• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kandungan Nutrisi dan Asam Lemak Daging Kerbau Rawa dan Sapi Peranakan Ongole yang Digemukkan dengan Suplementasi Campuran Garam Karboksilat Kering

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kandungan Nutrisi dan Asam Lemak Daging Kerbau Rawa dan Sapi Peranakan Ongole yang Digemukkan dengan Suplementasi Campuran Garam Karboksilat Kering"

Copied!
120
0
0

Teks penuh

(1)

RINGKASAN

YUNIA DEVIA. D14080150. 2012. Kandungan Nutrisi dan Asam Lemak Daging Kerbau Rawa dan Sapi Peranakan Ongole yang Digemukkan dengan Suplementasi Campuran Garam Karboksilat Kering. Skripsi. Program Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Dr. Ir. Rudy Priyanto Pembimbing Anggota : Dr. Ir. Henny Nuraini, MSi

Kerbau merupakan salah satu jenis ternak penghasil daging. Permintaan daging yang terus meningkat, menjadikan kerbau lokal memiliki peran dalam melengkapi kebutuhan daging sapi di dalam negeri. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan komponen asam lemak dan kandungan nutrisi daging kerbau Rawa dan sapi PO yang digemukkan menggunakan pakan konsentrat yang di-suplementasi minyak ikan lemuru terproteksi dalam bentuk Campuran Garam Karboksilat Kering.

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Lapang Blok A, Laboratorium Produksi Ternak Ruminansia Besar, Fakultas Peternakan, Technopark SEAFAST dan Laboratorium Pusat Penelitian Sumber daya Hayati dan Bioteknologi, Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat, Institut Pertanian Bogor. Ternak yang digunakan adalah ternak jantan yang berjumlah enam ekor kerbau Rawa dan delapan ekor sapi PO. Pakan hijauan dan konsentrat diberikan selama proses pemeliharaan dengan perbandingan 60:40. Jenis perlakuan adalah konsentrat tanpa CGKK dan ksonsentrat + CGKK 45gr/kg konsentrat. Kedua jenis ternak diberi perlakuan selama dua setengah bulan.

Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktoial 2x2. Faktor pertama adalah jenis ternak (kerbau dan sapi) sedangkan faktor kedua adalah penambahan pakan suplemen (konsentrat tanpa CGKK dan konsentrat + CGKK 45 gr/kg konsentrat atau 4,5%). Tiap perlakuan terdiri atas tiga ekor kerbau dan empat ekor sapi, sebagai ulangan. Peubah yang diukur meliputi: kandungan nutrien (kadar air, abu, lemak dan protein) dan komponen asam lemak daging.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kerbau Rawa dan sapi PO yang digemukkan dengan suplementasi minyak ikan lemuru terproteksi dalam bentuk CGKK menghasilkan daging dengan kandungan nutrisi relatif sama. Sementara, terjadi interaksi antara perbedaan jenis ternak dan perlakuan terhadap komponen asam lemak pada daging kerbau. Penambahan suplemen minyak ikan lemuru yang terproteksi dalam bentuk CGKK mampu menurunkan (p<0,05) asam lemak jenuh dan meningkatkan (p<0,05) asam lemak tidak jenuh dalam daging kerbau. Sedangkan, komponen asam lemak di dalam daging sapi tidak dipengaruhi oleh pemberian suplemen CGKK.

(2)

ABSTRACT

The Fatty Acids Composition And Chemical Caharacteristics Of Meat From Cattle And Buffalo Fatten On Feedlot Ration Supplemented By Protected

Lemuru Fish Oil In The Form Of Dried Carboxylate Salt Mixture

Y. Devia, R. Priyanto, and H. Nuraini

Buffalo is a potential meat producing animal. There is an increasing demand of buffalo meat in Indonesian. The study was aimed to examine the fatty acids composition and chemical characteristic of meat from cattle and buffalo fatten on feedlot ration supplemented by protected lemuru fish oil in the form of dried carboxylate salt mixture (DCM). The research used six swamp buffalo and eight Ongole grade cattle. They were assigned to 2x2 factorial model with two animal species (cattle and buffalo) and two level ration (suplemented and not supplemented ration with dried carboxylate salt).The results of this study showed that swamp buffalo and Peranakan Ongole cattle fatten on feedlot ration using protected lemuru fish oil in the form of DCM, produced meat with similar chemical characteristic. Meanwhile, they were significant interaction between ruminant species and ration on fatty acid composition. In buffaloes the addition of the protected lemuru fish oil could significantly decreased (p<0,05) the saturated fatty acid but significantly (p<0,05) increased the unsaturated fatty acid in meat. However, this was not the case for cattle.

(3)

PENDAHULUAN Latar Belakang

Kerbau Rawa (Bubalus bubalis) merupakan salah satu komoditas usaha peternakan yang potensial dalam hal penyediaan daging karena memiliki persentase karkas cukup tinggi yaitu 50-55% serta mampu mengubah makanan yang berkualitas rendah menjadi pertumbuhan otot (Yurleni, 2010). Pemeliharaan ternak kerbau di Indonesia masih dilakukan secara ekstensif dengan pakan berasal dari hijauan tanpa adanya pemberian konsentrat. Umumnya, ternak kerbau dipelihara sebagai ternak kerja, sehingga dipotong pada umur yang sudah tua. Hal ini menyebabkan daging yang dihasilkan menjadi keras dan alot.

Usaha penggemukan ternak pedaging semakin berkembang seiring dengan meningkatnya konsumsi daging di Indonesia dari tahun ketahun. Jenis ternak yang umum digunakan dalam usaha penggemukan adalah sapi potong. Sapi yang umum digunakan dalam usaha penggemukan adalah sapi bakalan impor (Brahman Cross) dan sapi Peranakan Ongole. Kerbau Rawa memiliki prospek yang baik dalam usaha penggemukan. Daging kerbau sangat diminati di beberapa daerah di Indonesia. Penampilan produksi kerbau sebagai penghasil daging dapat ditingkatkan melalui perbaikan pakan dan sistem pemeliharaan secara intensif. Penggemukan kerbau dengan sistem feedlot diharapkan dapat meningkatkan pertambahan bobot badan kerbau dalam waktu yang singkat, serta dapat memperbaiki kualitas daging yang dihasilkan.

Strategi pemberian pakan akan meningkatkan efisiensi pemanfaatan zat gizi, yang digunakan dalam pembentukan jaringan karkas. Ternak harus diberi Pakan yang sesuai dengan kebutuhan hidup pokok, pertumbuhan dan produksi ternak. Umumnya hijauan dan konsentrat digunakan sebagai pakan ternak ruminansia dalam proses penggemukan. Beberapa usaha penggemukan ternak menambahkan pakan suplemen untuk melengkapi kebutuhan nutrisi ternak. Hal ini bertujuan agar produksi ternak menjadi lebih optimal. Penelitian ini menggunakan pakan suplemen minyak ikan lemuru terproteksi dalam bentuk CGKK.

(4)

ikan lemuru adalah asam lemak omega-3 seperti EPA (Eicosapentaenoic Acid C20:5(n-3)) dan DHA (Docosahexaenoic Acid, C22:6(n-3)). Minyak ikan lemuru merupakan bahan pakan yang tidak dapat diberikan kepada ternak secara langsung, karena memiliki palatabilitas yang rendah. Oleh sebab itu, minyak ikan lemuru dihidrolisis dengan asam melalui proses kimiawi, sehingga menghasilkan CGKK agar dapat diberikan kepada ternak secara langsung (Tasse, 2010).

Metode proteksi terhadap minyak ikan lemuru dilakukan karena bertujuan untuk menghindari terjadinya proses biohidrogenasi di dalam rumen ternak ruminansia, yang dapat mengubah asam lemak tak jenuh menjadi asam lemak jenuh. Daging kerbau dan sapi banyak mengandung asam lemak jenuh, disebabkan oleh adanya proses biohidrogenasi di dalam rumen ternak, sehingga terdapat perbedaan kualitas daging ruminansia dan monogastrik. Asam lemak jenuh daging ruminansia dikenal tinggi sehingga dinilai memiliki kandungan nutrisi yang rendah dan men-dapat sorotan negatif bagi kesehatan manusia. Pemberian minyak ikan lemuru terproteksi dalam bentuk CGKK pada ternak kerbau dan sapi diharapkan dapat meningkatkan nilai nutrisi daging yang dihasilkan.

Selain meningkatkan nilai nutrisi dan kandungan EPA dan DHA dalam daging, penelitian ini juga bertujuan untuk melihat perbedaan kualitas daging kerbau dan sapi yang digemukkan secara feedlot dengan penambahan suplemen pakan minyak ikan lemuru terproteksi dalam bentuk CGKK. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi gambaran tentang teknik budidaya kerbau secara intensif untuk menghasilkan daging yang memiliki kandungan asam lemak omega-3 tinggi.

Tujuan

(5)

TINJAUAN PUSTAKA Taksonomi Kerbau

Kerbau merupakan hewan ruminansia dari sub family Bovinae yang berkembang di banyak bagian dunia dan diduga berasal dari daerah India (Hasinah dan Handiwirawan, 2006). Kerbau domestik (Bubalus bubalis) terdiri dari dua tipe yaitu kerbau rawa dan kerbau sungai. Kerbau Rawa adalah kerbau tipe pedaging sedangkan kerbau Sungai merupakan kerbau tipe perah. Taksonomi kerbau (Bubalus bubalis) menurut Fahimuddin (1975) adalah sebagai berikut:

Kerajaan : Animalia Filum : Chordata Kelas : Mamalia Ordo : Arthiodactyla Family : Bovidae Genus : Bos Sub genus: Bubaline Spesies : Bubalus bubalis

Kerbau Sungai (river buffalo) biasa digunakan sebagai ternak perah dan memiliki kebiasaan berkubang pada air jernih. Kerbau Sungai banyak terdapat di India, Pakistan, Mesir, dan daerah Mediterania. Kerbau Rawa (swamp bufallow) tersebar dalam jumlah yang besar di daerah Asia Tenggara. Kerbau Rawa biasanya digunakan sebagai penghasil daging dan hewan kerja. Kerbau sungai di beberapa Negara, dikembangbiakkan untuk produksi susu. Peran dan fungsi lain dari ternak kerbau adalah sebagai penghasil pupuk, sehingga ternak ini sering dijuluki dengan ternak multiguna (Muthalib, 2006).

Karakteristik Ternak Kerbau

(6)

badan pada ternak kerbau sangat dipengaruhi oleh kesempatannya dalam berkubang (Zulbardi et al., 1982; Fahimuddin, 1975).

Kelemahan Ternak Kerbau

Kerbau merupakan salah satu jenis ternak ruminansia yang memiliki be-berapa kelemahan seperti rendah tingkat reproduksinya. Rendahnya tingkat reproduksi pada ternak ini disebabkan oleh beberapa faktor penghambat seperti proses deteksi estrus lebih sulit dan memiliki masa kebuntingan lebih lama dibandingkan dengan ternak sapi, serta ternak kerbau memiliki kemampuan terbatas dalam mengubah kelebihan energi atau tenaga menjadi jaringan lemak. Keterbatasan ternak kerbau dalam mengubah kelebihan energi/tenaga di dalam tubuhnya, me-nyebabkan rendahnya pertambahan bobot badan kerbau meskipun diberi pakan yang berkualitas bagus (Gunawan dan Romjali, 2010).

Kelemahan lain yang terdapat pada ternak kerbau adalah memiliki sistem perkawinan berulang. Sistem perkawinan sering berulang diantara spesies ternak kerbau menyebabkan terjadinya penurunan terhadap produktivitas dan juga populasinya, sehingga peningkatan terhadap populasi ternak kerbau akan sulit untuk ditingkatkan (Darminto et al., 2010; Utomo dan Prawirodigdo, 2010).

Kelebihan Ternak Kerbau

Kerbau merupakan salah satu jenis ternak ruminansia yang memiliki be-berapa kelebihan dibandingkan dengan ternak ruminansia lainnya. Kelebihan ternak kerbau antara lain yaitu mampu beradaptasi dengan baik pada lingkungan kering serta memiliki kemampuan cukup tinggi untuk mengatasi tekanan dan perubahan lingkungan yang ekstrim (Gunawan dan Romjali, 2010; Darminto et al., 2010).

(7)

hanya memiliki ± 94.600/ml protozoa, pada pH rumen 5,05-7,6, sehingga pencernaan pada kerbau dianggap lebih baik. Tingginya jumlah mikroba pada rumen kerbau menunjukkan bahwa lingkungan di dalam rumen kerbau diduga sangat baik untuk tempat tumbuh dan berbiak mikroorganisme rumen seperti protozoa, sehingga membantu proses pencernaan di dalam tubuh ternak (Chalmers dan White, 1993).

Pakan Ternak Kerbau

Pakan ternak kerbau umumnya tidak jauh berbeda dengan pakan sapi yang terdiri atas hijauan dan juga limbah hasil pertanian. Jerami padi, rumput lapang dan daun ubi jalar diberikan pada ternak kerbau sebagai pakan hijauan. Umumnya pakan tambahan jarang diberikan kepada ternak kerbau sehingga kebutuhan gizinya belum terpenuhi secara optimal. Faktor utama untuk meningkatkan produktivitas ternak kerbau adalah memberikan pakan hijauan berkualitas baik (Utomo dan Prawirodigdo, 2010).

Hijauan merupakan pakan utama ternak kerbau, terutama bagi ternak yang digembalakan. Pakan limbah pertanian digunakan sebagai pakan ternak kerbau pada saat proses pemeliharaan secara intensif (digemukkan). Limbah hasil pertanian me-miliki kandungan protein tinggi. Pakan penggemukan dapat memanfaatkan limbah hasil pertanian karena mampu memenuhi kebutuhan ternak, sehingga pertambahan bobot badan ternak mencapai target yang diinginkan dalam waktu relatif singkat. Umumnya beberapa peternak belum mengetahui bahwa limbah hasil per-tanian/perkebunan dapat digunakan sebagai pakan ternak (Indraningsih et al., 2006). Menurut Mayunar (2006), pemilihan pakan hijauan dan konsentrat untuk ternak dapat disesuaikan dengan ketersediaan bahan yaitu mudah dan murah untuk men-dapatkannya, serta sesuai dengan syarat kebutuhan dasar bagi ternak yang dipelihara.

Kualitas Pakan Ternak

(8)

komposisi dan kandungan nutrisi di dalamnya, terutama terhadap protein kasar, lemak kasar, serat kasar dan tingkat kecernaan. Produktivitas sapi potong tergantung pada pemberian pakan, oleh sebab itu ketersediaan, jumlah dan mutu harus diperhatikan dalam pemilihan pakan sebelum diberikan kepada ternak. Tabel 1 menunjukkan perbandingan nutrisi pakan limbah hasil pertanian terhadap standar mutu pakan untuk ternak dewasa.

Tabel 1. Perbandingan Nutrisi Limbah Pertanian/Perkebunan dengan Mutu Standar Pakan Untuk Sapi

No Parameter

Limbah

pertanian/perkebunan Kisaran nilai standar (%) Padi Jagung

1 Bahan kering (%) 66,0 21,0 80-90 2 Protein kasar (%) 3,9 3,3 12-15

3 Lemak kasar (%) 0,9 - 2-3

4 Serat kasar (%) 33,0 20,2 15-21

5 TDN 38,1 16,3 58-65

Sumber : Indraningsih et al. (2006)

Limbah hasil pertanian dapat digunakan sebagai pakan ternak, meskipun kandungan nutrisinya relatif rendah dibandingkan standar mutu pakan untuk sapi dewasa. Pakan limbah hasil pertanian digunakan sebagai pakan suplementasi hal ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi ternak. Suplementasi dilakukan karena umumnya limbah hasil pertanian mengandung protein lebih baik daripada hijauan pakan ternak. Limbah tanaman dapat digunakan sebagai pakan, namun perlu dilakukan pemilihan (seleksi), karena bertujuan untuk mengurangi efek samping terhadap kesehatan ternak. Seleksi dapat dilakukan dengan mengetahui kandungan nutrisi pakan limbah pertanian, kandungan toksin/kandungan zat antinutrisi di dalam tanaman.

Sistem Pemeliharaan Ternak Kerbau

(9)

lahan sawah tidak ditanami padi dan di lapangan penggembalaan. Saat sore hari ternak kerbau dikandangkan dan biasanya dimandikan terlebih dahulu (Rusdiana dan Herawati, 2009). Pemeliharaan ternak secara ekstensif apabila ditinjau dari segi usaha maka dinilai tidak merugikan, hal ini disebabkan karena hampir semua biaya produksi tidak ada. Sistem pemeliharaan dilakukan secara ekstensif sangat tidak diharapkan, jika bertujuan untuk memenuhi kebutuhan daging secara nasional. Hal ini disebabkan oleh lama waktu yang dibutuhkan untuk penggemukan sangat lama. Sistem pemeliharaan terhadap ternak kerbau secara ekstensif sangat bergantung pada ketersediaan dan penggunaan rumput alam sebagai pakan utama bagi ternak (Muthalib, 2006).

Penerapan pemeliharaan secara sistem intensif mampu menghasilkan produksi lebih efisien. Sistem pemeliharaan secara intensif dapat memungkinkan ternak mengkonsumsi ransum berkualitas baik, memanfaatkan hasil ikutan industri pertanian sebagai pakan tambahan, mempermudah pengawasan kesehatan ternak serta penggunaan lahan relatif lebih sedikit dibandingkan dengan sistem ekstensif. Peningkatan dalam usaha perkembangan ternak kerbau dapat dilakukan dengan perbaikan pola pemeliharaanya ke arah yang lebih intensif (Parakkasi, 1999; Muthalib, 2006).

Kendala Pemeliharaan Ternak Kerbau

(10)

Perkembangan Ternak Kerbau

Secara umum populasi ternak kerbau mengalami penurunan (Tabel 2), hal ini disebabkan oleh perkembangbiakan ternak kerbau masih relatif lambat sehingga tingkat produktivitasnya rendah.

Tabel 2. Populasi Ternak (000) Ekor 2007-2010

Jenis ternak

Tahun

2007 2008 2009 2010*)

Sapi potong 11.515 12.257 12.760 13.633

Sapi perah 374 458 475 495

Kerbau 2.086 1.931 1.933 2.005

Kuda 401 393 399 409

Kambing 14.470 15.147 15.815 16.821

Domba 9.514 9.605 10.199 10.932

Babi 6.711 6.338 6.975 7.212

Ayam buras 272.251 243.423 249.964 268.957 Ayam petelur 111.489 107.955 99.768 103.841 Ayam pedaging 891.659 902.052 991.281 1.249.952

Itik 35.867 38.840 42.318 45.292

Keterangan : *Angka Sementara

Sumber : Direktorat Jendral Peternakan (2011)

(11)

manajemen pemeliharaannya (Lubis dan Sitepu, 1999; Diwyanto dan Handiwirawan, 2006). Oleh sebab itu, untuk memperbaiki kondisi tersebut diperlu-kan usaha peningkatan produksi dan mutu genetik ternak melalui berbagai upaya penerapan teknologi.

Penggemukan Ternak Kerbau

Usaha penggemukan ternak kerbau pada saat ini belum banyak dilakukan oleh peternak maupun oleh pihak swasta. Usaha ini memiliki prospek sangat baik apabila diikuti dengan perbaikan manajemen pemeliharaan, penggunaan sumberdaya lokal secara optimal dan teknologi tepat guna. Usaha penggemukan ternak kerbau telah dilakukan pada beberapa daerah salah satunya di Jawa Barat. Usaha peng-gemukan tersebut dilakukan selama 62 hari dengan menggunakan inovasi teknologi dan memanfaatkan jerami padi fermentasi. Proses penggemukan kerbau ini meng-gunakan empat macam perlakuan yaitu pemberian pakan basal berupa jerami segar dan jerami fermentasi, serta ditambahkan pakan penguat berupa konsentrat (Priyanti dan Saptati, 2006). Penggemukan ternak merupakan usaha untuk mempercepat dan meningkatkan bobot potong ternak ruminansia dalam waktu relatif singkat, karena ternak dipelihara pada suatu lokasi kandang dengan sistem pemberian pakan yang lebih baik (Dania dan Poerwoto, 2006).

(12)

Produksi Daging Kerbau

Produksi daging kerbau di Indonesia menurut Badan Pusat Statistik (2011), pada tahun 2010 hanya sebesar 37.299 ton, angka ini sangat kecil dibandingkan dengan kontribusi daging sapi yang sebesar 435.299 ton (Tabel 3). Kebutuhan ternak pedaging sebagai sumber daging (halal) utama, meningkat setiap tahunnya terutama di Indonesia. Kebutuhan daging sapi terus meningkat. Hal ini disebabkan oleh populasi dan pendapatan yang juga meningkat setiap tahunnya, akan tetapi tidak diikuti dengan peningkatan populasi ternak sebagai penghasil daging (Tabel 2). Besarnya peran ternak sapi sebagai penghasil daging disebabkan oleh pelaku industri dan pemerintah hanya memfokuskan kepada ternak ini saja sehingga potensi ternak lain sebagai sumber daging seperti kerbau menjadi kurang mendapat peluang untuk dioptimalkan. Agar dapat memenuhi kebutuhan daging di dalam negeri serta mengurangi impor daging dari luar negeri dapat dilakukan dengan menentukan ternak alternatif sebagai penghasil daging seperti kerbau dan juga ternak ruminansia lainnya. Kerbau merupakan salah satu alternatif ternak untuk dikembangkan karena memiliki potensi sebagai ternak penghasil daging (Indraningsih et al., 2006).

Tabel 3. Produksi Daging (ton) di Indonesia Tahun 2009-2010

Pulau Sapi Kerbau

2009 2010 2009 2010

Sumatera 78.529 82.035 16.338 17.336

Jawa 256.439 273.959 10.318 11.803

Bali 6.383 6.325 16 17

Nusa 13.053 13.909 3.015 3.040

Kalimantan 21.806 22.691 1.402 1.440

Sulawesi 27.414 30.217 3.205 3.294

Maluku 1.561 1.659 290 308

Papua 4.123 4.504 61 61

Indonesia 409.308 435.299 34.645 37.299 Sumber : Badan Pusat Statistik (2011)

Daging Kerbau

(13)

(kendaraan). Akibatnya, menghasilkan daging kerbau tidak empuk, juiceness rendah, flavour kurang enak sehingga tidak memenuhi syarat sebagai daging yang bermutu baik (Direktorat Jendral Peternakan, 2005). Menurut Darminto et al. (2010), perbaikan kualitas daging kerbau dari ternak pekerja dapat dilakukan dengan me-nerapkan sistem pemeliharaan baru yaitu secara intensif. Daging berkualitas baik dapat dihasilkan apabila selama proses pemeliharaan ternak kerbau diberikan pakan yang baik, yaitu kombinasi antara hijauan dan konsentrat serta perbaikan dalam manajemen pemeliharaan.

Karakteristik Daging Kerbau dan Daging Sapi

Kerbau Lumpur menurut Darminto et al. (2010), digunakan sebagai ternak pekerja dan setelah itu dijual sebagai sumber daging. Karakteristik daging kerbau Menurut Diwyanto dan Handiwirawan (2006), yaitu lebih merah dibanding daging sapi karena memiliki pigmentasi lebih banyak dan memiliki lemak intramuskular yang rendah, sehingga daging yang dihasilkan menjadi lebih keras dan alot daripada daging sapi. Kelebihan daging kerbau daripada daging sapi yaitu memiliki kandung-an lemak daging ykandung-ang rendah. Hal ini dapat disebabkkandung-an oleh kemampukandung-an ternak kerbau yang terbatas dalam mengubah kelebihan energi atau tenaga menjadi jaringan lemak. Karakteristik daging kerbau tersebut menyebabkan beberapa konsumen ter-tentu yang memiliki masakan tradisional unik lebih menyukai daging kerbau, seperti masyarakat yang sebagian besar berada di wilayah Sumatera Barat, Jawa Barat, Sulawesi Selatan dll.

Penelitian yang dilakukan oleh Burhanudin et al. (2002) terhadap tingkat kesukaan daging kerbau membuktikan bahwa konsumen kurang menyukai daging kerbau disebabkan oleh dagingnya yang keras dan alot. Menurut Williamson dan Payne (1993), daging kerbau dengan karakteristik alot bukan disebabkan oleh pengaruh intrinsik, akan tetapi karena hewan ini dipotong pada umur tua.

Kandungan Nutrisi Daging Kerbau dan Daging Sapi

(14)

dihasil-kan. Komposisi kimia daging kerbau dan sapi diperoleh dari hasil penelitian yang dilakukan oleh dua orang peneliti yang berbeda disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Perbandingan Karakteristik Daging Kerbau dan Sapi dengan Sistem Pemeliharaan yang Berbeda

Parameter Kerbau Sapi

Kadar Air (%) 74-78 77,64

Kadar Protein (%) 20,2-24,1 19,81

Kadar Abu (%) 1,00 1,08

Kadar Lemak (%) 0,9-1,8 5,98

Sumber : Kandeepan et al. (2009) dan Setiyono et al. (2006)

Tabel 4 diatas menunjukkan hasil analisa kandungan nutrisi daging kerbau yang dipelihara secara ekstensif dan sapi yang dipelihara secara intensif (digemukkan). Kedua jenis ternak tersebut dipelihara dengan manajemen yang ber-beda. Penelitian yang dilakukan oleh Kandeepan et al. (2009) dan Setiyono et al. (2006) menunjukkan bahwa kandungan nutrisi daging kerbau dan sapi memiliki persentase hampir sama, meskipun kedua jenis ternak tersebut berada pada sistem pemeliharaan yang berbeda. Kadar air, kadar protein dan kadar abu dari daging sapi hampir sama dengan daging kerbau. Berbeda terhadap kadar lemak daging yang menunjukkan bahwa kadar lemak daging sapi yang digemukkan lebih tinggi daripada daging kerbau yang dipelihara secara ekstensif (digembalakan pada lahan pastura).

Ternak kerbau umumnya dipelihara secara ekstensif (digembalakan) sedang-kan ternak sapi lebih sering dipelihara secara intensif (digemuksedang-kan). Kedua jenis ternak tersebut dipelihara pada sistem berbeda, sehingga tingkat asupan gizi dan juga nutrisi yang diperoleh juga berbeda. Menurut Rebak et al. (2010), perbedaan kandungan nutrisi daging kerbau dan sapi dari hasil penelitian tersebut, dapat di-sebabkan oleh perbedaan sistem pemberian pakan dan juga manajemen pemeliharaan dari kedua jenis ternak tersebut.

(15)

ruminansia memiliki kandungan nutrisi yang sedikit dipengaruhi oleh perbedaan spesies. Pada dasarnya Otot mamalia memiliki komposisi kimia yang sangat ber-variasi. Menurut Usmiati dan Priyanti (2006), daging dari ternak ruminansia memiliki variasi komposisi kimia atau kandungan nutrisi yang tergantung dari jenis spesies ternak, umur, jenis kelamin dan letak serta fungsi daging di dalam tubuh.

Asam Lemak Daging Kerbau dan Daging Sapi

Muchtadi et al. (2002), menyatakan bahwa lemak tersusun atas asam-asam lemak yang meliputi asam lemak jenuh (Saturated Fatty Acid) dan asam lemak tidak jenuh (Unsaturated Fatty Acid). Asam lemak jenuh yaitu apabila rantai hidrokarbon-nya tidak memiliki ikatan rangkap dan dijenuhi oleh hidrogen. Sedangkan asam lemak tak jenuh yaitu apabila rantai hidrokarbonnya tidak dijenuhi oleh hidrogen sehingga memiliki satu atau lebih ikatan rangkap. Tabel 5 berikut menunjukkan kandungan asam lemak pada daging kerbau dan daging sapi yang dihasilkan oleh peneliti yang berbeda.

Tabel 5. Komponen Asam Lemak Daging Kerbau dan Daging Sapi pada Sistem Pemeliharaan yang Berbeda

Parameter Daging sapi* Daging kerbau**

Asam lemak jenuh (%) 36,37 54,60

Asam lemak tak jenuh (%) 63,83 45,25

C20:5n-3 (%) - 0,04

C22:6n:3 (%) - 0,10

Sumber : Setiyono et al. (2006)* dan Juarez et al. (2010)**

(16)

Hasil penelitian yang diperoleh dari beberapa peneliti tersebut membuktikan bahwa terdapat perbedaan kandungan asam lemak jenuh dan tak jenuh pada daging sapi dan kerbau (Tabel 5). Hal ini disebabkan oleh perbedaan manajemen pe-meliharaan yang diberikan pada ternak selama proses penelitian. Perbedaan asam lemak jenuh dan tak jenuh yang terkandung di dalam daging sapi dan kerbau menurut Setiyono et al. (2006), dapat disebabkan oleh perbedaan faktor genetik antara kedua daging yang berasal dari spesies ternak yang berbeda.

Daging kerbau memiliki struktur komposisi kimia, nilai nutrisi, palatabilitas dan bagian karkas yang dapat dikonsumsi hampir sama dengan daging sapi. Daging kerbau dianggap oleh masyarakat memiliki kandungan kolesterol yang rendah, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai sumber pangan hewani yang sehat. Daging kerbau mengandung kadar kolesterol yang rendah, hal ini disebabkan oleh keter-batasan ternak kerbau dalam mengubah energi/tenaga menjadi jaringan lemak. Lemak daging kerbau terpusat di bawah kulit dan rongga tubuh sedangkan sedikit diantara daging. Daging kerbau memiliki jumlah lemak yang sedikit sehingga tingkat kolesterolnya lebih rendah dibandingkan dengan daging sapi (Usmiati dan Priyanti, 2006; Darminto et al., 2010; Gunawan dan Romjali, 2010). Menurut Muctadi et al. (2002), asam-asam lemak adalah komponen penyusun lemak. Rendahnya asam-asam lemak dapat disebabkan karena kadar lemak yang sedikit terdapat pada daging.

Pencernaan dan Penyerapan Lemak

(17)

Teknologi Perlindungan Lemak

Proses perlindungan pakan yang mengandung asam lemak tak jenuh dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti proses saponifikasi (sabun kalsium), meng-gunakan formalin, melalui hidrolisis basa dan hidrolisis asam. Pembuatan Campuran Garam Karboksilat kering dilakukan secara kimiawi melalui hidrolisis asam. Minyak ikan lemuru diolah dengan proses hidrolisis asam karena memiliki waktu lebih singkat dibandingkan dengan hidrolisis basa, sehingga lemak tidak banyak ter-oksidasi. Pembuatan garam karboksilat dengan cara hidrolisis asam diawali dengan mereaksikan bahan lemak dengan larutan asam klorida (HCl). Minyak ikan merupa-kan lemak terhidrolisis oleh larutan HCl (Asam). Agar dapat memperoleh garam karboksilat, maka minyak ikan lemuru terhidrolisis dengan asam harus ditambah dengan larutan KOH. Campuran antara minyak ikan terhidrolisis dengan asam kemudian ditambah larutan KOH sehingga menghasilkan garam karboksilat. Setelah terbentuk menjadi garam karboksilat maka dicampurkan dengan onggok. Perbandingan antara jumlah onggok dan minyak ikan adalah 1 : 5 b/b. Kemudian campuran onggok garam karboksilat tersebut dikeringkan pada oven dengan suhu 320C, sehingga diperoleh Campuran Garam Karboksilat Kering (CGKK). Proses pengeringan dilakukan bertujuan untuk memperoleh CGKK dengan kadar air 15% (Tasse, 2010).

Proses penyerapan campuran garam karboksilat oleh ternak ruminansia, yaitu terjadi pemisahan antara onggok dan garam karboksilat di dalam rumen atau abomasal. Garam karboksilat akan terionisasi menjadi karboksilat dan kalium. Proses selanjutnya yaitu karboksilat akan diserap oleh sel intestinal (usus halus) kemudian berikatan dengan gliserol (diesterifikasi) sehingga membentuk lipid (lemak) dan kemudian bergabung dengan chilomikron dan VLDL. Kemudian dibawa ke jaringan tubuh dan asam lemak akan dilepaskan dari lemak dalam kapiler darah lalu asam lemak akan diabsorbsi dan disimpan menjadi lemak daging terutama asam lemak EPA dan DHA (Tasse, 2010).

(18)

lingkungan asam (pH 2-3). pH rumen normal menyebabkan garam kalsium tidak dapat terdegradasi atau terurai. Namun, pada lingkungan asam garam kalsium akan terpisah dalam bentuk lemak dan kalium. Pemisahan antara kalium dan lemak menyebabkan asam lemak akan terbebas sehingga mudah dipecah serta dapat diserap di dalam tubuh ternak (Tasse, 2010).

Minyak Ikan Lemuru

Minyak ikan lemuru (Sardinella longiseps), merupakan limbah industri pengalengan ikan lemuru yang memiliki potensi sebagai sumber asam lemak tak jenuh, dengan kandungan sekitar 85,61% (Maryana, 2002). Minyak ikan lemuru dapat dimanfaatkan sebagai sumber asam lemak dan dapat dijadikan pakan ternak, karena ketersediannya yang tinggi dan juga memiliki kandungan asam lemak tak jenuh (Tabel 6) berupa EPA (Eicosapentaenoic Acid) dan DHA (Docosahexaenoic Acid) (Lubis, 1993). Hasil penelitian Dewi (1996) membuktikan bahwa minyak ikan lemuru memiliki kandungan EPA sebesar 15 % sedangkan DHA sebesar 11 %.

(19)

Tabel 6. Komposisi Asam Lemak yang Terkandung pada Minyak Ikan Lemuru Asam lemak % komposisi g/100 g contoh

C14:0 12,5 6,20

C16:0 9,5 1,05

C16:1 3,8 0,65

C17:1 0,8 0,20

C18:0 0,8 0,34

C18:1 3,9 1,62

C18:2 1,1 0,45

C18:3n-6 0,1 0,04

C18:3n-3 0,6 0,24

C20:0 1,6 0,68

C20:1n-4 0,1 0,01

C20:2n-6 0,1 0,01

C20:3n-3 1,3 0,21

C20:5n-3 (EPA) 34,7 8,67

C22:n-4 0,5 0,2

C22:3n-3 0,4 0,16

C22:6n-3 (DHA) 27,1 6,77

Sumber : Lubis (1993)

Sapi Peranakan Ongole

(20)

besar, selain itu sapi PO juga memiliki gelambir yang lebar, bergantung dan belipat yang umbuh sampai tali pusar (Payne dan Hodges, 1997).

(21)

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan mulai dari bulan Juni hingga September 2011. Pemeliharaan Kerbau Rawa dan sapi Peranakan Ongole (PO) dilaksanakan selama dua setengah bulan, di Laboratorium lapang Blok A, Fakultas Peternakan. Pem-buatan suplemen Campuran Garam Karboksilat Kering di Laboratorium Produksi Ternak Ruminansia Besar, Fakultas Peternakan dan Technopark SEAFAST, Fakultas Teknologi Pertanian. Analisis komponen asam lemak dan kandungan nutrisi daging di Laboratorium Terpadu Baranangsiang dan Laboratorium Pusat Penelitian Sumber daya Hayati dan Bioteknologi, Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat, Institut Pertanian Bogor.

Materi Ternak

Penelitian ini menggunakan enam ekor ternak kerbau Rawa jantan dengan rataan bobot hidup 218,66 ± 16,28 kg dan delapan ekor ternak sapi Peranakan Ongole (PO) jantan dengan rataan bobot hidup 217,37 ± 15,44 kg yang ditempatkan pada kandang individu. Daging yang digunakan untuk dianalisa (uji proksimat dan uji komponen asam lemak) adalah daging kerbau dan sapi yang terdapat di bagian otot Longisimus dorsi pada rusuk ke-12 dan 13.

Kandang dan Peralatan

(22)

Pakan dan Air Minum

Pakan yang diberikan berupa hijauan yang terdiri atas rumput gajah dan rumput lapang yang dicampur dengan tongkol jagung. Konsentrat yang digunakan merupakan konsentrat komersial. Konsentrat komersial tersebut dicampur dengan kulit ari kedelai dari limbah pembuatan tempe. Pakan hijauan dan konsentrat diberikan sesuai dengan kebutuhan ternak kerbau dan sapi berdasarkan bahan kering. Penambahan Campuran Garam Karboksilat Kering dilakukan dengan mencampur-kannya ke dalam konsentrat yang diberikan. Air minum ternak selalu tersedia di dalam bak air minumnya. Berikut pada Tabel 7 disajikan komposisi dan kandungan nutrien ransum penelitian yang diberikan terhadap ternak kerbau dan sapi.

Tabel 7. Komposisi dan Kandungan Nutrien Pakan Perlakuan Berdasarkan Bahan Kering Komposisi zat-zat makanan (%) R1 (Hijauan + Konsentrat) R2

(Hijauan + Konsentrat + CGKK) Berat Kering* Abu* Lemak Kasar* Protein Kasar* Serat kasar* BETN** TDN** 33,33 7,42 2,25 13,65 35,80 40,87 57,79 33,58 7,25 2,91 13,82 35,93 40,09 58,87 *Hasil analisa Proksimat

**Berdasarkan perhitungan

TDN (Hartadi et al., 1980) = (92,64 – 0,338(SK)) – (6,945(LK) – 0,762(BETN)) + (1,115(PK) + 0,031(SK)2)– (0,133(LK)2 + 0,036(SK)(BETN)) + (0,207(LK)(BETN) + 0,100(LK)(PK)) – (0,022(LK)2(PK))

Prosedur

Penelitian dilakukan dalam beberapa tahap yaitu tahap pembuatan Campuran Garam Karboksilat Kering (CGKK), tahap pemeliharan ternak kerbau dan sapi selama dua setengah bulan secara feedlot, tahap pemotongan, tahap analisis kandungan nutrisi dan komponen asam lemak daging.

Pembuatan Campuran Garam Karboksilat Kering (CGKK)

(23)

beberapa kali sesuai dengan ketersediaan CGKK saat pemeliharaan. Seperti terlihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Skema Proses Pembuatan CGKK Persiapan Bahan

Penimbangan Bahan-Bahan seperti HCl, KOH dan onggok

HCl dan KOH dilarutkan terpisah dengan menggunakan aquades

Minyak ikan + larutan HCl (0,2M) dikocok

Dimasukkan aquadest lalu dipanaskan dan diaduk sampai berbusa hingga suhu mencapai

700C selama 30 menit

Larutan KOH ditambahkan (konsentrasi berdasarkan

angka asam/0,2M)

Diaduk dan didinginkan

Dicampur kedalam onggok dan diaduk hingga rata

Dikeringkan di dalam oven pada suhu 320C

Siap diberikan kepada ternak dengan di campur dengan

(24)

Pembuatan CGKK dimulai dengan persiapan bahan-bahan kimia yaitu KOH, dan HCl yang ditimbang, kemudian diencerkan. Apabila semua bahan sudah siap, maka proses awal yang dilakukan adalah minyak ikan lemuru dipanaskan, Kemudian dicampur dengan HCl (0,2M), minyak ikan sebagai lemak yang terhidrolisis oleh larutan HCl tersebut dikocok lalu ditambah dengan aquades dan adonan diaduk hingga suhunya 700C, bila sudah mencapai suhu tersebut maka ditambahkan dengan larutan KOH dengan konsentrasinya berdasarkan angka asam (0,2M), kemudian aduk hingga rata. Adonan yang telah tercampur rata kemudian didinginkan lalu di-campur dengan onggok dan diaduk hingga halus dan merata serta sampai di-campuran adonan tersebut tidak ada yang menggumpal. Jumlah onggok yang digunakan berdasarkan perbandingan antara minyak ikan dengan onggok 1:5 b/b. Adonan yang sudah halus dan rata kemudian dikeringkan di dalam oven pada suhu 320C. Hasil pengeringan campuran tersebut merupakan Campuran Garam Karboksilat Kering (CGKK). Pengeringan dilakukan agar CGKK awet dan tidak berjamur. Campuran Garam Karboksilat Kering (CGKK) yang telah dikeringkan dapat dicampur dengan konsentrat dengan kadar yaitu 4,5% atau 45 gr/kg konsentrat dan siap untuk di-konsumsi oleh ternak.

Persiapan dan Pemeliharaan Kerbau dan Sapi

(25)

Pemberian pakan dibagi menjadi tiga tahap yaitu pagi, siang dan sore. Mekanisme pemberian konsentrat untuk kerbau dan sapi yang diberi perlakuan penambahan CGKK dapat dibagi menjadi dua tahap. Tahap pertama adalah sebagian kecil dari total konsentrat dicampur dengan CGKK, kemudian diberikan kepada ternak. Tahap kedua adalah pemberian sisa konsentrat yang tidak dicampur CGKK, setelah konsentrat yang diberikan pada tahap pertama telah habis dikonsumsi. Apabila total konsentrat yang diberikan telah habis dimakan maka diberikan minum dan juga hijauan sesuai dengan ketentuan yang telah dibuat.

Pemotongan Ternak

Penyembelihan dilakukan di RPH (Rumah Potong Hewan) Fakultas Peternakan. Ternak yang akan disembelih ditimbang bobot potongnya terlebih dahulu, kemudian dimandikan dan diberi tanda (berupa nomor) dengan meng-gunakan spidol marker agar mudah dalam mengidentifikasi. Ternak digiring masuk ke ruang pemingsanan (knocking box) lalu dipingsankan (stunning) dengan meng-gunakan alat cash knocker yang dipukulkan tepat dipertengahan dahi di antara kedua kelopak mata. Penyembelihan dilakukan dengan memotong vena jugularis, oesophagus dan trachea, lalu didiamkan sebentar sampai pengeluaran darah sempurna, setelah ternak mati, salah satu kaki belakang diikatkan dengan rantai pada ujung katrol listrik dan kemudian secara perlahan ditarik ke atas sampai meng-gantung sempurna pada rel pengmeng-gantung (roller dan shackling chain). Peng-gantungan dilakukan pada tendon Achilles. Kepala, keempat kaki, ekor dan kulit dipisahkan dari tubuh ternak, Kaki belakang dilepas dengan gunting listrik. Kepala dilepas dari tubuh pada sendi occipito-atlantis (heading). Kaki depan dan belakang dilepaskan pada sendi Carpo-metacarpal dan sendi Tarso-metatarsal. Pengulitan (skinning) dilakukan dengan membuat irisan dari anus sampai leher melewati bagian perut dan dada, juga dari arah kaki belakang dan kaki depan menuju irisan tadi. Kulit dilepas dari arah ventral perut dan dada ke arah dorsal dan punggung.

(26)

sebelah kiri dan kanan. Karkas disimpan dalam chilling room pada suhu 2-5oC selama ±24 jam.

Sebelum dilakukan pembentukan potongan komersial karkas (wholesale cuts), bobot setengah karkas ditimbang sebagai bobot karkas dingin/layu. Karkas yang diamati potongan komersialnya adalah karkas sebelah kiri, setengah karkas sebelah kiri ini dibelah menjadi dua bagian terlebih dahulu sebelum dideboning, yaitu pada ruas tulang rusuk 12 dan 13. Seperempat bagian depan (forequarter) meliputi chuck, blade, cuberoll, brisket dan shin. Seperempat bagian belakang (hindquarter) meliputi striploin atau sirloin, tenderloin, rump, silverside, topside, knuckle, flank dan shank. Semua potongan komersial karkas kemudian ditimbang dan dicatat sebagai bobot potongan komersial karkas.

Analisa Sifat Kimia Daging

Analisa sifat kimia daging dilakukan di Laboratorium Pusat Penelitian Sumber daya Hayati dan Bioteknologi, Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat, Institut Pertanian Bogor. Pengujian komponen asam lemak daging dilakukan di laboratorium Terpadu Baranangsiang Institut Pertanian Bogor. Analisa pada daging kerbau dan sapi dengan pemberian suplemen berupa minyak ikan lemuru terproteksi dalam Campuran Garam Karboksilat Kering (CGKK) bertujuan untuk mengetahui serta melihat peningkatan kandungan nutrisi dan komponen asam lemak pada produk daging. Analisa kandungan nutrien pada daging meliputi kadar air, kadar protein kasar, kadar abu serta kadar lemak. Analisa komponen asam lemak meliputi komponen asam lemak jenuh, asam lemak tak jenuh, EPA (Eicosapentaenoic Acid) dan DHA (Docosahexaenoic Acid) pada daging.

A. Analisa Proksimat 1. Kadar Air

(27)

cawan dan dimasukkan ke dalam oven bersuhu 1500C selama 8 jam kemudian ditimbang. Adapun persamaan untuk mencari kadar air pada sampel daging yang telah diuji, adalah sebagai berikut:

Kadar Air (%) =

2. Kadar Protein Kasar

Metode Kjeldahl dilakukan untuk mengetahui kadar protein pada daging. Metode ini terdiri dari beberapa tahap yaitu destruksi, destilasi, dan titrasi. Langkah awal yang dilakukan adalah sampel ditimbang sebanyak 0,25 gram dan dimasukkan kedalam labu kjeldahl 100 ml dan ditambahkan selenium 0,25 gram dan 3 ml H2SO4 pekat. Proses awal yang dilakukan setelah penimbangan sampel yaitu proses destruksi (pemanasan dalam keadaaan mendidih) selama 1 jam, sampai larutan jernih. Sampel yang telah didestruksi dan telah dingin kemudian ditambahkan 50 ml aquadest dan 20 ml NaOH 40%, lalu didestilasi. Hasil destilasi ditampung di dalam labu Erlenmeyer yang berisi campuran 10 ml H3BO3 2% dan 2 tetes indikator Brom Cresol Green-Methyl Red berwarna merah muda. Volume hasil tampungan (destilat) yang menjadi 10 ml dan berwarna hijau kebiru-an, maka proses destilasi dihentikan dan hasil destilasi dititrasi dengan HCl 0,1 N sampai berwarna merah muda. Perlakuan yang sama dilakukan juga terhadap blanko. Metode diatas yang telah dilakukan sehingga di-peroleh kadar nitrogen total yang dihitung dengan rumus :

%N =

Kadar Protein Kasar (%) = 6,25 x %N Keterangan :

S = volume titran sampel (ml) B = volume titran blanko (0.15 ml) W = bobot sampel (mg)

(28)

Kadar protein diperoleh dengan mengalikan kadar Nitrogen. Faktor perkalian yang umum digunakan untuk berbagai bahan pangan berkisar antara 5,18 – 6,38.

3. Kadar Lemak Kasar

Uji kadar lemak diperoleh dengan cara metode Soxhlet. Metode ini dilakukan dengan cara lemak diekstraksi terlebih dahulu. Langkah pertama yang dilakukan adalah sebanyak 2 gram sampel disebar di atas kapas yang telah diberi alas kertas saring dan kemudian digulung mem-bentuk thimble lalu dimasukkan kedalam labu soxhlet. Proses selanjutnya adalah melakukan ekstraksi selama 6 jam dengan pelarut lemak yang berupa heksan sebayak 150 ml. Lemak yang terekstrak kemudian di-keringkan di dalam oven pada suhu 1000C selama 1 jam. Cara mem-peroleh kadar lemak kasar pada sampel yang telah diuji, dapat dihitung dengan persamaan dibawah ini:

Kadar Lemak Kasar (%) =

4. Kadar Abu

Kadar abu dilakukan untuk mengetahui kandungan mineral yang terdapat pada sampel yang di analisa. Langkah awal dalam uji kadar abu adalah sebanyak 1 gram sampel ditempatkan di dalam cawan porcelain lalu dibakar sampai tidak berasap, kemudian diabukan di dalam tanur dengan suhu 6000C selama 2 jam dan setelah itu ditimbang. Cara memperoleh kadar abu dapat dihitung dengan persamaan dibawah ini:

Kadar Abu (%) =

B. Analisis Komponen Asam Lemak

(29)

Langkah awal yang dilakukan dalam melakukan analisa asam lemak adalah lemak atau minyak dihidrolisis menjadi asam lemak, kemudian ditransformasi menjadi bentuk ester yang bersifat lebih mudah menguap. Proses transformasi dilakukan dengan cara metilasi sehingga diperoleh metil ester asam lemak (FAME), selanjutnya FAME dianalisis dengan alat kromatografi gas. Identifikasi tiap komponen dilakukan dengan membanding-kan waktu retensinya dengan standar pada kondisi analisis yang sama. Waktu retensi dihitung pada kertas rekorder sebagai jarak dari garis pada saat muncul puncak pelarut sampai ke tengah puncak komponen yang dipertimbangkan. Penentuan komponen dalam contoh dilakukan dengan teknik internal standar. Teknik standar internal dilakukan Untuk meminimal-kan kesalahan akibat volume injeksi, preparasi sampel, pengenceran, dan sebagainya.

Tahap awal yang dilakukan dalam proses analisa asam lemak ini adalah melakukan proses preparasi contoh atau sampel (hidrolisis dan esterifikasi) dengan cara yaitu 20-30 mg contoh lemak atau minyak yang berada di dalam tabung bertutup Teflon ditimbang, lalu ditambahkan 1ml NaOH 0,5 N dalam methanol dan dipanaskan dalam penangas air selama 20 menit. Proses selanjutnya setelah hidrolisis sampel, maka ditambahkan 2 ml BF3 20% dan dipanaskan kembali selama 20 menit kemudian didinginkan dan ditambahkan 2 ml NaCl jenuh serta 1 ml isooctane, lalu dikocok dengan baik setelah itu lapisan isooctane dipindahkan dengan bantuan pipet tetes kedalam tabung yang berisi sekitar 0,1 gram Na2SO4 anhidrat, dibiarkan 15 menit dan yang terakhir adalah dipisahkan antara fasa cair kemudian diinjeksikan ke kromatografi gas.

Tahap berikutnya adalah proses analisis komponen asam lemak sebagai FAME, dengan cara yang pertama yaitu kondisi alat dilakukan pengaturan sebagai berikut :

(1) keadaan kolom : Cyanoprofil methyl sil (capillary column),

(2) dimensi kolom : p = 60 m, Ø dalam = 0,25 mm, 025µm Film Tickness,

(30)

(4) laju alir H2 : 30 ml/menit

(5) laju alir udara : 200 – 250 ml/menit (6) suhu injector : 2200C,

(7) suhu detector : 2400C,

(8) suhu kolom : program temperature, (9) kolom temperature :

(a) rate (0C/menit) = 0, temperature (0C) = 125, hold time (menit) =5, (b) rate (0C/menit) =10, temperature (0C) = 185, hold time (menit) =5, (c) rate (0C/menit) = 5, temperature (0C) = 205, hold time (menit) =10, (d) rate (0C/menit) =3, temperature (0C) = 225, hold time (menit) =7, (10) split ratio :1 : 80,

(11) inject volum : 1 µ L,

(12) linier velocity : 23,6 cm/sec.

Proses selanjutnya setelah pengaturan terhadap alat adalah 1 µ L campuran standar FAME diinjeksikan, bila semua puncak sudah keluar maka diinjeksikan 1 µ L sampel yang telah dipreparasi kemudian diukur waktu retensi dan puncak masing-masing komponen. Waktu retensi yang diperoleh dari alat yang digunakan untuk analisa komponen asam lemak tersebut kemudian dibandingkan dengan standar. Informasi mengenai jenis dari komponen – komponen dalam sampel dan jumlah kandungan komponen dalam sampel dapat dihitung dengan cara sebagai berikut :

Kandungan Asam Lemak =

Keterangan : Ax = Area Sampel As = Area Standar

V = Volume Contoh (Isooctane 1 ml) C = Konsentrasi Standar

(31)

Rancangan dan Analisis Data

Rancangan percobaan yang diterapkan pada penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktoial 2x2. Faktor pertama adalah jenis ternak (kerbau dan sapi) dan faktor kedua adalah pemberian pakan suplemen (konsentrat tanpa CGKK dan konsentrat yang ditambah dengan CGKK 45 gr/kg konsentrat atau 4,5%). Tiap perlakuan terdiri atas tiga ekor kerbau dan empat ekor sapi, sebagai ulangan. Model rancangan yang digunakan untuk percobaan ini adalah :

Yijk = μ + Ai + Bj + (AB)ij + ijk

Keterangan :

Yijk = Hasil pengamatan kandungan nutrisi dan komponen asam lemak daging pada jenis ternak ke-i, dan pemberian pakan suplemen ke-j, dan dengan ulangan ke-k

µ = Nilai rataan umum

Ai Pengaruh jenis ternak pada taraf ke-i

Bj = Pengaruh pemberian pakan suplemen pada taraf ke-j

(AB)ij = Pengaruh interaksi antara faktor jenis ternak pada taraf ke-i dengan pemberian pakan suplemen pada taraf ke-j

εijk = Pengaruh galat percobaan yang berasal dari faktor jenis ternak ke-i dan perlakuan pemberian pakan suplemen ke-j pada ulangan ke-k

(32)

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian

Ternak percobaan yang digunakan adalah ternak jantan berjumlah 14 ekor, terdiri dari enam ekor kerbau Rawa dan delapan ekor sapi PO (Gambar 2 dan Gambar 3). Ternak tersebut dibedakan menjadi dua kelompok. Tiga ekor kerbau dan empat ekor sapi diberi pakan dengan penambahan suplemen minyak ikan lemuru terproteksi dalam CGKK, sedangkan tiga ekor dan empat ekor lainnya tidak (sebagai kontrol). Suplemen pakan berupa CGKK ini berbahan dasar minyak ikan lemuru yang berasal dari limbah pengalengan ikan. Pemanfaatan limbah minyak ikan lemuru dilakukan karena minyak ikan lemuru memiliki kandungan asam lemak tak jenuh yang tinggi, sehingga dapat meningkatkan kandungan nutrisi di dalam daging. Minyak ikan lemuru merupakan bahan pakan yang tidak dapat diberikan kepada ternak secara langsung, karena memiliki palatabilitas yang rendah. Oleh sebab itu, minyak ikan lemuru dihidrolisis dengan asam melalui proses kimiawi, sehingga menghasilkan CGKK agar dapat diberikan kepada ternak secara langsung.

(33)
[image:33.595.119.510.83.369.2]

Gambar 2. Kondisi Kandang Sapi Penelitian

Gambar 3. Kondisi Kandang Kerbau Penelitian

Nilai Nutrisi Daging

[image:33.595.112.512.91.657.2]
(34)
[image:34.595.94.516.88.818.2]

daging kerbau memiliki struktur kimia, nilai nutrisi dan palatabilitas yang hampir sama dengan daging sapi. Konsumen dibeberapa daerah cenderung menyukai daging kerbau, karena kadar lemaknya relatif rendah. Namun, masyarakat umumnya lebih mengenal daging sapi dibanding daging kerbau. Hal ini disebabkan oleh karakteristik daging kerbau yang keras dan alot. Darminto et al. (2010) menyatakan bahwa daging kerbau memiliki karakteristik yang keras dan alot karena umumnya kerbau digunakan sebagai ternak kerja dan dipotong pada umur yang tua (5-7) tahun. Adapun hasil pengukuran nilai nutrisi daging dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8. Rataan Kandungan Nutrisi Daging Berdasarkan Jenis Ternak dengan Suplemen Pakan CGKK dan Non CGKK

Parameter Perlakuan Jenis ternak Rataan (%) Kerbau Sapi

Kadar air (%)

NON CGKK 74,70±0,60 73,69±0,56 74,12±0,75 CGKK 74,53±1,42 74,20±1,82 74,34±1,54 Rata-rata 74,61±0,98 73,95±1,28

Kadar abu (%)

NON CGKK 0,29±0,21 0,88±0,13 0,63±0,35 CGKK 0,28±0,02 0,76±0,25 0,56±0,32 Rata-rata 0,29b±0,14 0,82a±0,20

Kadar lemak (%)

NON CGKK 0,35±0,17 0,77±0,45 0,59±0,40 CGKK 0,99±0,70 1,03±0,44 1,01±0,51 Rata-rata 0.67±0,57 0,90±0,43

Kadar protein (%)

NON CGKK 18,90±0,27 20,94±0,40 20,06±1,13 CGKK 18,55±0,78 21,14±0,40 20,03±1,49 Rata-rata 18,72b±0,56 21,04a±0,38

Keterangan : superskrip yang berbeda pada peubah yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)

Kadar Air

(35)

Hasil penelitian yang disajikan oleh Tabel 8 menunjukkan bahwa pemberian suplemen minyak ikan lemuru terproteksi dalam bentuk CGKK dan perbedaan jenis ternak, tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar air daging yang dihasilkan. Daging kerbau menghasilkan rataan kadar air sebesar 74,61 % dan daging sapi sebesar 73,95 %. Ternak yang diberi suplemen minyak ikan lemuru terproteksi dalam CGKK menghasilkan daging dengan kadar air sebesar 74,34 % dan kadar air daging tanpa suplemen sebesar 74,21 %. Kadar air daging relatif sama disebabkan oleh tingkat asupan air serta bahan kering dari pakan antar perlakuan relatif sama. Kadar air daging yang diperoleh dalam penelitian ini masih berada pada kisaran kadar air daging pada umumnya yaitu antara 68-80 persen (Soeparno, 2005).

Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Kandeepan et al. (2009) dan Setiyono et al. (2006), menghasilkan rataan kadar air daging kerbau berkisar antara 74-78 %, pada ternak kerbau yang dipelihara secara ekstensif, sedangkan kadar air daging diperoleh sebesar 77,64 %, pada ternak sapi yang digemukkan (Tabel 4). Penelitian ini menunjukkan bahwa kandungan air dalam daging relatif sama meskipun kedua jenis ternak dipelihara pada sistem yang berbeda. Ternak kerbau yang dipelihara secara tradisional (Tabel 4) dan secara feedlot (Tabel 8) meng-hasilkan daging dengan kadar air yang sama. Kadar air daging kerbau dan sapi tidak berbeda, hal ini sesuai dengan hasil penelitian Purbowati et al. (2000) yang melihat komposisi kimia daging domba dan membuktikan bahwa kadar air daging tidak berbeda antara spesies ternak. Manajemen pemeliharaan yang berbeda tidak mempengaruhi kadar air daging yang dihasilkan, karena daging yang dianalisis berasal dari ternak muda sehingga kadar airnya relatif konstan yaitu sekitar 75 %. Penelitian ini menggunakan ternak muda yang berumur 2-2,5 tahun. Menurut Parakkasi (1999), variasi kadar air di dalam tubuh atau karkas umumnya dipengaruhi beberapa hal antara lain umur, banyak lemak dalam tubuh dan tingkat pemberian pakan. Hewan yang diberi pakan dalam jumlah yang tinggi selama proses pe-meliharaan, akan meningkatkan perlemakan pada karkas sehingga kadar air tubuhnya relatif menurun.

Kadar Abu

(36)

adalah mineral. Daging merupakan salah satu bahan pangan yang dapat dijadikan sumber mineral. Daging mengandung mineral kalsium, tetapi dalam jumlah sedikit. Sumber mineral berupa kalsium lebih banyak terdapat pada tulang dan gigi (Andarwulan et al., 2011).

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, menunjukkan bahwa pem-berian suplemen minyak ikan lemuru terproteksi dalam bentuk CGKK tidak mem-pengaruhi kadar abu daging yang dihasilkan. Rataan kadar abu daging yang di-peroleh dari pemberian suplemen minyak ikan lemuru terproteksi dalam CGKK sebesar 0,56 %, sedangkan rataan kadar abu daging tanpa pemberian suplemen sebesar 0,63 %. Perbedaan jenis ternak mempengaruhi kadar abu daging yang dihasilkan. Daging sapi memiliki kadar abu dengan rataan sebesar 0,82 % dan daging kerbau sebesar 0,29 %. Daging sapi memiliki kadar abu lebih tinggi (P<0,05) daripada daging kerbau. Kadar abu daging merupakan mineral daging. Menurut Purbowati et al. (2000), variasi kadar abu di dalam daging relatif kecil.

Menurut Kandeepan et al. (2009) dan Setiyono et al. (2006), daging kerbau memilki kadar abu sebesar 1 % yang dipelihara secara tradisional, sedangkan daging sapi memiliki kadar abu sebesar 1,08 % pada saat digemukkan (Tabel 4). Kadar abu daging kerbau yang digembalakan dan sapi yang digemukkan memiliki perbedaan, meskipun tidak terlalu tinggi. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa kadar abu daging sapi lebih tinggi daripada daging kerbau. Hal ini disebabkan oleh per-bedaan sumber mineral yang diperoleh dari kedua jenis ternak tersebut. Daging kerbau memiliki kadar abu lebih rendah pada saat ternak dipelihara dengan di-gembalakan, karena sumber mineral yang diberikan hanya berasal dari rumput. Ber-beda dengan kerbau, daging sapi memiliki kadar mineral lebih tinggi pada ssat digemukkan, hal ini disebabkan oleh pemberian sumber mineral terhadap ternak sapi yang digemukkan tidak hanya berasal dari hijauan namun ditambah dengan konsentrat. Menurut Setiyono et al. (2006), umumnya daging memiliki kadar abu yang relatif sama dan rata-rata kadar abu yang dimiliki tersebut masih berkisar hanya 1%.

(37)

dan Setiyono et al. (2006), yang membuktikan bahwa kadar abu daging sapi lebih tinggi daripada daging kerbau. Penelitian ini menggunakan suplemen minyak ikan lemuru terproteksi dalam CGKK. Suplemen yang ditambahkan adalah garam yang berasal dari asam dan basa kuat yang direaksikan secara kimiawi. Penambahan suplemen ini mengakibatkan peningkatan kadar abu (mineral) daging yang dihasilkan. Menurut Usmiati dan Priyanti (2006), daging merupakan sumber pangan hewani yang mengandung mineral dan tidak mudah berubah meskipun telah melewati proses pengolahan, kecuali adanya penambahan garam mineral pada saat dilakukan pemeliharaan ternak atau pengolahan daging.

Kadar Protein

Protein merupakan salah satu senyawa organik komplek yang mengandung asam amino dan terikat antara satu dengan lainnya melalui ikatan peptida. Asam amino merupakan komponen penyusun protein, jumlah asam amino yang terdapat dalam suatu bahan pangan dinyatakan dengan kadar protein. Kandungan asam amino dalam daging menentukan mutu protein daging yang dihasilkan. Daging merupakan salah satu sumber protein utama yang dapat dijadikan sebagai sumber asam amino esensial. Protein dalam bahan pangan dapat berfungai sebagai pengental, peng-emulsi, pembentuk gel, pembentuk buih dan sebagainya (Kusnandar, 2010).

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, pemberian perlakuan suplemen minyak ikan lemuru terproteksi dalam CGKK tidak mempengaruhi kadar protein daging yang dihasilkan. Rataan kadar protein daging diperoleh sebesar 20,03 % dengan pemberian suplemen minyak ikan lemuru terproteksi dalam CGKK, sedangkan rataan kadar protein daging tanpa pemberian suplemen sebesar 20,06 %. Perbedaan jenis ternak mempengaruhi kadar protein daging yang dihasilkan. Daging sapi memiliki rataan kadar protein sebesar 21,04 % dan daging kerbau sebesar 18,72 %. Daging sapi memiliki kadar protein lebih tinggi (P<0,05) daripada daging kerbau. Perbedaan kadar protein daging disebabkan oleh perbedaan spesies ternak. Meskipun kadar protein daging yang dihasilkan oleh kedua jenis ternak tersebut berbeda, namun kadar protein daging masih berada pada kisaran kadar protein normal yaitu 16-22 % (Soeparno, 2005).

(38)

perbedaan kadar protein yang dihasilkan dari kedua jenis ternak tersebut (Tabel 4). Kadar protein daging kerbau yang diperoleh dari hasil penelitiannya berkisar antara 20,2-24,1 % sedangkan daging sapi sebesar 19,81 %. Hasil tersebut membuktikan bahwa kadar protein daging kerbau lebih tinggi daripada daging sapi. Berbeda dengan hasil penelitian tersebut, kadar protein daging sapi dan kerbau yang digemuk-kan secara feedlot, serta dengan jenis dan jumlah pemberian perlakuan yang sama, menunjukkan kadar protein daging sapi lebih tinggi daripada daging kerbau (Tabel 8). Menurut Setiyono et al. (2006), perbedaan kadar protein yang terkandung dalam daging disebabkan oleh perbedaan spesies ternak dalam mencerna protein pakan yang diberikan serta sistem manajemen pemeliharaan.

Kadar Lemak

Jumlah lemak yang terdapat di dalam daging disebut dengan kadar lemak. Ternak penggemukan mampu memproduksi lemak berlebih dari kebutuhan konsumen, sehingga harus di trim. Komposisi lemak di dalam tubuh atau karkas ruminan tidak mudah berubah, apabila hanya diberi ransum normal dengan kadar 5-10 % asam lemak jenuh atau tak jenuh. Cadangan energi dalam tubuh ternak ruminansia dapat diperoleh dari lemak (Parakkasi, 1999). Lemak dan minyak yang terdapat di dalam bahan pangan berfungsi sebagai pembentuk tekstur, meningkatkan mutu sensori dan pelarut bagi vitamin esensial seperti vitamin A, D, E dan K karena vitamin ini bersifat larut dalam lemak (Kusnandar, 2010).

(39)

Hasil penelitian Kandeepan et al. (2009) dan Setiyono et al. (2006), menunjukkan bahwa kadar lemak daging kerbau yang dipelihara secara ekstensif atau tradisional berkisar antara 0,9 -1,8 %, sedangkan daging sapi yang digemukkan secara intensif memiliki kadar lemak sebesar 5,98 % (Tabel 4). Ternak sapi digemukkan mampu memproduksi daging dengan kadar lemak lebih tinggi daripada daging kerbau yang dipelihara secara ekstensif. Kadar lemak daging kerbau yang digembalakan dan daging sapi yang digemukkan berbeda dengan kadar lemak daging kerbau dan sapi yang sama-sama digemukkan. Kadar lemak daging kerbau dan daging sapi relatif sama, jika keduanya sama-sama digemukkan. Hal ini disebabkan oleh manajemen pemeliharaan, pemberian perlakuan serta pemberian nutrisi tidak berbeda meskipun spesies dari kedua jenis ternak tidak sama. Berdasarkan hasil penelitian Purbowati et al. (2000), yang meneliti tentang komposisi kimia daging domba dengan manajemen pemeliharaan dan pemberian pakan yang sama membuktikan bahwa tidak terdapat perbedaan kadar lemak yang dihasilkan. Hal ini dapat disebabkan oleh jenis pakan yang dikonsumsi relatif sama sehingga konsumsi energi dan protein juga sama.

Komponen Asam Lemak

(40)
[image:40.595.107.513.115.466.2]

Tabel 9. Rataan Komponen Asam Lemak Daging Berdasarkan Jenis Ternak dengan Suplemen Pakan CGKK dan Non CGKK

Komponen Asam

Lemak Perlakuan

Jenis ternak

Rataan (%) Kerbau Sapi

Asam Lemak Jenuh (%)

NON CGKK 43,64a±1,76 40,63ab±0,85 41,92±1,99 CGKK 35,09c±1,06 38,29bc±3,40 36,92±3,01 Rata-rata 39,37±4,86 39,46±2,61

Asam Lemak Tak Jenuh (%)

NON CGKK 20,63c±2,28 23,70bc±0,83 22,39±2,18 CGKK 30,96a±3,18 27,13ab±2,80 28,77±3,38 Rata-rata 25,80±6,17 25,42±2,64

EPA (%)

NON CGKK 0,05±0,03 0,07±0,13 0,06b±0,09 CGKK 0,39±0,16 0,30±0,13 0,34a±0,14 Rata-rata 0,22±0,21 0,18±0,17

DHA (%)

NON CGKK 0,02±0,01 0,02±0,01 0,02b±0,01 CGKK 0,05±0,02 0,08±0,04 0,07a±0,03 Rata-rata 0,04±0,02 0,05±0,04

Keterangan : superskrip yang berbeda pada peubah yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)

Asam Lemak Jenuh (Saturated Fatty Acid) dan Asam Lemak Tak Jenuh

(Unsaturated Fatty Acid)

Asam lemak merupakan komponen penyusun lemak yang terdiri dari asam lemak jenuh (Saturated Fatty Acid) dan asam lemak tidak jenuh (Unsaturated Fatty Acid). Asam lemak dinyatakan jenuh apabila rantai hidrokarbonnya tidak memiliki ikatan rangkap atau dijenuhi oleh hidrogen. Asam lemak tak jenuh merupakan asam lemak dengan rantai hidrokarbon tidak dijenuhi oleh hidrogen dan memiliki satu atau lebih ikatan rangkap (Muchtadi et al., 2002). Sifat lemak dapat ditentukan oleh panjang rantai hidrokarbon dan derajat kejenuhan yang dimiliki oleh asam lemak. Umumnya asam lemak jenuh memiliki titik leleh lebih tinggi daripada asam lemak tidak jenuh (Wirahadikusumah, 1985).

(41)

jenuh daging kerbau (Tabel 9). Rataan asam lemak jenuh daging kerbau dengan pemberian suplemen minyak ikan lemuru terproteksi dalam CGKK sebesar 35,09 %, sedangkan daging kerbau tanpa pemberian suplemen sebesar 43,64 %. Rataan asam lemak jenuh daging sapi dengan pemberian suplemen minyak ikan lemuru ter-proteksi dalam CGKK sebesar 38,29 %, sedangkan daging sapi tanpa pemberian suplemen sebesar 40,63 %. Rataan asam lemak jenuh daging kerbau tanpa pemberian suplemen minyak ikan lemuru terproteksi dalam CGKK lebih tinggi (p<0,05) daripada daging kerbau yang diberi suplemen. Sedangkan rataan asam lemak jenuh daging sapi dengan pemberian suplemen minyak ikan lemuru terproteksi dalam CGKK sama dengan asam lemak jenuh daging sapi tanpa suplemen. Penambahan suplemen minyak ikan lemuru terproteksi dalam CGKK mampu menurunkan jumlah asam lemak jenuh yang terdapat di dalam daging kerbau.

Rataan asam lemak tidak jenuh yang dihasilkan menunjukkan bahwa terjadi interaksi antara pemberian perlakuan dan perbedaan jenis ternak (Tabel 9). Rataan asam lemak tidak jenuh daging kerbau dengan pemberian suplemen minyak ikan lemuru terproteksi dalam CGKK sebesar 30,96% dan daging kerbau tanpa pemberian suplemen sebesar 20,63 %. Sedangkan rataan asam lemak tidak jenuh daging sapi dengan pemberian suplemen minyak ikan lemuru terproteksi dalam CGKK sebesar 27,13 % dan pada daging sapi tanpa pemberian suplemen sebesar 23,70 %. Daging kerbau dengan pemberian suplemen minyak ikan lemuru terproteksi dalam CGKK mengandung asam lemak tidak jenuh lebih tinggi (p<0,05) daripada daging kerbau tanpa pemberian suplemen. Sedangkan asam lemak tak jenuh daging sapi dengan pemberian suplemen minyak ikan lemuru terproteksi dalam CGKK sama dengan asam lemak tak jenuh daging sapi tanpa suplemen. Hal ini disebabkan oleh pemberian suplemen minyak ikan lemuru yang mengandung asam lemak tak jenuh. Menurut Tasse (2010), minyak ikan merupakan salah satu sumber asam lemak tidak jenuh, sehingga apabila dimanfaatkan sebagai pakan ternak dapat meningkatkan asam lemak tidak jenuh dan menurunkan asam lemak jenuh dalam daging ataupun produk pangan lainnya, terutama asam lemak omega-3 seperti EPA dan DHA.

(42)

menunjukkan bahwa jumlah protozoa yang dimiliki rumen kerbau lebih tinggi yaitu ±213.400/ml daripada jumlah protozoa yang dimiliki oleh sapi yang hanya ±94.600/ml, sehingga rumen kerbau merupakan lingkungan yang cocok bagi pertumbuhan dan perkembangan protozoa yang dapat membantu proses pencernaan. Menurut Sumardi (2008), rumen memiliki jumlah mikroba yang tigggi disebabkan oleh pH rumen yang semakin rendah (asam), begitu pula sebaliknya. Tingginya jumlah mikroba dalam rumen kerbau menunjukkan bahwa pH rumen kerbau lebih rendah (asam) daripada pH rumen sapi. Menurut Tasse (2010), mekanisme perlindungan asam lemak di dalam minyak ikan lemuru yang diproteksi dalam bentuk sabun kalsium agar tidak terhidrogenasi di dalam rumen, bukan berdasarkan titik cair asam lemak melainkan berdasarkan level keasaman atau pH rumen di dalam usus halus.

(43)

Eicosapentanoic Acid (EPA)dan Docosahexaenoic Acid (DHA)

Asam lemak tidak jenuh digolongkan menjadi tiga, meliputi asam lemak omega-3 (linolenat), asam lemak omega-6 (linoleat) dan asam lemak omega 9 (oleat). Asam lemak oleat adalah asam lemak yang memiliki satu ikatan rangkap pada atom karbon ke-9 sehingga disebut asam lemak omega-9. Asam lemak oleat merupakan asam lemak yang memiliki dua ikatan rangkap yang terletak pada atom karbon ke-6 sehingga disebut dengan asam lemak omega-6. Asam lemak linolenat merupakan asam lemak yang memiliki tiga ikatan rangkap. Ikatan rangkap pertama terletak pada atom karbon ke-3 sehingga disebut asam lemak omega-3. Asam lemak omega-3 merupakan asam lemak yang dibutuhkan bagi kesehatan manusia, terutama asam lemak EPA (Eicosapentaenoic Acid) dan DHA (Docosahexaenoic Acid) (Muchtadi et al., 2002). Miyak ikan lemuru banyak mengandung asam lemak tak jenuh, terutama asam lemak omega-3 seperti EPA dan DHA (Lubis, 1993).

(44)

menghasilkan daging yang mengandung asam lemak omega-3 (EPA dan DHA) dalam jumlah yang tinggi.

Asam lemak tak jenuh omega-3 (EPA dan DHA) pada daging yang diperoleh dari hasil penelitian ini meningkat, hal ini disebabkan oleh pakan yang diberikan sebagai suplemen untuk ternak kerbau dan sapi berasal dari minyak ikan lemuru yang terproteksi dalam bentuk CGKK. Minyak ikan lemuru menurut Lubis (1993), mengandung asam lemak tak jenuh omega-3 yang tinggi, karena mengandung EPA sebesar 34,7%, dan DHA sebesar 6,77%.

(45)

Minyak ikan sering digunakan dalam ransum sebagai sumber asam lemak EPA dan DHA. Minyak ikan sulit dicampur dengan pakan lain, sehingga perlu diolah sebelum diberikan dalam ransum ternak. CGKK merupakan produk pengolahan minyak ikan yang dapat dijadikan sebagai sumber asam lemak. CGKK merupakan hasil pengeringan antara campuran onggok dan garam karboksilat (Tasse, 2010). Pemberian minyak ikan lemuru terproteksi dalam bentuk CGKK kepada ternak kerbau dan sapi, bertujuan agar menghasilkan daging yang mengandung asam lemak omega-3. Menurut Simopaulus (2002), asam lemak omega-3 (linolenat) merupakan asam lemak yang dibutuhkan oleh tubuh karena memproduksi EPA dan DHA.

(46)

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Ternak kerbau yang diberi pakan mengandung minyak ikan lemuru ter-proteksi dalam bentuk CGKK nyata meningkatkan kandungan asam lemak tak jenuh dan menurunkan asam lemak jenuh dalam daging. Sementara, hal ini tidak terjadi pada ternak sapi. Kerbau yang digemukkan secara feedlot menghasilkan daging dengan kadar protein dan kadar abu lebih rendah dibandingkan dengan daging sapi.

Saran

(47)

KANDUNGAN NUTRISI DAN ASAM LEMAK DAGING KERBAU RAWA DAN SAPI PERANAKAN ONGOLE

YANG DIGEMUKKAN DENGAN SUPLEMENTASI CAMPURAN GARAM KARBOKSILAT KERING

SKRIPSI YUNIA DEVIA

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(48)

KANDUNGAN NUTRISI DAN ASAM LEMAK DAGING KERBAU RAWA DAN SAPI PERANAKAN ONGOLE

YANG DIGEMUKKAN DENGAN SUPLEMENTASI CAMPURAN GARAM KARBOKSILAT KERING

SKRIPSI YUNIA DEVIA

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(49)

RINGKASAN

YUNIA DEVIA. D14080150. 2012. Kandungan Nutrisi dan Asam Lemak Daging Kerbau Rawa dan Sapi Peranakan Ongole yang Digemukkan dengan Suplementasi Campuran Garam Karboksilat Kering. Skripsi. Program Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Dr. Ir. Rudy Priyanto Pembimbing Anggota : Dr. Ir. Henny Nuraini, MSi

Kerbau merupakan salah satu jenis ternak penghasil daging. Permintaan daging yang terus meningkat, menjadikan kerbau lokal memiliki peran dalam melengkapi kebutuhan daging sapi di dalam negeri. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan komponen asam lemak dan kandungan nutrisi daging kerbau Rawa dan sapi PO yang digemukkan menggunakan pakan konsentrat yang di-suplementasi minyak ikan lemuru terproteksi dalam bentuk Campuran Garam Karboksilat Kering.

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Lapang Blok A, Laboratorium Produksi Ternak Ruminansia Besar, Fakultas Peternakan, Technopark SEAFAST dan Laboratorium Pusat Penelitian Sumber daya Hayati dan Bioteknologi, Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat, Institut Pertanian Bogor. Ternak yang digunakan adalah ternak jantan yang berjumlah enam ekor kerbau Rawa dan delapan ekor sapi PO. Pakan hijauan dan konsentrat diberikan selama proses pemeliharaan dengan perbandingan 60:40. Jenis perlakuan adalah konsentrat tanpa CGKK dan ksonsentrat + CGKK 45gr/kg konsentrat. Kedua jenis ternak diberi perlakuan selama dua setengah bulan.

Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktoial 2x2. Faktor pertama adalah jenis ternak (kerbau dan sapi) sedangkan faktor kedua adalah penambahan pakan suplemen (konsentrat tanpa CGKK dan konsentrat + CGKK 45 gr/kg konsentrat atau 4,5%). Tiap perlakuan terdiri atas tiga ekor kerbau dan empat ekor sapi, sebagai ulangan. Peubah yang diukur meliputi: kandungan nutrien (kadar air, abu, lemak dan protein) dan komponen asam lemak daging.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kerbau Rawa dan sapi PO yang digemukkan dengan suplementasi minyak ikan lemuru terproteksi dalam bentuk CGKK menghasilkan daging dengan kandungan nutrisi relatif sama. Sementara, terjadi interaksi antara perbedaan jenis ternak

Gambar

Tabel 1.  Perbandingan Nutrisi Limbah Pertanian/Perkebunan dengan Mutu Standar
Tabel 2.  Populasi Ternak (000) Ekor 2007-2010
Tabel 3.  Produksi Daging (ton) di Indonesia Tahun 2009-2010
Tabel 6.  Komposisi Asam Lemak yang Terkandung pada Minyak Ikan Lemuru
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil analisis indeks dominansi menyatakan bahwa dominansi jenis ikan di perairan mangrove Desa Karangsong termasuk dalam kategori “Rendah” dengan nilai indeks dominansi

Kitin and I were even more excited to meet four Indo- nesian pastors: Father Irsan, Father Nugie, Father Setyawan and Father Heru. We spent our free time trying street food

program khusus dirancang untuk memberikan bimbingan karir kepada.. mahasiswa dari kelompok minoritas, mahasiswa penyandang cacat,

[r]

Dari hasil pengujian yang dilakukan, dengan citra “naga.bmp” yang mempunyai resolusi 128x128 pixel , maka nilai yang didapat untuk hasil yang masih baik adalah dengan metode

Pertumbuhan produksi industri manufaktur besar dan sedang pada triwulan II tahun 2017 (y on y) mengalami kenaikan sebesar 5.37 persen dibandingkan triwulan yang sama

Dalam hasil wawancara yang sudah saya uraikan dalam bagian perkawinan adat orang Sasak, disitu kita bisa melihat bahwa ada juga orangtua yang terkejut dan sedih melihat anak

x Peran petugas dalam membantu pasien memperoleh rata-rata 2.63 dengan keterangan baik. Ditandai dengan petugas membantu pasien mulai dari administrasi sampai