sutera liar yang tidak seperti sutera mori,
ketebalan filamen kokonnya sangat beragam, memiliki penampang melintang
filamen yang sama dan ukuran struktur yang bervariasi. Sutera liar berbeda dengan
sutera mori dalam hal sifat sutera, kemampuan menyerap kelembaban, sifat insulasi
panas, hand feel dan lain-lain. Sehingga, serat sutera liar menunjukkan materi serat
dengan banyak potensi aplikasi selain sebagai penggunaannya dalam busana gaya
barat (Kato et al., 1997). Ukuran atau ketebalan filamen kokon A. atlas yang
diperkirakan dari mikrograf SEM dalam Kato et al. (1997) adalah sekitar 30 µm.
Ukuran kehalusan filamen dinyatakan dengan satuan denier (d). Apabila
panjang serat 9000 meter dengan berat 1 g, maka kehalusan filamen adalah satu
denier. Ukuran kehalusan filamen kokon B. mori berkisar antara 2,5-3,5 denier.
Kehalusan filamen sutera dipengaruhi beberapa faktor: (1) suhu dan kelembaban:
filamen mempunyai tendensi ukuran denier yang tinggi (lebih besar seratnya) apabila
ulatnya dipelihara selama instar I dan II, dengan suhu dan kelembaban udara yang
tinggi. Selain itu, suhu yang tinggi pada waktu pengokonan ulat yang belum dewasa,
membuat denier filamennya rendah; (2) musim pemeliharaan: pemeliharaan ulat
sutera pada musim semi di Jepang menghasilkan denier filamen lebih besar daripada
pada pemeliharaan musim gugur; (3) pakan dan kepadatan populasi: pemberian
pakan dengan daun yang lunak dan pemeliharaan yang jarang, akan menghasilkan
filamen yang lebih besar dibandingkan dengan pada pemeliharaan yang lebih padat;
(4) ukuran larva: ulat yang bertubuh besar cenderung menghasilkan pola denier yang
Berdasarkan fenomena di atas dapat ditarik kesimpulan, bahwa faktor
lingkungan yang menunjang kesehatan ulat, akan menghasilkan denier yang lebih
tinggi (lebih tebal). Ukuran filamen berbeda sesuai dengan bagian dari kokon,
lazimnya lebih besar pada lapisan luar dibanding dengan lapisan dalam kulit kokon.
Kokon dengan deviasi di antara lapisan-lapisan kulit kokon akan sangat
menguntungkan proses reeling (Atmosoedarjo etal., 2000).
Gusa et al. (2002) menyatakan pada pengembangan industri serat sutera perlu
dilakukan pengkajian tentang berbagai hal, termasuk pengujian terhadap kualitas
serat yang meliputi kumuluran, beban putus, kekuatan tarik dan kehalusan serat serta
pengamatan foto morfologi serat dengan menggunakan mikroskop elektron. Karakter
serat yang digunakan dalam menilai kualitas sutera antara lain adalah kekuatan serat
dan daya serap terhadap kelembaban. Pustaka dari Prachayawarakorn dan
Klairatsamee (2005) menyataan kekuatan serat dan daya serap terhadap kelembaban
merupakan parameter penting dalam penilaian karakter dan kenampakan serat secara
fungsional, seperti: pemeliharaan, kenyamanan dan penanganannya.
Penyimpanan Kokon
Pengeringan dilakukan pada kokon Bombyx mori sebelum pengolahan kokon
dilaksanakan. Selain untuk mematikan pupa di dalam kokon agar kokon tidak rusak,
pengeringan juga dilakukan agar kokon kering serta dapat disimpan lama dalam
jangka waktu 6-12 bulan sebelum diolah (Cahyadi, 2008). Berbeda dengan pustaka
LPE Al Syura (2003), setelah kokon dikeringkan, kokon dapat bertahan dengan
kualitas baik paling lama sekitar 1 bulan. Kokon yang tidak dikeringkan hanya
mampu bertahan disimpan selama 1 minggu saja. Menurut hasil penelitian Kaomini
dan Bertha (1988) dalam Samsijah dan Lincah Andadari (1992) menyatakan bahwa
penyimpanan kokon dalam ruangan yang mempunyai kelembaban 65-75% selama
4-6 minggu akan mnurunkan daya gulung, akan tetapi tidak mempengaruhi
persentase benang. Bahkan BGI (2010) menjelaskan bahwa kokon yang sudah
disortasi dan dibersihkan dari floss dimasukkan dalam bag yang disesuaikan masa
panennya, karena maksimum 6 hari setelah panen, kokon harus direbus dan
Pemasakan Kokon
Pemasakan kokon dapat dilakukan dengan beberapa metode. Pemasakan
kokon dilakukan untuk memudahkan penguraian dan penggunaan fibroin setelah
pelepasan serisin yang merekatkan filamen. Serisin merupakan protein yang tidak
larut dalam air dingin, tetapi menjadi lunak dan larut dalam alkali lemah dan sabun.
Sutera dari B. mori biasa dimasak dengan cara direbus atau diuapi saja sebelum
diurai dan dipintal. Kenyataannya serisin pada sutera liar lebih sedikit, namun
bahan-bahan yang perlu dihilangkan tidak hanya serisin, tetapi juga bahan-bahan lainnya seperti
lilin, garam-garam mineral, dan zat warna lain seperti pigmen alam berwarna
kekuningan. (Saleh, 2000).
Degumisasi pada beberapa jenis sutera yang dilakukan dalam penelitian Kato
(2000) dilakukan dalam beberapa tahapan seperti tercantum dalam Tabel 1.
Tabel 1. Metode Degumisasi Kokon Anaphe, Criculatrifenestrata dan A.atlas
Proses Lapisan tengah
Degumisasi Na2CO3 3g/l Na2CO3 4g/l Na2CO3 2g/l Na2CO3 3g/l
4-5 jam 3-4 jam 2 jam 3 jam
pemasakan kokon harus dengan metode yang benar-benar tepat sehingga degumisasi
dapat terjadi dengan sempurna. Degumisasi merupakan proses pelepasan serisin dan
zat lainnya yang merekat pada filamen fibroin (Kato, 2000). Lebih lanjut, Kato
bersuhu sekitar 40oC dan diekstraksi dengan etanol selama lima hari sebelum filamen
dianalisis karakteristiknya. Sampel yang digunakan dalam penelitian tersebut (kokon
Anaphe, C. trifenestrata dan A. atlas) diperlakukan sebagai sutera liar. Pengamatan
di bawah SEM terhadap filamen A. atlas yang didegumisasi dengan metode di atas
menunjukkan struktur permukaan sutera A. atlas sangat halus dikarenakan hampir
seluruh serisin telah dihilangkan pada proses degumisasi.
Metode pemasakan kokon lain yang banyak digunakan seperti dalam
penelitian Awan (2007) menggunakan bahan plot 1:20 (1 gram kokon 20 ml air),
sabun netral 15-20 g/l, soda kaustik (NaOH) 2 cc/l, dengan suhu sampai mendidih
dalam waktu 1 jam. Selesai proses pemasakan, kokon dikeluarkan untuk dicuci
secara bertahap, yaitu dengan air panas, air hangat kemudian dengan air dingin,
selanjutnya kokon tersebut disimpan di atas saringan untuk diperas. Setelah proses
pemerasan, barulah kokon diurai satu persatu menggunakan handspun.
Tanaman Sirsak
Sirsak (Annona muricata L.) disebut juga nangka belanda atau nangka
seberang, merupakan tanaman buah-buahan tropis dari famili Annonaceae, yang
dicirikan dengan bau yang tidak sedap dari daunnya. Di Indonesia hanya dikenal dua
jenis yaitu sirsak manis dan sirsak asam yang secara morfologis susah dibedakan
(Radi, 1997).
Habitat pohon sirsak di kawasan beriklim tropis yang hangat dan lembab,
pada ketinggian sampai 1000 m dpl. Tumbuh pada semua jenis tanah yang gembur
dan sedikit asam dan tidak tahan terhadap genangan. Musim berbunga dan berbuah
sirsak sepanjang tahun (LIPI, 2000)
Daun sirsak merupakan daun tunggal, berbentuk bulat telur dengan panjang
8-16 cm dan lebar 3-7 cm (LIPI, 2000). Daun sirsak berbentuk bulat panjang dengan
ujung runcing, warna daun bagian atas hijau tua, sedangkan bagian bawah hijau
kekuningan. Daun sirsak tebal dan agak kaku dengan urat daun tegak pada urat daun
utama. Daun mahkota berwarna hijau muda, jumlahnya enam helai yang terbagi
dalam dua lapis, tiga daun mahkota lingkaran dalam ukurannya lebih kecil. Bila
Rata-rata kandungan nutrisi daun sirsak disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Rata-rata Kandungan Nutrien pada Daun Sirsak
Nutrien Kandungan (%)
Air 65,46
Protein 6,59
Lemak 1,24
Karbohidrat 8,80
Abu 1,08
METODE Lokasi dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan selama empat bulan (November 2010-Februari
2011) dengan tahapan sebagai berikut: November 2010 persiapan penelitian,
Desember 2010 sampai Februari 2011 pelaksanaan penelitian. Penelitian dilakukan
di Kandang Pemeliharaan Ulat Sutera Liar A. atlas Kandang Blok C dan
Laboratorium Non Ruminansia dan Satwa Harapan (NRSH), Departemen Ilmu
Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor,
Bogor.
Materi
Materi penelitian yang digunakan adalah 12 kokon ulat sutera liar A. atlas
berkualitas baik yang dipilih secara acak dari 31 kokon di Kandang Pemeliharaan
Ulat Sutera Liar A. atlas Kandang Blok C Bagian Non Ruminansia dan Satwa
Harapan (NRSH), Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas
Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Bahan tambahan yang digunakan berupa serbuk
Na2CO3, etanol 96% dan air.
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 12 buah kotak plastik
berukuran 30 x 30 x 30 cm3, timbangan digital merk ADAM (kapasitas 200 g dengan
ketelitian 0.01 g), termohigrometer (pengukur suhu dan kelembaban ruangan), 12
kotak plastik kedap air dengan volume 350 ml, panci, kompor, gelas ukur,
termometer, penggulung manual filamen sutera, pipa paralon PVC diameter 5,34 cm,
pita ukur, kamera digital, kertas pencatatan, alat tulis, kantong plastik, dan kertas
kokon melekat dengan cara digunting. Kokon tersebut kemudian dipelihara sampai
menghasilkan generasi selanjutnya (F1) di Kandang Pemeliharaan Ulat Sutera Liar
A. atlas Kandang Blok C Bagian Non Ruminansia dan Satwa Harapan (NRSH).
Larva instar 1-3 dipelihara di dalam kandang dan diberi pakan daun sirsak.
sumber pakan, dan tempat mengokon. Kokon yang sudah berumur tujuh hari
kemudian dipindahkan ke dalam kandang untuk pengamatan dan dibedakan
berdasarkan tanggal pada hari pertama mengokon. Secara keseluruhan terdapat 31
kokon, akan tetapi hanya dipilih 12 kokon yang kualitasnya baik yaitu kokon
tunggal, berkulit keras, tebal, permukaan kompak dan kering, tidak berlubang,
berbentuk bulat lonjong, bersih, dan tidak berbau. Semua kokon disimpan dalam
kotak plastik yang diberikan lubang udara untuk pernafasan pupa. Kokon yang
terpilih ini kemudian dibagi menjadi empat kelompok, masing-masing kelompok
terdiri dari tiga kokon berumur 30, 45, 60, dan 75 hari yang dihitung berdasarkan
hari pertama pengokonan. Pupa dalam kokon tersebut dibiarkan keluar menjadi
ngengat, akan tetapi beberapa pupa yang sampai batas usia pengamatan yang
ditetapkan masih belum bermetamorfosis menjadi ngengat, pupa dikeluarkan dari
kokon melalui lubang anterior kokon.
Tahap Pengumpulan Data
Pengamatan dan pengumpulan data dilakukan pada seluruh kokon A. atlas
yang terpilih. Kelompok kokon yang sudah berusia 30, 45, 60, dan 75 hari
dibersihkan dari floss, pupa, dan sisa pupa di dalam kokon, lalu ditimbang bobot
kulit kokonnya. Kokon kemudian didegumisasi mengikuti metode Kato (2000)
dengan tahapan sebagai berikut: perlakuan pendahuluan berupa pencelupan (dipping)
kokon dalam air hangat bersuhu 40 oC untuk memisahkan kotoran asing dan sisa
pupa dari kokon. Kokon dicelupkan kembali ke dalam air dengan suhu 95-98 oC
untuk mengurangi pigmen yang berasal dari luar filamen. Perebusan kokon dengan
larutan Na2CO3 3 g/l pada suhu 98-100 oC selama tiga jam berfungsi sebagai
degumisasi (penghilangan serisin yang merekatkan filamen sutera A. atlas satu
dengan yang lainnya dalam sebutir kokon). Selama proses perebusan, kokon
diupayakan tidak berdekatan satu sama lain dan tidak dilakukan pengadukan untuk
menghindari terjalinnya filamen-filamen yang berasal dari kokon yang berbeda.
Pencucian dengan air bersuhu 95-98 oC kembali dilakukan setelah kokon direbus
untuk menghilangkan sisa serisin dan larutan Na2CO3 pada kokon. Kokon dicuci
kembali dengan air bersuhu 40 oC untuk mengkondisikan temperatur kokon sebelum
diekstraksi dalam larutan etanol 96% selama lima hari. Ekstraksi kokon dalam
selain fibroin yang mungkin masih tersisa pada fibroin dan menambah kristalinitas
filamen sutera sehingga lebih kuat dan tidak rapuh selama proses penggulungan.
Gambar 3. Alat penggulung manual (hand spun) kokon
Filamen sutera A. atlas yang telah diekstraksi selanjutnya digulung secara
manual dengan alat penggulung sederhana pada sebuah pipa paralon yang sudah
ditimbang bobotnya. Kecepatan putaran penggulungan diupayakan stabil, misalnya
pada kecepatan dua putaran setiap detik. Jumlah setiap putaran pipa dihitung sampai
filamen terputus, kemudian dilakukan penggulungan kembali dengan hitungan
putaran yang kembali dimulai dari satu, demikian seterusnya sampai tersisa
selongsong tipis dari kokon yang sudah tidak dapat diurai. Total seluruh putaran
penggulungan yang dijumlahkan dan kemudian dikalikan dengan keliling pipa dalam
satuan meter merupakan panjang filamen sutera dari sebutir kokon. Filamen yang
telah digulung ditimbang beserta pipa, dan bobot yang dihasilkan dikurangi bobot
pipa, hasil pengurangan inilah yang merupakan bobot filamen sutera. Penghitungan
persentase filamen dilakukan dengan membagi bobot filamen dengan bobot kulit
kokon tanpa floss lalu dikalikan 100%. Ketebalan filamen sutera dihitung dalam
satuan denier dengan cara membagi bobot filamen dengan panjangnya kemudian
dikalikan 9000. Panjang filamen dalam sekali putus diperoleh dengan membagi
Gambar 4. Tahapan Penelitian
Degumisasi kokon dalam larutan Na2CO3 suhu 98-100oC selama 3 jam
Pencucian dengan air panas 95-98 oC; air hangat 40oC
Ekstraksi filamen dalam larutan etanol 96% selama 5 hari Seleksi kokon berkualitas baik (kokon tunggal, bersih, tebal, keras)
Pengelompokan kokon menjadi empat kelompok dan penempatan kokon
Penyimpanan kokon (lama penyimpanan 30, 45, 60, dan 75 hari)
Pembersihan kokon dari sisa pupa dan floss
Pencelupan kokon dengan air hangat 40oC; air panas 95-98 oC
Penirisan kokon dari etanol 96%
Penggulungan filamen dengan penggulung manual
Penghitungan panjang, persentase, ketebalan, dan panjang filamen sekali putus
Penimbangan kulit kokon
Analisis Data
Penelitian ini didesain secara eksploratif karena merupakan penelusuran awal
mengenai performa karakteristik filamen pada usia kokon yang berbeda.
Karakteristik filamen dalam penelitian ini lebih dititikberatkan pada karakteristik
filamen yang diperlukan dalam bidang tekstil karena di Indonesia bidang tersebut
merupakan bidang yang paling banyak menggunakan filamen sutera. Data diolah
menggunakan ukuran pemusatan dan penyebaran data. Sebanyak 12 filamen sutera
yang telah terbagi ke dalam 4 golongan usia kokon berbeda (30, 45, 60, dan 75 hari
yang dihitung dari hari pertama pengokonan) diamati karakteristiknya yang meliputi
panjang filamen, bobot filamen, persentase filamen, ketebalan filamen, dan panjang
filamen setiap kali putus.
Peubah yang diamati dalam karakteristik filamen adalah sebagai berikut:
1. Bobot Kulit Kokon (g)
Kulit kokon adalah kokon yang sudah tidak mengandung floss dan pupa.
Bobot kulit kokon ditimbang menggunakan timbangan digital.
2. Panjang Filamen (m)
Panjang filamen diperoleh dari jumlah penggulungan dari sebutir kokon
dikalikan keliling pipa (5,34 cm) dan dikonversi ke satuan meter.
3. Bobot Filamen (g)
Bobot filamen diperoleh dari pengurangan bobot pipa dan filamen yang
selesai digulung dengan bobot pipa sebelum penggulungan.
4. Persentase Filamen (%)
Persentase filamen dihitung berdasarkan bobot filamen dibagi bobot kulit
kokon kemudian dikalikan 100%.
Persentase filamen (%) = x 100%
5. Tebal Filamen (denier)
Ketebalan filamen (d) merupakan ukuran filamen yang biasanya memiliki
satuan µm, dan dapat dihitung dengan menggunakan satuan denier yang
didapat dengan menggunakan rumus:
Apabila panjang filamen 9000 meter dengan berat 1 gram, maka
kehalusan filamen adalah 1 denier (Atmosoedarjo et al., 2000).
6. Panjang Filamen Sekali Putus (m)
Rataan panjang filamen setiap sekali putus dihitung dengan cara membagi
panjang filamen dengan jumlah putus dari sebutir kokon.
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Lokasi Penelitian
Lokasi pemeliharaan larva, pengokonan, dan pengamatan kokon adalah
Kandang Pemeliharaan Ulat Sutera Liar A. atlas di Kompleks Kandang Blok C.
Lokasi pengolahan kokon sendiri dilakukan di Laboratorium Non Ruminansia dan
Satwa Harapan (NRSH), Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan,
Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Kokon disimpan dalam box
plastik untuk melindungi kokon dari pengaruh udara, parasit, dan mikroorganisme
secara langsung selama penelitian.
Gambar 5. Kandang Pemeliharaan Ulat Sutera Liar A. atlas di Komplek Kandang C
Konstruksi bangunan di atas sebagian besar merupakan kisi-kisi dari kawat
dengan bagian bawah dinding terbuat dari tembok yang memungkinkan sirkulasi
udara berjalan dengan sangat lancar. Rata-rata suhu dan kelembaban selama
penelitian dari bulan November 2010 sampai Januari 2011 berturut-turut adalah 25,9
o
C dan 85% , 25,5 oC dan 83% , dan 25,4 oC dengan kelembaban 83%. Kisaran suhu
selama penelitian ini yaitu 22,8 oC (Januari 2011) hingga 31,6 oC (November 2010),
sedangkan kisaran kelembaban relatif sebesar 71% (Desember 2010) hingga 95%
(November 2010).
Kisaran suhu ini melewati batas nyaman larva A. atlas seperti dinyatakan oleh
Awan (2007) yang menyatakan bahwa suhu nyaman ulat berada pada kisaran 20-30
ºC. Namun apabila suhu lebih tinggi dari 30 ºC atau kurang dari 20 ºC dapat
menyebabkan mortalitas yang tinggi karena terganggunya proses fisiologis dan
berada di luar batas nyaman untuk larva A. atlas sesuai dengan pendapat Veda et al.
(1997) yang menyatakan bahwa kelembaban yang baik untuk larva instar I dan II
berkisar 80%-95% sedangkan untuk larva instar III, IV dan V adalah 70%. Kisaran
suhu dan kelembaban di luar batas nyaman selama penelitian ini terbukti
menyebabkan mortalitas larva yang tinggi selama masa persiapan penelitian. Larva
yang dapat bertahan hidup sampai membentuk kokon hanya mencapai 31 ekor dari
ratusan larva instar I yang dipelihara. Kelembaban udara juga mempengaruhi
karakteristik filamen sutera, Atmosoedarjo et al. (2000) menyatakan bahwa
kelembaban yang terlalu tinggi atau terlalu rendah dapat mengakibatkan filamen
sutera terputus-putus.
Performa Filamen
Sampel penelitian berupa 12 gulung filamen dari kokon A. atlas dengan usia
berbeda ditunjukkan pada Gambar 6.
Gambar 6. Filamen dari Kokon dengan Empat Usia yang Berbeda. (A) 30 Hari, (B) 45 Hari, (C) 60 Hari, dan (D) 75 Hari
(A) (B)
Gambar 6 menunjukkan warna dari gulungan filamen yang bervariasi dari
cokelat terang sampai cokelat kehitaman yang berkilau keemasan. Warna filamen
menurut Saleh (2000) merupakan pigmen alami yang diproduksi oleh larva A. atlas
pada saat pengokonan. Variasi warna yang dihasilkan dipengaruhi oleh beberapa hal,
yaitu kandungan nutrien pakan, kondisi fisiologis, dan genetik dari masing-masing
larva (Awan, 2007). Selain itu, belum didomestikasinya ulat sutera ini turut
mempengaruhi tidak seragamnya warna filamen.
Tidak ditemukan kecenderungan peningkatan atau penurunan tonase warna
filamen yang beraturan seiring bertambahnya usia kokon seperti tampak pada
Gambar 6. Akan tetapi, intensitas warna filamen pada usia kokon 75 hari tampak
lebih pudar dibandingkan dengan warna filamen pada usia kokon lainnya. Hal ini
dapat disebabkan oleh warna awal kokon yang memang lebih pudar dan pertambahan
usia kokon. Sebagai perbandingan, dalam Gambar 7 ditampilkan gambar kokon
berusia satu minggu dan kokon yang berusia 75 hari.
(A)
(A) (B)
Gambar 7. Kokon mentah sebelum didegumisasi: (A) Kokon segar usia satu minggu,
(B) Kokon usia 75 hari.
Kokon yang usianya lebih tinggi tampak lebih kering, permukaan floss sangat
berkerut dan berwarna pucat dibandingkan dengan kokon yang usianya lebih muda.
Hal ini dapat disebabkan oleh berkurangnya kandungan air selama pertambahan usia
kokon yang boleh jadi mempengaruhi pigmentasi kokon dan filamen. Kontak udara
yang lebih lama sedikit demi sedikit dapat menguapkan kandungan air kokon,
apalagi didukung data suhu selama penelitian yang menunjukkan seiring
pertambahan usia kokon, kelembaban udara semakin kering yang diduga turut
untuk mengetahui apakah warna yang lebih terang ini benar-benar dipengaruhi usia
kokon yang lebih lama tersebut.
Permukaan filamen yang telah digulung sangat halus saat disentuh (hand
feel). Hasil ini sesuai pernyataan Kato (2000) bahwa setelah melalui proses
degumisasi menggunakan larutan Na2CO3 3g/l dan ekstraksi menggunakan etanol
pada waktu dan suhu yang ditetapkan, permukaan filamen A. atlas sangat halus
karena hampir seluruh serisin dan zat lainnya telah hilang dari filamen. Serisin yang
merupakan gum (perekat) antar filamen dalam kokon dan zat lainnya jika tertinggal
pada filamen akan meninggalkan tekstur yang tidak halus setelah degumisasi.
Bobot Kulit Kokon
Kulit kokon merupakan bagian kokon yang telah dipisahkan dari floss dan
pupa. Kulit kokon inilah yang diolah dan diurai menjadi filamen sutera.
Penimbangan kulit kokon dilakukan untuk mengetahui bobot kokon yang telah
terbentuk sempurna dan dapat diurai sebelum dimasak dan digulung. Bobot kulit
kokon dapat digunakan untuk menentukan kualitas kokon yang dihasilkan, karena
menurut Lee (1999) berat kokon merupakan karakter kokon yang paling penting
secara komersial. Hal ini dikarenakan penjualan kokon didasarkan pada beratnya,
semakin berat bobot kokon yang dihasilkan maka semakin bagus kualitas kokon.
Kokon yang bobotnya tinggi cenderung menghasilkan filamen atau benang sutera
yang lebih panjang dan tebal.
Rata-rata bobot kulit kokon yang dihasilkan dalam penelitian ini adalah
0,80±0,19 g/kokon. Hasil ini lebih besar dibandingkan dengan bobot kulit kokon
pada penelitian Baskoro (2004) yakni sebesar 0,5±0,2 g/kokon, penelitian Setiorini
(2009) sebesar 0,62±0,35 g/kokon, dan penelitian Erliyani (2011) sebesar 0,46±0,08
g/kokon. Hasil penelitian tersebut menggunakan kokon yang dihasilkan oleh larva
dengan pakan daun teh dan diperoleh dari alam, sedangkan dalam penelitian ini larva
yang dipelihara merupakan keturunan dari larva yang diperoleh di alam, dengan
pakan daun sirsak. Larva dipelihara di kandang pada tiga instar pertama, dan tiga
instar berikutnya dipelihara di pohon sirsak. Bobot kulit kokon generasi F3 hasil
domestikasi Awan (2007) dengan pakan daun sirsak dan teh memiliki rataan sebesar
1,66±0,4 g/kokon. Berdasarkan uraian di atas, faktor yang juga dapat mempengaruhi
lingkungan, domestikasi, ukuran larva, dan kesehatan larva semasa proses
pengokonan berlangsung. Hasil pengamatan terhadap bobot kulit kokon pada usia
kokon yang berbeda disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Bobot Kulit Kokon A. atlas pada Usia Kokon yang Berbeda
Usia Kokon
Tabel 3 memperlihatkan nilai rataan dan keragaman tertinggi terdapat pada
kokon usia 30 hari (24,96%) dan keragaman paling kecil pada kokon dengan kokon
dengan usia 45 hari (14,90%). Keragaman ini dapat disebabkan oleh perbedaan yang
tinggi antar bobot kulit kokon individu pada usia 30 hari dan sebaliknya pada usia 45
hari. Selain itu, diduga terdapat kontribusi yang cukup besar dari kandungan air dan
jumlah serisin dalam kokon yang usianya lebih singkat (30 hari) terhadap nilai
keragaman ini. Hal ini dapat disebabkan oleh aktivitas pupasi yang tidak serentak di
dalam kokon, mengingat dalam penelitian, pupa dibiarkan tetap hidup sampai
bermetamorfosis menjadi imago (ngengat) selama tidak melewati batas usia kokon
yang ditetapkan dalam pengamatan.
Pupa dalam kokon mengalami aktivitas respirasi, dikarenakan selama masa
pupasi, terjadi organogenesis dari larva menjadi pupa dan dari pupa menjadi imago
(ngengat) yang secara otomatis menggunakan banyak energi yang sebagian
dilepaskan berupa uap air. Panas tubuh yang dikeluarkan dari pupa juga dapat
menghasilkan uap air. Uap air ini dapat mempengaruhi bobot kulit kokon
dikarenakan sifat higroskopis kokon terlebih pada usia kokon yang lebih singkat (30
hari) karena pada beberapa kokon masih terdapat pupa yang belum bermetamorfosis
ke fase imago. Sekalipun merupakan masa dormansi, jika pupa dalam kokon
dikeluarkan, pupa yang hidup memberikan respon pergerakan pada bagian
abdominal ketika diberikan stimulus berupa sentuhan. Kerapkali terdengar
Selain aktivitas pupasi, sifat kokon yang higroskopis (menyerap kelembaban
udara sekitar) juga dapat menyebabkan keragaman pada bobot kulit kokon, apalagi
pada kokon dengan usia 30 hari pada bulan November 2010, dengan kelembaban
udara mencapai nilai tertinggi. Kandungan air dalam kokon dapat berasal dari zat
penyusun filamen yang dikeluarkan oleh kelenjar sutera, kandungan air dalam udara
di sekitar kokon yang diserap oleh filamen karena kokon memiliki sifat higroskopis
(menyerap kelembaban) dan aktivitas respirasi pupa yang terdapat di dalam kokon.
Kontak udara yang lebih lama pada kokon yang berusia lebih dari 30 hari
tampaknya sedikit demi sedikit menurunkan kandungan air kokon sehingga bobot
antar kokon bertambah stabil sehingga keragamannya lebih rendah. Selain itu,
permukaan kokon yang berusia lebih lama memiliki penampakan warna yang lebih
pudar dan tampak lebih kering jika dibandingkan dengan kokon yang lebih singkat
usianya. Rata-rata bobot kulit kokon pada usia 60 hari nilainya cukup tinggi (0,87 g)
dengan tingkat keragaman relatif lebih rendah, hal ini juga disebabkan hampir semua
kokon pada masa penyimpanan tersebut berukuran besar dan kulitnya tebal.
Kondisi mikroklimat lingkungan seperti kelembaban yang rendah (udara
terlalu kering) dapat juga membuat filamen lebih kering dan terputus-putus
(Atmosoedarjo et al., 2000) sehingga dapat dikatakan filamen yang kering dapat
mempengaruhi bobot kulit kokon. Kelembaban udara selama penelitian berlangsung
menunjukkan bahwa kelembaban udara terendah terjadi sepanjang bulan Desember
2010 yang bertepatan dengan pertambahan usia kokon 45 hari dan 60 hari. Hal ini
dapat juga menjelaskan rendahnya keragaman bobot kulit kokon pada usia tersebut.
Akan tetapi, keragaman terendah pada usia kokon 45 hari dinilai paling baik
dikarenakan kokon sudah cukup stabil kandungan airnya baik dari dalam filamen
maupun aktivitas respirasi pupa (sebagian besar pupa keluar menjadi imago atau
ngengat pada usia 28-40 hari). Meskipun demikian, usia kokon yang lebih tua jika
diimbangi dengan kondisi tempat peletakan atau penyimpanan kokon yang baik,
minim kontak dengan udara langsung dan pengaruh lainnya, bobot kulit kokon dapat
terjaga kestabilannya.
Panjang Filamen
Panjang filamen menunjukkan banyaknya filamen yang dapat diurai dari
dihasilkan berhubungan dengan tingkat kemudahan penguraian filamen dari kokon.
Tingkat kemudahan penguraian filamen yang tinggi menghasilkan filamen yang
lebih panjang. Asumsi dugaan awal ialah seiring pertambahan usia kokon terjadi
penurunan tingkat kemudahan penguraian filamen sehingga panjang filamen yang
dihasilkan semakin rendah sesuai dengan bobot kulit kokonnya.
Panjang filamen yang dihasilkan dalam penelitian ini memiliki rataan sebesar
798,47±189,99 m/kokon dengan panjang filamen minimum sebesar 398,15 m/kokon
dan panjang filamen maksimum sebesar 989,07 m/kokon. Hasil ini jauh lebih pendek
dibandingkan panjang filamen sutera A. atlas yang diperoleh dengan alat pintal
modern yang dinyatakan oleh Saleh (2000) dapat mencapai 2500 meter, sedangkan
panjang filamen sutera B. mori memiliki panjang filamen antara 1500-2000 meter.
Panjang filamen dalam penelitian ini (798,47±189,99 m/kokon) berkali lipat
lebih tinggi dari hasil penelitian Awan (2007) 83,61 m/kokon, Erliyani (2011) 159,08
m/kokon, dan Aini (2009) 293-413,8 m/kokon. Perbedaan panjang filamen yang
sangat besar diantara beberapa hasil penelitian tersebut dapat dipengaruhi oleh
perbedaan jenis dan kualitas pakan, kondisi pemeliharaan larva, ukuran dan bobot
kokon, metode penggulungan filamen, dan perlakuan penelitian termasuk metode
dan bahan degumisasi kokon yang mempengaruhi tingkat kemudahan penguraian
filamen. Cara dan bahan degumisasi kokon yang berbeda dapat menghasilkan tingkat
degumisasi serisin pada kokon A. atlas yang berbeda pula. Serisin pada sutera liar
sebagian besar terikat dengan tanin, zat warna, lilin, dan lain-lain (Kato et al., 1997),
sehingga diperlukan metode yang tepat untuk melepaskan serisin yang menyatukan
filamen satu sama lain dengan menyeluruh sehingga lebih banyak filamen yang dapat
diurai.
Degumisasi filamen sutera dalam penelitian ini menggunakan metode Kato
(2000) dinilai menghasilkan filamen yang lebih baik tingkat degumisasinya jika
dibandingkan dengan filamen yang didegumisasi dengan sabun dan NaOH seperti
dalam Erliyani (2011) baik dari tingkat kehalusan (tekstur), hand feel dan kilau
warna filamen. Panjang filamen sutera A. atlas pada usia kokon yang berbeda
Tabel 4. Panjang Filamen A. atlas pada Usia Kokon yang Berbeda
Berdasarkan Tabel 4, koefisien keragaman panjang filamen terendah terdapat
pada kokon dengan usia 60 hari (11,87 %) dan tertinggi pada kokon dengan usia 75
hari (33,53 %). Keragaman pada panjang filamen dapat disebabkan oleh keragaman
pada individu dan kemudahan penguraian kokon menjadi filamen.Tentu saja belum
dilakukannya proses domestikasi yang ketat juga berperan besar dalam tingginya
keragaman tersebut. Apabila ditinjau secara khusus pada kemudahan penguraian
filamen berdasarkan usia kokon yang berbeda-beda, maka berdasarkan nilai
koefisien keragamannya kokon yang berusia 60 hari (11,87%) dan 45 hari (13,55%)
menunjukkan performa terbaik dalam kaitannya dengan variabel panjang filamen.
Penguraian filamen yang lebih mudah sampai lapisan paling dalam
menghasilkan panjang filamen yang lebih besar dan sebaliknya. Jika diulas terkait
dengan bobot kulit kokon, sepintas tampak panjang filamen ini tidak memperlihatkan
hubungan yang berbanding lurus dengan bobot kulit kokon khususnya terlihat pada
bobot kulit kokon usia 30 hari pada Tabel 3 dan panjang filamen dari kokon usia 30
hari pada Tabel 4. Hal ini dapat disebabkan oleh kandungan air yang berbeda-beda
dan masih fluktuatif antar kokon karena berbagai faktor sebagaimana telah diulas
dalam peubah sebelumnya yang dapat mempengaruhi bobot kulit kokon. Hal inilah
yang mendasari pentingnya pengeringan kokon sebelum dikomersilkan agar
diperoleh bobot kokon yang seragam kandungan airnya sehingga penjelasan
keragaman dapat dinyatakan lebih terkendali. Pengeringan kokon tidak dilakukan
dalam penelitian ini untuk menjaga kelangsungan siklus reproduksi A. atlas.
Dapat dikatakan bahwa semakin bertambah usia kokon (di atas 30 hari),
dipengaruhi oleh aktivitas respirasi pupa lebih stabil sehingga pengukuran beberapa
variabel menunjukkan hubungan yang lebih konsisten. Selain itu, kontak udara yang
lebih lama seiring pertambahan usia kokon tampaknya turut berperan dalam
penurunan kandungan air kokon. Terbukti nilai panjang filamen usia kokon lainnya
(45, 60, dan 75 hari) merepresentasikan panjang filamen yang berbanding lurus
dengan nilai bobot kulit kokon masing-masing secara konsisten.
Bobot Filamen
Bobot filamen diperoleh dari penimbangan filamen yang telah digulung.
Bobot filamen berhubungan dengan panjang filamen, menurut Atmosoedarjo et al.,
(2000) semakin panjang filamen, semakin besar bobot filamen sebagaimana halnya
semakin besar bobot kulit kokon semakin besar pula bobot filamen. Dengan
demikian, secara tidak langsung bobot filamen juga berkaitan dengan tingkat
kemudahan penguraian filamen. Bobot filamen dalam penelitian ini memiliki rataan
sebesar 0,4±0,14 g dengan nilai minimum 0,18 g dan nilai maksimum 0,69 g.
Rata-rata bobot filamen ini lebih besar dibandingkan dengan hasil penelitian Erliyani
(2011) dengan bobot filamen 0,06 g dan Aini (2009) dengan bobot filamen
0,2486-0,3724 g. Merujuk pustaka Atmosoedarjo et al. (2000), bobot filamen ideal yang
telah distandarisasi pada B. mori adalah 30-45 centigram (0,30-0,45 g). Hal ini
mengindikasikan bobot filamen A. atlas dalam penelitian ini cukup besar dan
memiliki potensi tinggi untuk ditingkatkan misalnya melalui seleksi dan domestikasi.
Rata-rata bobot filamen pada usia kokon yang berbeda ditunjukkan pada Tabel 5.
Tabel 5. Bobot Filamen A. atlas pada Usia Kokon yang Berbeda
Usia Kokon
Tabel 5 menunjukkan koefisien keragaman bobot filamen tertinggi terdapat
usia 45 hari (22,48 %). Keragaman bobot filamen dapat disebabkan oleh perbedaan
jumlah fibroin dan serisin pada kokon selain bobot kulit kokon awal. Perbedaan
jumlah serisin dan zat lainnya yang dipisahkan dari fibroin masing-masing kokon
saat degumisasi berperan besar karena filamen tersusun dari komponen utama berupa
fibroin. Semakin banyak kandungan serisin dan zat lain yang terpisah dari fibroin,
semakin besar selisih antara bobot kulit kokon dan bobot filamen.
Bobot filamen idealnya berbanding lurus dengan bobot kulit kokon dan
panjang filamen. Akan tetapi dalam penelitian ini, bobot filamen yang tinggi tidak
selalu menunjukkan panjang filamen yang lebih tinggi pula. Sebagaimana halnya
dengan bobot kokon, bobot filamen juga berkaitan dengan ketebalan filamen yang
dihasilkan. Hal yang juga dapat menyebabkan perbedaan ini adalah perbedaan
kandungan air dan jumlah serisin dan zat lainnya yang dipisahkan dari fibroin
masing-masing kokon saat degumisasi, karena filamen tersusun dari komponen
utama berupa fibroin. Semakin banyak kandungan serisin dan zat lain yang terpisah
dari fibroin, semakin besar selisih antara bobot kulit kokon dan bobot filamen.
Atmosoedarjo et al. (2000) menyatakan bahwa semakin besar bobot kokon, semakin
besar pula panjang dan bobot filamen. Hal itu berlaku untuk kokon B. mori yang
telah didomestikasi sehingga memiliki keseragaman ukuran filamen yang tinggi dan
sudah memiliki standarisasi. Kokon A. atlas termasuk ke dalam jenis sutera liar yang
belum didomestikasi sehingga memiliki keragaman yang tinggi dalam banyak hal
termasuk ketebalan filamen sesuai pernyataan Kato et al. (1997).
Persentase Filamen
Persentase filamen menunjukkan perbandingan jumlah filamen yang
dihasilkan dari sebuah kulit kokon. Selisih antara bobot filamen dengan bobot kulit
kokon merupakan kandungan air kokon, serisin, mineral, dan zat-zat organik lainnya
yang terdapat pada kokon dan terpisah dari fibroin pada proses degumisasi. Usia
kokon diduga berpengaruh terhadap bobot kulit kokon dan bobot filamen yang
merupakan variabel penentu persentase filamen. Nilai persentase filamen sangat
bermanfaat dalam dunia tekstil dikarenakan dengan nilai tersebut dapat diketahui
kelayakan kokon untuk dijadikan sumber benang. Semakin tinggi persentase filamen,
jumlah atau panjang benang yang dapat dihasilkan dari sebuah kokon semakin besar.
hasil penelitian ini terkait karakteristik filamen sesuai perbedaan usia kokon.
Persentase filamen A. atlas pada usia kokon yang berbeda ditunjukkan pada Tabel 5.
Tabel 5. Persentase Filamen A. atlas pada Usia Kokon yang Berbeda
Usia Kokon
Rata-rata persentase filamen adalah 50,05±11,56 %, dengan koefisien
keragaman persentase filamen tertinggi pada kokon dengan masa penyimpanan 30
hari (24,35%) dan terendah pada kokon dengan masa penyimpanan 45 hari (15,40 %)
dalam Tabel 5. Secara keseluruhan, persentase filamen dalam penelitian ini lebih
besar dari persentase filamen hasil penelitian Erliyani (2011) yakni 13,38 %.
Menurut Atmosoedarjo et al. (2000) bobot filamen kokon B. mori beratnya berkisar
antara 30-45 centigram dan memiliki persentase 80-90 % dari berat kulit kokon.
Persentase filamen A. atlas dalam penelitian ini tidak mencapai angka 80%, tetapi
nilainya berkisar antara 30-74,19 %. Nilai ini sangat bagus mengingat karakter kokon
A. atlas yang termasuk sutera liar yang belum didomestikasi secara ketat dan masih
memiliki keragaman tinggi. Untuk itulah, proses domestikasi berkelanjutan dan
secara ketat perlu dilangsungkan untuk mendapatkan filamen A. atlas berkualitas
tinggi dan seragam.
Apabila dalam kondisi liar A. atlas mampu menghasilkan filamen dengan
persentase yang tinggi, peningkatan persentase filamen melalui proses domestikasi
memiliki peluang besar. Nilai persentase filamen sangat bergantung pada bobot
kokon dan bobot filamen. Persentase filamen berbanding lurus dengan bobot filamen
dan berbanding terbalik dengan bobot kulit kokon. Persentase filamen yang tinggi
lebih menguntungkan daripada persentase filamen yang rendah. Tingginya
persentase filamen juga menandakan jumlah serisin dan jumlah filamen yang tidak