• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ternak percobaan yang digunakan adalah ternak jantan berjumlah 14 ekor, terdiri dari enam ekor kerbau Rawa dan delapan ekor sapi PO (Gambar 2 dan Gambar 3). Ternak tersebut dibedakan menjadi dua kelompok. Tiga ekor kerbau dan empat ekor sapi diberi pakan dengan penambahan suplemen minyak ikan lemuru terproteksi dalam CGKK, sedangkan tiga ekor dan empat ekor lainnya tidak (sebagai kontrol). Suplemen pakan berupa CGKK ini berbahan dasar minyak ikan lemuru yang berasal dari limbah pengalengan ikan. Pemanfaatan limbah minyak ikan lemuru dilakukan karena minyak ikan lemuru memiliki kandungan asam lemak tak jenuh yang tinggi, sehingga dapat meningkatkan kandungan nutrisi di dalam daging. Minyak ikan lemuru merupakan bahan pakan yang tidak dapat diberikan kepada ternak secara langsung, karena memiliki palatabilitas yang rendah. Oleh sebab itu, minyak ikan lemuru dihidrolisis dengan asam melalui proses kimiawi, sehingga menghasilkan CGKK agar dapat diberikan kepada ternak secara langsung.

Menurut Tasse (2010), hidrolisis asam dilakukan karena memiliki waktu yang lebih singkat dibandingkan dengan hidrolisis basa. Asam lemak tak jenuh yang terdapat di dalam minyak ikan lemuru mudah teroksidasi, sehingga perlu dilakukan proteksi kedalam bentuk CGKK. Campuran Garam Karboksilat Kering merupakan salah satu metode yang digunakan untuk memproteksi asam lemak tak jenuh agar tidak terhidrogenasi di dalam rumen, sehingga asam lemak tak jenuh tersebut tidak terurai menjadi asam lemak jenuh dan dapat by pass ke dalam usus serta dibawa oleh darah ke jaringan otot dalam bentuk asam lemak tak jenuh. Parakkasi (1999) menyatakan bahwa, proses hidrogenasi yang terjadi di dalam rumen menyebabkan perubahan asam lemak tak jenuh menjadi asam lemak jenuh, sehingga sering mendapat sorotan negatif bagi kesehatan manusia. Metode pemberian suplemen minyak ikan lemuru terproteksi dalam bentuk CGKK ini adalah dengan cara dicampurkan kedalam konsentrat sehingga dapat dikonsumsi oleh ternak. Pemberian konsentrat dilakukan terlebih dahulu kemudian baru diberikan hijauan. Hal ini dilakukan agar ternak tidak terlalu kenyang, sehingga suplemen minyak ikan lemuru terproteksi dalam bentuk CGKK yang diberikan dikonsumsi habis oleh ternak.

Gambar 2. Kondisi Kandang Sapi Penelitian

Gambar 3. Kondisi Kandang Kerbau Penelitian Nilai Nutrisi Daging

Daging kerbau merupakan salah satu bahan pangan yang dapat dijadikan sumber protein, lemak, vitamin dan mineral. Menurut Usmiati dan Priyanti (2006),

daging kerbau memiliki struktur kimia, nilai nutrisi dan palatabilitas yang hampir sama dengan daging sapi. Konsumen dibeberapa daerah cenderung menyukai daging kerbau, karena kadar lemaknya relatif rendah. Namun, masyarakat umumnya lebih mengenal daging sapi dibanding daging kerbau. Hal ini disebabkan oleh karakteristik daging kerbau yang keras dan alot. Darminto et al. (2010) menyatakan bahwa daging kerbau memiliki karakteristik yang keras dan alot karena umumnya kerbau digunakan sebagai ternak kerja dan dipotong pada umur yang tua (5-7) tahun. Adapun hasil pengukuran nilai nutrisi daging dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8. Rataan Kandungan Nutrisi Daging Berdasarkan Jenis Ternak dengan Suplemen Pakan CGKK dan Non CGKK

Parameter Perlakuan Jenis ternak Rataan (%) Kerbau Sapi Kadar air (%) NON CGKK 74,70±0,60 73,69±0,56 74,12±0,75 CGKK 74,53±1,42 74,20±1,82 74,34±1,54 Rata-rata 74,61±0,98 73,95±1,28 Kadar abu (%) NON CGKK 0,29±0,21 0,88±0,13 0,63±0,35 CGKK 0,28±0,02 0,76±0,25 0,56±0,32 Rata-rata 0,29b±0,14 0,82a±0,20 Kadar lemak (%) NON CGKK 0,35±0,17 0,77±0,45 0,59±0,40 CGKK 0,99±0,70 1,03±0,44 1,01±0,51 Rata-rata 0.67±0,57 0,90±0,43 Kadar protein (%) NON CGKK 18,90±0,27 20,94±0,40 20,06±1,13 CGKK 18,55±0,78 21,14±0,40 20,03±1,49 Rata-rata 18,72b±0,56 21,04a±0,38

Keterangan : superskrip yang berbeda pada peubah yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)

Kadar Air

Kandungan air dalam bahan pangan dinyatakan dengan kadar air. Air me- miliki peranan penting dalam bahan pangan, antara lain menentukan kandungan nutrisi, sifat organoleptik, tingkat kesegaran, keawetan serta sebagai media untuk pertumbuhan dan perkembangan mikroba. Beberapa produk pangan memiliki kadar air tinggi, sehingga produk pangan tersebut menjadi lebih mudah rusak dan tidak awet. Hal ini disebabkan oleh adanya kerusakan secara mikrobiologis akibat tingginya aktivitas mikroba (Kusnandar, 2010).

Hasil penelitian yang disajikan oleh Tabel 8 menunjukkan bahwa pemberian suplemen minyak ikan lemuru terproteksi dalam bentuk CGKK dan perbedaan jenis ternak, tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar air daging yang dihasilkan. Daging kerbau menghasilkan rataan kadar air sebesar 74,61 % dan daging sapi sebesar 73,95 %. Ternak yang diberi suplemen minyak ikan lemuru terproteksi dalam CGKK menghasilkan daging dengan kadar air sebesar 74,34 % dan kadar air daging tanpa suplemen sebesar 74,21 %. Kadar air daging relatif sama disebabkan oleh tingkat asupan air serta bahan kering dari pakan antar perlakuan relatif sama. Kadar air daging yang diperoleh dalam penelitian ini masih berada pada kisaran kadar air daging pada umumnya yaitu antara 68-80 persen (Soeparno, 2005).

Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Kandeepan et al. (2009) dan Setiyono et al. (2006), menghasilkan rataan kadar air daging kerbau berkisar antara 74-78 %, pada ternak kerbau yang dipelihara secara ekstensif, sedangkan kadar air daging diperoleh sebesar 77,64 %, pada ternak sapi yang digemukkan (Tabel 4). Penelitian ini menunjukkan bahwa kandungan air dalam daging relatif sama meskipun kedua jenis ternak dipelihara pada sistem yang berbeda. Ternak kerbau yang dipelihara secara tradisional (Tabel 4) dan secara feedlot (Tabel 8) meng- hasilkan daging dengan kadar air yang sama. Kadar air daging kerbau dan sapi tidak berbeda, hal ini sesuai dengan hasil penelitian Purbowati et al. (2000) yang melihat komposisi kimia daging domba dan membuktikan bahwa kadar air daging tidak berbeda antara spesies ternak. Manajemen pemeliharaan yang berbeda tidak mempengaruhi kadar air daging yang dihasilkan, karena daging yang dianalisis berasal dari ternak muda sehingga kadar airnya relatif konstan yaitu sekitar 75 %. Penelitian ini menggunakan ternak muda yang berumur 2-2,5 tahun. Menurut Parakkasi (1999), variasi kadar air di dalam tubuh atau karkas umumnya dipengaruhi beberapa hal antara lain umur, banyak lemak dalam tubuh dan tingkat pemberian pakan. Hewan yang diberi pakan dalam jumlah yang tinggi selama proses pe- meliharaan, akan meningkatkan perlemakan pada karkas sehingga kadar air tubuhnya relatif menurun.

Kadar Abu

Kadar abu merupakan kandungan mineral yang terdapat dalam bahan pakan maupun bahan pangan. Kadar abu atau kandungan bahan anorganik didalam daging

adalah mineral. Daging merupakan salah satu bahan pangan yang dapat dijadikan sumber mineral. Daging mengandung mineral kalsium, tetapi dalam jumlah sedikit. Sumber mineral berupa kalsium lebih banyak terdapat pada tulang dan gigi (Andarwulan et al., 2011).

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, menunjukkan bahwa pem- berian suplemen minyak ikan lemuru terproteksi dalam bentuk CGKK tidak mem- pengaruhi kadar abu daging yang dihasilkan. Rataan kadar abu daging yang di- peroleh dari pemberian suplemen minyak ikan lemuru terproteksi dalam CGKK sebesar 0,56 %, sedangkan rataan kadar abu daging tanpa pemberian suplemen sebesar 0,63 %. Perbedaan jenis ternak mempengaruhi kadar abu daging yang dihasilkan. Daging sapi memiliki kadar abu dengan rataan sebesar 0,82 % dan daging kerbau sebesar 0,29 %. Daging sapi memiliki kadar abu lebih tinggi (P<0,05) daripada daging kerbau. Kadar abu daging merupakan mineral daging. Menurut Purbowati et al. (2000), variasi kadar abu di dalam daging relatif kecil.

Menurut Kandeepan et al. (2009) dan Setiyono et al. (2006), daging kerbau memilki kadar abu sebesar 1 % yang dipelihara secara tradisional, sedangkan daging sapi memiliki kadar abu sebesar 1,08 % pada saat digemukkan (Tabel 4). Kadar abu daging kerbau yang digembalakan dan sapi yang digemukkan memiliki perbedaan, meskipun tidak terlalu tinggi. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa kadar abu daging sapi lebih tinggi daripada daging kerbau. Hal ini disebabkan oleh per- bedaan sumber mineral yang diperoleh dari kedua jenis ternak tersebut. Daging kerbau memiliki kadar abu lebih rendah pada saat ternak dipelihara dengan di- gembalakan, karena sumber mineral yang diberikan hanya berasal dari rumput. Ber- beda dengan kerbau, daging sapi memiliki kadar mineral lebih tinggi pada ssat digemukkan, hal ini disebabkan oleh pemberian sumber mineral terhadap ternak sapi yang digemukkan tidak hanya berasal dari hijauan namun ditambah dengan konsentrat. Menurut Setiyono et al. (2006), umumnya daging memiliki kadar abu yang relatif sama dan rata-rata kadar abu yang dimiliki tersebut masih berkisar hanya 1%.

Hasil analisa kadar abu daging kerbau dan sapi memiliki perbedaan terhadap ternak yang digemukkan. Daging sapi memiliki kadar abu lebih tinggi dari pada daging kerbau (Tabel 8). Hal ini sesuai dengan penelitian Kandeepan et al. (2009)

dan Setiyono et al. (2006), yang membuktikan bahwa kadar abu daging sapi lebih tinggi daripada daging kerbau. Penelitian ini menggunakan suplemen minyak ikan lemuru terproteksi dalam CGKK. Suplemen yang ditambahkan adalah garam yang berasal dari asam dan basa kuat yang direaksikan secara kimiawi. Penambahan suplemen ini mengakibatkan peningkatan kadar abu (mineral) daging yang dihasilkan. Menurut Usmiati dan Priyanti (2006), daging merupakan sumber pangan hewani yang mengandung mineral dan tidak mudah berubah meskipun telah melewati proses pengolahan, kecuali adanya penambahan garam mineral pada saat dilakukan pemeliharaan ternak atau pengolahan daging.

Kadar Protein

Protein merupakan salah satu senyawa organik komplek yang mengandung asam amino dan terikat antara satu dengan lainnya melalui ikatan peptida. Asam amino merupakan komponen penyusun protein, jumlah asam amino yang terdapat dalam suatu bahan pangan dinyatakan dengan kadar protein. Kandungan asam amino dalam daging menentukan mutu protein daging yang dihasilkan. Daging merupakan salah satu sumber protein utama yang dapat dijadikan sebagai sumber asam amino esensial. Protein dalam bahan pangan dapat berfungai sebagai pengental, peng- emulsi, pembentuk gel, pembentuk buih dan sebagainya (Kusnandar, 2010).

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, pemberian perlakuan suplemen minyak ikan lemuru terproteksi dalam CGKK tidak mempengaruhi kadar protein daging yang dihasilkan. Rataan kadar protein daging diperoleh sebesar 20,03 % dengan pemberian suplemen minyak ikan lemuru terproteksi dalam CGKK, sedangkan rataan kadar protein daging tanpa pemberian suplemen sebesar 20,06 %. Perbedaan jenis ternak mempengaruhi kadar protein daging yang dihasilkan. Daging sapi memiliki rataan kadar protein sebesar 21,04 % dan daging kerbau sebesar 18,72 %. Daging sapi memiliki kadar protein lebih tinggi (P<0,05) daripada daging kerbau. Perbedaan kadar protein daging disebabkan oleh perbedaan spesies ternak. Meskipun kadar protein daging yang dihasilkan oleh kedua jenis ternak tersebut berbeda, namun kadar protein daging masih berada pada kisaran kadar protein normal yaitu 16-22 % (Soeparno, 2005).

Kandeepan et al, (2009) dan Setiyono et al. (2006), melakukan penelitian mengenai kandungan nutrisi daging kerbau dan daging sapi membuktikan adanya

perbedaan kadar protein yang dihasilkan dari kedua jenis ternak tersebut (Tabel 4). Kadar protein daging kerbau yang diperoleh dari hasil penelitiannya berkisar antara 20,2-24,1 % sedangkan daging sapi sebesar 19,81 %. Hasil tersebut membuktikan bahwa kadar protein daging kerbau lebih tinggi daripada daging sapi. Berbeda dengan hasil penelitian tersebut, kadar protein daging sapi dan kerbau yang digemuk- kan secara feedlot, serta dengan jenis dan jumlah pemberian perlakuan yang sama, menunjukkan kadar protein daging sapi lebih tinggi daripada daging kerbau (Tabel 8). Menurut Setiyono et al. (2006), perbedaan kadar protein yang terkandung dalam daging disebabkan oleh perbedaan spesies ternak dalam mencerna protein pakan yang diberikan serta sistem manajemen pemeliharaan.

Kadar Lemak

Jumlah lemak yang terdapat di dalam daging disebut dengan kadar lemak. Ternak penggemukan mampu memproduksi lemak berlebih dari kebutuhan konsumen, sehingga harus di trim. Komposisi lemak di dalam tubuh atau karkas ruminan tidak mudah berubah, apabila hanya diberi ransum normal dengan kadar 5- 10 % asam lemak jenuh atau tak jenuh. Cadangan energi dalam tubuh ternak ruminansia dapat diperoleh dari lemak (Parakkasi, 1999). Lemak dan minyak yang terdapat di dalam bahan pangan berfungsi sebagai pembentuk tekstur, meningkatkan mutu sensori dan pelarut bagi vitamin esensial seperti vitamin A, D, E dan K karena vitamin ini bersifat larut dalam lemak (Kusnandar, 2010).

Hasil penelitian yang disajikan pada Tabel 8 menunjukkan bahwa pemberian suplemen minyak ikan lemuru terproteksi dalam CGKK dan perbedaan jenis ternak tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar lemak daging yang di- hasilkan. Daging kerbau mengandung kadar lemak dengan rataan 0,67 % dan daging sapi 0,90 %, sedangkan pemberian suplemen minyak ikan lemuru terproteksi dalam CGKK mampu menghasilkan daging dengan kadar lemak sebesar 1,01 % dan daging tanpa pemberian suplemen menghasilkan kadar lemak sebesar 0,59 %. Kadar lemak daging yang tidak berbeda nyata disebabkan oleh umur ternak yang relatif sama yaitu I1 (berumur 2-2,5 tahun), ternak yang berumur 2-2,5 tahun merupakan ternak muda sehingga lemak yang terdeposisi belum maksimal. Menurut Soeparno (2005) ternak muda memproduksi lemak daging dalam jumlah yang relatif rendah, karena perkembangan tubuhnya lebih terkonsentrasi pada otot dan tulang.

Hasil penelitian Kandeepan et al. (2009) dan Setiyono et al. (2006), menunjukkan bahwa kadar lemak daging kerbau yang dipelihara secara ekstensif atau tradisional berkisar antara 0,9 -1,8 %, sedangkan daging sapi yang digemukkan secara intensif memiliki kadar lemak sebesar 5,98 % (Tabel 4). Ternak sapi digemukkan mampu memproduksi daging dengan kadar lemak lebih tinggi daripada daging kerbau yang dipelihara secara ekstensif. Kadar lemak daging kerbau yang digembalakan dan daging sapi yang digemukkan berbeda dengan kadar lemak daging kerbau dan sapi yang sama-sama digemukkan. Kadar lemak daging kerbau dan daging sapi relatif sama, jika keduanya sama-sama digemukkan. Hal ini disebabkan oleh manajemen pemeliharaan, pemberian perlakuan serta pemberian nutrisi tidak berbeda meskipun spesies dari kedua jenis ternak tidak sama. Berdasarkan hasil penelitian Purbowati et al. (2000), yang meneliti tentang komposisi kimia daging domba dengan manajemen pemeliharaan dan pemberian pakan yang sama membuktikan bahwa tidak terdapat perbedaan kadar lemak yang dihasilkan. Hal ini dapat disebabkan oleh jenis pakan yang dikonsumsi relatif sama sehingga konsumsi energi dan protein juga sama.

Komponen Asam Lemak

Asam lemak merupakan komponen penyusun lemak (Muchtadi et al., 2002). Asam lemak umumnya berasal dari pakan yang diberikan kepada ternak. Komponen asam lemak daging kerbau dan sapi yang diamati pada bagian Longisimus dorsi atau bagian otot loin pada rusuk ke-12 dan 13 yang telah diberi suplemen minyak ikan lemuru terproteksi dalam CGKK dan tanpa pemberian suplemen dalam ransum adalah pengamatan kadar asam jenuh, asam lemak tak jenuh, EPA (Eicosapentaenoic Acid) dan DHA (Docosahexaenoic Acid). Hasil analisis komponen asam lemak daging kerbau dan sapi pada bagian Longsismus dorsi atau bagian otot loin pada rusuk ke-12 dan 13 sesuai peubah yang diamati, disajikan pada Tabel 9 berikut:

Tabel 9. Rataan Komponen Asam Lemak Daging Berdasarkan Jenis Ternak dengan Suplemen Pakan CGKK dan Non CGKK

Komponen Asam Lemak Perlakuan Jenis ternak Rataan (%) Kerbau Sapi Asam Lemak Jenuh (%) NON CGKK 43,64a±1,76 40,63ab±0,85 41,92±1,99 CGKK 35,09c±1,06 38,29bc±3,40 36,92±3,01 Rata-rata 39,37±4,86 39,46±2,61

Asam Lemak Tak Jenuh (%) NON CGKK 20,63c±2,28 23,70bc±0,83 22,39±2,18 CGKK 30,96a±3,18 27,13ab±2,80 28,77±3,38 Rata-rata 25,80±6,17 25,42±2,64 EPA (%) NON CGKK 0,05±0,03 0,07±0,13 0,06b±0,09 CGKK 0,39±0,16 0,30±0,13 0,34a±0,14 Rata-rata 0,22±0,21 0,18±0,17 DHA (%) NON CGKK 0,02±0,01 0,02±0,01 0,02b±0,01 CGKK 0,05±0,02 0,08±0,04 0,07a±0,03 Rata-rata 0,04±0,02 0,05±0,04

Keterangan : superskrip yang berbeda pada peubah yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)

Asam Lemak Jenuh (Saturated Fatty Acid) dan Asam Lemak Tak Jenuh

(Unsaturated Fatty Acid)

Asam lemak merupakan komponen penyusun lemak yang terdiri dari asam lemak jenuh (Saturated Fatty Acid) dan asam lemak tidak jenuh (Unsaturated Fatty Acid). Asam lemak dinyatakan jenuh apabila rantai hidrokarbonnya tidak memiliki ikatan rangkap atau dijenuhi oleh hidrogen. Asam lemak tak jenuh merupakan asam lemak dengan rantai hidrokarbon tidak dijenuhi oleh hidrogen dan memiliki satu atau lebih ikatan rangkap (Muchtadi et al., 2002). Sifat lemak dapat ditentukan oleh panjang rantai hidrokarbon dan derajat kejenuhan yang dimiliki oleh asam lemak. Umumnya asam lemak jenuh memiliki titik leleh lebih tinggi daripada asam lemak tidak jenuh (Wirahadikusumah, 1985).

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa terjadi interaksi antara perlakuan dan perbedaan jenis ternak terhadap asam lemak

jenuh daging kerbau (Tabel 9). Rataan asam lemak jenuh daging kerbau dengan pemberian suplemen minyak ikan lemuru terproteksi dalam CGKK sebesar 35,09 %, sedangkan daging kerbau tanpa pemberian suplemen sebesar 43,64 %. Rataan asam lemak jenuh daging sapi dengan pemberian suplemen minyak ikan lemuru ter- proteksi dalam CGKK sebesar 38,29 %, sedangkan daging sapi tanpa pemberian suplemen sebesar 40,63 %. Rataan asam lemak jenuh daging kerbau tanpa pemberian suplemen minyak ikan lemuru terproteksi dalam CGKK lebih tinggi (p<0,05) daripada daging kerbau yang diberi suplemen. Sedangkan rataan asam lemak jenuh daging sapi dengan pemberian suplemen minyak ikan lemuru terproteksi dalam CGKK sama dengan asam lemak jenuh daging sapi tanpa suplemen. Penambahan suplemen minyak ikan lemuru terproteksi dalam CGKK mampu menurunkan jumlah asam lemak jenuh yang terdapat di dalam daging kerbau.

Rataan asam lemak tidak jenuh yang dihasilkan menunjukkan bahwa terjadi interaksi antara pemberian perlakuan dan perbedaan jenis ternak (Tabel 9). Rataan asam lemak tidak jenuh daging kerbau dengan pemberian suplemen minyak ikan lemuru terproteksi dalam CGKK sebesar 30,96% dan daging kerbau tanpa pemberian suplemen sebesar 20,63 %. Sedangkan rataan asam lemak tidak jenuh daging sapi dengan pemberian suplemen minyak ikan lemuru terproteksi dalam CGKK sebesar 27,13 % dan pada daging sapi tanpa pemberian suplemen sebesar 23,70 %. Daging kerbau dengan pemberian suplemen minyak ikan lemuru terproteksi dalam CGKK mengandung asam lemak tidak jenuh lebih tinggi (p<0,05) daripada daging kerbau tanpa pemberian suplemen. Sedangkan asam lemak tak jenuh daging sapi dengan pemberian suplemen minyak ikan lemuru terproteksi dalam CGKK sama dengan asam lemak tak jenuh daging sapi tanpa suplemen. Hal ini disebabkan oleh pemberian suplemen minyak ikan lemuru yang mengandung asam lemak tak jenuh. Menurut Tasse (2010), minyak ikan merupakan salah satu sumber asam lemak tidak jenuh, sehingga apabila dimanfaatkan sebagai pakan ternak dapat meningkatkan asam lemak tidak jenuh dan menurunkan asam lemak jenuh dalam daging ataupun produk pangan lainnya, terutama asam lemak omega-3 seperti EPA dan DHA.

Ternak kerbau lebih mampu merespon perlakuan yang diberikan daripada ternak sapi. Hal ini disebabkan oleh pengaruh dari jumlah mikroba yang terdapat di dalam rumen kerbau. Menurut Chalmers and White (1993), pada pH rumen 5,05-7,6

menunjukkan bahwa jumlah protozoa yang dimiliki rumen kerbau lebih tinggi yaitu ±213.400/ml daripada jumlah protozoa yang dimiliki oleh sapi yang hanya ±94.600/ml, sehingga rumen kerbau merupakan lingkungan yang cocok bagi pertumbuhan dan perkembangan protozoa yang dapat membantu proses pencernaan. Menurut Sumardi (2008), rumen memiliki jumlah mikroba yang tigggi disebabkan oleh pH rumen yang semakin rendah (asam), begitu pula sebaliknya. Tingginya jumlah mikroba dalam rumen kerbau menunjukkan bahwa pH rumen kerbau lebih rendah (asam) daripada pH rumen sapi. Menurut Tasse (2010), mekanisme perlindungan asam lemak di dalam minyak ikan lemuru yang diproteksi dalam bentuk sabun kalsium agar tidak terhidrogenasi di dalam rumen, bukan berdasarkan titik cair asam lemak melainkan berdasarkan level keasaman atau pH rumen di dalam usus halus.

Penelitian yang dilakukan oleh Setiyono et al. (2006) dan Juarez et al. (2010), membuktikan bahwa kerbau yang dipelihara secara ekstensif (digembalakan) mengandung asam lemak jenuh sebesar 54,60 % dan daging sapi yang berasal dari ternak yang dipelihara secara intensif mengandung asam lemak jenuh sebesar 36,37 %, sedangkan kandungan asam lemak tak jenuh daging kerbau sebesar 45,25 % dan daging sapi sebesar 63,83 %. Hasil tersebut menunjukkan bahwa kandungan asam lemak tak jenuh daging kerbau dengan digembalakan lebih rendah daripada daging sapi digemukkan. Sedangkan kandungan asam lemak jenuh daging kerbau dengan digembalakan lebih tinggi daripada daging sapi yang digemukkan. Daging kerbau dan sapi mengandung asam lemak jenuh dan tak jenuh berbeda, hal ini disebabkan oleh manajemen pemeliharaan yang berbeda terhadap kedua jenis ternak tersebut. Daging kerbau mengandung asam lemak jenuh lebih tinggi pada saat dipelihara secara ekstensif daripada daging sapi. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini menunjukkan bahwa terjadi perubahan asam lemak jenuh dan tak jenuh pada daging kerbau yang digemukkan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa dengan metode atau manajemen pemeliharaan yang lebih baik (secara intensif) terhadap ternak kerbau, dapat menghasilkan daging berkualitas lebih baik dibandingkan dengan kualitas sebelumnya.

Eicosapentanoic Acid (EPA)dan Docosahexaenoic Acid (DHA)

Asam lemak tidak jenuh digolongkan menjadi tiga, meliputi asam lemak omega-3 (linolenat), asam lemak omega-6 (linoleat) dan asam lemak omega 9 (oleat). Asam lemak oleat adalah asam lemak yang memiliki satu ikatan rangkap pada atom karbon ke-9 sehingga disebut asam lemak omega-9. Asam lemak oleat merupakan asam lemak yang memiliki dua ikatan rangkap yang terletak pada atom karbon ke-6 sehingga disebut dengan asam lemak omega-6. Asam lemak linolenat merupakan asam lemak yang memiliki tiga ikatan rangkap. Ikatan rangkap pertama terletak pada atom karbon ke-3 sehingga disebut asam lemak omega-3. Asam lemak omega-3 merupakan asam lemak yang dibutuhkan bagi kesehatan manusia, terutama asam lemak EPA (Eicosapentaenoic Acid) dan DHA (Docosahexaenoic Acid) (Muchtadi et al., 2002). Miyak ikan lemuru banyak mengandung asam lemak tak jenuh, terutama asam lemak omega-3 seperti EPA dan DHA (Lubis, 1993).

Hasil penelitian yang disajikan oleh Tabel 9 menunjukkan bahwa, perbedaan jenis ternak tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap komponen asam lemak omega-3 berupa EPA dan DHA di dalam daging. Penambahan suplemen minyak ikan lemuru terproteksi dalam bentuk CGKK memberikan pengaruh yang nyata terhadap komponen asam lemak EPA dan DHA pada daging yang dihasilkan. Rata- an asam lemak EPA daging yang diberi suplemen minyak ikan lemuru terproteksi

Dokumen terkait