• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tingkah Laku Kerbau Rawa yang Dipelihara Secara Feedlot yang Diberi Ransum Dengan Suplementasi Campuran Garam Karboksilat Kering (CGKK)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tingkah Laku Kerbau Rawa yang Dipelihara Secara Feedlot yang Diberi Ransum Dengan Suplementasi Campuran Garam Karboksilat Kering (CGKK)"

Copied!
104
0
0

Teks penuh

(1)

RINGKASAN

DELVITA YUNIZA. 2013. Tingkah Laku Kerbau Rawa yang Dipelihara Secara Feedlot yang Diberi Ransum Dengan Suplementasi Campuran Garam Karboksilat Kering (CGKK). Skripsi. Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Dr. Ir. M. Yamin, M.Agr.Sc Pembimbing Anggota : Dr. Ir. Rudy Priyanto

Kerbau (Bubalus bubalis) merupakan salah satu ternak ruminansia besar yang telah lama dikenal oleh masyarakat khususnya di pedesaan di Indonesia. Sistem pemeliharaan ternak kerbau di Indonesia dilakukan masih secara ekstensif dengan pakan berasal dari hijauan saja tanpa adanya pemberian konsentrat yang menyebabkan kualitas daging kerbau rendah dibandingkan dengan daging sapi. Daya saing daging kerbau terhadap daging sapi dapat ditingkatkan salah satunya melalui penggemukan. Faktor yang harus diperhatikan pada penggemukan yaitu pemberian pakan yang berkualitas serta pemeliharaan secara intensif. Salah satu alternatif pakan suplemen yang dapat ditambahkan adalah minyak ikan lemuru yang diproteksi ke dalam bentuk campuran garam karboksilat kering (CGKK). Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari tingkah laku kerbau rawa terutama tingkahlaku makan dan minum, melawan, membuang kotoran, merawat diri, dan vokalisasi yang diberi ransum yang disuplementasi minyak ikan lemuru yang terpsoteksi dan dikandangkan secara feedlot. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang kandang A Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Laboratorium Ruminansia Besar Fakultas Peternakan, dan Teknopark SEAFAST Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Ternak yang digunakan adalah enam ekor kerbau Rawa jantan. Jenis perlakuan adalah ternak yang diberi konsentrat CGKK dan konsentrat non CGKK 45gram/kg konsentrat.

Data hasil pengamatan tingkah laku diolah dengan menggunakan Uji Freadman untuk data pengamatan berulang dengan perlakuan lebih dari 2, dan Man Whitney. Data fisiologis diolah dengan uji t untuk mengetahui nilai rataan yang berbeda.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa frekuensi tingkah laku ternak kerbau tidak berbeda nyata (P>0,05) antara pakan yang disuplemen CGKK dengan pakan non CGKK. Tingkah laku kerbau rawa pada pakan yang disuplemen CGKK menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (P>0,05) antara pagi, siang, dan sore hari terhadap kelima tingkah laku, kecuali pada tingkah laku merawat diri yang berbeda nyata (P<0,05) antara pagi dan siang hari, antara sore dan pagi hari. Frekuensi tingkah laku makan, agonistic, merawat diri, eliminasi, dan vokalisasi pada kerbau yang disuplemen non CGKK tidak menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P>0,05) antara pagi hari, siang dan sore hari. Hasil Uji t Pengukuran data fisiologis menunjukkan bahwa denyut jantung, pernapasan dan suhu rektal kerbau rawa pada pagi, siang dan sore hari menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (P<0,05).

(2)

ABSTRACT

The Behaviour of Swamp Buffaloes in Feedlot Maintenance Given Dried Carboxylate Salt Mixture (DCM) Supplement In Feed

Yuniza. D, M. Yamin and R. Priyanto

At present buffalo farming system is still traditional with a relatively low quality of feed. Improvement of the feed quality needs to be developed. The experiment was aimed to study the behaviour and physiological parameters of swamp buffalo as a response of different treatment of feed supplemention protected Lemuru fish oil in dried of carboxylate salts mixture (DCM) 0% and 4,5%. The animals used were six heads of male buffaloes. Observations were conducted in three times, in the morning (8:00 am - 10:00 am), around noon (12:00 am – 2:00 pm) and afternoon (3:00 pm - 5: 00 pm). The parameters included eating behaviour, agonistic, eliminative, grooming, and vocalization. Physiological parameters measured were pulse rate, respiration rate, and rectal temperature. Data analysis used were Man Whitney and Friedman test to analysis frequency different of while two treatment., where as the data of physiology were analysed by t test method. The results show that the eating, agonistic, and eliminative behaviour were dominantly presented in the morning and afternoon both in the two treatments. Grooming behaviour occurred during the day. The physiology of the buffalo bull were not different in both feed treatment. It is concluded that the feed treatments had no effect on the behaviour and phisiology of the swamp buffalo, therefore CGKK can be recommended as a good quality feed for local buffalo.

(3)

PENDAHULUAN Latar Belakang

Kerbau (Bubalus bubalis) merupakan salah satu ternak ruminansia besar yang telah lama dikenal oleh masyarakat khususnya di pedesaan di Indonesia. Kerbau diketahui memiliki beberapa kelebihan diantaranya dapat bertahan hidup dengan pakan yang terbatas, baik dalam hal kualitas maupun kuantitas. Kerbau juga toleran terhadap penyakit atau parasit di daerah tropis, lembab, menyebabkan ketahanan hidup kerbau tinggi pada berbagai agroekosistem di Indonesia. Namun, kondisi peternakan kerbau saat ini bersifat tradisional yang tidak berorientasi pada kebutuhan ternak sehingga menyebabkan rendahnya populasi kerbau serta produktivitasnya. Di Indonesia pemeliharaan ternak kerbau umumnya digunakan sebagai ternak kerja, meningkatkan status sosial, akibatnya ternak dijual dan dipotong pada umur tua, sehingga daging yang dihasilkan mempunyai kualitas yang rendah, seperti daging menjadi keras dan alot, warna daging lebih gelap dan baunya yang tajam dibandingkan dengan daging sapi, sehingga daging kerbau kurang disukai.

(4)

2 terkandung dalam minyak ikan lemuru adalah asam lemak omega-3 seperti EPA (Eicosapentaenoic Acid C20:5(n-3)) dan DHA (Docosahexaenoic Acid, C22:6(n-3)) (Tasse, 2010). Pemberian minyak ikan lemuru terproteksi dalam bentuk CGKK diharapkan dapat meningkatkan nilai nutrisi daging yang dihasilkan.

Dengan sistem pemeliharaan dan pemberian pakan ini akan diketahui perbedaan pengaruh penambahan CGKK dalam ransum terhadap tingkah laku ternak kerbau tersebut. Selama interaksi tersebut ternak akan menimbulkan respon berupa tingkah laku terhadap lingkungan yang dihadapinya, seperti terjadinya tingkah laku makan, disebabkan karena adanya makanan (rangsangan dari lingkungan) dan adanya kebutuhan atau lapar (rangsangan dari dalam) serta kenyamanan ternak saat dipelihara.

Tujuan

(5)

TINJAUAN PUSTAKA Kerbau

Kerbau merupakan hewan ruminansia dari sub family Bovinae yang berkembang di banyak bagian dunia dan diduga berasal dari daerah India. Kerbau domestikasi atau water buffalo yang terdapat saat ini berasal dari spesies bubalus arnee. Spesies kerbau lainnya yang masih liar adalah bubalus mindorensis, bubalus depressicornis dan bubalus caffer (Hasinah dan Handiwirawan, 2006). Kerbau domestik (Bubalus bubalis) terdiri dari dua tipe yaitu kerbau rawa dan kerbau sungai. Kerbau rawa merupakan kerbau tipe pedaging sedangkan kerbau sungai merupakan kerbau tipe perah. Taksonomi kerbau (Bubalus bubalis) menurut Fahimuddin (1975) adalah sebagai berikut:

Kerajaan : Animalia Filum : Chordata Kelas : Mamalia Ordo : Arthiodactyla Family : Bovidae Genus : Bos Sub genus : Bubaline Spesies : Bubalus bubalis

Kerbau sungai (river buffalo) adalah kerbau yang biasa digunakan sebagai ternak perah dan memiliki kebiasaan berkubang pada air jernih. Fahimuddin (1975) menyatakan bahwa kerbau sungai banyak terdapat di India, Pakistan, Mesir, dan daerah Mediterania. Kerbau rawa (swamp buffalo) tersebar dalam jumlah yang besar di daerah Asia Tenggara. Ciri-ciri kerbau rawa menurut Fahimuddin (1975) adalah berwarna keabu-abuan, leher terkulai dan memiliki tanduk besar yang mengarah ke belakang. Kerbau rawa memiliki kebiasaan berkubang pada lumpur. Kerbau rawa biasanya digunakan sebagai penghasil daging dan hewan kerja.

(6)

4 terutama untuk produksi susu dan bahan baku produk olahan susu karena kadar lemak susu kerbau lebih tinggi daripada sapi.

Sistem Pemeliharaan Kerbau

Sistem pemeliharaan ternak kerbau biasanya dilakukan dengan cara ekstensif, terutama di Daerah Kalimantan Timur. Kerbau digembalakan pada padang rumput atau lahan rawa dan pada malam hari kerbau beristirahat di kalang. Hamdan et al, (2006) menjelaskan bahwa sistem pemeliharaan ekstensif sangat bergantung pada dua musim, yaitu musim hujan dan kemarau. Aktivitas kerbau pada musim hujan lebih banyak dihabiskan di dalam kalang, sedangkan pada musim kemarau kerbau banyak beraktivitas di padang penggembalaan. Sistem pemeliharaan secara ekstensif banyak dilakukan di kawasan Timur Indonesia, dimana kondisi agroklimat dan topografi daerahnya didominasi hamparan lahan kering yang luas bervegetasi rumput alam dan semak belukar (Suhubdy, 2009). Kendala yang sering dihadapi peternak dengan sistem pemeliharaan ekstensif dan semi intensif adalah musim dan terbatasnya lahan penggembalaan. Pada musim kemarau peternak sulit memperoleh pakan hijauan sehingga harus mencari ke tempat lain, sedangkan pada musim hujan sering terjadi banjir pada lahan penggembalaan.

(7)

5 produksi. Sistem pemeliharaan intensif dapat memungkinkan ternak mengkonsumsi ransum yang berkualitas baik dan dapat memanfaatkan bahan hasil ikutan industri pertanian sebagai pakan tembahan, selain itu sistem ini mempermudah dalam pengawasan kesehatan ternak dan menggunakan lahan yang sedikit dibandingkan sistem ekstensif.

Produktivitas Ternak Kerbau

Ternak kerbau merupakan salah satu ternak lokal yang belum banyak dikaji potensinya secara optimal padahal merupakan sumberdaya genetik ternak asli Indonesia yang harus dipertahankan. Ternak yang secara genetik beradaptasi terhadap kondisi lingkungan spesifik akan lebih produktif. Ternak kerbau memiliki kemampuan lebih tinggi dibandingkan dengan ternak sapi dalam hal memanfaatkan pakan yang kurang berkualitas (hijauan berprotein rendah dan serat kasar tinggi), karena karakteristik fisiologi pencernaan dan kapasitas perut ternak kerbau lebih banyak dibanding protozoa dan gerakan makanan dalam saluran pencernaan lamban. Hal ini menyebabkan kemampuan untuk memanfaatkan pakan dan kecernaan pakan menjadi lebih tinggi sekitar 2% - 3% per unit (Wanapat,2001).

(8)

6

Tingkah Laku

Ethology biasa juga disebut sebagai ilmu yang mempelajari tingkah laku hewan, yang berasal dari kata ethos yang berarti karakter atau alam dan logos yang berarti ilmu. Mempelajari tingkah laku hewan berarti menentukan karakteristik hewan dan bagaimana responnya terhadap lingkungan. Selama interaksi tersebut ternak akan menimbulkan respon berupa tingkah laku terhadap lingkungan yang dihadapinya (Gonyou,1991). Goin dan Goin (1978) juga menyatakan bahwa perilaku suatu hewan dapat dipengaruhi oleh beberapa variabel seperti genetik, proses belajar dari pengalaman dan beberapa faktor fisiologis termasuk umur dan jenis kelamin.

Perilaku dapat diartikan sebagai ekspresi seekor hewan yang dituangkan dalam bentuk gerakan-gerakan (Prijono, 1997). Grier (1984) berpendapat, bahwa tingkah laku hewan dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor dalam dan faktor luar individu yang bersangkutan, faktor dalam antara lain hormon dan sistem syaraf sedangkan faktor luar antara lain cahaya, suhu dan kelembaban (Grier, 1984). Faktor yang mempengaruhi perilaku dinamakan rangsangan (Tanudimadja dan Kusumamihardja, 1985).

Menurut Scott (1987), pola perilaku dikelompokkan ke dalam sistem informasi, yakni kumpulan pola perilaku-perilaku yang memiliki satu fungsi umum. Praktisnya tingkah laku dapat diartikan sebagai gerak-gerik organisme untuk memenuhi rangsangan dalam tubuhnya dengan memanfaatkan rangsangan dari lingkungannya. Terjadinya tingkah laku makan, disebabkan karena adanya makanan (rangsangan dari lingkungan) dan adanya kebutuhan atau lapar (rangsangan dari dalam). Demikian juga terjadinya tingkah laku kawin, disebabkan karena adanya rangsangan dari dalam, kemudian baru terjadi perkawinan jika ada rangsangan dari lawan jenisnya (Tinberger, 1979).

Tingkah Laku Makan

(9)

7 makan lain adalah ruminasi. Ruminasi yaitu proses mengunyah kembali pakan yang dikeluarkan dari retikulorumen, kemudian dikunyah dengan bantuan saliva (Ensminger, 2002).

Tingkah Laku Agonistik

Wodzicka-Tomaszewaska et al. (1991) menyatakan bahwa Agonistik berasal dari kata latin yang berarti berjuang. Selain itu, agonistik juga mempunyai pengertian yang cukup luas yakni menonjolkan postur, melakukan pendekatan, menakut-nakuti, berkelahi dan terbang, juga meliputi seluruh tingkah laku yang ada hubunganya dengan agresifitas, kepatuhan dan pertahanan. Hafez (1969) menyatakan, agonistik merupakan suatu kegiatan mengkais, menanduk, mendorong dengan bahu. Lari bersama, bergerombol dan lari.

Tingkah laku yang termasuk dalam tingkah laku agonistik adalah berkelahi, berlari atau terbang dan tingkah laku lain yang mempunyai hubungan dengan konflik. Hewan mamalia jantan memiliki tingkah laku berkelahi lebih tinggi dibandingkan dengan betina, hal ini dipengaruhi oleh hormon, terutama oleh hormon testosteron (Ensminger, 1991).

Hart (1985) menyatakan bahwa pola perilaku agonistik merupakan interaksi sosial antara satwa yang dikategorikan beberapa tingkat konflik, yaitu dalam memperoleh makanan, pasangan seksual dan perebutan wilayah istirahat dengan melakukan tindakan yang bersifat ancaman menyerang dan perilaku patuh. Selanjutnya dikatakan pula bahwa perilaku agonistik ini merupakan hal yang penting dalam menetapkan dan mempertahankan hubungan dominan dan subordinat antara tingkatan sosial spesies. Sistem penggembalaan di padang rumput dengan sumber makanan dan air banyak tersedia dapat menunjukkan keadaan perilaku dominan tidak begitu jelas terlihat, tetapi hal ini akan terlihat dengan nyata dan penting pada keadaan berdesakan (Wodzicka-Tomaszewaska et al., 1991).

Tingkah Laku Kerbau

Pemeliharaan kerbau rawa berbeda dengan kerbau atau sapi pada umumnya.

Perbedaan utama terletak pada cara penggembalaan untuk mendapatkan pakan. Pada

(10)

8

Hamdan et al. (2006) pada pukul 7 atau 9 pagi kerbau diturunkan untuk mencari makan dan pada sore hari pulang ke kalang. Pada musim kemarau, aktivitas kerbau

lebih banyak di padang penggembalaan atau jarang pulang ke kandang. Pada lahan

rawa yang kering dibuatkan pagar keliling sebagai tempat penampungan sementara

serta untuk membatasi kerbau agar tidak berjalan terlalu jauh.

Putu et al. (1994) membedakan tingkah laku kerbau rawa atas tingkah laku merumput dan kawin. Pada saat merumput, satu kelompok kerbau dipimpin oleh

seekor pejantan yang mengarahkan kerbau lain dalam kelompoknya menuju padang

penggembalaan. Jarak tempuh kerbau pada saat merumput mencapai 2 km dari

kalang, dengan kecepatan pergerakan rata-rata 2,20 m/menit. Pada waktu kawin,

betina yang sedang berahi biasanya dikelilingi 5−6 ekor pejantan yang berusaha

untuk mengawininya. Waktu perkawinannya tidak menentu.

Tingkah Laku Reproduksi Kerbau Betina dan Jantan

Lita (2009) mengatakan bahwa sistem reproduksi kerbau pada pertanian rakyat yang tidak ada recording dan cara birahinya yang silent heat atau tidak mengeluarkan suara dan cenderung diam merupakan salah satu penyebab lambatnya perkembang biakan kerbau di Indonesia. Terzano et al. (2005) menyatakan lebih dari dua pertiga kerbau betina mengalami silent heat dan semua menampilkan perubahan endokrin yang sama dengan sapi yang memperlihatkan tanda-tanda estrus dengan jelas.

Sistem reproduksi ternak kerbau berbeda dengan sistem reproduksi ternak sapi. Ternak sapi mengalami birahi pertama pada sekitar umur 1 tahun, beranak pertama pada umur 2,5 tahun, dan lama bunting umur 283 hari. Tingkah laku birahi sapi pun berbeda dengan kerbau, sapi yang sedang birahi akan mengeluarkan suara yang sering dan terlihat gelisah, ciri-ciri lain yang dapat dilihat pada bagian belakang (anus) sapi seperti, berwarna merah, bengkak dan basah. Sistem reproduksi ternak kerbau yang lebih lama dan susah terlihat saat birahi dibandingkan dengan ternak sapi merupakan salah satu penyebab usaha ternak kerbau di Indonesia kurang berkembang dengan baik dibandingkan ternak sapi (Affandy et al., 2007).

(11)

9 kerbau jantan menurun selama musim panas dan membaik pada musim dingin (Banerjee, 1982). Hal ini disebabkan oleh populasi kerbau di Indonesia yang mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Usaha pembibitan dan penggemukkan kerbau berskala industri hampir tidak ada dan pemerintah lebih fokus pada pengembangan ternak sapi sedangkan ternak kerbau kurang diperhatikan.

Tingkah Laku Makan Kerbau

Kerbau termasuk hewan yang suka merumput (grazing) (Schoenian, 2005). Kerbau termasuk ternak yang kurang memilih dalam mencari makan, sehingga kerbau mengkonsumsi pakan yang kurang bermutu dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan pakan sapi. Hal ini yang menjadi alasan mengapa kerbau dapat berkembang dengan baik dibandingkan sapi pada kondisi pakan yang buruk (Banerjee, 1982). Justru dengan sifat tersebut maka kerbau dapat diberikan pakan yang mempunyai palatabilitas rendah bagi ternak lain namun memiliki nilai nutrisi yang baik.

Di Australia, kerbau dapat beradaptasi dengan wilayah padang rumput yang kurang baik, terlalu basah atau berkualitas marginal bagi sapi. Kerbau dapat mencari makan dalam kondisi yang berawa-rawa. Selain itu, kerbau juga memakan jenis pakan dalam kisaran yang lebih luas dibandingkan sapi dan telah terobservasi membersihkan saluran irigasi dari alang-alang dan tumbuhan lain yang secara normal tidak disentuh oleh sapi. Kelebihan lain dari kerbau adalah dapat hidup baik dengan memakan jerami dan limbah pertanian yang berkualitas rendah (Lemcke, 2008).

Tingkah Laku Sosial

Kerbau jantan lebih cenderung untuk menyerang kerbau jantan dibandingkan sapi perah atau sapi potong jantan, sehingga memerlukan perhatian untuk memelihara ternak tersebut secara terpisah. Perkelahian antar kerbau jantan sangat berbahaya dan sering berakhir dengan kematian (Banerjee, 1982).

(12)

10 paling tua dan dikawal oleh satu jantan dewasa. Kerbau jantan muda berlatih bertarung dengan kerbau jantan muda yang lain untuk menegaskan dominasi tetapi tetap menghindari perkelahian yang serius. Kerbau jantan akan bergabung dengan kelompok kerbau betina pada saat musim kawin (Massicot, 2004)

Fisiologi Kerbau

Dilihat dari segi koefisien tahan panasnya (KTP) ternak kerbau mepunyai KTP yang rendah sehingga mudah menderita cekaman panas (Cockrill, 1984). Faktor yang menyebabkan rendahnya KTP ini diduga karena kelenjar keringat pada ternak kerbau sangat sedikit dan mempunyai bulu-bulu yang jarang. Kelenjar keringat pada ternak kerbau kira-kira hanya sepertiga pada ternak sapi (Moran, 1973 ; Fahimuddin, 1975). Selain itu kulit yang berpigmen hitam menyebabkan banyak mengabsorbsi panas (Hafez et al., 1955 ; Robey, 1976). Bila tidak terdapat teduhan atau kubangan maka ternak kerbau akan mengalami kesulitan dalam membuang panas dari dalam tubuhnya pada keadaan suhu lingkungan yang tinggi. Suhu rektal dan angka respirasi pada ternak kerbau bertambah lebih cepat dibandingkan dengan pada ternak sapi bila secara langsung kena sinar surya, oleh sebab itu oefisien tahan kerbau lebih rendah dari pada sapi dan sangat peka terhadap setiap perubahan suhu lingkungan. Keistimewaannya adalah setelah menderita cekaman panas, mampu kembali ke normal dalam waktu relatif cepat apalagi bila tersedia teduhan atau kubangan. Hal ini diduga karena pembuluh darah perifer pada ternak kerbau cukup banyak dan mudah terjadi vasidilatasi (Whittow, 1962), sehingga mudah dalam melepas panas tubuhnya melalui kulit sewaktu berteduh atau berkubang (Robey, 1976).

Denyut Jantung

(13)

11 Kelly (1974) menyatakan faktor-faktor fisiologis yang berpengaruh pada kecepatan denyut jantung adalah spesies, ukuran tubuh, umur, kondisi fisik, jenis kelamin, kehamilan, proses kalahiran, laktasi, rangsangan, postur tubuh (perawakan), proses pencernaan, ruminasi dan suhu lingkungan. Kecepatan denyut jantung pada ternak yang muda lebih tinggi daripada ternak dara dan dewasa pada spesies yang sama. Sebagai contoh anak sapi neonatal mempunyai kecepatan denyut jantung 120 kali per menit, sapi dara (umur satu tahun) diatas 80 kali per menit dan sapi dewasa 50 kali per menit. Kecepatan denyut jantung juga akan meningkat bila ternak banyak makan. Satu jam setelah makan kecepatan denyut jantung masih lebih tinggi 10 persen daripada sebelum makan (Kelly, 1974).

Denyut jantung pada ternak yang lebih kecil biasanya lebih cepat dibandingkan ternak yang besar. Hal ini berhubungan dengan kenyataan bahwa ternak yang lebih kecil mempunyai laju metabolism per unit bobot badan yang lebih tinggi. Hubungan terbalik antara bobot badan ini berlaku dalam satu spesies atau antar spesies. Rata- rata denyut nadi pada hewan dewasa dalam keadaan istirahat 40 kali per menit, pada hewan jantan 52 kali permenit, pada hewan betina 41 kali per menit, dan pada anak kerbau lima sampai enam bulan 71 kali per menit (Fahimuddin, 1975).

Laju Pernapasan

(14)

12 merupakan salah satu wujud homeostasis tubuh yang erat hubungannya dengan kecepatan denyut jantung (palsus). Frekuensi pernafasan pada kerbau jantan dewasa dalam keadaan istirahat 20 sampai 25 kali per menit dan kerbau betina 16 kali per menit. Frekuensi pernapasan bertambah dengan meningkatnya suhu lingkungan dan dapat mencapai 70 kali per menit dalam suhu lingkungan yang tinggi (Fahimuddin, 1975).

Temperatur Tubuh

Homeostasis merupakan suatu penyesuaian sistem tubuh untuk mempertahankan keseimbangan fisiologis. Ternak akan berusaha menangkal pengaruh-pengaruh buruk dari peningkatan temperatur lingkungan dengan cara mencari peneduh, menambah aliran darah ke kulit (vasodilatasi), berkeringat lebih banyak, perubahan aktivitas hormonal, minum lebih banyak daripada makan dan peningkatan temperature tubuh (Heath dan Olusanya, 1985) .Suhu tubuh normal kerbau berkisar antara 38,2oC sampai 38,4oC dan berada dalam keseimbangan dengan suhu lingkungan yang terdapat antara 22oC sampai 33oC. Pada kisaran suhu lingkungan tersebut, proses homeostasis pada kerbau berjalan dengan sangat baik. Namun, di bawah suhu 22oC dan diatas 33oC selain proses homeostasis normal, ternak kerbau secara fisiologi harus menyesuaikan diri, yang mengakibatkan pengaruh terhadap pertumbuhan dan efisiensi reproduksi. Kelembaban dapat pula mempengaruhi mekanisme temperatur tubuh, pengeluaran panas dengan cara berkeringat ataupun melakukan respirasi akan lebih cepat (Parakkasi, 1999).

Minyak Ikan Lemuru

(15)

13 energi pada ransum, meningkatkan palatabilitas ransum dan menurunkan produksi metan dalam rumen serta memperbaiki rasio asetat dan propionat. Peningkatan palatabilitas ransum akan meningkatkan total konsumsi ransum pada ternak. Penurunan produksi metan di dalam rumen, akan meningkatkan efiensi penggunaan energi.

Campuran Garam Karboksilat Kering (CGKK)

(16)

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu

Penelitian ini telah dilaksanakan selama tiga bulan dari bulan Juni sampai September 2011 di Laboratorium lapangan kandang A dan Laboratorium Ruminansia Besar Fakultas Peternakan dan Teknopark SEAFAST Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Kandang digunakan sebagai tempat penggemukan kerbau dan pengamatan tingkahlaku. Laboratorium telah digunakan sebagai tempat pembuatan suplemen campuran garam karboksilat kering (CGKK).

Materi Ternak

Ternak yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 6 ekor kerbau rawa. Ternak yang digunakan adalah ternak jantan yang berumur 2 tahun serta memiliki rataan bobot awal 218, 66 kg. Jumlah perlakuan digunakan ada dua yaitu perlakuan kerbau rawa yang diberi pakan konsentrat yang mengandung campuran garam karboksilat kering (CGKK) dan konsentrat yang tidak mengandung campuran garam karboksilat kering (non CGKK). Berikut gambaran ternak kerbau yang digunakan dalam penelitian ini terlihat pada Gambar 1 dan Gambar 2.

Gambar 1. Kerbau yang Diberi Suplemen CGKK

(17)

15

Peralatan dan Perkandangan

Peralatan yang digunakan meliputi pencatat waktu, thermohigrometer, stetoskop, kamera, tali, thermometer rektal, timbangan untuk pakan hijauan dan konsentrat, timbangan digital dengan kapasitas 1000 kg untuk menimbang bobot badan ternak, serta alat tulis. Kandang yang digunakan adalah kandang individu dengan ukuran 2 x 1,5 m, kandang juga dilengkapi dengan tempat pakan dan minum.

Pakan dan Air minum

Pakan yang diberikan dalam penelitian ini berupa pakan hijauan yang terdiri dari rumput lapang dan rumput gajah segar. Konsentrat yang digunakan merupakan konsentrat komersial yang terdiri dari onggok, bungkil sawit, bungkil kedelai, tetes, CaCO3, dan urea. Pakan hijauan dan konsentrat diberikan sesuai dengan kebutuhan ternak kerbau berdasarkan bahan kering. Penambahan campuran garam karboksilat kering dilakukan dengan mencampurkannya dengan konsentrat. Air minum diberikan secara ad libitum. Pakan yang digunakan dalam penelitian dapat dilihat pada Gambar 3 berikut.

(a) Pakan Hijauan (b) Pakan Konsentrat + CGKK

Gambar 3. Pakan yang Digunakan dalam Penelitian (a) Pakan Hijauan, (b) Pakan Konsentrat + CGKK

Pembuatan Campuran Garam Karboksilat Kering (CGKK)

(18)

16 dengan menimbang bahan-bahan kimia campurannya seperti KOH, CaCl2 dan HCL, kemudian ketiganya diencerkan. Apabila semua bahan sudah siap, lalu minyak ikan lemuru dipanaskan dan dicampurkan dengan CaCl2 dan KOH, kemudian adonan diaduk hingga suhunya 70oC, setelah mencapai suhu 70oC lalu ditambahkan HCL dan diaduk hingga rata. Kemudian didinginkan lalu adonan tersebut dicampurkan dengan onggok dan diaduk hingga halus dan merata. Kemudian adonan yang sudah halus dan rata dikeringkan dalam oven. Hasil pengeringan campuran tersebut merupakan campuran garam karboksilat kering (CGKK) dapat dicampur dengan konsentrat dan siap untuk dikonsumsi oleh kerbau. Alur pembuatan suplemen minyak lemuru yang terproteksi dalam bentuk CGKK dapat dilihat pada Gambar 4.

(19)

17 Komposisi pakan kerbau berdasarkan bahan keringnya dapat dilihat pada Tabel 1 berikut.

Tabel 1. Komposisi Pakan Ternak Kerbau Berdasarkan Bahan Kering

No Komposisi Bahan Pakan Persentase ransum (%)

1 Rumput raja + tongkol jagung 45

Tabel 2. Kandungan Nutrisi Pakan Ternak Kerbau Berdasarkan Bahan Kering

No Kandungan Nutrien Persentase ransum (%)

1 TDN 66,800

(20)

18 penyesuaian terhadap pakan Pemeliharaan enam ekor kerbau rawa, dimana tiga ekor mengkonsumsi suplemen CGKK dan tiga ekor lagi tidak diberi suplemen CGKK. Perbandingan konsentrat dan hijauan sebesar 40:60. Selain itu, kulit ari kacang kedele diberikan pada ternak yang dicampur konsentrat dengan perbandingan konsentrat dan kulit ari kacang kedele sebesar 1:2. Kerbau dengan perlakuan CGKK ditambahkan CGKK sebanyak 90 gram atau 4,5% bahan konsentrat. Pemberian pakan dibagi menjadi tiga waktu yaitu pagi (06.00-08.00 WIB), siang (11.00-13.00), dan sore (16.00-18.00). Pemberian pakan dimulai dengan pemberian konsentrat terlebih dahulu, pada kerbau CGKK pemberian konsentrat dilakukan setelah pemberian CGKK dicampur konsentrat yang diberikan habis dimakan. Apabila konsentrat sudah habis dimakan maka diberi minum dan hijauan sesuai dengan ketentuan yang sudah dibuat. Selama pemeliharaan juga dilakukan penyiraman terhadap ternak kerbau sebanyak tiga kali sehari untuk menjaga suhu tubuh ternak.

Pengambilan Data Tingkah Laku

Pengamatan dilakukan dengan mengamati tingkah laku kerbau rawa yang dipelihara pada kandang individu dengan perlakuan pemberian pakan yang berbeda, a. Pengamatan tahap awal pada dua bulan pertama tidak dilakukan pencatatan, hal

ini dikarenakan untuk penyesuaian kandang, pakan dan pemeliharaan.

b. Tahap kedua yaitu pengamatan tingkah laku kerbau rawa. Pengambilan data pengamatan dilakukan selama tiga kali sehari dengan waktu sebagai berikut. Pagi dilakukan pengamatan pada pukul (08.00 – 10.00), siang dilakukan pengamatan pukul (12.00 – 14.00), dan sore hari dilakukan pengamatan pukul (15.00 – 17.00).

c. Pengambilan data dilakukan dua hari dalam seminggu (sabtu dan minggu) sampai mendapatkan 6 kali ulangan.

d. Pengamatan tingkah laku kerbau rawa dilakukan tiap ekor selama 10 menit dan jeda antara pengamatan individu yang berbeda adalah 5 menit. Setelah selesai pengamatan tingkah laku, kemudiaan kerbau diukur denyut jantung, pernapasan, dan suhu rektalnya.

(21)

19 pengamatan. Focal animal sampling digunakan untuk mengamati tingkah laku khusus kerbau rawa, yaitu tingkah laku ingestive, agonistic, eliminatif, grooming, dan vokalization pada periode waktu tertentu.

Peubah-peubah yang diamati pada tingkah laku kerbau rawa saat di kandang adalah sebagai berikut:

1. Tingkah laku makan (ingestive), yaitu tingkah laku mengkonsumsi pakan zat hara baik dalam bentuk padatan maupun cairan serta tingkah laku ruminasi yaitu suatu proses memamah kembali makanan yang berasal dari lambung dan masih kasar kemudian dikeluarkan lagi dan dikunyah dimulut, kemudian ditelan kembali.

2. Tingkah laku agonistic atau melawan, yaitu perilaku agresifitas yang mengarah pada pertentangan atau temperamental pada seekor kerbau yang diperlihatkan dengan cara menumbukan tanduk, menghentakan kaki, dan mendengus.

3. Tingkah laku membuang kotoran (eliminatif), yaitu perilaku ternak membuang kotoran baik feses maupun urine.

4. Tingkah laku grooming, yaitu perilaku kerbau memelihara atau merawat tubuhnya yang ditunjukkan dengan menjilati tubuhnya sendiri dan kerbau lain, menggaruk tubuhnya serta menggosok tubuhnya sendiri kedinding kandang (auto self grooming) ataupun saling menjilati (social grooming).

5. Vokalisasi, yaitu tingkah laku ternak mengeluarkan suara.

Pengambilan Data Pendukung

Data pendukung yang digunakan dalam penelitian ini meliputi :

1. Mengamati kondisi fisik, topografi tempat penelitian dengan mengukur dan mencatat suhu dan kelembaban di lingkungan kandang menggunakan alat thermohigrometer.

2. Pengukuran fisiologi kerbau rawa.

a. Pengukuran pernapasan dilakukan dengan menghitung banyaknya kerbau melakukan pernapasan per/menit dengan cara meletakkan telapak tangan didepan hidung kerbau kemudian dihitung jumlah pernapasan selama satu menit.

(22)

20 stetoskop diletakan pada bagian urat nadi di bagian sela antara kaki depan dengan dada. Pengukuran dilakukan selama 15 detik kemudian untuk menghitung jumlah denyut nadi per menit jumlah denyut nadi hasil pengukuran dikalikan empat.

c. Pengukuran suhu rektal dilakukan menggunakan thermometer rektal. Thermometer rektal dimasukan ke dalam anus kemudian dilihat suhu yang ditunjukkan setelah bunyi tanda tertentu. Pengukuran pernapasan, suhu rektal, dan denyut jantung dilakukan setelah pengamatan tingkah laku.

Rancangan dan Analisis Data

Data hasil pengamatan terhadap frekuensi kejadian tingkah laku dianalisis menggunakan uji non parametrik Man Whitney, digunakan untuk data yang mengandung unsur dengan pengukuran tidak berulang dengan n = 2, sedangkan untuk data yang mengalami pengukuran berulang dengan perlakuan lebih dari dua maka digunakan analisis Friedman, jika data berbeda nyata maka dilanjutkan dengan menggunakan uji banding rataan Rank atau Multiple Comparison of Means Ranks, dengan rumus sebagai berikut :

[Ri Rj]≤ Z [ k (N + 1) / 6 ]0,5

Jika [Ri Rj]lebih besar dari Z [ k (N + 1) / 6 ]0,5, maka perbedaan Ri dan Rj adalah

nyata pada taraf α. Rumus uji Friedman :

tH = tα / 2; db = ( k –1) ( n –1 )

Rumus uji Man Whitney :

U= +

Data suhu dan kelembaban menggunakan uji analisis ragam dan data fisiologis ternak dianalisis dengan menggunakan uji T untuk mengetahui nilai rataan yang berbeda. Rumus Uji t :

(23)

21 Keterangan :

t = Nilai t.

X = Nilai Rata–Rata.

µ0 = Rataan standard deviasi.

SD = Standar Deviasi.

(24)

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Penelitian

Faktor manajemen lingkungan juga berpengaruh terhadap pertumbuhan ternak. Suhu dan kelembaban yang sesuai dengan kondisi fisiologis ternak akan membuat pertumbuhan ternak semakin baik karena tingkat nafsu makan dan jumlah konsumsi pakannya semakin tinggi. Lokasi penelitian memiliki suhu dan kelembaban lingkungan yang tidak sama antara siang dan malam hari. Data suhu dan kelembaban di dalam kandang selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 3 berikut.

Tabel 3. Rataan Suhu dan Kelembaban Udara Dalam Kandang Saat Penelitian

Waktu Suhu (⁰C) Kelembaban (%)

Pagi 27,58±1,80c 76,67±8,98a

Siang 33,17±0,75a 58,17±8,61c

Sore 30,33±1,03b 60,33±6,06b

Keterangan : superskrip huruf yang berbeda (a,b,c) pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05) pagi ( 08.00 WIB), siang (12.00 WIB), sore (16.00 WIB)

(25)

23 menyebabkan terjadinya penurunan produktivitas dan tingkah laku normal kerbau. Untuk mencegah hal itu terjadi, maka selama penelitian dilakukan penyiraman terhadap ternak sebanyak tiga kali sehari, sehingga ternak tidak terlalu stress terhadap panas dan nyaman terhadap lingkungan. Kesejahteraan ternak akan terjamin bila salah satunya jika sistem pemberian pakan yang sesuai dengan kebutuhan hidup pokok ternak dan lingkungan yang sesuai dengan kenyamanan ternak.

Hasil analisis ragam terhadap kelembaban udara di dalam kandang juga menunjukkan bahwa pada pagi hari berbeda nyata (P<0,05) antara siang dan sore hari dan juga berbeda nyata antara siang dan sore hari. Kelembaban udara berkaitan erat dengan dengan suhu udara, dimana kelembaban akan meningkat seiring dengan kenaikan suhu. Kelembaban pada pagi hari tinggi, karena suhu lingkungan pada pagi hari rendah, begitu juga dengan kelembaban pada siang hari rendah karena suhu lingkungan pada siang hari meningkat.

Tingkah Laku Umum Kerbau Rawa yang Diberi Perlakuan CGKK dan Non CGKK

Tingkah laku hewan adalah respon hewan tersebut terhadap lingkungan (Gonyou, 1991). Tingkat kesejahteraan ternak dapat diketahui salah satunya dengan mengamati tingkah laku normalnya. Seorang peternak yang baik harus mengetahui kebiasaan dan tingkah laku ternaknya, sehingga dapat mengelola peternakan dengan baik dan efektif. Hasil pengamatan berupa rataan frekuensi tingkah laku kerbau rawa secara keseluruhan yang diberi perlakuan pakan dapat dilihat pada Tabel 4 berikut.

Tabel 4. Rataan Tingkah Laku Kerbau Rawa Keseluruhan yang Disuplementasi CGKK dan Non CGKK.

Keterangan : Superskrip pada pada huruf dan baris yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (P<0,05)

(26)

24 kerbau yang diberi suplemen CGKK dengan kerbau non CGKK. Rataan jumlah frekuensi tingkah laku makan pada kerbau CGKK dan non CGKK lebih banyak dilakukan dibandingkan dengan tingkah laku lainnya seperti tingkah laku agonistik, eliminasi, merawat diri dan vokalisasi. Tingkah laku makan lebih banyak dilakukan disebabkan karena adanya makanan (rangsangan dari lingkungan) dan adanya kebutuhan atau lapar (rangsangan dari dalam).

Tingkah laku yang lebih banyak dilakukan setelah tingkah laku makan yaitu tingkah laku merawat diri, hal ini mungkin disebabkan karena lingkungan yang kering, sehingga kerbau terus menjilati tubuhnya supaya basah dan selain itu juga lalat sering hinggap ditubuhnya. Berbeda dengan kebiasaan kerbau yang hidup ditempat yang lembab dan berkubang, sehingga tubuhnya bebas dari lalat dan tidak kepanasan. Tingkah laku agonistik, tingkah laku eliminasi dan tingkah laku vokalisasi terlihat jarang dilakukan kerbau selama pengamatan.

(27)

25 disukai oleh ternak sehingga dapat meningkatkan jumlah konsumsi ternak, sehingga tingkah laku makan kerbau terlihat normal. Standar dari tingkah laku yang normal pada kerbau dapat diasumsikan bahwa tingkah laku kerbau yang tanpa diberi ransum CGKK digunakan sebagai hewan kontrol yang melakukan tingkah laku normal sehingga bisa dibandingkan dengan tingkah laku kerbau yang diberi ransum CGKK. Tingkah laku kerbau rawa dikatakan normal karena terlihat dari tidak adanya perbedaan yang signifikan antara kerbau yang diberi ransum CGKK dan non CGKK, baik itu tingkah laku makan, agonistik, eliminatif, merawat diri dan vokalisasi.

Tingkah Laku Kerbau Rawa yang Diberi Suplemen CGKK pada Waktu yang Berbeda

Pemberian pakan kerbau rawa yang disuplemen CGKK dan non CGKK dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup kerbau serta meningkatkan palatabilitas ternak terhadap pakan yang memungkinkan terjadinya perubahan tingkah laku. Namun berdasarkan pada Tabel 4 ternyata pemberian pakan yang berbeda tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap tingkah laku kerbau secara keseluruhan. Oleh karena itu selanjutnya dilakukan analisis terhadap tingkah laku kerbau rawa yang diberi suplemen CGKK pada waktu yang berbeda untuk melihat pengaruh masing – masing perlakuan terhadap tingkah lakunya. Rataan frekuensi tingkah laku kerbau rawa yang disuplemen CGKK dapat dilihat pada Tabel 5 berikut.

Tabel 5. Rataan Frekuensi Tingkah Laku Kerbau Rawa yang Disuplemen CGKK pada Waktu yang Berbeda

Tingkah laku Frekuensi Tingkah Laku

Pagi Siang Sore Rataan

………kali / 10 menit……….

Makan 4,17±3,61 2,00±0,44 3,83±2,50 3,33±4,77

Agonistik 1,22±0,79 2,39±1,50 1,72±1,51 1,78±3,47

Eliminatif 0,17±0,17 0,17±0,17 0,28±,10 0,20±0,41

Merawat Diri 0,83±0,29a 3,06±0,75bc 2,11±0,35b 2,00±2,29

Vokalisasi 0,06±0,10 0,00±0,00 0,00±0,00 0,02±0,14

(28)

26 Berdasarkan hasil uji Friedman menunjukkan bahwa jumlah frekuensi tingkah laku makan kerbau pada pagi hari tidak berbeda nyata (P>0,05) antara siang dan sore hari. Rataan frekuensi tingkah laku makan pada pagi hari, siang dan sore hari sebesar (3,33±4,77 kali/10 menit). Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat dikatakan bahwa pemberian ransum yang disuplemen CGKK tidak berpengaruh terhadap tingkah laku kerbau. Hal ini mungkin disebabkan karena kerbau termasuk ternak yang kurang memilih dalam mencari makan, sehingga kerbau tetap mengkonsusmsi pakan yang kurang bermutu dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan pakan sapi.

Berdasarkan Tabel 5 hanya terlihat perbedaan jumlah frekuensi antara pagi, siang dan sore hari, dimana pada pagi hari jumlah frekuensi makan lebih banyak di lakukan (4,17±3,61 kali/10 menit) dibandingkan pada siang dan sore hari. Hal ini disebabkan karena kerbau lebih suka atau lebih banyak mengkonsumsi pakan pada pagi hari, karena pada saat pagi hari suhu udara belum meningkat. Kerbau sangat sensitif dengan udara yang panas, sehingga mempengaruhi nafsu makan kerbau tersebut. Tingkah laku agonistik lebih banyak dilakukan pada siang hari (2,39±1,50 kali/10 menit) dibandingkan pada pagi dan sore hari dengan rataan sebesar (1,78±3,47 kali/10 menit). Hal ini mungkin disebabkan karena suhu udara pada siang hari tinggi, dimana ternak kerbau akan merasa kepanasan dan gelisah, sehingga kerbau melakukan perlawanan terhadap kerbau lainnya dengan cara menanduk. Selain itu kerbau jantan lebih cenderung untuk menyerang kerbau jantan dibandingkan sapi perah atau sapi potong jantan. Perkelahian antar kerbau jantan sangat berbahaya dan sering berakhir dengan kematian (Banerjee, 1982), sehingga memerlukan perhatian untuk memelihara mereka secara terpisah atau dikandangkan.

(29)

27 berbeda nyata (P>0,05) dengan sore hari, namun tingkah laku pada sore hari berbeda nyata (P<0,05) dengan pagi hari. Hal ini mungkin disebabkan banyaknya lalat terbang pada siang hari, dimana lingkungannya yang kering menyebabkan gangguan lain dapat terjadi, seperti panasnya udara pada siang hari menyebabkan kerbau merasa kepanasan, sehingga kerbau lebih sering berbaring pada lantai yang tergenang air serta menjilati bagian tubuhnya maupun menjilati kerbau lainnya.

Tingkah laku merawat diri pada kerbau ditunjukkan dengan kebiasaan kerbau yang menjilati tubuhnya sendiri maupun menjilati tubuh kerbau lainnya, menggosokkan badannya ke dinding dan tiang pembatas antar ternak kerbau, serta berbaring dilantai yang tergenang air agar tubuhnya lebih dingin. Hal ini dapat dikatakan ternak kerbau kurang nyaman dengan lingkungannya, untuk mengurangi ketidaknyamanan kerbau tersebut dapat dilakukan dengan penyiraman yang lebih sering untuk mengurangi panas tubuhnya dan kekeringan pada tubuhnya yang menyebabkan lalat hinggap. Berbeda dengan kebiasaan kerbau yang suka berkubang untuk menghindari gangguan lalat, kutu dan mengurangi produksi panas tubuhnya (Smith dan Mangkoewidjojo, 1987).

Tingkah laku vokalisasi paling jarang dilakukan baik pada pagi hari, siang maupun sore hari. Kerbau hanya akan mengeluarkan suara pada saat tertentu seperti dalam hal kekurangan pakan dan adanya ancaman dari luar yang akan membahayakan dirinya. Jumlah frekuensi vokalisasi yang paling sedikit ini dapat menunjukkan bahwa ternak kerbau marasa nyaman dipelihara secara feedlot, dimana akan terhindar dari ancaman luar maupun kekurangan terhadap kebutuhan hidup pokoknya seperti kekurangan makan.

Tingkah Laku Kerbau Rawa yang Diberi Suplemen Non CGKK pada Waktu yang Berbeda

(30)

28 memperhatikan kebutuhan hidup pokoknya dengan memberi pakan yang mempunyai palatabilitas tinggi bagi ternak dan memiliki nilai nutrisi yang baik. Pemberian ransum yang disuplemen Campuran Garam Karboksilat Kering (CGKK) diharapkan dapat memenuhi kebutuhan nutrisi ternak sehigga tercapainya kesejahteraan terhadap ternak dengan pengamatan terhadap tingkah laku normal nya. Rataan frekuensi tingkah laku kerbau rawa yang disuplemen non CGKK pada waktu yang berbeda dapat dilihat pada tabel 6 berikut.

Tabel 6. Rataan Frekuensi Tingkah Laku Kerbau Rawa yang Disuplemen Non CGKK pada Waktu yang Berbeda

Tingkah laku Frekuensi Tingkah Laku

Pagi Siang Sore Rataan

………kali / 10 menit……….

Makan 4,78±2,47 2,28±0,75 3,56±0,96 3,54±4,58

Agonistik 2,78±0,79 2,33±1,44 1,22±0,54 2,11±3,82

Eliminatif 0,33±0,17 0,11±0,10 0,22±0,25 0,22±0,57

Merawat Diri 1,83±0,44 2,00±0,83 2,17±0,44 2,00±2,50

Vokalisasi 0,00±0,00 0,00±0,00 0,00±0,00 0,00±0,00

Keterangan : Superskrip pada pada huruf dan baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05) pagi ( 08.00 WIB), siang (12.00 WIB), sore (16.00WIB).

(31)

29 hari sebesar (2,17±0,44 kali/10 menit). Tingkah laku vokalisasi tidak terlihat selama pengamatan dilakukan.

Namun berdasarkan hasil uji statistik menunjukkan bahwa rataan frekuensi tingkah laku kerbau pada waktu yang berbeda tidak berbeda nyata (P>0,05) antara pagi hari, siang dan sore hari yang berarti bahwa perlakuan pemberian ransum non CGKK tidak berpengaruh terhadap tingkah laku kerbau rawa. Hal ini dapat disebabkan karena hasil rataan standar deviasi yang cukup tinggi, selain itu juga dapat disebabkan karena metode pengamatan, seperti waktu pengamatan yang terlalu singkat.

Secara keseluruhan dapat dilihat bahwa perlakuan pakan tidak menunjukkan hasil yang berbeda nyata antara kerbau yang diberi suplemen CGKK maupun non CGKK. Hasil ini juga dapat menunjukkan bahwa tidak ada perubahan tingkah laku normal pada ternak kerbau, terlihat dari tingkat adaptasi yang tinggi pada ternak kerbau. Adaptasi terhadap pakan dapat dilihat dari tingkah laku makannya. Hal ini didukung oleh penelitian lain bahwa pertambahan bobot badan ternak kerbau terlihat lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan dengan sapi, yaitu sebesar 1,16 kg/ekor/hari pada kerbau dan pada sapi sebesar 0,94 kg/ekor/hari (Nurbianti, 2012). Hal ini dapat disebabkan oleh kemampuan kerbau yang dapat mencerna serat kasar lebih baik dibandingkan sapi. Hasil ini menunjukkan potensi yang baik dari kerbau yaitu pertambahan bobot badan kerbau lebih tinggi dibandingkan sapi pada pemeliharaan secara intensif. Selama ini kerbau dianggap memiliki pertumbuhan yang lambat dibandingkan sapi karena banyak kerbau dipelihara secara ekstensif atau digembalakan. Hal ini menunjukkan bahwa kerbau yang dipelihara secara intensif lebih baik, karena kerbau tidak banyak bergerak, sehingga lebih baik dalam menghasilkan daging atau lemak. Sistem pemeliharaan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan pada ternak. Dengan demikian sistem pemberian pakan yang tepat dan sistem pemeliharaan yang intensif dapat meningkatkan produktivitas ternak dan menunjukkan bahwa kesejahteraan ternak terpenuhi.

(32)

30

(a) Tingkah Laku Agonistik (b) Tingkah Laku Makan

(c) Tingkah Laku Merawat Diri (d) Tingkah Laku Merawat Diri Gambar 5. Beberapa Contoh Tingkah Laku Kerbau Rawa (a) Tingkah Laku

Agonistik, (b) Tingkah Laku Makan, (c,) Tingkah laku Merawat Diri, (d) Tingkah Laku Merawat Diri

Kondisi Fisiologi Kerbau Rawa

(33)

31 penyiraman secara kontinyu yaitu tiga kali dalam sehari untuk menghindari heat stres pada ternak kerbau tersebut.

Ternak membutuhkan lingkungan yang sesuai untuk kebutuhan fisiologisnya, jika tidak sesuai dengan lingkungannya, maka akan mengakibatkan tingkat stress pada ternak baik dalam lingkungan yang dingin maupun yang panas, sehingga dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan produksi ternak serta mempengaruhi tingkah laku nomalnya. Tingkah laku ternak berkaitan sangat erat dengan nilai fisiologi ternak itu sendiri. Perubahan fisiologi yang terjadi pada masing-masing kerbau dilakukan dengan mengukur frekuensi denyut jantung, frekuensi pernapasan, dan suhu rektal.

Denyut Jantung

Jantung pada berbagai hewan dapat berkontraksi dengan sendirinya tanpa ada rangsangan dari luar. Jantung mamalia sensitif terhadap pasokan oksigen dan temperatur. Kelly (1974) menyatakan faktor-faktor fisiologis yang berpengaruh pada kecepatan denyut jantung adalah spesies, ukuran tubuh, umur, kondisi fisik, jenis kelamin, kehamilan, proses kalahiran, laktasi, ransangan, postur tubuh (perawakan), proses pencernaan, ruminasi dan suhu lingkungan. Kecepatan denyut jantung pada ternak yang muda lebih tinggi daripada ternak dara dan dewasa pada spesies yang sama. Hasil penelitian terhadap rataan frekuensi denyut jantung dapat dilihat pada Tabel 7 berikut.

Tabel 7. Frekuensi Denyut Jantung Kerbau CGKK dan Non CGKK

Waktu

Denyut Jantung Kerbau Rawa pada Pakan

Berbeda (kali/menit) Rataan

CGKK Non CGKK

Pagi 75,05±5,36 75,17±2,33 75,11±3,70

Siang 64,72±2,87 65,78±4,03 65,25±3,18

Sore 62,17±3,37 62,89±5,44 62,53±4,07

Keterangan : superskrip (A,B) pada baris yang sama menunjukkan berbeda sangat nyata (P<0,01).

(34)

32 disuplementasi CGKK dan (75,17±2,33 kali/menit) pada kerbau non CGKK. Frekuensi denyut jantung pada siang hari juga menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata dari kedua perlakuan (P>0,05) yaitu (64,72±2,87 kali/menit) pada kerbau yang disuplementasi CGKK dan (64,72±2,87 kali/menit) pada kerbau non CGKK, begitu juga pada sore hari yang menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (P>0,05) antara kedua perlakuan yaitu (62,17±3,37 kali/menit) pada kerbau non CGKK dan (62,89±5,44 kali/menit) pada kerbau non CGKK. Perbedaan yang terjadi hanya disebabkan waktu pengamatan, yaitu antara pagi, siang, dan sore, namun hasil ini menunjukkan bahwa frekuensi denyut jantung pada pagi hari melebihi jumlah frekuensi normal denyut jantung kerbau, Fahimuddin (1975) mengatakan bahwa jumlah denyut jantung normal pada kerbau dewasa dalam istirahat 40 kali per menit, pada hewan jantan 52 kali per menit, namun pada keadaan suhu lingkungan tinggi bisa mencapai 71 kali per menit. Selain itu peningkatan denyut jantung juga merupakan respon dari tubuh ternak itu sendiri untuk menyebarkan panas yang diterima ke dalam organ-organ yang lebih dingin (Yani, 2006).

(35)

33

Laju Pernapasan

Respirasi merupakan gerakan fisik dimana udara masuk dan dikeluarkan dari paru-paru. Respirasi juga termasuk dalam proses kimia dan fisik yang memungkinkan organisme untuk mempertukarkan gas-gas (udara) dari lingkungan (Kelly, 1974). Peningkatan frekuensi laju pernapasan terjadi karena adanya peningkatan kebutuhan oksigen oleh jaringan-jaringan tubuh. Sebagai konsekuensinya dapat dilihat ketika ternak melakukan gerakan badan, berjemur pada suhu atau kelembaban udara yang tinggi dan karena ternak kegemukan (Kelly, 1974). Hasil penelitian terhadap rataan frekuensi pernapasan dapat dilihat pada Tabel 8 berikut.

Tabel 8. Frekuensi Pernapasan Kerbau CGKK dan Non CGKK

Waktu

Pernapasan Kerbau Rawa pada Pakan Berbeda

(kali/menit) Rataan

CGKK Non CGKK

Pagi 44,94±1,94 42,67±1,87 43,81±2,11

Siang 40,72±0,19 41,17±1,45 40,94±0,96

Sore 42,89±1,34 41,56±1,60 42,22±1,51

Keterangan : superskrip (A,B) pada baris yang sama menunjukkan berbeda sangat nyata (P<0,01).

Hasil menunjukkan bahwa laju pernapasan pada pagi hari tidak menunjukkan hasil yang tidak nyata (P>0,05) dari kedua perlakuan yaitu (44,94±1,94) pada kerbau yang disuplementasi CGKK dan (42,67±1,87) pada kerbau non CGKK. Frekuensi laju pernapasan pada siang hari juga menunjukkan hasil yang tidak beda nyata dari kedua perlakuan (P>0,05) yaitu (40,72±0,19) pada kerbau yang disuplementasi CGKK dan (41,17±1,45) pada kerbau non CGKK. Begitu juga pada sore hari yang menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (P>0,05) antara kedua perlakuan yaitu (42,89±1,34) pada kerbau non CGKK dan (41,56±1,60) pada kerbau non CGKK. Hasil ini menunjukkan bahwa dari kedua perlakuan tidak berpengaruh terhadap laju pernapasan kerbau.

(36)

34 Fahimuddin (1975) menyatakan bahwa frekuensi pernafasan pada kerbau jantan dewasa dalam keadaan istirahat 20 sampai 25 kali per menit dan kerbau betina 16 kali per menit. Frekuensi pernapasan bertambah dengan meningkatnya suhu lingkungan dan dapat mencapai 70 kali per menit dalam suhu lingkungan yang tinggi. Hal ini juga disebabkan karena laju pernapasan yang bervariasi disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya ukuran tubuh, umur, aktivitas dan suhu lingkungan. Salah satu hal yang mungkin menyebabkan jumlah laju pernapasan pada kerbau rawa melebihi jumlah laju pernapasan normal kerbau yaitu umur, dimana umur kerbau yang dipelihara belum mencapai dewasa tubuh kerbau, dengan demikian dapat diketahui bahwa ternak yang masih muda mempunyai laju metabolisme per unit bobot badan yang lebih tinggi. Serta peningkatan frekuensi laju pernapasan terjadi karena adanya peningkatan kebutuhan oksigen oleh jaringan-jaringan tubuh.

Suhu Rektal

(37)

35 Tabel 9. Suhu Rektal Kerbau CGKK dan Non CGKK

Waktu Suhu Rektal Kerbau Rawa pada Pakan Berbeda Rataan

CGKK Non CGKK

Pagi 38,89±0,13 38,91±0,13 38,90±0,12

Siang 38,76±0,03 38,84±0,06 38,80±0,07

Sore 38,67±0,05 38,78±0,15 38,73±0,12

Keterangan : superskrip (A,B) pada baris yang sama menunjukkan berbeda sangat nyata (P<0,01).

(38)

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Sistem pemeliharaan secara intensif dan pemberian ransum yang disuplemen CGKK dan non CGKK , ternak kerbau tidak menunjukkan perbedaan tingkah laku yang bebeda nyata antara tingkah laku makan, agonistik, eliminatif, merawat diri, dan vokalisasi, namun hanya dipengaruhi oleh waktu pengamatan. Frekuensi tingkah laku makan, agonistik dan eliminasi paling sering dilakukan pada pagi dan sore hari. Tingkah laku merawat diri paling banyak ditunjukan pada siang hari. Tingkah laku vokalisasi paling jarang dilakukan, yang berarti ternak bebas dari ancaman dan kekurangan pakan, sehingga kerbau menunjukkan tingkahlaku yang normal. Dengan denyut jantung, laju pernapasan dan suhu rectal yang mendekati normal serta pemberian pakan yang disuplemen CGKK sistem pemeliharaan secara feedlot dapat dikatakan mampu meningkatkan kesejahteraan ternak kerbau rawa.

Saran

(39)

TINGKAH LAKU KERBAU RAWA YANG DIPELIHARA

SECARA FEEDLOT YANG DIBERI RANSUM

DENGAN SUPLEMENTASI CAMPURAN

GARAM KARBOKSILAT KERING

(CGKK)

SKRIPSI DELVITA YUNIZA

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(40)

TINGKAH LAKU KERBAU RAWA YANG DIPELIHARA

SECARA FEEDLOT YANG DIBERI RANSUM

DENGAN SUPLEMENTASI CAMPURAN

GARAM KARBOKSILAT KERING

(CGKK)

SKRIPSI DELVITA YUNIZA

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(41)

RINGKASAN

DELVITA YUNIZA. 2013. Tingkah Laku Kerbau Rawa yang Dipelihara Secara Feedlot yang Diberi Ransum Dengan Suplementasi Campuran Garam Karboksilat Kering (CGKK). Skripsi. Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Dr. Ir. M. Yamin, M.Agr.Sc Pembimbing Anggota : Dr. Ir. Rudy Priyanto

Kerbau (Bubalus bubalis) merupakan salah satu ternak ruminansia besar yang telah lama dikenal oleh masyarakat khususnya di pedesaan di Indonesia. Sistem pemeliharaan ternak kerbau di Indonesia dilakukan masih secara ekstensif dengan pakan berasal dari hijauan saja tanpa adanya pemberian konsentrat yang menyebabkan kualitas daging kerbau rendah dibandingkan dengan daging sapi. Daya saing daging kerbau terhadap daging sapi dapat ditingkatkan salah satunya melalui penggemukan. Faktor yang harus diperhatikan pada penggemukan yaitu pemberian pakan yang berkualitas serta pemeliharaan secara intensif. Salah satu alternatif pakan suplemen yang dapat ditambahkan adalah minyak ikan lemuru yang diproteksi ke dalam bentuk campuran garam karboksilat kering (CGKK). Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari tingkah laku kerbau rawa terutama tingkahlaku makan dan minum, melawan, membuang kotoran, merawat diri, dan vokalisasi yang diberi ransum yang disuplementasi minyak ikan lemuru yang terpsoteksi dan dikandangkan secara feedlot. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang kandang A Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Laboratorium Ruminansia Besar Fakultas Peternakan, dan Teknopark SEAFAST Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Ternak yang digunakan adalah enam ekor kerbau Rawa jantan. Jenis perlakuan adalah ternak yang diberi konsentrat CGKK dan konsentrat non CGKK 45gram/kg konsentrat.

Data hasil pengamatan tingkah laku diolah dengan menggunakan Uji Freadman untuk data pengamatan berulang dengan perlakuan lebih dari 2, dan Man Whitney. Data fisiologis diolah dengan uji t untuk mengetahui nilai rataan yang berbeda.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa frekuensi tingkah laku ternak kerbau tidak berbeda nyata (P>0,05) antara pakan yang disuplemen CGKK dengan pakan non CGKK. Tingkah laku kerbau rawa pada pakan yang disuplemen CGKK menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (P>0,05) antara pagi, siang, dan sore hari terhadap kelima tingkah laku, kecuali pada tingkah laku merawat diri yang berbeda nyata (P<0,05) antara pagi dan siang hari, antara sore dan pagi hari. Frekuensi tingkah laku makan, agonistic, merawat diri, eliminasi, dan vokalisasi pada kerbau yang disuplemen non CGKK tidak menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P>0,05) antara pagi hari, siang dan sore hari. Hasil Uji t Pengukuran data fisiologis menunjukkan bahwa denyut jantung, pernapasan dan suhu rektal kerbau rawa pada pagi, siang dan sore hari menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (P<0,05).

(42)

ABSTRACT

The Behaviour of Swamp Buffaloes in Feedlot Maintenance Given Dried Carboxylate Salt Mixture (DCM) Supplement In Feed

Yuniza. D, M. Yamin and R. Priyanto

At present buffalo farming system is still traditional with a relatively low quality of feed. Improvement of the feed quality needs to be developed. The experiment was aimed to study the behaviour and physiological parameters of swamp buffalo as a response of different treatment of feed supplemention protected Lemuru fish oil in dried of carboxylate salts mixture (DCM) 0% and 4,5%. The animals used were six heads of male buffaloes. Observations were conducted in three times, in the morning (8:00 am - 10:00 am), around noon (12:00 am – 2:00 pm) and afternoon (3:00 pm - 5: 00 pm). The parameters included eating behaviour, agonistic, eliminative, grooming, and vocalization. Physiological parameters measured were pulse rate, respiration rate, and rectal temperature. Data analysis used were Man Whitney and Friedman test to analysis frequency different of while two treatment., where as the data of physiology were analysed by t test method. The results show that the eating, agonistic, and eliminative behaviour were dominantly presented in the morning and afternoon both in the two treatments. Grooming behaviour occurred during the day. The physiology of the buffalo bull were not different in both feed treatment. It is concluded that the feed treatments had no effect on the behaviour and phisiology of the swamp buffalo, therefore CGKK can be recommended as a good quality feed for local buffalo.

(43)

TINGKAH LAKU KERBAU RAWA YANG DIPELIHARA

SECARA FEEDLOT YANG DIBERI RANSUM

DENGAN SUPLEMENTASI CAMPURAN

GARAM KARBOKSILAT KERING

(CGKK)

SKRIPSI DELVITA YUNIZA

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(44)

Judul : Tingkah Laku Kerbau Rawa yang Dipelihara Secara Feedlot yang Diberi Ransum Dengan Suplementasi Campuran Garam Karboksilat Kering (CGKK)

Nama : Delvita Yuniza NIM : D14080135

Menyetujui,

Mengetahui: Ketua Departemen,

Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

( Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr. Sc ) NIP. 19591212 198603 1 004

Tanggal Ujian : 11 Desember 2012 Tanggal Lulus : Pembimbing Utama

( Dr. Ir. M. Yamin, M.Agr. Sc ) NIP. 19630281198803 1 002

Pembimbing Anggota

(45)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir pada tanggal 29 Maret 1990 yang bertempat di Lubuk Layang, Kecamatan Rao Selatan, Kabupaten pasaman, Sumatera Barat. Penulis merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Zamzami Kimin dan Ibunda Yuni Desmi. Pendidikan dasar dimulai dari tahun 1996 di SD Negeri 14 Lubuk Layang dan diselesaikan pada tahun 2002. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan ke jenjang pendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama di SLTP Negeri 1 Rao dan menyelesaikan pendidikan tersebut pada tahun 2005. Pendidikan lanjutan menengah atas ditempuh pada tahun 2005 sampai tahun 2008 di SMU Negeri 1 Rao. Penulis diterima sebagai mahasiswa Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2008 melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI), setelah menyelesaikan Tingkat Persiapan Bersama (TPB) IPB pada tahun 2009 penulis diterima di Departemen Ilmu Produksi dan Tekhnologi Peternakan (IPTP), Fakultas Peternakan IPB.

Selama menjadi mahasiswa Institut Pertanian Bogor, penulis bergabung dalam berbagai kepanitiaan yaitu, panitia BAZAR CERIA tingkat TPB, panitia BINDES FAPET dan Makrab IPTP 46. Penulis juga tergabung dalam organisasi di luar IPB yaitu sebagai sekretaris ikatan mahasiswa harimau pasaman (IMHP) Bogor.

(46)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah serta karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Tingkah Laku Kerbau Rawa yang Dipelihara Secara Feedlot yang Diberi Ransum Dengan Suplementasi Campuran Garam Karboksilat Kering (CGKK). Skripsi ini ditulis berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada bulan Juni sampai September 2011 bertempat di Laboratorium lapang kandang A dan Laboratorium Ruminansia Besar Fakultas Peternakan dan Teknopark SEAFAST Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilakukan untuk mengamati tentang pengaruh pakan berupa ransum yang disuplemen CGKK dan non CGKK terhadap tingkah laku dan kesejahteraan ternak.

Kesejahteraan ternak selalu dikaitkan dengan tingkat stres yang diderita oleh ternak. Tingkat stres yang diderita dapat diketahui dari pengamatan terhadap tingkah laku normalnya. Salah satu cara menangani stres pada ternak yaitu dengan cara memberi pakan yang sesuai dengan kebutuhan hidup pokoknya dan sistem pemeliharaan yang sesuai dengan kenyamanan ternak. Penelitian ini bertujuan mengevaluasi pengaruh pemberian pakan yang berbeda (CGKK dan non CGKK) terhadap tingkah laku ternak serta fisiologis ternak.

Harapan penulis dengan segala keterbatasan dan kekurangan skripsi ini semoga dapat memberikan informasi dan pengetahuan yang bermanfaat bagi pembaca dan semoga bermanfaat bagi perkembangan peternakan Indonesia. Oleh karena itu, harapan besar penulis adanya sumbangan pemikiran dari berbagai pihak untuk perbaikan skripsi ini.

Bogor, Januari 2013

(47)
(48)

viii

(49)

ix DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Komposisi Pakan Ternak Kerbau Berdasarkan Bahan Kering ... 17 2. Kandungan Nutrisi Pakan Ternak Kerbau Berdasarkan Bahan Kering 17 3. Rataan Suhu dan Kelembaban Udara Dalam Kandang Saat

Penelitian ... 22 4. Rataan Tingkah Laku Kerbau Rawa Keseluruhan yang

Disuplementasi CGKK dan Non CGKK. ... 23 5. Rataan Frekuensi Tingkah Laku Kerbau Rawa yang Disuplemen

CGKK pada Waktu yang Berbeda ... 25 6. Rataan Frekuensi Tingkah Laku Kerbau Rawa yang Disuplemen

(50)

x DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman 1. Kerbau yang Diberi Suplemen CGKK ... 14 2. Kerbau yang Diberi Suplemen Non CGKK ... 14 3. Pakan yang Digunakan dalam Penelitian (a) Pakan Hijauan, (b)

Pakan Konsentrat + CGKK ... 15 4. Alur Pembuatan Suplemen Minyak Ikan Lemuru yang Terproteksi

Dalam Bentuk CGKK ... 16 5. Beberapa Contoh Tingkah Laku Kerbau Rawa (a) Tingkah Laku

(51)

xi DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman 1. Hasil Uji T Rataan Tingkah Laku Kerbau Rawa yang Disuplemen

CGKK ... 42 2. Hasil Uji T Rataan Tingkah Laku Kerbau Rawa yang Disuplemen

Non CGKK ... 42 3. Hasil Uji T Rataan Tingkah Laku Kerbau Rawa Secara Keseluruhan

yang Disuplemen CGKK dan Non CGKK ... 43 4. Hasil Uji T Rataan Denyut Jantung, Pernapasan dan Suhu Rektal

Kerbau Rawa yang Disuplemen CGKK dan Non CGKK ... 43 5. Perbandingan Rataan Denyut Jantung Kerbau Rawa yang

Disuplemen CGKK dan Non CGKK ... 43 6. Perbandingan Rataan Laju Pernapasan Kerbau Rawa yang

Disuplemen CGKK dan Non CGKK ... 44 7. Perbandingan Rataan Suhu Rektal Kerbau Rawa yang Disuplemen

CGKK dan Non CGKK ... 44 8. Hasil uji Friedmant Tingkah Laku Kerbau Rawa yang Disuplemen

CGKK pada Waktu yang Berbeda ... 44 9. Hasil uji Friedmant Tingkah Laku Kerbau Rawa yang Disuplemen

Non CGKK pada Waktu yang Berbeda ... 45 10. Hasil Uji Mann Whiteney Frekuensi Kejadian Seluruh Tingkah

(52)

PENDAHULUAN Latar Belakang

Kerbau (Bubalus bubalis) merupakan salah satu ternak ruminansia besar yang telah lama dikenal oleh masyarakat khususnya di pedesaan di Indonesia. Kerbau diketahui memiliki beberapa kelebihan diantaranya dapat bertahan hidup dengan pakan yang terbatas, baik dalam hal kualitas maupun kuantitas. Kerbau juga toleran terhadap penyakit atau parasit di daerah tropis, lembab, menyebabkan ketahanan hidup kerbau tinggi pada berbagai agroekosistem di Indonesia. Namun, kondisi peternakan kerbau saat ini bersifat tradisional yang tidak berorientasi pada kebutuhan ternak sehingga menyebabkan rendahnya populasi kerbau serta produktivitasnya. Di Indonesia pemeliharaan ternak kerbau umumnya digunakan sebagai ternak kerja, meningkatkan status sosial, akibatnya ternak dijual dan dipotong pada umur tua, sehingga daging yang dihasilkan mempunyai kualitas yang rendah, seperti daging menjadi keras dan alot, warna daging lebih gelap dan baunya yang tajam dibandingkan dengan daging sapi, sehingga daging kerbau kurang disukai.

(53)

2 terkandung dalam minyak ikan lemuru adalah asam lemak omega-3 seperti EPA (Eicosapentaenoic Acid C20:5(n-3)) dan DHA (Docosahexaenoic Acid, C22:6(n-3)) (Tasse, 2010). Pemberian minyak ikan lemuru terproteksi dalam bentuk CGKK diharapkan dapat meningkatkan nilai nutrisi daging yang dihasilkan.

Dengan sistem pemeliharaan dan pemberian pakan ini akan diketahui perbedaan pengaruh penambahan CGKK dalam ransum terhadap tingkah laku ternak kerbau tersebut. Selama interaksi tersebut ternak akan menimbulkan respon berupa tingkah laku terhadap lingkungan yang dihadapinya, seperti terjadinya tingkah laku makan, disebabkan karena adanya makanan (rangsangan dari lingkungan) dan adanya kebutuhan atau lapar (rangsangan dari dalam) serta kenyamanan ternak saat dipelihara.

Tujuan

(54)

TINJAUAN PUSTAKA Kerbau

Kerbau merupakan hewan ruminansia dari sub family Bovinae yang berkembang di banyak bagian dunia dan diduga berasal dari daerah India. Kerbau domestikasi atau water buffalo yang terdapat saat ini berasal dari spesies bubalus arnee. Spesies kerbau lainnya yang masih liar adalah bubalus mindorensis, bubalus depressicornis dan bubalus caffer (Hasinah dan Handiwirawan, 2006). Kerbau domestik (Bubalus bubalis) terdiri dari dua tipe yaitu kerbau rawa dan kerbau sungai. Kerbau rawa merupakan kerbau tipe pedaging sedangkan kerbau sungai merupakan kerbau tipe perah. Taksonomi kerbau (Bubalus bubalis) menurut Fahimuddin (1975) adalah sebagai berikut:

Kerajaan : Animalia Filum : Chordata Kelas : Mamalia Ordo : Arthiodactyla Family : Bovidae Genus : Bos Sub genus : Bubaline Spesies : Bubalus bubalis

Kerbau sungai (river buffalo) adalah kerbau yang biasa digunakan sebagai ternak perah dan memiliki kebiasaan berkubang pada air jernih. Fahimuddin (1975) menyatakan bahwa kerbau sungai banyak terdapat di India, Pakistan, Mesir, dan daerah Mediterania. Kerbau rawa (swamp buffalo) tersebar dalam jumlah yang besar di daerah Asia Tenggara. Ciri-ciri kerbau rawa menurut Fahimuddin (1975) adalah berwarna keabu-abuan, leher terkulai dan memiliki tanduk besar yang mengarah ke belakang. Kerbau rawa memiliki kebiasaan berkubang pada lumpur. Kerbau rawa biasanya digunakan sebagai penghasil daging dan hewan kerja.

Gambar

Gambar 2. Kerbau yang Diberi Suplemen Non CGKK
Gambar 3. Pakan yang Digunakan dalam Penelitian (a) Pakan Hijauan, (b) Pakan
Gambar 4. Alur Pembuatan Suplemen Minyak Ikan Lemuru yang Terproteksi dalam
Tabel 1. Komposisi Pakan Ternak Kerbau Berdasarkan Bahan Kering
+7

Referensi

Dokumen terkait

Frekuensi makan yang lebih sering terjadi pada faktor waktu pemberian pakan yaitu pada pemberian di pagi hari hal ini disebabkan domba termasuk hewan yang lebih

Berdasarkan analisis ragam yang telah dilakukan terhadap karakteristik karkas yang meliputi bobot potong, bobot karkas panas, persentase bobot karkas panas, bobot

Komponen asam lemak daging kerbau dan sapi yang diamati pada bagian Longisimus dorsi atau bagian otot loin pada rusuk ke-12 dan 13 yang telah diberi suplemen minyak

Penelitian evaluasi pengaruh frekuensi dan periode pemberian pakan yang berbeda terhadap tingkah laku burung puyuh petelur, dilaksanakan pada bulan September sampai

Analisis Ragam Pengaruh Frekuensi dan Periode Pemberian Pakan yang Berbeda Terhadap Tingkah Laku Makan Burung Puyuh Petelur Awal Produksi (Data di Transformasi dengan

Manfaatnya memberikan informasi tingkah laku makan dan ruminasi kambing Kacang yang diberi pakan dengan sumber protein yang berbeda.. Hipotesis pada penelitian ini

Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan kandungan nutrisi dan komponen asam lemak pada daging kerbau Rawa dan sapi Peranakan Ongole (PO) yang digemukkan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi tingkah laku anak domba garut setelah lahir yang diberi ransum komplit yang mengandung minyak biji