• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perdagingan dan Distribusi Daging Kerbau Rawa dan Sapi Peranakan Ongole yang Digemukkan Menggunakan Ransum dengan Suplementasi Campuran Garam Karboksilat Kering

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perdagingan dan Distribusi Daging Kerbau Rawa dan Sapi Peranakan Ongole yang Digemukkan Menggunakan Ransum dengan Suplementasi Campuran Garam Karboksilat Kering"

Copied!
102
0
0

Teks penuh

(1)

RINGKASAN

PUTRI OKTAVIANA. 2012. Perdagingan dan Distribusi Daging Kerbau Rawa dan Sapi Peranakan Ongole yang Digemukkan Menggunakan Ransum dengan Suplementasi Campuran Garam Karboksilat Kering. Skripsi. Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Dr. Ir. Rudy Priyanto

Pembimbing Anggota : Bramada Winiar Putra, S.Pt.

Kerbau merupakan ternak pedaging yang turut berkontribusi dalam upaya pemenuhan kebutuhan daging di Indonesia, namun pemanfaatan kerbau sebagai ternak pedaging belum dilakukan dengan maksimal di Indonesia. Kerbau mempunyai kemiripan anatomi dengan sapi, yaitu pada rumen dan kerangka tubuhnya. Berbeda dengan sistem penggemukan sapi secara intensif yang telah berkembang dengan baik, penggemukan kerbau secara intensif dengan pakan konsentrat belum banyak dilakukan di Indonesia.

Upaya peningkatan kualitas karkas kerbau dengan pemberian pakan yang mengandung asam lemak tak jenuh yang bersumber dari minyak ikan Lemuru juga belum umum dilakukan. Minyak ikan Lemuru merupakan limbah industri pengalengan ikan yang mengandung asam lemak tak jenuh. Asam lemak tak jenuh dalam minyak ikan Lemuru dapat diproteksi ke dalam bentuk CGKK (Campuran Garam Karboksilat Kering). Pemberian suplemen minyak ikan Lemuru yang terproteksi ke dalam bentuk CGKK ini diharapkan akan meningkatkan kualitas karkas dan daging yang dihasilkan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh jenis ternak dan penambahan minyak ikan Lemuru yang telah terproteksi ke dalam bentuk CGKK serta interaksi keduanya terhadap perdagingan dan distribusi daging kedua ternak tersebut.

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan bulan Juni sampai September 2011 di Laboratorium Ruminansia Besar, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor; Teknopark SEAFAST, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor; Laboratorium Lapang Blok A, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor; dan Rumah Potong Hewan Elders. Ternak yang digunakan adalah enam ekor kerbau Rawa jantan dan delapan ekor sapi PO jantan. Sistem pemeliharaan dilakukan secara feedlot. Ransum yang diberikan terdiri dari rumput lapang dan rumput gajah, konsentrat komersil yang dicampur dengan kulit ari kedelai, dan suplemen minyak ikan lemuru yang terproteksi ke dalam bentuk CGKK.

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial 2x2. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan Anova dan Ancova. Hasil penelitian menunjukkan bahwa CGKK tidak memberikan pengaruh nyata pada karakteristik karkas dan potongan komersial yang diamati, jenis ternak memberikan perbedaan nyata (P<0,05) terhadap bobot potong, persentase bobot karkas panas, serta pada potongan striploin, tenderloin, silverside dan topside. Interaksi antara jenis ternak dan pengaruh pemberian suplemen minyak ikan lemuru terproteksi dalam bentuk CGKK tampak pada potongan striploin.

(2)

ABSTRACT

The Meat Yield and Distribution of Swamp Buffalo Carcass and Ongole Grade Cattle Fed Concentrate Containing Lemuru Fish Oil in The Form

of Dry Carboxylate Salt Mixture

Oktaviana, P., R. Priyanto, dan B. W. Putra

Swamp buffalo is commonly regarded as an animal with relatively low productivity. The objective of the study was to examine the meat yield and it’s distribution within carcass from Swamp buffalo and Ongole Grade cattle fed concentrate containing protected lemuru fish oil in the form of dry carboxylate salt mixture (DCM). Fourteen animal were used in the study comparising eight Ongole Grade cattle and six Swamp buffalo. Each group of animal was allotted to control ration and control ration plus DCM. They were set up in a factorial design with species and ration as the factors. The result showed that administration of protected lemuru fish oil in the ration did not obviously influence meat yield and each distribution carcass. However Swamp buffalo had significantly higher slaughter weight but lower carcass weight (P<0,05). The Swamp buffalo carcass yield were significantly lower weight of striploin, tenderloin, silverside and topside if compared to Ongole Grade cattle.

(3)

PENDAHULUAN Latar Belakang

Kerbau adalah ternak pedaging yang turut berperan dalam upaya pemenuhan kebutuhan daging merah di Indonesia, namun pemanfaatan kerbau sebagai ternak penghasil daging belum dilakukan dengan maksimal. Kerbau merupakan ternak yang memiliki kemiripan anatomi dengan sapi pada rumen dan kerangka tubuhnya. Kerbau adalah hewan ruminansia dari sub family Bovinae yang diduga berasal dari daerah India (Hasinah dan Handiwirawan, 2006). Kerbau domestik (Bubalus bubalis)

terdiri dari dua tipe yaitu kerbau Rawa dan kerbau Sungai. Kerbau Rawa adalah kerbau tipe pedaging sedangkan kerbau Sungai merupakan kerbau tipe perah.

Kerbau diketahui memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan sapi. Diwyanto dan Handiwirawan (2006) menyatakan bahwa kerbau dapat hidup di kawasan yang relatif sulit dalam keadaan pakan yang kurang baik. Kerbau juga dapat berkembangbiak dalam rentang agroekosistem yang luas dari daerah yang basah sampai daerah yang relatif kering, selain itu kemampuan kerbau untuk mencerna serat kasar 5% lebih baik daripada sapi.

Pemanfaatan kerbau di Indonesia masih sangat terbatas, hanya sebagai ternak pekerja dan pelengkap upacara adat atau keagamaan saja. Pemeliharaan kerbau juga masih dilakukan dengan cara digembalakan. Kontribusi kerbau dalam upaya pemenuhan kebutuhan daging merah di Indonesia masih sangat minim jika dibandingkan dengan sapi. Kurangnya peminat daging kerbau di Indonesia menjadi salah satu penyebabnya. Daging kerbau kurang diminati karena dianggap terlalu keras atau alot untuk dikonsumsi. Umumnya ternak kerbau adalah ternak pekerja. Pemotongan ternak kerbau dilakukan ketika ternak kerbau berumur tua, sehingga

daging yang dihasilkan lebih keras dan kurang diminati konsumen (Usmiati dan Priyanti, 2006).

(4)

melalui pemberian pakan yang efisien. Pemeliharaan secara intensif bertujuan agar pemanfaatan zat gizi untuk pembentukan otot dari pakan yang diberikan lebih efisien sehingga dapat menekan biaya produksi. Pemeliharaan kerbau secara intensif salah satunya dapat dilakukan dengan sistem pemeliharaan feedlot. Melalui sistem pemeliharaan feedlot, diharapkan kerbau akan mencapai target bobot potong dalam waktu yang lebih singkat. Indikator-indikator yang menentukan nilai ternak potong adalah persentase bobot karkas, banyaknya proporsi bagian karkas yang bernilai tinggi, dan rasio daging yang tinggi. Karkas ternak memiliki produktivitas optimum apabila komposisi jaringan dari potongan komersial memenuhi spesifikasi pasar.

Minyak ikan Lemuru merupakan sumber asam lemak tak jenuh. Penambahan asam lemak tak jenuh dalam pakan ruminansia akan meningkatkan efisiensi penggunaan energi karena menurunkan produksi metan dalam rumen (Parakkasi, 1999). Minyak ikan Lemuru tidak dapat diberikan secara langsung kepada ternak,

karena memiliki palatabilitas yang rendah. Proses pengolahan minyak ikan Lemuru ke dalam bentuk CGKK (Campuran Garam Karboksilat Kering) ditujukan untuk

meningkatkan palatabilitas ternak serta memproteksi asam lemak tak jenuh agar tidak terhidrogenasi oleh bakteri rumen. Minyak ikan Lemuru merupakan limbah yang berasal dari industri pengalengan ikan. Kandungan nutrisi dalam suplemen minyak ikan Lemuru ini diharapkan akan meningkatkan kualitas karkas yang dihasilkan, dengan demikian maka perlu dilakukan penelitian tentang perdagingan dan distribusi daging kerbau Rawa dan sapi PO dengan pemberian suplemen minyak ikan lemuru terproteksi dalam bentuk CGKK

.

Tujuan

(5)

TINJAUAN PUSTAKA

Ternak Kerbau

Kerbau termasuk dalam sub-famili Bovinae, genus Bubalus. Kerbau domestik (Bubalus bubalus) terbagi menjadi dua kelompok yaitu kerbau Rawa (swamp buffalo) dan kerbau Sungai (river buffalo). Kerbau Rawa dan kerbau Sungai mempunyai karakteristik yang berbeda. Kerbau Rawa memiliki tanduk yang melengkung ke belakang, sedangkan kerbau Sungai memiliki tanduk yang melingkar ke bawah. Kerbau Sungai merupakan kerbau penghasil susu. Produksi susu seekor ternak kerbau Sungai mencapai 6-7 liter/hari. Kerbau Rawa umumnya digunakan sebagai ternak pekerja dan penghasil daging. Kerbau Rawa tidak dapat digunakan sebagai ternak penghasil susu karena hanya mampu menghasilkan susu sebanyak 1-1,5 liter/hari (Hasinah dan Handiwirawan, 2006).

Kerbau Rawa jantan dan betina memiliki umur pubertas yang berbeda.

Kerbau Rawa jantan lebih cepat mengalami pubertas daripada kerbau Rawa betina. Rata-rata seekor kerbau Rawa jantan akan mengalami pubertas pada umur 24,77

bulan, sedangkan kerbau Rawa betina mengalami pubertas di umur 27,23 bulan. Kerbau Rawa mulai beranak pada umur 3,9 tahun dan memiliki masa kebuntingan sekitar 11 bulan (Muthalib, 2006). Jarak beranak kerbau Rawa adalah 20-24 bulan. Kerbau Rawa memiliki pertambahan bobot badan harian sekitar 0,3-0,9 kg dengan persentase karkas < 50% (Diwyanto dan Handiwirawan, 2006).

Populasi Ternak Kerbau di Indonesia

(6)

Tabel 1. Penyebaran Populasi Kerbau di Indonesia pada Tahun 2006-2010

Provinsi 2006 2007 2008 2009 2010

Aceh 371,143 390,334 280,662 290,772 308,179

Sumut 261,794 189,167 155,341 156,210 157,084

Sumbar 211,531 192,148 196,854 202,997 221,459

Riau 51,791 50,362 49,116 51,697 52,674

Jateng 112,963 109,004 102,591 105,506 107,616

DI Yogya 4,990 4,761 4,607 4,312 4,363

Jatim 54,198 53,364 49,700 49,698 49,700

Banten 146,453 144,944 153,004 151,976 156,670

Bali 6,775 5,988 4,474 4,122 4,162

Sulsel 129,565 120,003 130,109 124,141 124,543

Sultra 7,613 6,951 7,708 7,031 7,172

Indonesia 2,166,606 2,085,779 1,930,716 1,932,927 2,010,077

Sumber: Direktorat Jendral Peternakan (2010)

(7)

(Indraningsih et al., 2006). Muljadi et al. (1980) menyatakan bahwa di Pulau Jawa, sebagian besar peternak kerbau hanya menggunakan kerbau sebagai ternak pekerja, penghasil pupuk serta sebagai tabungan saja.

Kelebihan dan Kelemahan Ternak Kerbau

Kerbau memiliki peranan dalam pemenuhan kebutuhan daging di Indonesia, namun kontribusi kerbau sebagai ternak penghasil daging di Indonesia masih relatif kecil. Meningkatnya impor daging sapi dan bakalan ke Indonesia menyebabkan terjadinya keterbatasan penyediaan oleh negara eksportir, sehingga terjadi kenaikan harga sapi bakalan impor untuk penggemukan. Harga bobot hidup ternak kerbau yang lebih murah menjadi salah satu alasan kerbau sebagai ternak alternatif dalam kegiatan penggemukan (Anggraeni dan Triwulanningsih, 2007).

Tingkat konsumsi daging kerbau di Indonesia masih rendah. Hal ini disebabkan daging yang dihasilkan relatif alot. Umumnya ternak kerbau adalah

ternak pekerja. Pemotongan ternak kerbau dilakukan ketika ternak berumur tua, sehingga daging yang dihasilkan lebih alot dan kurang diminati konsumen. Daging

kerbau memiliki struktur, komposisi kimia, nilai nutrisi, palatabilitas dan karkas yang hampir sama dengan daging sapi, perbedaan antara daging kerbau dengan daging sapi terletak pada lemakya. Kandungan lemak daging kerbau adalah sekitar 2,42 gram/100 gram, sedangkan daging sapi mengandung sekitar 10,15 gram pada setiap 100 gram daging. Kandungan lemak pada daging kerbau yang lebih sedikit, menyebabkan rendahnya kolesterol yang terkandung dalam daging kerbau. Hal ini menunjukkan bahwa daging kerbau dapat digunakan sebagai alternatif pangan sehat (Usmiati dan Priyanti, 2006).

Kerbau lokal memiliki potensi yang cukup besar sebagai ternak penghasil daging. Kerbau memiliki keunggulan seperti mudah menyesuaikan diri, mampu memanfaatkan pakan yang mengandung serat kasar tinggi dan bermutu rendah dibandingkan sapi. Kemampuan cerna serat kasar kerbau 5% lebih tinggi daripada sapi (Hasinah dan Handiwirawan, 2006).

(8)

industri dan lain sebagainya. Kerbau dapat berkembang dengan baik di daerah agroekosistem yang bervariasi, seperti di padang penggembalaan Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT) yang memiliki iklim kering. Kerbau juga mampu berkembang dengan baik di wilayah persawahan irigasi maupun non irigasi, serta di daerah pegunungan dan dataran rendah yang berawa-rawa di Kalimantan Selatan. Kemampuan kerbau untuk dapat berkembang dengan baik di berbagai variasi agroekosistem tersebut menunjukkan bahwa kerbau memiliki daya adaptasi yang sangat baik terhadap lingkungan (Hasinah dan Handiwirawan, 2006).

Ternak kerbau juga memiliki beberapa kelemahan, diantaranya yaitu ketidaktahanan terhadap udara yang panas. Pola pengadaptasian kerbau terhadap udara panas adalah dengan berkubang di lumpur (Hasinah dan Handiwirawan, 2006). Ternak kerbau tetap memerlukan tempat untuk berkubang ketika dipelihara secara intensif (Diwyanto dan Handiwirawan, 2006). Hal ini disebabkan oleh kulit kerbau

yang tebal, berwarna keabu-abuan, berambut hitam serta hanya memiliki sedikit kelenjar keringat sehingga kurang tahan terhadap cuaca yang panas. Kebiasaan

berkubang kerbau berfungsi untuk membantu termoregulasi tubuh, agar fungsi fisiologi tubuh kerbau dapat berjalan dengan normal ketika cuaca panas. Kebiasaan berkubang kerbau sangat berpengaruh terhadap pertambahan berat badan kerbau (Poerwoto dan Dania, 2006).

(9)

Sistem Pemeliharaan Ternak kerbau

Pemeliharaan kerbau dengan sistem intensif belum banyak dilakukan di Indonesia. Pada umumnya, kerbau dipelihara dengan cara digembalakan di padang rumput, sehingga hijauan menjadi makanan utamanya. Hal tersebut menandakan bahwa pakan ternak kerbau tidak berbeda dengan pakan sapi, yaitu terdiri dari hijauan serta limbah hasil pertanian atau perkebunan (Indraningsih et al., 2006).

Kondisi lahan yang semakin sempit menimbulkan permasalahan karena menyebabkan terbatasnya ketersediaan pakan kerbau yang digembalakan. Petani kecil mengatasi permasalahan tersebut dengan memanfaatkan jerami padi, namun jerami padi tidak cukup baik untuk digunakan sebagai pakan ternak kerbau, karena kandungan protein dan karbohidratnya rendah (Dania dan Poerwoto, 2006).

Kerbau yang dipelihara secara intensif cenderung menggunakan limbah pertanian dan perkebunan sebagai pakannya. Namun penggunaan limbah tersebut

belum dilakukan secara optimal karena peternak tidak mengetahui kualitas serta kandungan nutrisi dari limbah yang digunakan (Indraningsih et al., 2006).

Produktivitas seekor ternak tergantung pada pakan yang diberikan, sehingga pemberian pakan harus mempertimbangkan kualitas, kandungan nutrisi serta ketersediaannya (Indraningsih et al., 2006).

Kerbau merupakan ternak potensial untuk dijadikan ternak pedaging. Upaya peningkatan produktivitas kerbau dapat dilakukan dengan perbaikan manajemen pakan dan manajemen pemeliharaan. Perbaikan kualitas pakan diharapkan dapat meningkatkan pertambahan bobot badan ternak kerbau. Pemberian pakan serat dan konsentrat berkualitas mampu memberikan laju PBBH hingga 1 kg/hari (Anggraeni dan Triwulanningsih, 2007).

Hendratno et al. (1981) melaporkan bahwa pemberian pakan tambahan berupa bungkil kedelai sebanyak 1,75 kg/ekor/hari pada kerbau jantan umur 2,5-3 tahun menghasilkan pertambahan bobot badan sebesar 0,75 kg/ekor/hari. Pemberian dedak halus sebanyak 2 kg dan 4 kg/ekor/hari menghasilkan pertambahan bobot badan masing-masing sebesar 0,7 dan 0,78 kg/ekor/hari.

Sapi Peranakan Ongole (PO)

(10)

besar. Sapi PO memiliki respon yang baik terhadap perubahan dan perbaikan pakan. Nilai rata-rata yang pernah dilaporkan untuk pertambahan bobot badan harian sapi PO antara lain 0,62 kg (prasapih), 0,24 kg (pascasapih), 0,34-0,37 kg (umur 4-12 bulan), 0,31-0,40 kg (umur 13-24 bulan), dan 0,44-0,91 kg (umur 2 tahun) (Astuti, 2004).

Sapi PO adalah sapi yang diperoleh dari persilangan sapi Sumba Ongole dan Sapi Jawa. Sapi PO memiliki karakteristik meliputi ukuran tubuh yang besar dan panjang, berwarna putih (namun punuk sampai leher berwarna putih keabu-abuan dan lututnya berwarna hitam), memiliki kepala yang panjang, tanduknya pendek dan tumpul yang pada bagian pangkalnya berukuran besar, selain itu sapi PO juga memiliki gelambir yang lebar, bergantung, dan berlipat yang tumbuh sampai tali pusar (Payne and Hodges, 1997).

Pertumbuhan Ternak

Pertumbuhan adalah serangkaian perubahan ukuran pada berat hidup ternak, bentuk ternak, dimensi linear dan komposisi tubuh ternak, serta perubahan

komponen-komponen tubuh ternak yang meliputi otot, lemak, tulang dan organ. Pertumbuhan seekor ternak adalah kesatuan dari pertumbuhan komponen-komponen tubuhnya. Pertumbuhan komponen-komponen pada tubuh ternak memiliki laju yang berbeda. Perbedaan laju pertumbuhan komponen-komponen pada tubuh ternak, menyebabkan diferensiasi individual sel dan organ. Diferensiasi menyebabkan perbedaan morfologis atau kimiawi seperti perubahan sel-sel embrio menjadi sel-sel otot, tulang, hati, jantung, ginjal, otak,saluran pencernaan, organ reproduksi serta alat pernafasan (Soeparno, 2005).

Pertumbuhan memiliki tiga proses yang utama. Pertama adalah proses dasar pertumbuhan seluler. Pertumbuhan seluler meliputi hyperplasia serta hipertrofi. Hiperplasia adalah pertambahan atau produksi sel-sel baru. Hipertrofi merupakan pembesaran sel serta pertambahan material struktural nonprotoplasmik, contohnya yaitu deposisi lemak, glikogen, plasma darah dan kartilago (Hammond et al., 1984).

(11)

pertumbuhan dan perkembangan dibedakan menjadi periode prenatal (sebelum lahir) dan periode postnatal (setelah lahir).

Periode pertumbuhan prenatal terbagi atas tiga periode, yaitu periode ovum, embrio dan fetus, sedangkan periode pertumbuhan postnatal dibedakan menjadi dua periode, yaitu sebelum penyapihan dan sesudah penyapihan. Laju pertumbuhan postnatal mula-mula terjadi sangat lambat, lalu cepat, dan akan berangsur melambat

kembali, kemudian pertumbuhan akan berhenti ketika ternak mencapai kedewasaan (Swatland, 1984).

Pertumbuhan memiliki tiga proses yang utama. Pertama adalah proses dasar pertumbuhan seluler. Pertumbuhan seluler meliputi hyperplasia serta hipertrofi. Hiperplasia adalah pertambahan atau produksi sel-sel baru. Hipertrofi merupakan pembesaran sel serta pertambahan material struktural nonprotoplasmik, contohnya yaitu deposisi lemak, glikogen, plasma darah dan kartilago (Hammond et al., 1984).

Ternak dalam satu bangsa memiliki perbedaan dalam merespon faktor-faktor yang berasal dari lingkungan seperti nutrisional, fisis dan mikrobiologis. Perbedaan

respon tersebut mengakibatkan perbedaan kadar laju pertumbuhan. Perbedaan laju pertumbuhan di antara bangsa ternak dan individu ternak dalam suatu bangsa disebabkan karena ukuran tubuh dewasa yang berbeda. Bangsa ternak yang besar akan lahir dengan bobot lebih berat serta memiliki pertumbuhan yang lebih cepat daripada bangsa ternak yang kecil (Berg dan Butterfield, 1976).

Nutrisi adalah faktor yang memberikan pengaruh besar pada pertumbuhan. Pemberian pakan pada ternak harus memperhatikan komposisi nutrisinya. Sistem pemeliharaan intensif harus menggunakan pakan yang memiliki kandungan protein yang tinggi dan kandungan lemak yang rendah (Parakkasi 1999).

(12)

Loin adalah bagian tubuh yang paling lambat bertumbuh sedang yang paling awal bertumbuh adalah tungkai kaki dan kepala (cranium).

Karakteristik Karkas

Usaha pemotongan ternak pedaging menghasilkan komponen karkas dan komponen non karkas. Komponen karkas adalah komponen yang bernilai ekonomi lebih tinggi daripada komponen non karkas, sesuai dengan tujuan pemotongan ternak, yaitu untuk mendapatkan daging. Nilai komersil karkas sangat dipengaruhi oleh proporsi otot, tulang dan lemak (Berg dan Butterfield, 1976).

Tujuan utama dari penggemukan ternak adalah memperoleh ternak dengan bobot karkas yang optimal. Kuantitas dan kualitas karkas yang baik dari seekor ternak dapat diketahui dengan melakukan penilaian karkas. Penilaian karkas dilakukan untuk mengidentifikasi jumlah daging yang terdapat pada karkas. Tujuan lain dari usaha penggemukan adalah untuk memperbaiki kualitas karkas. Kualitas

karkas adalah nilai pada karkas yang dihasilkan oleh seekor ternak terhadap suatu kondisi pemasaran. Nilai karkas dari seekor ternak ditentukan oleh beberapa faktor,

diantaranya yaitu berat karkas, jumlah total daging yang dihasilkan, serta kualitas daging yang dihasilkan. Faktor lain yang mempengaruhi kualitas karkas diantaranya adalah deposit lemak dalam karkas. Lama proses penggemukan berhubungan dengan pertambahan bobot badan, grade,dan komposisi karkas ternak. Hubungan tersebut yaitu semakin lama penggemukkan maka pertambahan bobot badan semakin turun, tetapi persentase karkas meningkat dan mencapai grade prime minimal mencapai grade standart. Lama penggemukkan juga berpengaruh pada peningkatan kadar lemak dalam karkas (Parakkasi, 1999).

(13)

Bobot Potong dan Bobot Karkas

Bobot potong merupakan bobot ternak yang dihitung ketika ternak akan dipotong. Bobot karkas adalah bobot ternak yang telah dipotong tanpa darah, kulit, visera, kepala, ekor dan shank. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Nuraini et al. (2010) bobot potong dan bobot karkas dipengaruhi oleh umur. Pada kerbau jantan umur 2-4 tahun, bobot potong dan bobot karkasnya lebih tinggi daripada kelompok umur dibawah 2 tahun.

Bobot karkas dapat didasarkan pada berat segar atau estimasi berat karkas yang dihitung dari berat karkas dingin (layu) 1,02. Penyusutan berat karkas

selama pelayuan diestimasikan sekitar 2%. Karkas yang kualitasnya lebih tinggi mempunyai perkembangan otot yang baik dan deposisi lemak yang memadai didalan otot intercostals (Swatland, 1984).

Persentase Karkas

Persentase karkas merupakan perbandingan antara berat karkas dengan berat badan dikalikan 100%. Persentase karkas terhadap berat hidup biasanya meningkat sesuai dengan peningkatan berat hidup, tetapi persentase bagian non karkas seperti kulit, darah, lambung dan usus kecil dan hati menurun. Ternak muda sebagian besar tersusun dari bagian-bagiantubuh tersebut dibandingkan dengan ternak tua dan lebih besar. Umumnya, karkas sapi memiliki presentase sebesar 50% -60% dari bobot

potongnya. Kerbau memiliki persentase karkas yang relatif lebih kecil dibandingkan sapi yaitu kurang dari 50% (Diwyanto dan Handiwirawan, 2006).

Daging

(14)

Potongan Komersial Karkas

Karkas yang berasal dari ternak ruminansia besar seperti kerbau dan sapi, memiliki ukuran yang besar dan bobot yang berat. Proses transportasi karkas dalam keadaan utuh tidak praktis untuk dilakukan. Penanganan terhadap transportasi karkas kerbau dan sapi memerlukan metode tertentu untuk mempermudah pelaksanaannya, yaitu dengan cara membelah karkas menjadi empat bagian. Seperempat bagian depan karkas disebut forequarter, sedangkan seperempat bagian belakangnya disebut hindquarter. Potongan eceran karkas diperlukan untuk mempermudah pemasaran.

Potongan primal karkas sapi dari bagian seperempat karkas depan terdiri dari bahu (chuck) termasuk leher, rusuk, paha depan, dada (breast) yang dibedakan menjadi dua yaitu dada depan (brisket) dan dada belakang (blade). Bagian seperempat karkas belakang terdiri dari paha (round) dan paha atas (rump), loin (sirloin dan tenderloin), serta flank (Soeparno, 2005).

Bagian seperempat karkas depan (forequarter) dan seperempat karkas belakang (hindquarter) diperoleh dengan memisahkan rusuk 12 dan 13. Rusuk terakhir

termasuk ke dalam bagian seperempat karkas belakang. Pemisahan potongan-potongan primal seperempat karkas depan dan seperempat karkas belakang dilakukan dengan menghitung tujuh vertebral central kearah depan (dalam posisi karkas tergantung ke arah bawah) dari perhubungan sacrallumbar. Bagian seperempat karkas depan dan seperempat belakang dipisahkan dengan pemotongan otot-otot intercostals dan abdominal mengikuti bentuk melengkung dari rusuk ke 12. Bagian bahu dipisahkan dari rusuk dengan memotongan secara tegak lurus melalui vertebral column dan otot intercostals atau antara rusuk ke-lima dan ke-enam. Rusuk

dari dua dada belakang dipisahkan dengan membuat potongan dari anterior ke posterior. Bahu dari dada depan (brisket) dipisahkan dengan memotong tegak lurus rusuk ke lima, kira-kira arah proximal terhadap tulang siku (olecranon) (Soeparno, 2005).

Potongan primal karkas bagian seperempat belakang diawali dengan memisahkan ekses lemak didekat pubis dan di bagian posterior otot abdominal. Flank dipisahkan dengan cara memotong ujung distal tensor fascia lata, anterior dari

rectus femoris kearah rusuk ke 13 (kira-kira 20 cm dari vertebral column). Bagian

(15)

distal terhadap ichium kira-kira berjarak 1 cm, sampai bagian kepala dari tulang femur, kemudian paha atas dipisahkan dari sirloin dengan memotong antara vertebral sacral ke empat dan ke lima dan berakhir dibagian ventral terhadap acetabulum

pelvis. Sirloin dipisahkan dari shortloin dengan suatu potongan tegak lurus terhadap

vertebral column dan melalui vertebral lumbar, antara lumbar ke-lima dan ke-enam (Soeparno, 2005).

Minyak Ikan Lemuru

Maryana (2002) menyatakan bahwa minyak ikan lemuru (sardinella longiseps) merupakan hasil samping pada industri pengalengan ikan lemuru yang memiliki potensial sebagai sumber asam lemak tak jenuh. Minyak ikan lemuru mengandung konsentrasi EPA (% b/b dari total asam lemak) lebih tinggi dibandingkan dengan asam lemak essensialnya (EPA 7,8% b/b vs asam stearat 0,9% b/b, asam oleat 2,1% b/b, asam linoleat 0,3% b/b, asam linolenat 0,2% b/b dan DHA 3,1% b/b) (Tasse,

2010). Kandungan asam lemak tak jenuh dalam minyak ikan lemuru adalah sekitar 85,61%. Manfaat penambahan lemak dalam pakan ruminansia adalah sebagai sumber

asam lemak esensial, meningkatkan jumlah energi pada ransum, meningkatkan palatabilitas ransum dan menurunkan produksi metan dalam rumen serta memperbaiki rasio asetat dan propionat. Peningkatan palatabilitas ransum akan meningkatkan total konsumsi ransum pada ternak. Penurunan produksi metan di dalam rumen, akan meningkatkan efiensi penggunaan energi (Parakkasi, 1999).

Campuran Garam Karboksilat Kering (CGKK)

(16)
(17)

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan bulan Juni sampai dengan September 2011. Pengolahan minyak ikan Lemuru ke dalam bentuk Campuran Garam Karboksilat Kering (CGKK) dan penguraian karkas kerbau Rawa dan sapi Peranakan Ongole ke dalam potongan komersial daging dilakukan di Laboratorium Ruminansia Besar, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pengeringan CGKK dengan oven dilakukan di Teknopark SEAFAST, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut

Pertanian Bogor. Pemeliharaan dan penggemukan ternak dilakukan di Laboratorium Lapang Blok A, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, sedangkan penyembelihan dan pemotongannya dilakukan di RPH (Rumah Potong Hewan) Elders.

Materi Ternak

Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan 14 ekor ternak uji. Ternak yang digunakan meliputi enam ekor kerbau rawa dan delapan ekor sapi Peranakan Ongol (PO). Ternak yang digunakan adalah ternak jantan yang berumur 2,5 tahun serta memiliki rataan bobot awal 218,66±16,28 kg (kerbau) dan 217,37±15,44 kg (sapi).

Pakan

(18)

Gambar 1. Ransum yang Digunakan dalam Penelitian

Persentase pemberian hijauan dan konsentrat adalah 60:40. Konsentrat yang diberikan terdiri dari konsentrat komersil yang dicampur dengan kulit ari kedelai dengan perbandingan 1:2. Suplemen minyak ikan lemuru terproteksi dalam bentuk CGKK ditambahkan pada ransum dengan takaran 45 gr/ 1 kg konsentrat. Kandungan nutrisi ransum yang digunakan disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Kandungan Nutrisi Ransum Penelitian

Zat-zat Makanan Ransum Ransum+CGKK

Bahan Kering 33,33 33,58

Kadar Abu 7,42 7,25

Lemak Kasar 2,25 2,91

Protein Kasar 13,65 13,82

Serat Kasar 35,80 35,93

BETN 40,87 40,09

TDN 57,79 58,87

*Hasil analisa Proksimat **Berdasarkan perhitungan

TDN (Hartadi et al, 1980) = 92.64–.338(SK)–6.945(LK)–0.762(BETN)+

1.115(PK)+0.031(SK)2-0.133(LK)2+0.036(SK)(BETN)+

0.207(LK)(BETN)+0.100(LK)(PK)-0.022(LK)2(PK)

Peralatan

(19)

20 kg disediakan untuk menimbang hijauan pakan ternak dan timbangan dengan kapasitas 10 kg disediakan untuk menimbang konsentrat. Timbangan digital dengan kapasitas 1000 kg disediakan untuk menimbang bobot badan ternak.

Prosedur

Penelitian ini dilakukan dengan tiga tahapan, yaitu pengolahan minyak ikan lemuru ke dalam bentuk CGKK (Campuran Garam Karboksilat Kering), pemeliharaan dan penggemukan kerbau Rawa dan sapi PO selama 12 minggu, serta pemotongan dan penguraian karkasnya ke dalam potongan komersial daging. Pengambilan data dilakukan ketika pemotongan dan penguraian karkas dilaksanakan.

Pembuatan CGKK (Campuran Garam Kering Karboksilat)

Penelitian ini diawali dengan proses pengolahan minyak ikan lemuru ke dalam bentuk CGKK. Pembuatan CGKK dilakukan beberapa kali sesuai dengan kebutuhan dan ketersediaan CGKK saat pemeliharaan dan penggemukan. Pengolahan minyak ikan lemuru ke dalam bentuk CGKK dilakukan dengan mencampurkan sejumlah minyak ikan lemuru dengan HCl, campuran ini kemudian dikocok dan ditambahkan aquades. Adonan tersebut dipanaskan selama ±30 menit sampai suhunya mencapai 60 oC. KOH lalu ditambahkan untuk mencegah adonan teroksidasi, setelah itu adonan disimpan pada suhu ruang sampai terbentuk garam karboksilat dipermukaannya. Onggok super dicampurkan dengan adonan, menggunakan perbandingan 5:1. Pencampuran harus halus, merata dan tidak terjadi gumpalan. Campuran tersebut lalu dioven di Teknopark SEAFAST dengan suhu 32 oC. CGKK yang sudah kering dikemas dalam plastik. Satu bungkus CGKK memiliki berat 90 gram. CGKK yang telah siap inilah yang nantinya dicampurkan ke dalam konsentrat

(20)

Gambar 2. Alur Pembuatan Suplemen Minyak Ikan Lemuru yang terproteksi dalam Bentuk CGKK

Pemeliharaan dan Penggemukan

Enam ekor kerbau Rawa jantan dan delapan ekor sapi Peranakan Ongol (PO)

dipelihara selama 12 minggu dengan sistem feedlot, dimana tiga ekor kerbau Rawa dan empat ekor sapi PO diberi pakan dengan menggunakan konsentrat yang diberi

(21)

pembuatan tempe, lalu sebagai perlakuan, ditambahakan suplemen CGKK ke dalam konsentrat dengan takaran 45 gram/ kg konsentrat. Pemberian pakan dilakukan selama tiga kali.

Pemotongan Ternak dan Deboning

Penyembelihan dilakukan di RPH (Rumah Potong Hewan) Elders. Ternak yang akan disembelih ditimbang bobot potongnya terlebih dahulu, kemudian dimandikan dan diberi tanda (berupa nomor) dengan menggunakan spidol marker agar mudah dalam mengidentifikasi. Ternak digiring masuk ke ruang pemingsanan (knocking box) lalu dipingsankan (stunning) dengan menggunakan alat cash knocker yang dipukulkan tepat dipertengahan dahi di antara kedua kelopak mata. Penyembelihan dilakukan dengan memotong vena jugularis, oesophagus dan trachea, lalu didiamkan sebentar sampai pengeluaran darah sempurna, setelah ternak mati, salah satu kaki belakang diikatkan dengan rantai pada ujung katrol listrik dan kemudian secara

perlahan ditarik ke atas sampai menggantung sempurna pada rel penggantung (roller dan shackling chain). Penggantungan dilakukan pada tendon Achilles. Kepala,

keempat kaki, ekor dan kulit dipisahkan dari tubuh ternak. Kaki belakang dilepas dengan gunting listrik. Kepala dilepas dari tubuh pada sendi occipito-atlantis (heading). Kaki depan dan belakang dilepaskan pada sendi Carpo-metacarpal dan sendi Tarso-metatarsal. Pengulitan (skinning) dilakukan dengan membuat irisan dari anus sampai leher melewati bagian perut dan dada, juga dari arah kaki belakang dan kaki depan menuju irisan tadi. Kulit dilepas dari arah ventral perut dan dada ke arah dorsal dan punggung.

(22)
(23)
(24)

Rancangan dan Analisis Data

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial 2x2 dengan dua faktor perlakuan yang berbeda yaitu jenis tenak (kerbau dan sapi) dan perlakuan pemberian pakan suplemen CGKK pada ternak (tiga ekor kerbau rawa dan empat ekor sapi PO menggunakan CGKK serta tiga ekor kerbau rawa dan empat ekor sapi PO lainnya tidak menggunakan CGKK).

Model matematika yang digunakan adalah :

Yijk = µ + Ai + Bj + (AB)ij+ εijk

Keterangan :

Yijk = Hasil pengamatan terhadap perdagingan dan distribusi daging

pada ternak dengan jenis ternak ke-i, dan pemberian pakan suplemen ke-j, dan dengan ulangan ke-k

µ = Nilai rataan perdagingan dan distribusi daging pada ternak Ai Pengaruh jenis ternak taraf ke-i

Bj = Pengaruh pemberian pakan suplemen pada taraf ke-j

(AB)ij = Pengaruh interaksi faktor jenis ternak pada taraf ke-i dengan

pemberian pakan suplemen pada taraf ke-j

ε

ijk = Pengaruh galat percobaan yang berasal dari faktor jenis ternak

ke-i dan perlakuan pemberian pakan suplemen ke-j pada ulangan yang ke-k

Data rataan karakteristik karkas yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan Analysis of Variance (ANOVA) sedangkan data rataan potongan komersial karkas

dianalisis dengan menggunakan Analysis of Covariance (ANCOVA). Hasil analisis yang menunjukkan perbedaan nyata diuji lanjut dengan menggunakan Least Square Means (LS Means). Parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah karakteristik

(25)

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian

Pemeliharaan enam ekor kerbau Rawa dan delapan ekor sapi Peranakan Ongole (PO) berlokasi di laboratorium lapang blok A Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Lokasi penelitian yang digunakan merupakan kandang pemeliharaan intensif (individu). Ukuran setiap kandang individu yaitu 2 1,5 m. Kandang yang

digunakan sebagai tempat pemeliharaan dibersihkan setiap hari untuk menjaga kebersihannya.

Enam ekor kerbau Rawa dan delapan ekor sapi PO yang digunakan sebagai ternak uji adalah ternak yang berumur 2,5 tahun. Penelitian ini menggunakan ternak uji berupa kerbau Rawa, karena kerbau Rawa adalah jenis kerbau penghasil daging. Terdapat dua jenis kerbau lokal di Indonesia, yaitu kerbau Rawa dan kerbau Sungai, namun kerbau Sungai adalah jenis kerbau penghasil susu, sehingga tidak digunakan dalam penelitian ini. Fokus penelitian ini adalah untuk menggali potensi ternak kerbau sebagai ternak penghasil daging, karena kurangnya minat masyarakat terhadap daging kerbau, sehingga sapi digunakan sebagai ternak pembanding. Kerbau memiliki dewasa tubuh yang lebih lambat daripada sapi, yaitu sekitar tiga tahun, sedangkan sapi hanya ± 2,5 tahun. Penggunaan sapi PO dalam penelitian ini disebabkan karena sapi PO memiliki dewasa tubuh yang lebih lambat daripada jenis

sapi lainnya.

Ternak uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah ternak jantan, karena

ternak jantan lebih baik dalam proses penggemukan yaitu memiliki pertumbuhan yang lebih cepat daripada ternak betina. Ternak-ternak yang digunakan memiliki kondisi tubuh yang sehat dan bugar. Kerbau rawa yang digemukkan memiliki rataan bobot awal 218,66±16,28 kg, sedangkan sapi PO memiliki bobot awal 217,37±15,44 kg.

(26)

cukup mahal sehingga kurang aplikatif apabila metode ini diterapkan untuk peternak kecil. Kulit ari kedelai digunakan untuk pakan penggemukan karna memiliki kandungan protein yang tinggi. Protein adalah nutrisi yang sangat diperlukan ternak dalam proses penggemukan.

Ternak uji dibagi ke dalam dua kelompok. Tiga ekor kerbau Rawa dan empat ekor sapi PO diberi ransum dengan tambahan suplemen CGKK, sedangkan tiga ekor kerbau Rawa dan empat ekor sapi PO lainnya tanpa penambahan suplemen CGKK. Suplemen CGKK yang digunakan memiliki komponen utama berupa minyak ikan lemuru. Minyak ikan lemuru merupakan limbah dari proses pengalengan ikan. Minyak ikan lemuru mengandung asam-asam lemak tak jenuh, yang diharapkan nantinya dapat meningkatkan kualitas karkas ternak yang dipelihara. Kelemahan dari minyak ikan lemuru ini yaitu tidak dapat diberikan langsung dalam pakan ternak karena memiliki palatabilitas yang rendah, selain itu jika diberikan secara langsung,

asam-asam lemak tak jenuh yang terkandung dalam minyak ikan lemuru akan terhidrogenasi oleh bakteri rumen.

Alasan penambahan suplemen sumber lemak dalam pakan adalah karena penambahan lemak dalam ransum yang digunakan untuk penggemukan ruminan dapat meningkatkan jumlah energi pada ransum, meningkatkan palatabilitas ransum, serta menurunkan produksi metan dalam rumen. Peningkatan palatabilitas ransum akan meningkatkan total konsumsi ransum pada ternak, sedangkan penurunan produksi metan di dalam rumen, akan meningkatkan efiensi penggunaan energi. Penambahan lemak dalam pakan ruminan juga berfungsi sebagai sumber asam lemak esensial (Parakkasi, 1999).

Karakteristik Karkas

(27)

Kualitas karkas adalah nilai pada karkas yang dihasilkan oleh seekor ternak terhadap suatu kondisi pemasaran. Nilai karkas dari seekor ternak ditentukan oleh beberapa faktor, diantaranya yaitu berat karkas, jumlah total daging yang dihasilkan, serta kualitas daging yang dihasilkan.

Tabel 3. Rataan Karakteristik Karkas Berdasarkan Jenis Ternak dan Perlakuan

Parameter Jenis

Sapi 290,00±22,48 289,75±14,15 289,88a±17,39

Rata-rata 297.00 ± 19.64 304.71± 22.87

Bobot Kerbau 143,67 ± 7,97 149,50 ± 8,50 146,58 ± 8,03

Karkas Sapi 150,88±16,56 151,38±11,43 151,12±13,18

Panas (kg) Rata-rata 147,78 ± 13,16 150,57 ± 9,51

Persentase Kerbau 46,88 ± 0,68 46,09 ± 2,92 46,49a ± 1,94

Bobot Karkas Sapi 51,98±3,18 52,20±1,72 52,09b ± 2,37

Panas (%) Rata-rata 49,79 ± 3,55 49,58 ± 3,87

Daging (kg)

Kerbau 48,86±3,77 50,71±4,05 49,78±3,64

Sapi 51,25±6,59 49,77±4,45 50,51±5,26

Rata-rata 50,23±5,30 50,17±3,95

Persentase Kerbau 68,72±1,46 68,18±1,56 68,45±1,39

Bobot Sapi 67,99±3,45 66,69±3,11 67,34±3,12

Daging (%) Rata-rata 68,31±2,61 67,33±2,50

Keterangan: Superskrip yang berbeda pada baris atau kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)

Hasil pengamatan pada karakteristik karkas kerbau Rawa dan sapi PO yang diperoleh dalam penelitian ini dapat disajikan pada Tabel 3. Berdasarkan analisis ragam yang telah dilakukan terhadap karakteristik karkas yang meliputi bobot potong, bobot karkas panas, persentase bobot karkas panas, bobot daging dan persentase daging, dapat diketahui bahwa penambahan suplemen minyak ikan lemuru terproteksi dalam Campuran Garam Karboksilat Kering (CGKK) pada ransum yang digunakan tidak memberikan pengaruh yang berbeda terhadap semua parameter yang diamati, namun jenis ternak memberikan perbedaan nyata (P<0,05) pada bobot potong dan persentase bobot karkas panas.

(28)

bobot badan harian, konsumsi dan konversi pakan antara kedua ternak yang tidak sama. Berdasarkan penelitian Bianti (2012) yang merupakan anggota dalam tim penelitian ini, diperoleh data rataan pertambahan bobot badan harian, konsumsi serta konversi pakan pada kedua jenis ternak yang dipelihara dan disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Rataan Pertambahan Bobot Badan dan Konsumsi Berdasarkan Jenis Ternak dengan Suplemen CGKK

Parameter Jenis Ternak

Perlakuan

Rata-rata

Non CGKK CGKK

PBBH Kerbau 1,096±0,0643 1,223±0,0473 1,160b±0,085

(kg/ekor/hari) Sapi 0,930±0,0920 0,997±0,0974 0,953a±0,091

Rata-rata 1,001±0,116 1,082±0,150

Konsumsi (BK) Kerbau 6,183±0,032 6,303±0,135 6,243b±0,110

(kg/ekor/hari) Sapi 5,207±0,068 5,345±0,028 5,276a±0,088

Rata-rata 5,625±0,524 5,775±0,518

Konversi Kerbau 5,666±0,321 5,133±0,208 5,400±0,379

Sapi 5,650±0,479 5,525±0,499 5,587±0,458

Rata-rata 5,657±0,386 5,375±0,427

Sumber: Bianti, 2012

Berdasarkan penelitian Bianti yang belum dipublikasikan tersebut, dapat

diketahui bahwa kerbau memiliki pertambahan bobot badan harian dan konsumsi pakan yang lebih tinggi daripada sapi. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Anggraeni dan Triwulanningsih (2007) bahwa kerbau adalah ternak yang potensial untuk dikembangkan sebagai ternak penghasil daging, karena kerbau memiliki beberapa kelebihan diantaranya yaitu memiliki respon nutrisional yang lebih baik daripada sapi. Kerbau memiliki kemampuan yang sangat baik dalam memanfaatkan pakan serat. Kemampuan cerna serat kasar kerbau 5% lebih tinggi daripada sapi. Pemberian pakan serat dan konsentrat berkualitas mampu memberikan laju PBBH hingga 1 kg/hari (Anggraeni dan Triwulanningsih, 2007). Namun konversi pakan kerbau yang tidak berbeda nyata dengan sapi menunjukkan bahwa kerbau tidak efisien dalam memanfaatkan pakan yang diberikan.

(29)

mengkonsumsi protein dan energi dalam jumlah yang besar akan memiliki kecepatan laju pertumbuhan yang lebih cepat. Pengaruh nutrisi ini akan lebih tampak pada ternak yang berada pada periode awal pertumbuhan (Soeparno, 2005). Kerbau juga memiliki daya adaptasi yang sangat baik terhadap lingkungan, sehingga tidak membutuhkan waktu lama untuk beradaptasi dengan pakan baru yang diberikan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hendratno et al. (1981) telah dibuktikan bahwa pemberian pakan tambahan berupa bungkil kedelai sejumlah 1,75 kg/ekor/hari pada kerbau jantan yang berumur 2,5-3 tahun mampu menghasilkan pertambahan bobot badan sebesar 0,75 kg/ekor/hari, sedangkan pemberian dedak halus sebanyak 2 kg dan 4 kg/ekor/hari menghasilkan pertambahan bobot badan masing-masing sebesar 0,7 dan 0,78 kg/ekor/hari.

Bobot karkas merupakan salah satu parameter yang penting dalam sistem evaluasi karkas. Hasil karkas dinyatakan dalam persentase karkas. Persentase karkas

merupakan rasio dari bobot karkas terhadap bobot potong. Melalui usaha penggemukan dengan sistem pemberian pakan secara intensif serta manajemen

pemeliharaan yang baik, diharapkan akan diperoleh ternak kerbau dengan persentase bobot karkas yang tinggi.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diketahui bahwa pemberian suplemen CGKK tidak memberikan pengaruh nyata terhadap persentase bobot karkas panas antara kerbau dan sapi, namun jenis ternak memberikan berbedaan nyata (P<0,05) terhadap persentase bobot karkas panas kedua jenis ternak tersebut. Persentase bobot karkas panas kerbau adalah 46,49%, sedangkan sapi 52,09%. Nilai rataan yang diperoleh sesuai dengan pendapat Soeparno (2005) yang menyatakan bahwa pada umumnya, karkas sapi memiliki presentase sebesar 50-60% dari bobot potongnya, selain itu Diwyanto dan Handiwirawan (2006) menyatakan bahwa kerbau memiliki persentase karkas yang relatif lebih kecil dibandingkan sapi yaitu kurang dari 50% .

(30)

komponen non karkas seperti perbedaan bobot kepala, kaki, visera dan isi rumen. Bobot komponen non karkas kerbau lebih tinggi daripada sapi.

Soeparno (2005) menyatakan bahwa bobot karkas akan meningkat sejalan dengan meningkatnya bobot potong dimana lemak jeroan juga meningkat dengan laju pertumbuhan yang tetap, terdapat pula hubungan yang erat antara bobot karkas dan komponen-komponennya dengan bobot tubuh. Jeroan atau visera merupakan organ-organ dari rongga perut yang diperoleh pada saat pemotongan termasuk lambung, usus kecil, hati, jantung dan paru-paru.

Tabel 5. Data Rataan Bobot Komponen Non Karkas Kerbau Rawa dan Sapi PO

Parameter (kg) Jenis Ternak

Kerbau Sapi

Kepala 18,11±1,77 15,75±1,98

Kaki Depan Kanan 1,84±0,16 1,87±0,19

Kaki Depan Kiri 1,86±0,18 1,87±0,18

Kaki Belakang Kanan 1,85±0,17 2,26±0,35

Kaki Belakang Kiri 1,87±0,19 2,26±0,34

Ekor 0,50±0,08 0,91±0,13

Lemak Perut 11,00±1,22 7,77±3,05

Paru-paru 2,38±0,28 1,95±0,21

Tenggorokan 1,79±0,17 1,63±0,37

Fat Jagal 1,47±0,30 1,62±0,46

Anus 0,96±0,21 0,86±0,21

Total 96,56±12,62 86,01± 12,94

(31)

Bobot Potongan Komersial Karkas

Potongan komersial karkas merupakan bentuk potongan-potongan yang umum dijual dipasaran dan sudah umum diketahui oleh konsumen. Potongan komersial karkas bertujuan untuk mempermudah pemasaran. Potongan komersial sapi diperoleh dari seperempat bagian karkas depan (forequarter) dan seperempat bagian karkas belakang (hindquarter). Bagian seperempat karkas depan (forequarter) dan seperempat karkas belakang (hindquarter) diperoleh dengan memisahkan rusuk ke 12 dan 13. Potongan komersial dari seperempat bagian karkas depan (forequarter) meliputi chuck, brisket, blade, cuberol, dan shin , sedangkan potongan komersial yang diperoleh dari penguraian karkas belakang (hindquarter), meliputi striploin, tenderloin, flank, rump, silverside, topside, knuckle dan shank.

Forequarter: Hindquarter:

A. Chuck F. Striploin K. Topside

B. Blade G. Tenderloin L. Knuckle

C. Cuberoll H. Flank M. Shank

D. Brisket I. Rump

E. Shin J. Silverside

Gambar 4. Pola Penguraian Potongan Komersial Karkas

Bobot setiap potongan komersial sangat beragam dan dipengaruhi oleh bobot karkasnya. Bobot karkas yang semakin tinggi, akan menghasilkan bobot potongan komersial yang semakin tinggi pula. Keragaman pada setiap bobot potongan

(32)

komersial karkas, disebabkan karena perbedaan letak setiap potongan komersial karkas tersebut, selain itu distribusi perdagingan pada ternak yang bervariasi disebabkan oleh beberapa faktor seperti spesies, bangsa, umur, nutrisi, jenis kelamin, aktivitas ternak dan tata laksana pemeliharaan (Soeparno, 2005). Pola penguraian potongan komersial karkas dapat dilihat pada Gambar 4.

Tabel 6. Rataan Potongan Komersial pada Forequarter Karkas Terhadap Bobot Karkas Berdasarkan Jenis Ternak dan Perlakuan

Parameter

Keterangan: Superskrip yang berbeda pada baris atau kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05), bobot potongan komersial karkas dikoreksi terhadap bobot setengah karkas kiri

Hasil pengamatan terhadap potongan komersial kerbau rawa dan sapi PO disajikan pada Tabel 6 dan Tabel 7. Tabel 6 adalah data rataan bobot potongan komersial daging pada bagian forequarter, sedangkan Tabel 7 merupakan data rataan bobot potongan komersial daging pada bagian hindquarter. Berdasarkan analisis ragam yang telah dilakukan terhadap potongan komersial karkas, dapat diketahui bahwa pemberian suplemen CGKK tidak memberikan pengaruh yang berbeda pada semua potongan komersial antara kerbau dan sapi pada bagian forequarter, namun jenis ternak memberikan perbedaan nyata pada beberapa potongan komersial dari bagian hindquarter yang meliputi striploin, tenderloin, silverside dan topside.

(33)

kerbau memiliki nilai rataan yang lebih rendah daripada sapi. Striploin dan tenderloin merupakan potongan komersial yang bernilai ekonomi tinggi dibandingkan potongan komersial lainnya. Potongan loin merupakan nilai terpenting dari keseluruhan potongan karkas, karena memiliki tingkat keempukan terbaik.

Tabel 7. Rataan Potongan Komersial pada Hindquarter Karkas Terhadap Bobot Karkas Berdasarkan Jenis Ternak dan Perlakuan

Parameter

(kg) Jenis Ternak Perlakuan Rata-rata

Striploin

Keterangan: Superskrip yang berbeda pada baris atau kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05), bobot potongan komersial karkas dikoreksi terhadap bobot setengah karkas kiri

(34)
(35)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Ternak kerbau Rawa dan sapi PO memiliki respon berbeda terhadap suplemen CGKK dan tampak pada potongan striploin. Kerbau Rawa berespon lebih baik dengan konsentrat dibandingkan sapi PO. Kerbau Rawa yang digemukkan dengan pakan konsentrat memiliki bobot potong yang lebih unggul dibandingkan sapi PO, sebaliknya sapi PO memiliki keunggulan dalam persentase bobot karkas panas serta pada potongan-potongan komersial di bagian hindquarter yang meliputi striploin, tenderloin, silverside dan topside.

Saran

Usaha penggemukan ternak kerbau secara feedlot perlu dikembangkan di masyarakat. Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai kinerja produksi ternak kerbau yang dipelihara secara feedlot dengan mengevaluasi nilai ekonomis ternak

tersebut.

(36)

PERDAGINGAN DAN DISTRIBUSI DAGING KERBAU RAWA

DAN SAPI PERANAKAN ONGOLE YANG DIGEMUKKAN

MENGGUNAKAN RANSUM DENGAN SUPLEMENTASI

CAMPURAN GARAM KARBOKSILAT KERING

SKRIPSI PUTRI OKTAVIANA

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(37)

PERDAGINGAN DAN DISTRIBUSI DAGING KERBAU RAWA

DAN SAPI PERANAKAN ONGOLE YANG DIGEMUKKAN

MENGGUNAKAN RANSUM DENGAN SUPLEMENTASI

CAMPURAN GARAM KARBOKSILAT KERING

SKRIPSI PUTRI OKTAVIANA

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(38)

RINGKASAN

PUTRI OKTAVIANA. 2012. Perdagingan dan Distribusi Daging Kerbau Rawa dan Sapi Peranakan Ongole yang Digemukkan Menggunakan Ransum dengan Suplementasi Campuran Garam Karboksilat Kering. Skripsi. Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Dr. Ir. Rudy Priyanto

Pembimbing Anggota : Bramada Winiar Putra, S.Pt.

Kerbau merupakan ternak pedaging yang turut berkontribusi dalam upaya pemenuhan kebutuhan daging di Indonesia, namun pemanfaatan kerbau sebagai ternak pedaging belum dilakukan dengan maksimal di Indonesia. Kerbau mempunyai kemiripan anatomi dengan sapi, yaitu pada rumen dan kerangka tubuhnya. Berbeda dengan sistem penggemukan sapi secara intensif yang telah berkembang dengan baik, penggemukan kerbau secara intensif dengan pakan konsentrat belum banyak dilakukan di Indonesia.

Upaya peningkatan kualitas karkas kerbau dengan pemberian pakan yang mengandung asam lemak tak jenuh yang bersumber dari minyak ikan Lemuru juga belum umum dilakukan. Minyak ikan Lemuru merupakan limbah industri pengalengan ikan yang mengandung asam lemak tak jenuh. Asam lemak tak jenuh dalam minyak ikan Lemuru dapat diproteksi ke dalam bentuk CGKK (Campuran Garam Karboksilat Kering). Pemberian suplemen minyak ikan Lemuru yang terproteksi ke dalam bentuk CGKK ini diharapkan akan meningkatkan kualitas karkas dan daging yang dihasilkan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh jenis ternak dan penambahan minyak ikan Lemuru yang telah terproteksi ke dalam bentuk CGKK serta interaksi keduanya terhadap perdagingan dan distribusi daging kedua ternak tersebut.

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan bulan Juni sampai September 2011 di Laboratorium Ruminansia Besar, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor; Teknopark SEAFAST, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor; Laboratorium Lapang Blok A, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor; dan Rumah Potong Hewan Elders. Ternak yang digunakan adalah enam ekor kerbau Rawa jantan dan delapan ekor sapi PO jantan. Sistem pemeliharaan dilakukan secara feedlot. Ransum yang diberikan terdiri dari rumput lapang dan rumput gajah, konsentrat komersil yang dicampur dengan kulit ari kedelai, dan suplemen minyak ikan lemuru yang terproteksi ke dalam bentuk CGKK.

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial 2x2. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan Anova dan Ancova. Hasil penelitian menunjukkan bahwa CGKK tidak memberikan pengaruh nyata pada karakteristik karkas dan potongan komersial yang diamati, jenis ternak memberikan perbedaan nyata (P<0,05) terhadap bobot potong, persentase bobot karkas panas, serta pada potongan striploin, tenderloin, silverside dan topside. Interaksi antara jenis ternak dan pengaruh pemberian suplemen minyak ikan lemuru terproteksi dalam bentuk CGKK tampak pada potongan striploin.

(39)

ABSTRACT

The Meat Yield and Distribution of Swamp Buffalo Carcass and Ongole Grade Cattle Fed Concentrate Containing Lemuru Fish Oil in The Form

of Dry Carboxylate Salt Mixture

Oktaviana, P., R. Priyanto, dan B. W. Putra

Swamp buffalo is commonly regarded as an animal with relatively low productivity. The objective of the study was to examine the meat yield and it’s distribution within carcass from Swamp buffalo and Ongole Grade cattle fed concentrate containing protected lemuru fish oil in the form of dry carboxylate salt mixture (DCM). Fourteen animal were used in the study comparising eight Ongole Grade cattle and six Swamp buffalo. Each group of animal was allotted to control ration and control ration plus DCM. They were set up in a factorial design with species and ration as the factors. The result showed that administration of protected lemuru fish oil in the ration did not obviously influence meat yield and each distribution carcass. However Swamp buffalo had significantly higher slaughter weight but lower carcass weight (P<0,05). The Swamp buffalo carcass yield were significantly lower weight of striploin, tenderloin, silverside and topside if compared to Ongole Grade cattle.

(40)

PERDAGINGAN DAN DISTRIBUSI DAGING KERBAU RAWA

DAN SAPI PERANAKAN ONGOLE YANG DIGEMUKKAN

MENGGUNAKAN RANSUM DENGAN SUPLEMENTASI

CAMPURAN GARAM KARBOKSILAT KERING

SKRIPSI PUTRI OKTAVIANA

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(41)

Nama : Putri Oktaviana NRP : D14080054

Judul : Perdagingan dan Distribusi Daging Kerbau Rawa dan Sapi Peranakan Ongole yang Digemukkan Menggunakan Ransum dengan Suplementasi Campuran Garam Karboksilat Kering

Menyetujui,

Pembimbing Utama Pembimbing Anggota

Dr. Ir. Rudy Priyanto Bramada Winiar Putra, S.Pt. NIP. 19601216 198603 1 003 NIP. 19801102 200501 1 001

Mengetahui, Ketua Departemen

Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M. Agr, Sc NIP. 19591212 198603 1004

(42)

RIWAYAT HIDUP

Putri Oktaviana, dilahirkan di Kabupaten Pringsewu, Lampung pada tanggal 24 Oktober 1990. Penulis merupakan anak bungsu dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Haidar dan Ibu Jumidar.

Pada tahun 1997, penulis memulai pendidikan dasar di Sekolah Dasar Negeri 7 Gadingrejo, Kabupaten Pringsewu, Provinsi Lampung. Pada tahun 2002 penulis meraih juara pertama dalam Lomba Menulis Cerita Pendek tingkat kabupaten Pringsewu serta meraih juara pertama dalam Lomba Berpidato dan Menulis Essay tingkat Provinsi Lampung. Penulis juga menjadi finalis dalam Lomba Berpidato tingkat nasional pada tahun 2003. Pendidikan dasar penulis selesaikan pada tahun 2003. Penulis melanjutkan pendidikan ke tingkat menengah pertama pada tahun 2003 di Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Gadingrejo, Kabupaten Pringsewu, Provinsi Lampung. dan diselesaikan pada tahun 2006. Penulis kemudian melanjutkan

pendidikan ke tingkat menengah atas di Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Gadingrejo, Kabupaten Pringsewu, Provinsi Lampung. Penulis mengikuti Program

(43)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat serta karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana peternakan. Skripsi ini berjudul, ”Perdagingan dan Distribusi Daging Kerbau Rawa dan Sapi Peranakan Ongole yang Digemukkan Menggunakan Ransum dengan Suplementasi Campuran

Garam Karboksilat Kering.” Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Lapang Blok

A, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor; Teknopark SEAFAST, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor; Laboratorium Ruminansia Besar, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor; dan RPH (Rumah Potong Hewan) Elders. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan bulan Juni sampai dengan September 2011.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh jenis ternak dan

penambahan minyak ikan Lemuru terproteksi dalam bentuk Campuran Garam Karboksilat Kering (CGKK) pada ransum yang digunakan untuk penggemukan

kerbau Rawa dan sapi Peranakan Ongol (PO) terhadap perdagingan dan distribusi daging kedua ternak tersebut. Penulis memahami bahwa dalam penulisan skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah ikut berperan sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca.

Bogor, Juni 2012

(44)

DAFTAR ISI Kelebihan dan Kelemahan Ternak Kerbau... 5 Sistem Pemeliharaan Ternak Kerbau... 7 Sapi Peranakan Ongole... 7 Campuran Garam Karboksilat Kering (CGKK)... 13

(45)

Rancangan dan Analisis Data... 22 HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum Penelitian... 23 Karakteristik Karkas... 24 Bobot Potongan Komersial Karkas... 29

KESIMPULAN DAN SARAN……..………... 33

(46)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Penyebaran Populasi Kerbau di Indonesia pada Tahun 2006-2010 ...

2. Kandungan Nutrisi Ransum yang Digunakan dalam Penelitian... 3. Rataan Karakteristik Karkas Berdasarkan Jenis Ternak dan

Perlakuan ...

4. Rataan Pertambahan Bobot Badan dan Konsumsi Berdasarkan Jenis Ternak dengan Suplemen CGKK...

5. Data Rataan Bobot Komponen Non Karkas Kerbau Rawa dan Sapi PO... 6. Rataan Potongan Komersial pada Forequarter Karkas Terhadap Bobot Karkas Berdasarkan Jenis Ternak dan Perlakuan... 7.

Rataan Potongan Komersial pada Hindquarter Karkas Terhadap Bobot Karkas Berdasarkan Jenis Ternak dan Perlakuan...

4 16 25 26 28

30

(47)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Ransum yang Digunakan dalam Penelitian... 16 2. Alur Pembuatan Suplemen Minyak Ikan Lemuru yang Terproteksi

(48)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Analisis Ragam Bobot Potong Berdasarkan Jenis Ternak (JTER), Perlakuan Suplemen Minyak Ikan Lemuru Terproteksi dalam Bentuk CGKK (PLK) dan Interaksi Kedua Faktor Tersebut………..

2. Analisis Ragam Bobot Karkas Panas Berdasarkan Jenis Ternak (JTER), Perlakuan Suplemen Minyak Ikan Lemuru Terproteksi dalam Bentuk CGKK (PLK) dan Interaksi Kedua Faktor Tersebut ……….

3. Analisis Ragam Persentase Bobot Karkas Panas Berdasarkan Jenis Ternak (JTER), Perlakuan Suplemen Minyak Ikan Lemuru Terproteksi dalam Bentuk CGKK (PLK) dan Interaksi Kedua Faktor Tersebut ……….

4. Analisis Ragam Bobot Daging Berdasarkan Jenis Ternak (JTER), Perlakuan Suplemen Minyak Ikan Lemuru Terproteksi dalam Bentuk CGKK (PLK) dan Interaksi Kedua Faktor Tersebut ……….

5. Analisis Ragam Persentase Bobot Daging Berdasarkan Jenis Ternak (JTER), Perlakuan Suplemen Minyak Ikan Lemuru Terproteksi dalam Bentuk CGKK (PLK) dan Interaksi Kedua Faktor Tersebut ……….

6. Analisis Ragam Potongan Chuck Berdasarkan Jenis Ternak (JTER), Perlakuan Suplemen Minyak Ikan Lemuru Terproteksi dalam Bentuk CGKK (PLK) dan Interaksi Kedua Faktor Tersebut, serta Dikoreksi pada Bobot Karkas yang Sama (KAR)…………...

7. Analisis Ragam Potongan Blade Berdasarkan Jenis Ternak (JTER), Perlakuan Suplemen Minyak Ikan Lemuru Terproteksi dalam Bentuk CGKK (PLK) dan Interaksi Kedua Faktor Tersebut, serta Dikoreksi pada Bobot Karkas yang Sama (KAR)………

(49)

9. Analisis Ragam Potongan Brisket Berdasarkan Jenis Ternak (JTER), Perlakuan Suplemen Minyak Ikan Lemuru Terproteksi dalam Bentuk CGKK (PLK) dan Interaksi Kedua Faktor Tersebut, serta Dikoreksi pada Bobot Karkas yang Sama (KAR)………

10. Analisis Ragam Potongan Shin Berdasarkan Jenis Ternak (JTER), Perlakuan Suplemen Minyak Ikan Lemuru Terproteksi dalam Bentuk CGKK (PLK) dan Interaksi Kedua Faktor Tersebut, serta Dikoreksi pada Bobot Karkas yang Sama (KAR)……… 11. Analisis Ragam Potongan Striploin Berdasarkan Jenis Ternak

(JTER), Perlakuan Suplemen Minyak Ikan Lemuru Terproteksi dalam Bentuk CGKK (PLK) dan Interaksi Kedua Faktor Tersebut, serta Dikoreksi pada Bobot Karkas yang Sama (KAR)………....

12. Analisis Ragam Potongan Tenderloin Berdasarkan Jenis Ternak (JTER), Perlakuan Suplemen Minyak Ikan Lemuru Terproteksi dalam Bentuk CGKK (PLK) dan Interaksi Kedua Faktor Tersebut, serta Dikoreksi pada Bobot Karkas yang Sama (KAR)…………...

13. Analisis Ragam Potongan Flank Berdasarkan Jenis Ternak (JTER), Perlakuan Suplemen Minyak Ikan Lemuru Terproteksi dalam Bentuk CGKK (PLK) dan Interaksi Kedua Faktor Tersebut, serta Dikoreksi pada Bobot Karkas yang Sama (KAR)………

14. Analisis Ragam Potongan Rump Berdasarkan Jenis Ternak (JTER), Perlakuan Suplemen Minyak Ikan Lemuru Terproteksi dalam Bentuk CGKK (PLK) dan Interaksi Kedua Faktor Tersebut, serta Dikoreksi pada Bobot Karkas yang Sama (KAR)………

15. Analisis Ragam Potongan Silverside Berdasarkan Jenis Ternak (JTER), Perlakuan Suplemen Minyak Ikan Lemuru Terproteksi dalam Bentuk CGKK (PLK) dan Interaksi Kedua Faktor Tersebut, serta Dikoreksi pada Bobot Karkas yang Sama (KAR)…………...

(50)

17. Analisis Ragam Potongan Knuckle Berdasarkan Jenis Ternak (JTER), Perlakuan Suplemen Minyak Ikan Lemuru Terproteksi dalam Bentuk CGKK (PLK) dan Interaksi Kedua Faktor Tersebut, serta Dikoreksi pada Bobot Karkas yang Sama (KAR)…………...

18. Analisis Ragam Potongan Shank Berdasarkan Jenis Ternak (JTER), Perlakuan Suplemen Minyak Ikan Lemuru Terproteksi dalam Bentuk CGKK (PLK) dan Interaksi Kedua Faktor Tersebut, serta Dikoreksi pada Bobot Karkas yang Sama (KAR)…………...

43

(51)

PENDAHULUAN Latar Belakang

Kerbau adalah ternak pedaging yang turut berperan dalam upaya pemenuhan kebutuhan daging merah di Indonesia, namun pemanfaatan kerbau sebagai ternak penghasil daging belum dilakukan dengan maksimal. Kerbau merupakan ternak yang memiliki kemiripan anatomi dengan sapi pada rumen dan kerangka tubuhnya. Kerbau adalah hewan ruminansia dari sub family Bovinae yang diduga berasal dari daerah India (Hasinah dan Handiwirawan, 2006). Kerbau domestik (Bubalus bubalis)

terdiri dari dua tipe yaitu kerbau Rawa dan kerbau Sungai. Kerbau Rawa adalah kerbau tipe pedaging sedangkan kerbau Sungai merupakan kerbau tipe perah.

Kerbau diketahui memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan sapi. Diwyanto dan Handiwirawan (2006) menyatakan bahwa kerbau dapat hidup di kawasan yang relatif sulit dalam keadaan pakan yang kurang baik. Kerbau juga dapat berkembangbiak dalam rentang agroekosistem yang luas dari daerah yang basah sampai daerah yang relatif kering, selain itu kemampuan kerbau untuk mencerna serat kasar 5% lebih baik daripada sapi.

Pemanfaatan kerbau di Indonesia masih sangat terbatas, hanya sebagai ternak pekerja dan pelengkap upacara adat atau keagamaan saja. Pemeliharaan kerbau juga masih dilakukan dengan cara digembalakan. Kontribusi kerbau dalam upaya pemenuhan kebutuhan daging merah di Indonesia masih sangat minim jika dibandingkan dengan sapi. Kurangnya peminat daging kerbau di Indonesia menjadi salah satu penyebabnya. Daging kerbau kurang diminati karena dianggap terlalu keras atau alot untuk dikonsumsi. Umumnya ternak kerbau adalah ternak pekerja. Pemotongan ternak kerbau dilakukan ketika ternak kerbau berumur tua, sehingga

daging yang dihasilkan lebih keras dan kurang diminati konsumen (Usmiati dan Priyanti, 2006).

(52)

melalui pemberian pakan yang efisien. Pemeliharaan secara intensif bertujuan agar pemanfaatan zat gizi untuk pembentukan otot dari pakan yang diberikan lebih efisien sehingga dapat menekan biaya produksi. Pemeliharaan kerbau secara intensif salah satunya dapat dilakukan dengan sistem pemeliharaan feedlot. Melalui sistem pemeliharaan feedlot, diharapkan kerbau akan mencapai target bobot potong dalam waktu yang lebih singkat. Indikator-indikator yang menentukan nilai ternak potong adalah persentase bobot karkas, banyaknya proporsi bagian karkas yang bernilai tinggi, dan rasio daging yang tinggi. Karkas ternak memiliki produktivitas optimum apabila komposisi jaringan dari potongan komersial memenuhi spesifikasi pasar.

Minyak ikan Lemuru merupakan sumber asam lemak tak jenuh. Penambahan asam lemak tak jenuh dalam pakan ruminansia akan meningkatkan efisiensi penggunaan energi karena menurunkan produksi metan dalam rumen (Parakkasi, 1999). Minyak ikan Lemuru tidak dapat diberikan secara langsung kepada ternak,

karena memiliki palatabilitas yang rendah. Proses pengolahan minyak ikan Lemuru ke dalam bentuk CGKK (Campuran Garam Karboksilat Kering) ditujukan untuk

meningkatkan palatabilitas ternak serta memproteksi asam lemak tak jenuh agar tidak terhidrogenasi oleh bakteri rumen. Minyak ikan Lemuru merupakan limbah yang berasal dari industri pengalengan ikan. Kandungan nutrisi dalam suplemen minyak ikan Lemuru ini diharapkan akan meningkatkan kualitas karkas yang dihasilkan, dengan demikian maka perlu dilakukan penelitian tentang perdagingan dan distribusi daging kerbau Rawa dan sapi PO dengan pemberian suplemen minyak ikan lemuru terproteksi dalam bentuk CGKK

.

Tujuan

(53)

TINJAUAN PUSTAKA

Ternak Kerbau

Kerbau termasuk dalam sub-famili Bovinae, genus Bubalus. Kerbau domestik (Bubalus bubalus) terbagi menjadi dua kelompok yaitu kerbau Rawa (swamp buffalo) dan kerbau Sungai (river buffalo). Kerbau Rawa dan kerbau Sungai mempunyai karakteristik yang berbeda. Kerbau Rawa memiliki tanduk yang melengkung ke belakang, sedangkan kerbau Sungai memiliki tanduk yang melingkar ke bawah. Kerbau Sungai merupakan kerbau penghasil susu. Produksi susu seekor ternak kerbau Sungai mencapai 6-7 liter/hari. Kerbau Rawa umumnya digunakan sebagai ternak pekerja dan penghasil daging. Kerbau Rawa tidak dapat digunakan sebagai ternak penghasil susu karena hanya mampu menghasilkan susu sebanyak 1-1,5 liter/hari (Hasinah dan Handiwirawan, 2006).

Kerbau Rawa jantan dan betina memiliki umur pubertas yang berbeda.

Kerbau Rawa jantan lebih cepat mengalami pubertas daripada kerbau Rawa betina. Rata-rata seekor kerbau Rawa jantan akan mengalami pubertas pada umur 24,77

bulan, sedangkan kerbau Rawa betina mengalami pubertas di umur 27,23 bulan. Kerbau Rawa mulai beranak pada umur 3,9 tahun dan memiliki masa kebuntingan sekitar 11 bulan (Muthalib, 2006). Jarak beranak kerbau Rawa adalah 20-24 bulan. Kerbau Rawa memiliki pertambahan bobot badan harian sekitar 0,3-0,9 kg dengan persentase karkas < 50% (Diwyanto dan Handiwirawan, 2006).

Populasi Ternak Kerbau di Indonesia

Gambar

Tabel 1. Penyebaran Populasi Kerbau di Indonesia pada Tahun 2006-2010
Tabel 2. Kandungan Nutrisi Ransum  Penelitian
Gambar 2. Alur Pembuatan Suplemen Minyak Ikan Lemuru yang terproteksi dalam
Gambar 3. Alur Pemotongan Ternak dan Deboning
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dalam penulisan ilmiah ini penulis akan mencoba menjelaskan cara pembuatan Website SMA Korpri Karawang Dengan Menggunakan AURACMS. Dengan memanfaatkan fasilitas internet

Peperiksaan Percubaan SPM 2017 Sejarah Kertas

Berdasarkan paparan latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai “ Efektivitas Pendidikan Kesehatan dengan Media Kalender oleh

[r]

Berdasarkan uraian pada bab sebelumnaya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: Implementasi Kurikulum 2013 pada Program Keahlian Administrasi Perkantoran

Penelitian yang dilakukan penulis, didasarkan dari data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang berada di Kabupaten Temanggung mengenai luas panen dan ketinggian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gugus fungsi, pH limbah, dan massa paling baik arang aktif dari arang kulit singkong dan tongkol jagung terhadap penurunan kadar COD dan

Dengan demikian untuk menurunkan kadar besi dalam arang sekam padi dapat digunakan sebagai alternatif media filtrasi dalam pengolahan air. KESIMPULAN DAN SARAN