• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Biologi Attacus atlas

Ulat sutera liar Attacus atlas adalah salah satu serangga yang berukuran besar dan banyak ditemukan di wilayah Asia (Peigler, 1989). A. atlas memiliki tahapan metamorfosis sempurna yang terdiri dari telur (embrio), larva, pupa, dan tahap dewasa (Chapman, 1971). Secara ilmiah, klasifikasi A. atlas menurut Triplehorn dan Johnson (2005) adalah sebagai berikut:

Kelas : Heksapoda (Insecta) Ordo : Lepidoptera

Super familia : Bombycoidea Familia : Saturniidae Genus : Attacus

Spesies : Attacus atlas

Attacus atlas dikenal sebagai ngengat sutera raksasa atau “si rama-rama” dan merupakan ngengat terbesar di Asia dengan bentang sayap mencapai 250 mm. Spesies A. atlas banyak ditemukan di hutan tropis dan tersebar di Asia Tenggara, daerah selatan Cina, dan India (Peigler, 1989). Penyebaran A. atlas hampir di seluruh wilayah Indonesia diantaranya Pulau Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua (Awan, 2007). Di daerah Jawa Barat khususnya ulat sutera liar

A.atlas sering disebut hileud (ulat) badori, hileud orok (bayi), atau ulat gajah karena larvanya yang besar, adapun kupu-kupunya disebut kupu-kupu sirama-rama atau kupu-kupu gajah (Saleh, 2000). Di Yogyakarta dan sekitarnya serta daerah Temanggung, Wonosari, dan Wonogiri (Jawa Tengah), ngengat dari A. atlas ini disebut kupu gajah atau kupu sirama-rama (Situmorang, 1996).

Larva A. atlas dapat memakan daun dari 90 jenis tumbuh-tumbuhan dari 48 famili tanaman (Peigler, 1989). Ulat sutera liar A. atlas merupakan serangga polivoltin yaitu dapat hidup lebih dari dua generasi dalam satu tahun. Sifat polivoltin ini menguntungkan bagi usaha pembudidayaan ulat sutera A. atlas karena: a) bibit dalam bentuk ketersediaan telur dapat dipenuhi sepanjang tahun, b) musim berkembang biak terjadi sepanjang tahun, c) pada musim hujan maupun musim kemarau dapat dipelihara, d) produksi kokon akan ada sepanjang tahun, e) produksi benang akan dapat ditingkatkan jika jumlah populasi tinggi, f) Perkawinan dapat

dilakukan secara kontinyu sehingga pemuliaan ke arah peningkatan produktivitas dapat dicapai (Awan, 2007).

Attacus atlas merupakan serangga yang mengalami metamorfosis sempurna yang biasa disebut holometabola terdiri dari telur (embrio), larva, pupa, dan tahap dewasa (Chapman, 1971). Lama periode tiap fase hidup A. atlas seperti dilaporkan Awan (2007) dan Mulyani (2008), masa inkubasi telur A. Atlas 10-12 hari, lama periode larva dengan pakan daun sirsak 30-42 hari, lama periode pupa adalah 20-29 hari, lama periode imago betina dan jantan masing-masing adalah 2-10 hari dan 2-4 hari. Total waktu yang diperlukan A. Atlas yang diberi pakan daun sirsak untuk menyelesaikan sekali daur hidupnya, mulai dari telur sampai imago bertelur lagi memerlukan waktu 63-82 hari (Awan, 2007).

Telur. Telur dihasilkan oleh imago betina baik yang kawin maupun tidak, tetapi telur yang dapat menetas adalah telur yang telah dibuahi. Imago betina yang tidak melakukan perkawinan akan menghasilkan telur steril yang tidak menetas menjadi larva (Awan, 2007). Telur yang dibuahi (fertil) berwarna cokelat gelap, sedangkan telur yang tidak dibuahi (infertil) berwarna kuning pucat (Mulyani, 2008). Ukuran telur dari ngengat A. atlas yaitu panjang 2,7 mm, lebar 2,3 mm dan tinggi 2,1 mm (Peigler, 1989); berbentuk oval, agak pipih dan hampir selalu ditutupi cairan agak kental berwarna merah kecokelatan yang disekresikan oleh ngengat betina agar telur melekat pada substrat (Mulyani, 2008) dengan masa inkubasi telur antara 7-13 hari (Adria dan Idris, 1997).

Larva. Larva A. atlas melalui 6 tahapan instar, dimana pada setiap instar, ciri-ciri, ukuran dan tingkah laku larva berbeda sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan larva. Pergantian masa instar ditandai dengan pergantian kulit (molting) pada larva instar pertama sampai instar keenam (Awan, 2007). Larva instar pertama dimulai saat larva menetas dari telur dan memiliki ciri-ciri kepala dan badan berwarna hitam dan seluruh tubuh berbulu kuning yang tumbuh tegak kecuali bulu pada bagian punggung berupa duri halus berwarna coklat kehitaman (Nazar, 1990). Larva instar kedua memiliki kepala yang berwarna coklat tua, kaki berwarna hitam, badan ditutupi oleh serbuk putih, bagian tubuh samping memiliki tanda berwarna jingga pada bagian metathoraks di segmen 8-10, tanda ini akan ada sampai instar ketiga dan keempat. Instar keempat memiliki ciri-ciri kepala berwarna hijau

kekuningan dan tubuhnya ditutupi oleh tepung putih. Instar lima dan enam memiliki ciri-ciri kepala dan tubuh yang berkilau warna hijau terang (Peigler, 1989), terdapat tonjolan-tonjolan seperti bulu kasar yang jarang pada beberapa ruas abdomen (Nazar, 1990) dan panjang segmen badan bisa mencapai ± 15 cm (Pracaya, 2005).

Gambar 1. Siklus Hidup Attacus atlas

Sumber: Koleksi pribadi

Pupa. Kokon terbentuk saat instar keenam mulai mengeluarkan cairan sutera yang ukurannya disesuaikan dengan ukuran tubuhnya. Cairan sutera yang dikeluarkan oleh instar enam berfungsi sebagai alat untuk melekatkan kokon pada daun atau ranting. Larva akan meneruskan pembuatan kokon sampai sempurna, biasanya daun dilipat di bagian ujung atau tepi daun kemudian dihubungkan dengan serat-serat sutera sehingga akan terbentuk suatu rongga tempat pupa. Bagian kokon yang menghadap

Telur Larva Instar

Larva Instar II

Larva Instar III

Larva Instar IV Larva Instar V

Pupa Imago

ke atas biasanya terdapat lubang sebagai tempat keluar imago. Posisi larva sebelum berubah menjadi pupa biasanya dengan kepala di bagian atas, posisi ini akan menguntungkan ketika imago keluar dari kokon. Pupa telah sempurna apabila isi kokon bergeser jika digoyangkan dan terdapat rongga antar isi kokon dengan kokon, sedangkan apabila kokon tidak dapat bergeser berarti isi di dalam kokon masih berbentuk larva (Awan, 2007).

Imago. Setelah masa pupasi berakhir, biasanya pada siang hari imago A. atlas akan muncul dari kokon. Imago yang muncul umurnya pendek, tidak makan, dan biasanya istirahat pada siang hari (Peigler, 1989). Ngengat ulat sutera merupakan hewan yang cenderung aktif pada malam hari atau biasa disebut nokturnal (Beck, 1980). Ngengat jantan memiliki sayap dengan ujung yang lebih runcing dan panjang antenanya 23-30 mm serta lebar 10-13 mm; betina memiliki panjang antena 17-21 mm dan lebar 3 mm. Imago A. atlas memiliki umur yang singkat, imago jantan berumur 2-4 hari sedangkan imago betina berumur 2-10 hari (Peigler, 1989; Awan, 2007). Imago betina yang telah kawin akan bertelur setelah beberapa jam dan akan menghasilkan telur sebanyak 100 sampai 360 butir (Awan, 2007).

Keistimewaan Sutera

Sutera merupakan serat yang istimewa. Tujuan asli dari pembentukan sutera pada kokon di alam liar adalah untuk melindungi pupa dari gangguan alam dan predator selama proses metamorfosis menjadi ngengat. Sutera diproduksi dalam sebuah kelenjar di kepala ulat, dikeluarkan dan dibentuk dengan pola angka delapan yang diulangi ribuan kali pada seluruh kokon (Cook, 2005). Secara umum, sutera tersusun dari dua jenis protein: fibroin dan serisin. Fibroin adalah inti dari filamen sutera, sedangkan serisin adalah protein berupa perekat yang mengelilingi serat dan menyatukannya menjadi kulit kokon (Nogueira et al., 2010). Serisin pada sutera liar sebagian besar terikat dengan tanin, zat warna, lilin, dan lain-lain (Kato et al., 1997). Serisin terdapat pada lapisan luar filamen yang merekatkan filamen satu dengan yang lain membentuk dinding (Rukaesih, 1990). Fibroin dan serisin merupakan serangkaian asam-asam amino yang terdiri atas: glisin, alanin, lisin, asam aspartat, asam glutamat, serin, prolin, oksiprolin, tirosin, dan fenilalanin (JOVC, 1975).

Sutera yang telah diolah menjadi bentuk produk tekstil memiliki beberapa kelebihan bila dibandingkan dengan bahan sandang lainnya. Dari karakteristiknya

keistimewaan kain sutera antara lain: ringan, kepadatan sutera relatif lebih ringan jika dibandingkan dengan wool atau katun; tidak mudah kusut, karena sifat sutera yang liat dan elastis; mempunyai daya menahan panas dan meresap air, karena sifat inilah maka bila kita memakai bahan sutera akan merasa hangat pada suhu dingin dan sejuk pada waktu panas; daya menahan warna kuat sehingga warna tidak cepat pudar; seperti wool jika sutera kontak dengan api tidak akan menjalarkan api, sutera akan hangus dan mengkerut tidak mudah menimbulkan kebakaran (P3H, 1992).

Indonesia memiliki 5 jenis ulat sutera liar, antara lain: A. atlas, Samia cynthia ricini, Cricula alaezea, Cricula trifenestrata, dan Antherae pernyi yang semuanya termasuk dalam familia Saturniidae. Kekayaan ini belum banyak dimanfaatkan dan didayagunakan secara maksimal untuk industri tekstil Indonesia (Situmorang, 1996). Menurut Akai (1997), ulat sutera liar seperti A. atlas dan S.c. ricini menghasilkan jenis sutera yang berbeda dengan sutera B. mori. Sifat yang dimiliki serat sutera liar jauh lebih lembut, tahan panas, dan anti bakteri. Keunggulan lainnya adalah adanya macam sutera yang bervariasi, filamen kokon banyak yang mengandung pori dan tidak menyebabkan alergi bagi pemakainya. Kelebihan serat sutera yang dihasilkan dari kokon A. atlas menurut Gusa et al. (2002) memiliki warna yang beragam dari cokelat tua, cokelat keputihan dan cokelat kehitaman. Keragaman warna serat sutera, dapat menambah kekayaan warna alami dan tidak perlu dilakukan pewarnaan.

Karakter Kokon dan Serat Sutera

Hasil akhir dari proses pemeliharaan ulat sutera adalah kokon. Kokon inilah yang akan diproses lebih lanjut untuk menjadi benang dan kain. Kualitas dari produk tersebut ditentukan oleh beberapa faktor yang saling terkait dan yang paling menentukan kualitas produk adalah kokon itu sendiri. Kokon yang berkualitas baik ditentukan oleh beberapa faktor antara lain bibit ulat sutera, teknik pemeliharaan, temperatur, kelembaban, dan proses pengokonan (Sampe, 1991).

Kokon diselimuti filamen sutera yang kusut, yang disebut cocoon floss

(serabut serat). Di bawahnya terdapat lapisan sutera, atau cocoon shell (kulit kokon), yang terdiri dari lapisan filamen, yang didalamnya terdapat pupa dan kulit ulat sutera yang sudah lepas. Makin berat kulit kokon, makin besar kandungan suteranya. Hal ini bervariasi, sesuai dengan varietas ulat, dan kondisi pemeliharaan dan pengokonan (Atmosoedarjo etal., 2000).

A B Gambar 2. Kokon (A) Kokon Mentah; (B) Kulit Kokon

Sumber: Koleksi pribadi

Syarat kokon yang baik menurut Samsijah dan Andadari (1995) adalah sehat (tidak cacat), bersih, bagian dalamnya (pupa) tidak hancur, bagian kulit kokon keras dan terbukti kalau ditekan sedikit berat sedangkan kokon berkualitas rendah adalah kokon rangkap, kokon berlubang, kokon kotor di bagian dalam, kotor di bagian luar, kulit kokon tipis, kokon berbentuk aneh, kokon berbulu, kulit kokon berlapis dan kokon berlekuk. Kokon yang terbentuk sempurna menurut Awan (2007) berbentuk elips, ujungnya membulat, dan pada ujung anteriornya terdapat celah. Kokon berwarna coklat keemasan, kokon yang baru terbentuk masih agak lemah dan agak basah, oleh pengaruh sinar matahari dan gerakan angin, lama kelamaan akan lebih kuat dan lebih kering.

Beberapa karakter sutera yang penting untuk penilaian kualitasnya, antara lain adalah karakter kokon dan karakter seratnya. Berat kokon merupakan karakter kokon yang paling penting secara komersial. Hal ini disebabkan karena penjualan kokon di pasaran berdasarkan beratnya. Semakin berat kokon yang dihasilkan maka semakin bagus kualitas kokon yang dihasilkan (Lee, 1999).

Pembentukan lapisan filamen kokon B. mori terdiri dari 75% fibroin dan 25% serisin. Selebihnya mengandung sedikit malam, lemak, karbohidrat, abu, dan zat warna. Fibroin dan serisin seluruhnya terbentuk dari protein murni yang mengandung berbagai macam asam amino. Namun fibroin tidak larut di dalam air, karena struktur molekul yang longgar dan kaya akan asam amino yang hidrofobik. Fibroin merupakan bagian utama filamen, sedang serisin merupakan pelindung yang mengelilingi fibroin dan menyatukan filamennya (Atmosoedarjo etal., 2000).

Filamen sutera yang dihasilkan tentunya diharapkan memenuhi mutu standar. Berat filamen kokon yang diurai dari satu kokon tunggal, proporsional dengan berat kulit kokon, tetapi berbeda sesuai daya urainya. Beratnya berkisar antara 30-45 centigram dan 80-90 % dari berat kulit kokon (Atmosoedarjo etal., 2000).

Filamen kokon Bombyx mori terdiri dari sepasang serat yang dikeluarkan oleh larvanya. Rata-rata filamen B. mori berukuran sekitar 2-3 denier yang setara dengan ketebalan sekitar 20-30 mikron dan struktur bagian dalam padat. Serat sutera liar ukurannya 2-3 kali lebih tebal dari serat sutera mori. Serat sutera liar memiliki keragaman ukuran dan diameter yang tinggi dan menunjukkan penampang melintang yang seragam. Terdapat banyak jenis sutera liar yang tidak seperti sutera mori, ketebalan filamen kokonnya sangat beragam, memiliki penampang melintang filamen yang sama dan ukuran struktur yang bervariasi. Sutera liar berbeda dengan sutera mori dalam hal sifat sutera, kemampuan menyerap kelembaban, sifat insulasi panas, hand feel dan lain-lain. Sehingga, serat sutera liar menunjukkan materi serat dengan banyak potensi aplikasi selain sebagai penggunaannya dalam busana gaya barat (Kato et al., 1997). Ukuran atau ketebalan filamen kokon A. atlas yang diperkirakan dari mikrograf SEM dalam Kato et al. (1997) adalah sekitar 30 µm.

Ukuran kehalusan filamen dinyatakan dengan satuan denier (d). Apabila panjang serat 9000 meter dengan berat 1 g, maka kehalusan filamen adalah satu denier. Ukuran kehalusan filamen kokon B. mori berkisar antara 2,5-3,5 denier. Kehalusan filamen sutera dipengaruhi beberapa faktor: (1) suhu dan kelembaban: filamen mempunyai tendensi ukuran denier yang tinggi (lebih besar seratnya) apabila ulatnya dipelihara selama instar I dan II, dengan suhu dan kelembaban udara yang tinggi. Selain itu, suhu yang tinggi pada waktu pengokonan ulat yang belum dewasa, membuat denier filamennya rendah; (2) musim pemeliharaan: pemeliharaan ulat sutera pada musim semi di Jepang menghasilkan denier filamen lebih besar daripada pada pemeliharaan musim gugur; (3) pakan dan kepadatan populasi: pemberian pakan dengan daun yang lunak dan pemeliharaan yang jarang, akan menghasilkan filamen yang lebih besar dibandingkan dengan pada pemeliharaan yang lebih padat; (4) ukuran larva: ulat yang bertubuh besar cenderung menghasilkan pola denier yang lebih besar pula (Atmosoedarjo etal., 2000).

Berdasarkan fenomena di atas dapat ditarik kesimpulan, bahwa faktor lingkungan yang menunjang kesehatan ulat, akan menghasilkan denier yang lebih tinggi (lebih tebal). Ukuran filamen berbeda sesuai dengan bagian dari kokon, lazimnya lebih besar pada lapisan luar dibanding dengan lapisan dalam kulit kokon. Kokon dengan deviasi di antara lapisan-lapisan kulit kokon akan sangat menguntungkan proses reeling (Atmosoedarjo etal., 2000).

Gusa et al. (2002) menyatakan pada pengembangan industri serat sutera perlu dilakukan pengkajian tentang berbagai hal, termasuk pengujian terhadap kualitas serat yang meliputi kumuluran, beban putus, kekuatan tarik dan kehalusan serat serta pengamatan foto morfologi serat dengan menggunakan mikroskop elektron. Karakter serat yang digunakan dalam menilai kualitas sutera antara lain adalah kekuatan serat dan daya serap terhadap kelembaban. Pustaka dari Prachayawarakorn dan Klairatsamee (2005) menyataan kekuatan serat dan daya serap terhadap kelembaban merupakan parameter penting dalam penilaian karakter dan kenampakan serat secara fungsional, seperti: pemeliharaan, kenyamanan dan penanganannya.

Penyimpanan Kokon

Pengeringan dilakukan pada kokon Bombyx mori sebelum pengolahan kokon dilaksanakan. Selain untuk mematikan pupa di dalam kokon agar kokon tidak rusak, pengeringan juga dilakukan agar kokon kering serta dapat disimpan lama dalam jangka waktu 6-12 bulan sebelum diolah (Cahyadi, 2008). Berbeda dengan pustaka LPE Al Syura (2003), setelah kokon dikeringkan, kokon dapat bertahan dengan kualitas baik paling lama sekitar 1 bulan. Kokon yang tidak dikeringkan hanya mampu bertahan disimpan selama 1 minggu saja. Menurut hasil penelitian Kaomini dan Bertha (1988) dalam Samsijah dan Lincah Andadari (1992) menyatakan bahwa penyimpanan kokon dalam ruangan yang mempunyai kelembaban 65-75% selama 4-6 minggu akan mnurunkan daya gulung, akan tetapi tidak mempengaruhi persentase benang. Bahkan BGI (2010) menjelaskan bahwa kokon yang sudah disortasi dan dibersihkan dari floss dimasukkan dalam bag yang disesuaikan masa panennya, karena maksimum 6 hari setelah panen, kokon harus direbus dan di-

Pemasakan Kokon

Pemasakan kokon dapat dilakukan dengan beberapa metode. Pemasakan kokon dilakukan untuk memudahkan penguraian dan penggunaan fibroin setelah pelepasan serisin yang merekatkan filamen. Serisin merupakan protein yang tidak larut dalam air dingin, tetapi menjadi lunak dan larut dalam alkali lemah dan sabun. Sutera dari B. mori biasa dimasak dengan cara direbus atau diuapi saja sebelum diurai dan dipintal. Kenyataannya serisin pada sutera liar lebih sedikit, namun bahan- bahan yang perlu dihilangkan tidak hanya serisin, tetapi juga bahan lainnya seperti lilin, garam-garam mineral, dan zat warna lain seperti pigmen alam berwarna kekuningan. (Saleh, 2000).

Degumisasi pada beberapa jenis sutera yang dilakukan dalam penelitian Kato (2000) dilakukan dalam beberapa tahapan seperti tercantum dalam Tabel 1.

Tabel 1. Metode Degumisasi Kokon Anaphe, Criculatrifenestrata dan A.atlas

Proses Lapisan tengah

Anaphe

Lapisan luar dan dalam Anaphe

Cricula

trifenestrata Attacus atlas

Pra- 95-98oC 95-98oC 95-98oC 95-98oC

perlakuan air panas air panas air panas air panas Degumisasi Na2CO3 3g/l Na2CO3 4g/l Na2CO3 2g/l Na2CO3 3g/l

4-5 jam 3-4 jam 2 jam 3 jam

98-100oC 98-100oC 98-100oC 98-100oC

Na2CO3 3g/l 4-5 jam 98-100 oC

Finishing pencucian air panas pencucian air panas pencucian air panas pencucian air panas

Serisin pada sutera liar terikat pada tannin dan zat-zat lainnya, sehingga pemasakan kokon harus dengan metode yang benar-benar tepat sehingga degumisasi dapat terjadi dengan sempurna. Degumisasi merupakan proses pelepasan serisin dan zat lainnya yang merekat pada filamen fibroin (Kato, 2000). Lebih lanjut, Kato (2000) menjelaskan setelah didegumisasi, kokon dicuci dengan air hangat yang

bersuhu sekitar 40oC dan diekstraksi dengan etanol selama lima hari sebelum filamen dianalisis karakteristiknya. Sampel yang digunakan dalam penelitian tersebut (kokon

Anaphe, C. trifenestrata dan A. atlas) diperlakukan sebagai sutera liar. Pengamatan di bawah SEM terhadap filamen A. atlas yang didegumisasi dengan metode di atas menunjukkan struktur permukaan sutera A. atlas sangat halus dikarenakan hampir seluruh serisin telah dihilangkan pada proses degumisasi.

Metode pemasakan kokon lain yang banyak digunakan seperti dalam penelitian Awan (2007) menggunakan bahan plot 1:20 (1 gram kokon 20 ml air), sabun netral 15-20 g/l, soda kaustik (NaOH) 2 cc/l, dengan suhu sampai mendidih dalam waktu 1 jam. Selesai proses pemasakan, kokon dikeluarkan untuk dicuci secara bertahap, yaitu dengan air panas, air hangat kemudian dengan air dingin, selanjutnya kokon tersebut disimpan di atas saringan untuk diperas. Setelah proses pemerasan, barulah kokon diurai satu persatu menggunakan handspun.

Tanaman Sirsak

Sirsak (Annona muricata L.) disebut juga nangka belanda atau nangka seberang, merupakan tanaman buah-buahan tropis dari famili Annonaceae, yang dicirikan dengan bau yang tidak sedap dari daunnya. Di Indonesia hanya dikenal dua jenis yaitu sirsak manis dan sirsak asam yang secara morfologis susah dibedakan (Radi, 1997).

Habitat pohon sirsak di kawasan beriklim tropis yang hangat dan lembab, pada ketinggian sampai 1000 m dpl. Tumbuh pada semua jenis tanah yang gembur dan sedikit asam dan tidak tahan terhadap genangan. Musim berbunga dan berbuah sirsak sepanjang tahun (LIPI, 2000)

Daun sirsak merupakan daun tunggal, berbentuk bulat telur dengan panjang 8-16 cm dan lebar 3-7 cm (LIPI, 2000). Daun sirsak berbentuk bulat panjang dengan ujung runcing, warna daun bagian atas hijau tua, sedangkan bagian bawah hijau kekuningan. Daun sirsak tebal dan agak kaku dengan urat daun tegak pada urat daun utama. Daun mahkota berwarna hijau muda, jumlahnya enam helai yang terbagi dalam dua lapis, tiga daun mahkota lingkaran dalam ukurannya lebih kecil. Bila mendekati mekar mahkota bunga ini berubah menjadi kuning muda (Radi, 1997).

Rata-rata kandungan nutrisi daun sirsak disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Rata-rata Kandungan Nutrien pada Daun Sirsak

Nutrien Kandungan (%) Air 65,46 Protein 6,59 Lemak 1,24 Karbohidrat 8,80 Abu 1,08 Sumber: Awan (2007)

METODE Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan selama empat bulan (November 2010-Februari 2011) dengan tahapan sebagai berikut: November 2010 persiapan penelitian, Desember 2010 sampai Februari 2011 pelaksanaan penelitian. Penelitian dilakukan di Kandang Pemeliharaan Ulat Sutera Liar A. atlas Kandang Blok C dan Laboratorium Non Ruminansia dan Satwa Harapan (NRSH), Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Materi

Materi penelitian yang digunakan adalah 12 kokon ulat sutera liar A. atlas

berkualitas baik yang dipilih secara acak dari 31 kokon di Kandang Pemeliharaan Ulat Sutera Liar A. atlas Kandang Blok C Bagian Non Ruminansia dan Satwa Harapan (NRSH), Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Bahan tambahan yang digunakan berupa serbuk Na2CO3, etanol 96% dan air.

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 12 buah kotak plastik berukuran 30 x 30 x 30 cm3, timbangan digital merk ADAM (kapasitas 200 g dengan ketelitian 0.01 g), termohigrometer (pengukur suhu dan kelembaban ruangan), 12 kotak plastik kedap air dengan volume 350 ml, panci, kompor, gelas ukur, termometer, penggulung manual filamen sutera, pipa paralon PVC diameter 5,34 cm, pita ukur, kamera digital, kertas pencatatan, alat tulis, kantong plastik, dan kertas label.

Prosedur Penelitian Tahap Persiapan

Pada tahap persiapan, kokon yang masih mengandung pupa diambil dari perkebunan teh Walini di Purwakarta. Kokon diambil bersama daun teh tempat kokon melekat dengan cara digunting. Kokon tersebut kemudian dipelihara sampai menghasilkan generasi selanjutnya (F1) di Kandang Pemeliharaan Ulat Sutera Liar

A. atlas Kandang Blok C Bagian Non Ruminansia dan Satwa Harapan (NRSH). Larva instar 1-3 dipelihara di dalam kandang dan diberi pakan daun sirsak. Memasuki instar 4-6, larva dipindahkan ke pohon sirsak sebagai pohon inang,

sumber pakan, dan tempat mengokon. Kokon yang sudah berumur tujuh hari kemudian dipindahkan ke dalam kandang untuk pengamatan dan dibedakan berdasarkan tanggal pada hari pertama mengokon. Secara keseluruhan terdapat 31 kokon, akan tetapi hanya dipilih 12 kokon yang kualitasnya baik yaitu kokon tunggal, berkulit keras, tebal, permukaan kompak dan kering, tidak berlubang, berbentuk bulat lonjong, bersih, dan tidak berbau. Semua kokon disimpan dalam kotak plastik yang diberikan lubang udara untuk pernafasan pupa. Kokon yang terpilih ini kemudian dibagi menjadi empat kelompok, masing-masing kelompok terdiri dari tiga kokon berumur 30, 45, 60, dan 75 hari yang dihitung berdasarkan hari pertama pengokonan. Pupa dalam kokon tersebut dibiarkan keluar menjadi ngengat, akan tetapi beberapa pupa yang sampai batas usia pengamatan yang ditetapkan masih belum bermetamorfosis menjadi ngengat, pupa dikeluarkan dari

Dokumen terkait