• Tidak ada hasil yang ditemukan

Komponen Karkas dan Sifat Fisik Daging Sapi PO dan Kerbau Rawa yang Digemukkan Menggunakan Ransum yang Disuplementasi Campuran Garam Karboksilat Kering

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Komponen Karkas dan Sifat Fisik Daging Sapi PO dan Kerbau Rawa yang Digemukkan Menggunakan Ransum yang Disuplementasi Campuran Garam Karboksilat Kering"

Copied!
107
0
0

Teks penuh

(1)

ii RINGKASAN

SEPTINA LUSIAWATI. D14080228. 2012. Komponen Karkas dan Sifat Fisik Daging Sapi PO dan Kerbau Rawa yang Digemukkan Menggunakan Ransum yang Disuplementasi Campuran Garam Karboksilat Kering. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Dr. Ir. Rudy Priyanto Pembimbing Anggota : Ir. Yurleni, M. Si.

Ternak kerbau adalah ternak ruminansia besar yang potensial untuk dikembangkan di Indonesia. Ternak ini mempunyai kontribusi yang penting dalam memenuhi kebutuhan daging nasional. Ternak kerbau memiliki peranan yang sama dengan ternak sapi yaitu sebagai ternak penghasil daging.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui komponen karkas dan kualitas fisik dari daging kerbau dan sapi yang digemukkan secara feedlot dengan ransum yang disuplementasi minyak ikan lemuru yang terproteksi dalam bentuk campuran garam karboksilat kering (CGKK). Sampel ternak yang digunakan sebanyak enam ekor kerbau rawa dan delapan ekor sapi PO. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) pola faktorial 2 x 2 dengan faktor pertama yaitu perlakuan pakan (CGKK dan non CGKK) dan faktor yang kedua adalah spesies (sapi dan kerbau). Peubah yang diamati adalah komponen karkas yang meliputi daging, tulang, dan lemak serta kualitas fisik daging yaitu pH, Daya Mengikat Air (DMA), keempukan, susut masak, warna daging, dan warna lemak.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada interaksi antara spesies dan perlakuan pakan terhadap komponen karkas dan sifat fisik daging. Perlakuan pakan tidak mempengaruhi komponen karkas dan sifat fisik daging, namun spesies ternak (sapi dan kerbau) memberikan pengaruh yang nyata (P<0,05) terhadap komponen tulang, keempukan, warna daging, dan lemak warna lemak. Daging kerbau lebih empuk, warna dagingnya lebih merah, dan memiliki warna lemak lebih kuning dari pada daging sapi.

(2)

iii ABSTRACT

Carcass Yield and Meat Quality from Buffalo and Cattle Fatten on Feedlot Ration Using Supplemented Dried Carboxylate Salt Mixture

Lusiawati, S., R. Priyanto, and Yurleni

Peranakan Ongole cattle and buffalo are meat producing ruminants commonly found in Indonesia. The study was aimed to examine the carcass yield and meat quality from local cattle and buffalo fattened on feedlot ration supplemented by protected lemuru fish oil in the form of dried carboxylate salt mixture (DCM). They were fattened for approximately 2,5 month. The experiment used six swamp buffalo and eight Peranakan Ongole cattle. The data was analyzed by factorial design with two factor treatment. The first factor was species (cattle and buffalo) and the second factor was ration (supplemented and non supplemented ration with dried carboxylate salt). The result showed that they were no interaction between species and ration on carcass productivity and meat quality characteristics. Carcass productivity and meat quality characteristics were not influenced by ration treatment’s factor. However, bone, tenderness, meat color and fat color were significantly influenced (P<0,05) by species. Buffalo carcass contained less bone compare to Peranakan Ongole carcass. The meat from buffalo was significantly more tender, darker in color, and the fat was lighter in color compare to beef.

(3)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kerbau merupakan salah satu ternak ruminansia besar yang mampu beradaptasi pada daerah beriklim tropis. Ternak ini potensial untuk dikembangkan di Indonesia, namun ternak kerbau masih sangat jarang dipublikasikan sehingga peran dan kontribusinya dalam subsektor peternakan tidak sebaik ternak sapi. Manfaat ternak kerbau sama halnya dengan ternak sapi yaitu sebagai ternak penghasil daging, namun sebagian besar masyarakat Indonesia lebih tertarik mengkonsumsi daging sapi dibandingkan daging kerbau. Hal ini disebabkan karena daging kerbau yang dijual di pasar tradisional umumnya berasal dari ternak yang dipotong pada umur tua, sehingga daging yang dihasilkan keras dan alot serta warnanya lebih gelap.

Tujuan akhir dari usaha penggemukan ternak pedaging adalah untuk meningkatkan produktivitas dan memperbaiki kualitas daging. Ternak sapi dan kerbau yang digemukkan diharapkan dapat meningkatkan persentase karkas dan kualitas fisik daging yang dihasilkan. Selain itu, penggemukkan juga dapat memperbaiki sifat-sifat kualitatif daging seperti keempukan, warna daging dan warna lemak.

Sifat fisik daging merupakan faktor penentu dari kualitas daging. Salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas daging yaitu keempukan, karena dikaitkan dengan daya terima konsumen dalam mengkonsumsi daging tersebut. Daging yang empuk biasanya lebih digemari oleh konsumen. Hal ini menggambarkan bahwa daging yang empuk memiliki kualitas yang baik.

(4)

2 Minyak ikan lemuru tidak dapat diberikan secara langsung pada ternak, karena memiliki palatabilitas yang rendah. Oleh karena itu, untuk meningkatkan penggunaan minyak ikan lemuru digunakan suatu teknologi perlindungan lemak yaitu hidrolisis asam. Lemak yang terkandung di dalam minyak ikan lemuru dihidrolisis dalam larutan alkali menghasilkan garam karboksilat, kemudian garam karboksilat ini dicampur dengan onggok dan dikeringkan sehingga menghasilkan campuran garam karboksilat kering (CGKK). Pemberian pakan berupa konsentrat yang disuplementasi CGKK ini diharapkan mampu meningkatkan komponen karkas dan kualitas fisik dari daging sapi PO dan kerbau rawa.

Tujuan

(5)

3 TINJAUAN PUSTAKA

Sapi dan Kerbau

Sapi dan kerbau merupakan ternak ruminansia besar yang potensial untuk dikembangkan di Indonesia. Kedua ternak tersebut masuk ke dalam filum Chordata, klas Mamalia, ordo Artiodactyla, famili Bovidae, dan genus Bos. Namun, spesies antara sapi dan kerbau berbeda. Sapi masuk ke dalam spesies Bos taurus (sapi eropa), Bos indicus (sapi india), dan Bos sondaicus (banteng/sapi bali) sedangkan kerbau termasuk spesies Bubalus bubalis (Blakely dan Bade, 1991; Fahimmudin, 1975).

Sapi Peranakan Ongole (PO) merupakan ternak hasil persilangan antara sapi sumba Ongole (SO) dan sapi jawa. Sapi PO memiliki ciri-ciri yaitu warna kulit kelabu kehitam-hitaman, bagian kepala, leher, dan lutut berwarna lebih gelap dari sapi SO, tanduk pendek, bentuk tubuh besar, kepala relatif pendek, dahi cembung, punuk besar mengarah ke arah leher, serta memiliki gelambir. Sapi ini termasuk kedalam sapi pedaging dan pekerja. Ternak ini memiliki beberapa keunggulan yaitu tahan terhadap panas, tahan terhadap ekto dan endoparasit, serta menghasilkan persentase karkas dan kualitas daging yang baik (Hardjosubroto dan Astuti, 1993).

Ternak kerbau menurut asal-usulnya berasal dari India. Ternak ini dikenal sebagai hewan liar yang dapat hidup di rawa-rawa dan hutan-hutan yang berumput (Rukmana, 2003). Kerbau tidak hanya dimanfaatkan sebagai ternak pekerja saja, namun dalam upacara adat ternak ini mendapat nilai paling tinggi dibandingkan dengan ternak yang lainnya. Beberapa suku menganggap kekayaan seseorang dinilai dari banyaknya jumlah kerbau yang dimiliki, semakin banyak kerbau yang dimiliki maka semakin kaya orang tersebut (Puar, 1983).

(6)

4 2003). Sitorus dan Anggareni (2009) menyebutkan dalam hasil penelitiannya bahwa kerbau rawa didominasi dengan warna kulit abu-abu dan kerbau sungai berwarna hitam. Kerbau rawa (jantan dan betina) memiliki ukuran tubuh yang lebih kecil dibandingkan dengan kerbau sungai.

Ternak kerbau memiliki keunggulan yaitu mampu beradaptasi dengan baik dalam kondisi lingkungan kering dan memiliki kemampuan dalam mencerna serat kasar berupa jerami padi, rumput kering, limbah perkebunan dan rumput liar lebih baik dibandingkan dengan ternak sapi. Namun, kerbau tidak tahan terhadap terik panas matahari karena ternak ini hanya memiliki sedikit kelenjar keringat. Hal ini menyebabkan kerbau memerlukan tempat untuk berkubang seperti kubangan air atau lumpur agar kelangsungan fisiologinya tetap terjaga (Susilawati dan Bustami, 2009).

Populasi Kerbau dan Sapi di Indonesia

Menurut Kementerian Pertanian dan Badan Pusat Statistik (2011) populasi ternak kerbau tersebar merata di seluruh pulau di Indonesia dengan populasi terbesar yaitu di pulau Sumatera dengan jumlah 512,8 ribu ekor atau 39,29 persen dari total populasi kerbau Indonesia. Dilihat dari data populasi berdasarkan provinsi, populasi ternak kerbau paling besar terdapat di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) sebanyak 150 ribu ekor atau 11,50 persen dari populasi kerbau di Indonesia. Data populasi kerbau menurut provinsi dapat dilihat pada Tabel 1.

(7)

5 Tabel 1. Sebaran Populasi Kerbau, Sapi Potong dan Sapi Perah Menurut Provinsi

Berdasarkan Hasil Akhir PSPK 2011

Provinsi Sapi Potong Sapi Perah Kerbau

Populasi % Populasi % Populasi %

(8)

6 Sistem Pemeliharaan Ternak Kerbau

Menurut Hendayana dan Matodang (2010), di Indonesia pada umumnya ternak kerbau dipelihara dengan cara tradisional, dimana kerbau dilepas di padang penggembalaan pada siang hari dan digiring ke kandang pada malam harinya. Ada juga peternak yang membiarkan ternaknya di padang penggembalaan sepanjang hari yaitu pada siang dan malam hari. Disamping itu, peternak juga kurang memperhatikan kondisi kesehatan kerbau, misalnya pencegahan dan pengobatan penyakit. Kerbau yang sedang sakit biasanya hanya diobati dengan cara tradisional sehingga menyebabkan angka kematian kerbau semakin meningkat. Darminto et al. (2010) menambahkan bahwa ternak kerbau sebagian besar dipelihara dengan sistem ekstensif, dimana kerbau digembalakan di padang rumput dan dibiarkan mencari makanannya sendiri. Sistem ekstensif ini memberikan keuntungan bagi peternak yaitu dapat menggembalakan sekitar 15 ekor kerbau. Peternak yang memelihara kerbau dengan cara dikandangkan hanya mampu memelihara dua sampai tiga ekor ternak. Ada beberapa peternak memelihara kerbau dengan cara kombinasi yaitu kerbau digembalakan di padang penggembalaan pada siang hari dan di kandangkan pada malam hari. Sistem pemeliharaan dengan cara kombinasi ini ada di Kecamatan Rumpin, Kabupaten Bogor. Peternak menggembalakan kerbau pada siang hari di area persawahan atau diikat dan dipindah-pindahkan di lahan penggembalaan, sedangkan pada malam hari dikandangkan (Rusdiana dan Bamualim, 2010).

Pemeliharaan ternak kerbau secara ekstensif dan semi intensif dipengaruhi oleh musim. Di Kalimantan Timur pada musim kemarau kerbau digembalakan di hutan, sedangkan pada musim penghujan digiring ke kandang. Peternak kerbau pada saat musim penghujan memiliki kerja yang lebih tinggi dibandingkan pada saat musim kemarau, karena peternak harus mencari rumput untuk ternaknya (Hamdan dan Rohaeni, 2008).

Penggemukan Ternak

(9)

7 dipotong. Ternak yang digemukkan pada umumnya diberi pakan yang banyak mengandung energi seperti karbohidrat dan lemak(Parakkasi, 1999).

Proses penggemukan sebenarnya dapat dilakukan dengan berbagai macam pakan tergantung dari peternaknya. Namun, pakan yang diberikan harus dapat memberikan nutrisi dan kontribusi yang baik untuk menghasilkan pertambahan bobot badan pada ternak. Selain faktor pakan ada beberapa faktor yang mempengaruhi suatu usaha penggemukan yaitu bangsa, jenis kelamin, manajemen pemeliharaan, dan kondisi lingkungan sekitar (Yamin, 2001).

Karkas

Muchtadi dan Sugiyono (1992) menjelaskan bahwa karkas adalah daging dan tulang yang masih menyatu atau daging yang belum dipisahkan dari tulangnya. Karkas sapi menurut Lawrie (2003) adalah bagian tubuh yang tertinggal setelah darah, kepala, kaki, kulit, saluran pencernaan, jantung, trakea, paru-paru, ginjal, limpa, hati, dan jaringan lemak (yang melekat pada bagian tubuh tersebut) diambil. Karkas terdiri dari urat daging, jaringan lemak, tulang, jaringan ikat, pembuluh darah besar dan lain sebagainya. Soeparno (2005) menambahkan penyusun utama dari karkas adalah otot dan jaringan ikat. Jaringan ikat tersusun oleh serabut-serabut kolagen. Kolagen dari jaringan ikat memiliki kontribusi yang penting dalam kualitas suatu daging. Semakin banyak ternak melakukan aktivitas maka kolagen di dalam jaringan ikat semakin tinggi sehingga menyebabkan daging menjadi lebih alot.

(10)

8 Pertumbuhan Tulang, Otot dan Lemak

Definisi pertumbuhan menurut Soeparno (2005) adalah perubahan ukuran yaitu perubahan berat hidup, bentuk dan komposisi tubuh termasuk di dalamnya perubahan komponen tubuh seperti otot, tulang dan lemak pada karkas serta komponen kimia yang meliputi air, lemak, protein dan abu. Pertumbuhan ternak adalah kumpulan dari beberapa perubahan dari semua bagian-bagian dan komponen tubuh. Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan yaitu individu dalam satu bangsa, bangsa ternak yang berbeda, ukuran tubuh ternak dan jenis kelamin yang berbeda.

Soeparno (2005) menjelaskan bahwa komponen-komponen tubuh mengalami pertambahan bobot seiring dengan pertumbuhan hingga ternak mencapai umur dewasa dengan urutan pertumbuhan yaitu pertumbuhan tulang, otot, kemudian lemak. Tulang, otot dan lemak merupakan komponen utama penyusun karkas. Aberle et al. (2001) menambahkan bahwa komponen tulang adalah salah satu komponen karkas yang tumbuh paling awal dan pertumbuhan mulai menurun pada saat ternak mencapai umur dewasa. Deposisi lemak pada ternak yang masih muda terjadi di sekitar jeroan dan ginjal, dengan seiring bertambahnya umur suatu ternak deposisi lemak dapat juga terjadi di antara otot (lemak intermuskular), lapisan bawah kulit (lemak subkutan) dan diantara ikatan serabut otot (lemak intramuscular).

Daging

Definisi daging menurut Soeparno (2005) adalah seluruh jaringan hewan dan semua produk hasil olahan jaringan tersebut yang sesuai untuk dikonsumsi oleh konsumen serta tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang mengkonsumsinya. Muchtadi dan Sugiyono (1992) menambahkan daging adalah satu komoditi pertanian yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan tubuh akan zat gizi protein dimana daging mengandung protein yang berupa asam amino yang lengkap. Menurut Dewan Standardisasi Nasional (2008) definisi daging segar adalah daging yang berasal dari ternak yang belum diolah dan atau tidak ditambahkan dengan bahan dan perlakuan apapun.

(11)

9 sel daging atau serabut otot tersusun atas miofibril-miofibril. Miofibril tersusun atas miofilamin yaitu serabut-serabut halus. Miofilamen tersebut tersusun atas aktin dan miosin yang berperan dalam proses kontraksi dan relaksasi pada otot daging (Muchtadi dan Sugiyono, 1992). Daging mengandung banyak komponen protein, selain itu juga air, lemak, karbohidrat, dan komponen anorganik (Soeparno, 2005). Daging terdiri dari komposisi sebagai berikut air 75%, protein 19%, lemak 2,5%, karbohidrat 1,2%, substansi non protein yang larut 2,3%, dan sedikit vitamin (Lawrie, 2003).

Daging Sapi dan Kerbau

Daging sapi menurut Dewan Standardisasi Nasional (2008) adalah bagian otot dari karkas sapi yang aman, layak dan lazim dikonsumsi oleh manusia, yaitu berupa daging segar, daging segar dingin, atau daging beku. Daging sapi sangat muda (3-14 minggu) disebut veal dan daging sapi dari ternak yang berumur lebih dari satu tahun disebut beef. Warna daging yang berasal dari sapi muda berwarna lebih terang dibandingkan dengan daging yang berasal dari ternak sapi dewasa.

Daging kerbau kebanyakan keras dan tidak disukai oleh konsumen. Hal ini dikarenakan ternak kerbau bisanya dipotong pada usia yang relatif tua (5-7 tahun). Diperlukan penanganan khusus untuk memperbaiki kualitas dari daging kerbau tersebut, yaitu dengan cara memperbaiki sistem pemeliharaan dan dengan pemberian pakan yang berkualitas baik yang dikombinasi dengan hijauan dan konsentrat. Banyak peternak kerbau memelihara kerbau dengan cara digemalakan (ekstensif), dan kerbau sering dibuat sebagai ternak kerja. Kerbau perlu di pelihara secara intensif yaitu dengan cara ternak dikandangkan dan diawasi dalam segi pakan, minum, penanganan penyakit dan perkawinan. Keunggulan daging kerbau yaitu memiliki kandungan kolesterol yang lebih rendah dibandingkan dengan daging sapi (Darminto et al., 2010).

Kualitas Daging

(12)

10 processus transverses daerah lumbar. Kualitas daging dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain faktor sebelum dan sesudah pemotongan. Faktor sebelum meliputi genetik, spesies, bangsa, jenis kelamin, umur, pakan, dan tingkat stress pada ternak. Faktor sesudah yaitu pH daging, metode palayuan, stimulasi listrik, metode pemasakan, macam dan lokasi pada suatu otot daging serta metode penyimpanan (Soeparno, 2005).

Sifat fisik daging merupakan suatu faktor yang menentukan kualitas dari suatu daging. Ada beberapa parameter dalam pengukuran sifat fisik daging antara lain pH, keempukkan, susut masak, daya mengikat air (DMA), warna daging dan warna lemak. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut:

Nilai pH

Pengukuran nilai pH digunakan untuk mengetahui tingkat keasaman dan kebasaan suatu substansi. Nilai pH daging setelah proses pemotongan mencapai 6,5-6,8 yaitu pada saat proses kekakuan daging, namun ada juga yang mencapai 5,4-5,5. Proses penurunan pH karkas dan daging hanya dapat menurun sedikit demi sedikit pada beberapa jam setelah proses pemotongan berlangsung, penurunan pH tersebut dapat bervariasi diantara berbagai ternak. Perbedaan laju dan besarnya nilai penurunan pH dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain spesies, tipe otot, glikogen otot, temperatur lingkungan, perlakuan bahan aditif sebelum pemotongan, dan tingkat stres pada ternak (Soeparno, 2005)

(13)

11 Daya Mengikat Air (DMA)

Daya mengikat air (DMA) atau water holding capacity (WHC) adalah kemampuan protein daging untuk mengikat airnya sendiri atau air yang ditambahkan dari luar yaitu dari proses pemotongan daging, pemanasan dan penggilingan. Daya mengikat air suatu daging dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain pH, temperatur, proses pelayuan, pemasakan, udara kering, spesies, umur, fungsi otot, pakan, penyimpanan, jenis kelamin, perlakuan sebelum pemotongan dan lemak intramuskuler. Jumlah asam laktat yang berbeda pada daging dapat mempengaruhi pH otot dan menyebabkan DMA pada setiap daging berbeda (Soeparno, 2005).

Soeparno (2005) menjelaskan bahwa penurunan DMA dapat diketahui dari timbulnya eksudasi cairan. Eksudasi berasal dari lemak dan cairan daging. Eksudasi cairan pada daging mentah yang belum dibekukan disebut dengan weep dan pada daging mentah yang sudah dibekukan kemudian disegarkan kembali dikenal dengan sebutan drip. Prinsipnya jika kemampuan protein daging untuk mengikat air tinggi maka weep dan drip akan menurun. Lawrie (2003) menambahkan banyaknya eksudasi cairan pada daging tergantung dari jumlah cairan yang dibebaskan oleh protein daging.

Keempukan Daging

Keempukan daging menurut Soeparno (2005) merupakan salah satu faktor penentu yang kemungkinan paling penting untuk menentukan kualitas suatu daging. Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi keempukan daging yaitu faktor antemortem dan faktor postmortem. Faktor antemortem terdiri dari genetik yang termasuk di dalamnya adalah bangsa, spesies dan fisiologi, faktor umur, manajemen, jenis kelamin serta stres. Faktor postmortem yaitu metode pelayuan dan pembekuan yang termasuk di dalamnya adalah faktor temperatur dan lama penyimpanan, serta metode pengolahan yaitu metode pemasakan dan penambahan bahan pengempuk daging.

(14)

12 Keempukan daging dari ternak yang dikandangkan lebih empuk dibandingkan dengan daging dari ternak yang digembalakan. Hal ini dipengaruhi oleh pakan yang dikonsumsi ternak dan manajemen pemeliharaan. Ternak tua yang diberi pakan dengan kualitas nutrisi dan manajemen pemeliharaan yang baik akan menghasilkan daging yang berkualitas lebih baik dan empuk dibandingkan dengan daging yang dihasilkan oleh ternak muda yang diberi pakan dan dipelihara dengan buruk. Nutrisi yang terkandung di dalam pakan yang berkualitas dapat terserap secara sempurna di dalam otot dan membuat otot tumbuh dan berkembang dengan baik, sehingga kandungan kolagen di dalam otot menjadi lebih sedikit dan menghasilkan daging yang lebih empuk (Prihatman, 2000).

Susut Masak

Susut masak yaitu hilangnya bobot daging setelah proses pemasakan yang dipengaruhi oleh temperatur dan lama pemasakan. Susut masak dinyatakan dalam persentase. Faktor yang mempengruhi susut masak yaitu pH, panjang sarkomer serabut otot, panjang potongan serabut otot, status kontraksi miofibril, ukuran dan berat sampel daging (Soeparno, 2005).

Bangsa ternak yang berbeda dapat mempengaruhi persentase susut masak suatu daging. Besarnya susut masak tersebut dapat mengindikasikan jumlah jus di dalam daging. Daging dengan persentase susut masak yang rendah memiliki kualitas yang lebih baik dibandingkan daging dengan persentase susut masak yang tinggi. Hal ini berkaitan dengan hilangnya kandungan nutrisi di dalam daging tersebut. Daging yang susut masaknya rendah mengindikasikan bahwa daging tersebut tidak terlalu banyak kehilangan nutrisi selama proses pemasakan (Soeparno, 2005).

Warna Daging dan Lemak

(15)

13 untuk mengangkut oksigen yang dibutuhkan sel. Warna daging dapat berubah dikarenakan mioglobin dalam daging tersebut mengalami perubahan kimia (Muchtadi dan Sugiono, 1992). Faktor lain yang memiliki peranan yang paling besar dalam menentukan warna daging yaitu tipe molekul mioglobin, status kimia mioglobin, dan kondisi fisik dan kimia komponen lain yang terkandung di dalam daging (Lawrie, 2003).

(16)

14 cairan yang berupa minyak dan air. Cairan dialirkan pada corong pemisah sehingga diperoleh lapisan atas (minyak) dan lapisan bawah (air). Minyak lalu disentrifuse dengan kecepatan 10.000 rpm selama 10 menit sehingga diperoleh minyak kasar (Astawan, 1998).

Minyak ikan masuk ke dalam kelompok lemak atau lipid yang tidak larut dalam air. Minyak merupakan kombinasi dari ester asam lemak dan gliserol yang kemudian membentuk gliserida (Muchtadi, 1989). Fungsi dari minyak ikan yaitu sebagai obat-obatan (Ketaren, 1986). Minyak ikan lemuru mengandung EPA (Eicosapentaenoic Acid) dan DHA (Docoxahexaenoic Acid). Minyak ikan lemuru banyak dimanfaatkan karena jumlahnya yang melimpah dan mengandung banyak asam lemak. Keungulan dari minyak ikan lemuru yaitu jumlah asam lemak tak jenuhnya lebih tinggi dibandingkan asam lemak jenuhnya. Manfaat dari minyak ikan lemuru yaitu menurunkan kolesterol darah (Lubis, 1993).

Campuran Garam Karboksilat Kering (CGKK)

(17)
(18)

16 MATERI DAN METODE

Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni sampai September 2011 untuk pemeliharaan dan bulan Oktober sampai November 2011 untuk analisis komponen karkas dan sifat fisik daging. Dilaksanakan di Laboratorium Ruminansia Besar, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor dan Technopark Seafast, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor untuk pembuatan Campuran Garam Karboksilat Kering (CGKK). Pemeliharaan sapi dan kerbau dilaksanakan di Laboratorium Lapang Ilmu Produksi Ternak Ruminansia Besar, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pemotongan ternak dilakukan di RPH Elders. Analisis komponen karkas dan sifat fisik daging dilaksanakan di Laboratorium Ruminansia Besar, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Analisa proksimat pakan dilakukan di Laboratorium PAU, Institut Pertanian Bogor.

Materi Ternak

Ternak yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah 14 ekor yang terdiri dari sapi PO (Gambar 1) sebanyak delapan ekor dan kerbau rawa jantan yang (Gambar 2) sebanyak enam ekor. Kedua jenis ternak yang digunakan berumur 2,5 tahun dengan rataan bobot awal kerbau rawa sekitar 218,66±16,28 kg dan sapi PO 217,37±15,44 kg.

(19)

17 Gambar 2. Ternak Kerbau yang Digunakan dalam Penelitian

Peralatan

Peralatan yang digunakan untuk pemeliharaan yaitu kandang individu dengan ukuran 2 x 0,8 meter, tempat pakan, tempat minum, alat penimbangan bobot badan ternak, timbangan pakan, tongkat ukur, meteran, ember plastik, sapu lidi dan termometer ruang. Pembuatan CGKK yaitu kompor, tabung Erlenmeyer, botol plastik, panci, gelas ukur, pipet dan thermometer, sedangkan pada proses pemotongan digunakan jas lab, masker, hairnet, restraining box, alat penggantung karkas, mesin bendsaw, chilling room dan sepatu boot. Peralatan yang digunakan untuk analisis komponen karkas yaitu pisau, timbangan, serta alat tulis dan anasisis sifat fisik daging menggunakan kertas saring Whatman-41, carper press, planimeter, pH meter, timbangan Sartorius, timbangan digital, warner blatzer, termometer bimetal, pisau, talenan, kompor, fat colour card dan meat colour card.

Air Minum dan Pakan

(20)

18 Tabel 2. Komposisi dan Kandungan Nutrisi Pakan Ternak Kerbau dan Sapi

Sumber Pakan

Zat-zat Makanan (%)

BK* Abu* LK* PK* SK* BETN** TDN**

Hijauan+Konsentrat 31,21 7,61 2,37 13,75 34,79 41,47 54,48

Hijauan+Konsentrat+CGKK 31,43 7,46 2,97 13,90 34,90 40,77 55,56

Keterangan : *Hasil Analisa Proksimat ** Berdasarkan Perhitungan

Gambar 3. Konsentrat Dicampur dengan Kulit Ari Kedelai

(21)

19 Karkas dan Daging

Karkas yang digunakan dalam analisis komponen karkas adalah karkas bagian kiri. Analisis sifat fisik dagingnya menggunakan daging bagian otot Longissimus dorsi et lumbarrum.

Prosedur

Penelitian ini terdiri dari empat tahap yaitu pembuatan CGKK, pemeliharaan sapi dan kerbau, pemotongan ternak, serta analisis komponen karkas dan kualitas fisik daging. Data diambil pada saat analisis komponen karkas dan kualitas fisik daging.

Pembuatan Campuran Garam Karboksilat Kering (CGKK)

Pembuatan CGKK dimulai dengan penimbangan bahan sesuai dengan kebutuhan. Bahan yang ditimbang antara lain KOH, CaCl2, dan HCl. Masing-masing

bahan tersebut diencerkan dengan aquades. Minyak ikan lemuru disiapkan di dalam panci lalu dicampur dengan CaCl2 dan KOH kemudian diaduk dan dipanaskan

(22)

20 Pemeliharaan Ternak

Ternak yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari delapan ekor sapi PO dan enam ekor kerbau rawa, dan dibagi menjadi dua kelompok yaitu perlakuan pemberian CGKK dan tidak diberi CGKK. Masing-masing ternak terlebih dahulu ditimbang untuk memperoleh bobot awal. Bobot awal sapi PO sekitar 217,37±15,44 kg dan kerbau rawa sekitar 218,66±16,28 kg.

Ternak sapi dan kerbau diberi pakan dengan rasio antara hijauan dan konsentrat sebesar 40:60. Hijauan yang digunakan berupa rumput lapang dan rumput gajah segar, sedangkan konsentrat yang digunakan yaitu konsentrat komersil yang dicampur dengan kulit ari kedelai dari limbah pembuatan tempe dengan rasio antara konsentrat dan kulit ari kedelai sebesar 1:2 lalu dicampur dengan CGKK sebanyak 45 gr/kg konsentrat (untuk perlakuan pemberian CGKK).

Penimbangan bahan-bahan seperti CaCl2, HCl, KOH dan onggok

Masing-masing bahan (HCl dan KOH) dilarutkan menggunakan aquades

Minyak ikan + CaCl2 dan KOH

+ larutan HCl (diaduk dan didinginkan)

dicampur dengan onggok super

Di oven (suhu 32oC) Persiapan Bahan

Siap diberikan pada ternak dengan cara dicampur dengan konsentrat

(23)

21 Pakan diberikan tiga kali (pagi, siang, dan sore) setiap hari dan air minum untuk ternak diberikan secara ad libitum (selalu tersedia di dalam bak minum). Khusus untuk ternak kerbau dilakukan penyiraman selama tiga kali setiap hari yaitu pada pukul 09.00, 11.00, dan 13.00 WIB. Kandang dibersihkan setiap dua kali sehari. Ternak sapi dan kerbau tersebut ditimbang pada saat akhir pemeliharaan untuk mengetahui bobot potong (kg). Bobot potong sapi sekitar 289,88 17,39 dan kerbau sekitar 315,50±16,08.

Pemotongan Ternak

Pemotongan ternak dilakukan di RPH Elders. Ternak yang disembelih terlebih dahulu ditimbang bobotnya lalu diberi tanda (berupa nomor) yaitu dengan menggunakan spidol agar ternak mudah dikenali dan tidak tertukar antara ternak satu dan lainnya. Ternak yang sudah siap untuk dipotong kemudian digiring ke dalam ruang pemingsanan kemudian ternak dipingsankan (stunning) dengan alat pemingsanan yaitu cash knocker. Alat tersebut dipukulkan tepat di pertengahan dahi di antara kedua mata ternak, kemudian ternak disembelih. Penyembelihan dilakukan dengan memotong ternak di area leher pada vena jugularis, oesophagus dan trachea, lalu didiamkan hingga proses pengeluaran darah (eksanguinasi) keluar dengan sempurna. Jika ternak sudah mati, kemudian salah satu kaki belakang pada bagian tendon Achilles dikaitkan dengan rantai yang ada di ujung katrol listrik lalu secara perlahan dinaikkan ke atas sampai ternak menggantung sempurna pada rel penggantung (roller dan shackling chain). Bagian kepala, kaki, ekor dan kulit dipisahkan dari bagian tubuh ternak. Kepala dipotong pada sendi occipito-atlantis (heading) serta bagian kaki depan dan kaki belakang pada sendi Carpo-metacarpal dan sendi Tarso-metatarsal. Proses pengulitan (skinning) dilakukan dengan cara membuat irisan memanjang dari anus sampai ke leher melewati bagian perut dan dada serta pada kaki depan dan belakang dibuat irisan menuju ke arah irisan tadi.

(24)

22 suhu 2-5oC selama 24 jam lalu karkas diamati komponen karkasnya. Karkas yang diamati pada analisis komponen karkas adalah karkas bagian kiri. Komponen karkas terdiri dari daging, tulang, dan lemak. Masing-masing bagian dari komponen karkas tersebut ditimbang dan dicatat sebagai bobot komponen karkas.

Analisis Komponen Karkas dan Sifat Fisik Daging

Analisis komponen karkas dan sifat fisik daging dilakukan di laboratorium ruminansia besar, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Komponen karkas yang diamati yaitu daging, tulang dan lemak. Sifat fisik daging yang diamati meliputi nilai pH, daya mengikat air, keempukan, susut masak, warna daging dan warna lemak.

Rancangan dan Analisis Data

Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap pola faktorial 2x2 dengan tiga dan empat kali ulangan. Rancangan percobaan ini memiliki dua faktor perlakuan yaitu jenis tenak (sapi dan kerbau) dan pemberian pakan (suplemen CGKK dan non CGKK). Model matematika yang digunakan adalah sebagai berikut:

Keterangan :

Yijk = Hasil pengamatan komponen karkas dan sifat fisik daging pada

ternak dengan jenis ternak ke-i dan pemberian pakan suplemen ke-j, dan dengan ulangan ke-k.

µ = Nilai rataan komponen karkas dan sifat fisik daging pada ternak. Ai = Pengaruh jenis ternak taraf ke-i

Bj = Pengaruh pemberian pakan suplemen pada taraf ke-j

(AB)ij = Pengaruh interaksi faktor jenis ternak pada taraf ke-i dengan

pemberian pakan suplemen pada taraf ke-j

εijk = Pengaruh galat percobaan yang berasal dari faktor jenis ternak

(25)

23 Analisis data yang digunakan untuk melihat perbedaan perlakuan dan interaksi antar perlakuan adalah Analysis of Covariance (ANCOVA) untuk data komponen karkas dan Analysis of Variance (ANOVA) untuk data sifat fisik daging. Bila terdapat perbedaan yang nyata (P<0,05) pada data, maka akan diuji lanjut menggunakan Uji Least Squares Means.

Peubah

Adapun peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah komponen karkas dan kuaitas fisik daging. Komponen karkas ini meliputi daging, tulang dan lemak, sedangkan kualitas fisik dagingnya yaitu nilai pH, daya mengikat air, keempukan, susut masak, warna daging serta warna lemak.

Analisis Komponen Karkas. Ternak kerbau dan sapi dipotong di RPH Elders, kemudian karkas dibagi menjadi dua bagian yaitu kiri dan kanan. Karkas kemudian dilayukan lalu diurai dan dipisahkan antara daging, tulang, dan lemaknya. Berat masing-masing komponen karkas ditimbang dengan timbangan digital kemudian dicatat. terlebih dahulu dengan menggunakan aquades lalu dikeringkan dengan tissue (AOAC, 2005).

(26)

24 keluar dari sampel daging yang telah dipress (Lingkar Luar = LL atau luas area basah) kemudian ditunggu hingga kering. Kertas yang telah kering kemudian diberi tanda dengan bolpoint pada LD dan LL. Jumlah air bebas yang keluar diukur menggunakan planimeter (Hamm, 1972 dalam Soeparno, 2005). Prosedur perhitungan dengan menggunakan planimeter dilakukan sebagai berikut: kedua lingkaran (LD dan LL) pada kertas saring diberi titik sebagai titik awal perhitungan. Titik tengah yang berada di kaca pembesar pada planimeter diletakkan pada titik di lingkaran (LD dan LL) yang terdapat pada kertas saring. Skala pada planimeter sebelum dilakukan putaran dibaca dan dicatat terlebih dahulu sebagai titik awal dan skala titik akhir diperoleh setelah planimeter diputar searah jarum jam mengikuti lingkaran yang telah ditandai dan kembali ke titik awal. Selisih antara skalaakhir dengan skala awal pada masing-masing lingkaran (LL dan LD) dihitung lalu dibagi 100. Nilai yang diperoleh menunjukkan luas area basah. Adapun rumusnya adalah sebagai berikut:

Luas Area Basah = -

Setelah diperoleh luas area basah, maka nilai yang dihasilkan dimasukkan kedalam rumus dibawah ini:

mg H2O =

area basa

8,0

Nilai yang diperoleh dari mgH2O tersebut menunjukkan jumlah air yang keluar dari

daging. Persentase dari banyak jumlah air bebas yang keluar dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:

% air bebas = mg

bobot sam el 100 %

(27)

25 yang sudah dingin dicetak dengan corer dengan diameter 1,27 cm. Pencetakan dilakukan searah dengan serabut daging, hal ini dilakukan untuk mempermudah proses pencetakan. Daging yang telah tercetak diukur nilai keempukan dengan menggunakan Warner-Blatzler Shear. Nilai keempukan dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu nilai keempukan pada kisaran 0-3 adalah empuk, lebih dari 3-6 adalah sedang, dan lebih dari 6 adalah alot.

Susut masak adalah berkurangnya bobot daging setelah proses pemasakan. Sampel daging ditimbang terlebih dahulu untuk mendapatkan bobot awal kemudian direbus, namun sebelum direbus sampel daging terlebih dahulu ditancapkan termometer bimetal. Perebusan dilakukan hingga suhu di dalam daging mencapai 80-82oC. Daging kemudian diangkat dan didinginkan pada suhu ruang. Sampel yang telah dingin kemudian ditimbang sebagai bobot akhir. Persentase susut masak dapat dicari dengan persamaan berikut ini:

% susut masak = bobot sam el awal-bobot sam el a hir

bobot sam el awal 100%

(28)

26 Gambar 5. Meat Colour Card

(29)

27 HASIL DAN PEMBAHASAN

Bobot dan Persentase Komponen Karkas

Komponen karkas terdiri dari daging, tulang, dan lemak. Bobot komponen karkas dapat berubah seiring dengan laju pertumbuhan. Definisi pertumbuhan menurut Soeparno (2005) adalah perubahan ukuran yaitu perubahan berat hidup, bentuk, dan komposisi tubuh termasuk di dalamnya perubahan komponen tubuh seperti otot, tulang, dan lemak pada karkas. Komponen-komponen tubuh mengalami pertambahan bobot seiring dengan pertumbuhan hingga ternak mencapai umur dewasa dengan urutan pertumbuhan yaitu pertumbuhan tulang, otot, kemudian lemak. Hasil bobot komponen karkas ternak kerbau dan sapi dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Bobot dan Persentase Komponen Karkas Berdasarkan Spesies Ternak dengan Suplemen CGKK dan Non CGKK*

Parameter Perlakuan Spesies Ternak Rataan

Kerbau Sapi

---kilogram---

Daging CGKK 50,44±1,20 49,32±1,04 49,88±0,80

Non CGKK 51,08±1,24 50,23±1,05 50,66±0,80 Rata-rata 50,76±0,86 49,78±0,74

Tulang CGKK 17,91±0,91 19,59±0,78 18,75±0,60

(30)

28 Hasil analisis ragam pada bobot dan persentase komponen karkas menunjukkan bahwa tidak ada interaksi antara spesies ternak dan perlakuan pakan terhadap komponen karkas. Perlakuan pakan tidak berpengaruh (P>0,05) nyata terhadap komponen daging, tulang, dan lemak, namun jenis ternak berpengaruh nyata (P<0,05) pada komponen tulang saja. Bobot dan persentase komponen tulang pada kerbau lebih rendah dibandingkan dengan sapi. Hal ini dikarenakan laju pertumbuhan pada ternak kerbau lebih lambat dibandingkan dengan sapi sehingga pertumbuhan tulangnya pun menjadi lebih lama dan pada saat dipotong rata-rata berat tulang kerbau lebih rendah dibandingkan dengan tulang sapi. Dewasa tubuh sapi yaitu umur 2-2,5 tahun (Winarti, 2011) sedangkan kerbau tiga tahun (Fahimmudin, 1975). Sedangkan, hasil bobot komponen karkas ternak kerbau dan sapi dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Rasio Daging/Lemak (D/L) dan Daging/Tulang (D/T) Berdasarkan Spesies Ternak dengan Suplemen CGKK dan Non CGKK*

Parameter Perlakuan Spesies Ternak Rataan

Kerbau Sapi perbedaan nyata (P<0,05). *data dikoreksi berdasarkan bobot karkas kiri yang sama pada 73,99 ± 5,52 kg.

(31)

29 (Soeparno, 2011). Hopkins dan Fogarty (1998) menambahkan bahwa konformasi tubuh ternak yang baik yaitu dengan perbandingan daging dan tulang (D/T) yang tinggi.

Sifat Fisik Daging

Sifat fisik daging merupakan suatu faktor penentu dari kualitas daging. Faktor yang mempengaruhi sifat fisik daging antara lain faktor sebelum dan setelah pemotongan. Faktor sebelum meliputi genetik, spesies, bangsa, jenis kelamin, umur, pakan, dan stres. Faktor sesudah yaitu metode palayuan, stimulasi listrik, metode pemasakan, pH daging, metode penyimpanan. Daging yang digunakan dalam pengujian kualitas fisik daging yaitu daging yang berasal dari bagian otot longissimus dorsi (LD). Otot longissimus dorsi adalah otot yang memanjang dari bagian posterior ke arah rusuk daerah thoracis dan dorsal processus transverses daerah lumbar. Ada beberapa parameter dalam pengukuran sifat fisik daging antara lain pH, keempukkan, susut masak, daya mengikat air (DMA), warna daging dan warna lemak (Soeparno, 2005). Data hasil penelitian yang berupa rataan sifat fisik pada daging sapi dan kerbau dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Rataan Sifat Fisik Berdasarkan Spesies Ternak dengan Suplemen CGKK dan Non CGKK

Parameter Perlakuan Spesies Ternak Rataan

Kerbau Sapi

pH CGKK 5,37±0,04 5,51±0,25 5,45±0,19

Non CGKK 5,30±0,06 5,39±0,13 5,35±0,11 Rata-Rata 5,34±0,06 5,45±0,19

DMA (%) CGKK 20,33±5,51 20,0±5,48 20,14±5,01

(32)

30 Nilai pH

Pengukuran nilai pH digunakan untuk mengetahui tingkat keasaman suatu substansi. Nilai pH tidak dapat langsung diukur setelah proses pemotongan, akan tetapi diukur 24 setelah proses pelayuan. Pengukuran nilai pH dilakukan dengan cara menusukkan pH meter pada daging yang akan diukur. Nilai pH dapat mempengaruhi susut masak, nilai keempukan, warna daging, dan daya mengikat air oleh protein daging. Jumlah cadangan glikogen otot pada saat proses pemotongan sangat mempengaruhi nilai pH suatu daging. Faktor lainnya yang mempengaruhi yaitu spesies, tipe otot, glikogen otot, temperatur lingkungan, perlakuan bahan aditif sebelum pemotongan, dan tingkat stres pada ternak sebelum proses pemotongan (Soeparno, 2005).

Data hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata nilai pH daging kerbau 5,34±0,06 dan daging sapi 5,45±0,19. Rataan nilai pH daging pada perlakuan pakan CGKK mencapai 5,45±0,19 dan pakan yang non CGKK 5,35±0,11. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa spesies ternak dan perlakuan pakan tidak berpengaruh nyata terhadap nilai pH (p>0,05) daging sapi dan kerbau serta tidak ada interaksi antar keduanya. Hal ini disebabkan karena ternak sapi dan kerbau mendapatkan perlakuan yang sama pada saat sebelum dan sesudah pemotongan. Perlakuan yang sama sebelum pemotongan mengakibatkan tingkat stres pada kedua ternak sama, hal ini menyebabkan jumlah glikogen di dalam otot pada kedua spesies tidak berbeda sehingga asam laktat yang terbentuk pun sama dan akhirnya menghasilkan pH daging yang tidak berbeda. Hal ini sesuai dengan pendapat Soeparno (2005) yang menyatakan bahwa perubahan pH suatu daging dapat disebabkan oleh tingkat stres pada ternak sebelum proses pemotongan. Nilai pH daging yaitu berkisar antara 5,4-5,8.

Daya Mengikat Air

(33)

31 lemak intramuskuler. Jumlah asam laktat yang berbeda pada daging dapat mempengaruhi pH otot dan menyebabkan DMA pada setiap daging berbeda (Soeparno, 2005).

Nilai DMA suatu daging diperoleh dari persentase air bebas yang keluar dari daging, sehingga semakin besar persentase air bebasnya maka daya mengikat air daging tersebut semakin rendah. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan pemberian CGKK dan spesies ternak yang berbeda tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap nilai DMA serta tidak ada interaksi antara keduanya. Hal ini disebabkan karena nilai pH juga tidak berpengaruh. Perlakuan yang sama sebelum pemotongan mengakibatkan tingkat stres pada kedua ternak sama, hal ini menyebabkan jumlah glikogen di dalam otot pada kedua spesies tidak berbeda sehingga asam laktat yang terbentuk pun sama dan akhirnya menghasilkan pH daging yang tidak berbeda. Oleh karena itu dengan pH yang tidak berpengaruh maka menyebabkan DMA pada daging tersebut tidak berpengaruh juga. Nilai daya mengikat air dipengaruhi oleh nilai pH, jika nilai pH menurun maka DMA suatu daging juga akan menurun karena nilai pH dan DMA berbanding lurus (Soeparno, 2005).

Susut Masak

(34)

32 mengindikasikan bahwa daging tersebut tidak terlalu banyak kehilangan nutrisi selama proses pemasakan (Soeparno, 2005).

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa susut masak tidak berbeda pada kedua spesies ternak, begitu pun dengan perlakuan pemberian suplemen CGKK tidak ada perbedaan, interaksinya pun tidak ada. Hal ini dikarenakan faktor yang menyebabkan susut masak yaitu pH dan DMA. Hasil penelitian menunjukkan tidak berbeda nyata antara pH dan DMA, sehingga menyebabkan susut masak tidak berbeda. Menurut Soeparno (2005), faktor yang mempengaruhi susut masak yaitu pH, ukuran dan berat sampel daging dan penampang lintang daging.

Nilai Keempukan

Keempukan daging menurut Soeparno (2005) merupakan salah satu faktor penentu yang kemungkinan paling penting untuk menentukan kualitas suatu daging. Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi keempukan suatu daging yaitu faktor antemortem dan faktor postmortem. Faktor antemortem terdiri dari genetik yang termasuk di dalamnya adalah bangsa, spesies dan fisiologi, faktor umur, manajemen, jenis kelamin serta stres. Faktor yang kedua adalah faktor postmortem, faktor ini terdiri dari metode chilling, pelayuan dan pembekuan yang termasuk di dalamnya adalah faktor temperatur dan lama penyimpanan, serta metode pengolahan yaitu metode pemasakan dan penambahan bahan pengempuk daging.

Penelitian ini menunjukkan bahwa nilai keempukan berbeda pada kedua spesies ternak, namun dengan perlakuan pemberian suplemen CGKK tidak ada perbedaan serta tidak ada interaksi antar keduanya (jenis ternak dan perlakuan pakan). Nilai keempukan yang berbeda pada kedua jenis ternak ini disebabkan karena perbedaan spesies antar keduanya. Hal ini sesuai dengan pendapat Soeparno (2005) yang menyebutkan bahwa keempukan suatu daging dapat berbeda diantara spesies dan bangsa pada otot yang sama.

(35)

33 sapi. Dilihat dari kisaran nilai keempukan daging kerbau dapat dikatakan bahwa daging kerbau tersebut masuk dalam kategori sedang sedangkan daging sapi masuk dalam kategori alot. Oleh karena itu dapat dinyatakan bahwa daging kerbau lebih empuk dibandingkan dengan daging sapi. Hal ini disebabkan ternak kerbau tidak banyak bergerak pada saat penggemukan secara intensif, sehingga kolagen yang terbentuk sedikit. Pergerakan yang dimaksud yaitu sapi lebih sering naik ke tempat pakan dan berkelahi dengan sapi lain, sedangkan ternak kerbau lebih banyak istirahat setelah pemberian pakan. Menurut Soeparno (2005) menyatakan bahwa perbedaan keempukan suatu daging yang sama antar spesies disebabkan oleh perbedaan jumlah kolagen dan distribusi kolagen pada otot tidak merata tergantung pada aktivitas fisik dari masing-masing otot.

Darminto et al. (2010) dalam penelitiannya menyatakan bahwa daging kerbau kebanyakan keras dan tidak disukai oleh konsumen. Hal ini dikarenakan ternak kerbau bisanya dipotong pada usia yang relatif tua yaitu pada usia 5-7 tahun dan dipelihara secara ekstensif dengan cara digembalakan. Namun, dilihat dari hasil penelitian menunjukkan bahwa kerbau yang dipelihara dengan sistem intensif yaitu dengan cara dikandangkan dan diberi pakan yang berkualitas baik, daging kerbau ternyata lebih empuk dibandingkan dengan daging sapi walaupun dagingnya hanya masuk ke dalam kategori daging sedang. Hal ini dikarenakan tingkah laku kerbau saat dikandangkan cenderung tidak banyak bergerak. Oleh karena itu dapat mempengaruhi kandungan kolagen yang ada dijaringan ikat pada otot sehingga dapat mempengaruhi tingkat keempukan dari daging yang dihasilkan.

Warna Daging dan Lemak

(36)

34 Penelitian ini menunjukkan bahwa spesies ternak berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap warna daging yang dihasilkan, namun tidak berpengaruh nyata pada perlakuan pemberian CGKK dan tidak ada interaksi antara keduaanya (spesies dan perlakuan pemberian CGKK). Data hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata nilai warna daging kerbau 5.83±0.41 dan daging sapi 3.88±0.64. Rataan nilai warna daging pada perlakuan pakan CGKK mencapai 4,71±1,25 dan pakan yang non CGKK 4,71±1,11. Nilai rata-rata warna daging kerbau lebih tinggi dibandingkan dengan daging sapi. Dilihat dari skala warna daging tersebut daging kerbau dapat dikatakan bahwa daging kerbau tersebut masuk dalam kategori daging yang memiliki warna merah tua sedangkan daging sapi masuk dalam kategori daging berwarna merah cerah. Hal ini menunjukkan bahwa daging kerbau lebih berwarna gelap dibandingkan dengan daging sapi dikarenakan perbedaan spesies antara sapi dan kerbau yang menyebabkan konsentrasi mioglobin yang berbeda sehingga warna daging antara sapi dan kerbau berbeda. Soeparno (2005) menjelaskan spesies ternak adalah salah satu faktor penentu warna daging. Setiap spesies memiliki konsentrasi mioglobin yang berbeda-beda, oleh karena itu pada setiap spesies memiliki warna daging yang berbeda-beda. Kadar mioglobin daging sapi muda 1-3 mg/gr, daging sapi dewasa 4-10 mg/gr, dan lebih dari 6-20 mg/gr untuk daging sapi tua (Muchtadi dan Sugiono, 1992).

(37)
(38)

36 KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Data hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada interaksi antara spesies dan perlakuan pakan terhadap komponen karkas dan sifat fisik daging. perlakuan pakan tidak mempengaruhi komponen karkas dan sifat fisik daging. Namun, spesies ternak mempengaruhi komponen karkas yaitu pada komponen tulangnya dan sifat fisik daging yaitu pada parameter keempukan, warna daging, dan warna lemak. Komponen tulang sapi lebih berat dibandingkan dengan kerbau. Daging kerbau lebih empuk dibandingkan dengan daging sapi walaupun warna daging dan warna lemaknya berbeda yaitu daging kerbau lebih merah dan lemaknya lebih putih dibandingkan daging sapi. Daging kerbau yang digemukkan memiliki kualitas yang baik dibandingkan dengan daging sapi.

Saran

(39)

i KOMPONEN KARKAS DAN SIFAT FISIK DAGING SAPI PO DAN

KERBAU RAWA YANG DIGEMUKKAN MENGGUNAKAN RANSUM YANG DISUPLEMENTASI CAMPURAN

GARAM KARBOKSILAT KERING

SKRIPSI

SEPTINA LUSIAWATI

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(40)

i KOMPONEN KARKAS DAN SIFAT FISIK DAGING SAPI PO DAN

KERBAU RAWA YANG DIGEMUKKAN MENGGUNAKAN RANSUM YANG DISUPLEMENTASI CAMPURAN

GARAM KARBOKSILAT KERING

SKRIPSI

SEPTINA LUSIAWATI

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(41)

ii RINGKASAN

SEPTINA LUSIAWATI. D14080228. 2012. Komponen Karkas dan Sifat Fisik Daging Sapi PO dan Kerbau Rawa yang Digemukkan Menggunakan Ransum yang Disuplementasi Campuran Garam Karboksilat Kering. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Dr. Ir. Rudy Priyanto Pembimbing Anggota : Ir. Yurleni, M. Si.

Ternak kerbau adalah ternak ruminansia besar yang potensial untuk dikembangkan di Indonesia. Ternak ini mempunyai kontribusi yang penting dalam memenuhi kebutuhan daging nasional. Ternak kerbau memiliki peranan yang sama dengan ternak sapi yaitu sebagai ternak penghasil daging.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui komponen karkas dan kualitas fisik dari daging kerbau dan sapi yang digemukkan secara feedlot dengan ransum yang disuplementasi minyak ikan lemuru yang terproteksi dalam bentuk campuran garam karboksilat kering (CGKK). Sampel ternak yang digunakan sebanyak enam ekor kerbau rawa dan delapan ekor sapi PO. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) pola faktorial 2 x 2 dengan faktor pertama yaitu perlakuan pakan (CGKK dan non CGKK) dan faktor yang kedua adalah spesies (sapi dan kerbau). Peubah yang diamati adalah komponen karkas yang meliputi daging, tulang, dan lemak serta kualitas fisik daging yaitu pH, Daya Mengikat Air (DMA), keempukan, susut masak, warna daging, dan warna lemak.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada interaksi antara spesies dan perlakuan pakan terhadap komponen karkas dan sifat fisik daging. Perlakuan pakan tidak mempengaruhi komponen karkas dan sifat fisik daging, namun spesies ternak (sapi dan kerbau) memberikan pengaruh yang nyata (P<0,05) terhadap komponen tulang, keempukan, warna daging, dan lemak warna lemak. Daging kerbau lebih empuk, warna dagingnya lebih merah, dan memiliki warna lemak lebih kuning dari pada daging sapi.

(42)

iii ABSTRACT

Carcass Yield and Meat Quality from Buffalo and Cattle Fatten on Feedlot Ration Using Supplemented Dried Carboxylate Salt Mixture

Lusiawati, S., R. Priyanto, and Yurleni

Peranakan Ongole cattle and buffalo are meat producing ruminants commonly found in Indonesia. The study was aimed to examine the carcass yield and meat quality from local cattle and buffalo fattened on feedlot ration supplemented by protected lemuru fish oil in the form of dried carboxylate salt mixture (DCM). They were fattened for approximately 2,5 month. The experiment used six swamp buffalo and eight Peranakan Ongole cattle. The data was analyzed by factorial design with two factor treatment. The first factor was species (cattle and buffalo) and the second factor was ration (supplemented and non supplemented ration with dried carboxylate salt). The result showed that they were no interaction between species and ration on carcass productivity and meat quality characteristics. Carcass productivity and meat quality characteristics were not influenced by ration treatment’s factor. However, bone, tenderness, meat color and fat color were significantly influenced (P<0,05) by species. Buffalo carcass contained less bone compare to Peranakan Ongole carcass. The meat from buffalo was significantly more tender, darker in color, and the fat was lighter in color compare to beef.

(43)

iv KOMPONEN KARKAS DAN SIFAT FISIK DAGING SAPI PO DAN

KERBAU RAWA YANG DIGEMUKKAN MENGGUNAKAN RANSUM YANG DISUPLEMENTASI CAMPURAN

GARAM KARBOKSILAT KERING

SEPTINA LUSIAWATI D14080228

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan

pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(44)

v Judul : Komponen Karkas dan Sifat Fisik Daging Sapi PO dan Kerbau Rawa yang Digemukkan Menggunakan Ransum yang Disuplementasi Campuran Garam Karboksilat Kering

Nama : Septina Lusiawati NIM : D14080228

Menyetujui,

Pembimbing Utama,

(Dr. Ir. Rudy Priyanto) NIP: 19601216 198603 1 003

Pembimbing Anggota,

(Ir. Yurleni, M.Si.) NIP: 19680613 199303 2 001

Mengetahui, Ketua Departemen

Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

(Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc.) NIP: 19591212 198603 1 004

(45)

vi RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 09 September 1990 di Batang. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Sigit Supriyanto, SH dan Ibu S. Trisilowati, SE.

Pendidikan dasar ditempuh di SD Negeri Kebondalem 02 Pemalang dan lulus pada tahun 2002. Pendidikan lanjutan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2006 di Sekolah Lanjut Tingkat Pertama (SLTP) Negeri 02 Pemalang. Penulis menyelesaikan pendidikan lanjutan menengah atas di Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 01 Petarukan Kabupaten Pemalang pada tahun 2008. Selama bersekolah di Sekolah Menengah Atas, penulis aktif dalam ekstrakulikuler tari tradisional dan Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS).

(46)

vii KATA PENGANTAR

Bismillaahirrahmaanirrahiim

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Komponen Karkas dan Sifat Fisik Daging Sapi PO dan Kerbau Rawa yang Digemukkan Menggunakan Ransum yang Disuplementasi Campuran Garam Karboksilat Kering” di bawah bimbingan Dr. Ir. Rudy Priyanto dan Ir. Yurleni, M. Si. Shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan kepada Rosulullah Muhammad SAW, beserta para keluarga, sahabat, dan seluruh umat manusia yang senantiasa istiqomah dijalan-Nya. Skripsi ini dibuat sebagai salah satu syarat kelulusan untuk mendapatkan gelar Sarjana Peternakan di Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk membandingkan komponen karkas dan sifat fisik daging sapi dan kerbau yang digemukan secara feedlot dan diberi pakan konsentrat yang disuplementasi dengan minyak ikan lemuru dalam bentuk CGKK. Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kritik dan saran dari pembaca sangat penulis harapkan untuk menambah wawasan keilmuan dari tulisan ini. Penulis berharap semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan penulis khususnya.

Bogor, Agustus 2012

(47)
(48)
(49)

x DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Sebaran Populasi Kerbau, Sapi Potong dan Sapi Perah Menurut

Provinsi Berdasarkan Hasil Akhir PSPK 2011 ... 5 2. Komposisi dan Kandungan Nutrisi Pakan Ternak Kerbau Berdasarkan

Bahan Kering ... 17 3. Bobot dan Persentase Komponen Karkas Berdasarkan Jenis Ternak

dengan Suplemen CGKK dan Non CGKK ... 27 4. Rasio Daging/Lemak (D/L) dan Daging/Tulang (D/T) Berdasarkan

Spesies Ternak dengan Suplemen CGKK dan Non CGKK ... 28 5. Rataan Sifat Fisik Berdasarkan Spesies Ternak dengan Suplemen

(50)

xi DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

(51)

xii DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Hasil Uji Analisis Ragam Daging Berdasakan Jenis Ternak (JTER), Perlakuan Garam Karboksilat Kering (PLK) dan Interaksi Kedua

Faktor Tersebut ... 42 2. Hasil Uji Analisis Ragam Tulang Berdasakan Jenis Ternak (JTER),

Perlakuan Garam Karboksilat Kering (PLK) dan Interaksi Kedua

Faktor Tersebut ... 42 3. Hasil Uji Analisis Ragam Lemak Berdasakan Jenis Ternak (JTER),

Perlakuan Garam Karboksilat Kering (PLK) dan Interaksi Kedua

Faktor Tersebut ... 42 4. Hasil Uji Analisis Ragam Persentase Daging Berdasakan Jenis Ternak

(JTER), Perlakuan Garam Karboksilat Kering (PLK) dan Interaksi

Kedua Faktor Tersebut ... 43 5. Hasil Uji Analisis Ragam Persentase Tulang Berdasakan Jenis Ternak

(JTER), Perlakuan Garam Karboksilat Kering (PLK) dan Interaksi

Kedua Faktor Tersebut ... 43 6. Hasil Uji Analisis Ragam Persentase Lemak Berdasakan Jenis Ternak

(JTER), Perlakuan Garam Karboksilat Kering (PLK) dan Interaksi

Kedua Faktor Tersebut ... 43 7. Hasil Uji Analisis Ragam Rasio Daging/Lemak Berdasakan Jenis

Ternak (JTER), Perlakuan Garam Karboksilat Kering (PLK) dan

Interaksi Kedua Faktor Tersebut ... 44 8. Hasil Uji Analisis Ragam Rasio Daging/Tulang Berdasakan Jenis

Ternak (JTER), Perlakuan Garam Karboksilat Kering (PLK) dan

Interaksi Kedua Faktor Tersebut ... 44 9. Hasil Uji Analisis Ragam Keempukan Berdasakan Jenis Ternak

(JTER), Perlakuan Garam Karboksilat Kering (PLK) dan Interaksi

Kedua Faktor Tersebut ... 44 10.Hasil Uji Analisis Ragam Susut Masak Berdasakan Jenis Ternak

(JTER), Perlakuan Garam Karboksilat Kering (PLK) dan Interaksi

Kedua Faktor Tersebut ... 45 11.Hasil Uji Analisis Ragam Daya Mengikat Air Berdasakan Jenis

Ternak (JTER), Perlakuan Garam Karboksilat Kering (PLK) dan

Interaksi Kedua Faktor Tersebut ... 45 12.Hasil Uji Analisis Ragam Warna Daging Berdasakan Jenis Ternak

(JTER), Perlakuan Garam Karboksilat Kering (PLK) dan Interaksi

(52)

xiii 13.Hasil Uji Analisis Ragam Warna Lemak Berdasakan Jenis Ternak

(JTER), Perlakuan Garam Karboksilat Kering (PLK) dan Interaksi

(53)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kerbau merupakan salah satu ternak ruminansia besar yang mampu beradaptasi pada daerah beriklim tropis. Ternak ini potensial untuk dikembangkan di Indonesia, namun ternak kerbau masih sangat jarang dipublikasikan sehingga peran dan kontribusinya dalam subsektor peternakan tidak sebaik ternak sapi. Manfaat ternak kerbau sama halnya dengan ternak sapi yaitu sebagai ternak penghasil daging, namun sebagian besar masyarakat Indonesia lebih tertarik mengkonsumsi daging sapi dibandingkan daging kerbau. Hal ini disebabkan karena daging kerbau yang dijual di pasar tradisional umumnya berasal dari ternak yang dipotong pada umur tua, sehingga daging yang dihasilkan keras dan alot serta warnanya lebih gelap.

Tujuan akhir dari usaha penggemukan ternak pedaging adalah untuk meningkatkan produktivitas dan memperbaiki kualitas daging. Ternak sapi dan kerbau yang digemukkan diharapkan dapat meningkatkan persentase karkas dan kualitas fisik daging yang dihasilkan. Selain itu, penggemukkan juga dapat memperbaiki sifat-sifat kualitatif daging seperti keempukan, warna daging dan warna lemak.

Sifat fisik daging merupakan faktor penentu dari kualitas daging. Salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas daging yaitu keempukan, karena dikaitkan dengan daya terima konsumen dalam mengkonsumsi daging tersebut. Daging yang empuk biasanya lebih digemari oleh konsumen. Hal ini menggambarkan bahwa daging yang empuk memiliki kualitas yang baik.

(54)

2 Minyak ikan lemuru tidak dapat diberikan secara langsung pada ternak, karena memiliki palatabilitas yang rendah. Oleh karena itu, untuk meningkatkan penggunaan minyak ikan lemuru digunakan suatu teknologi perlindungan lemak yaitu hidrolisis asam. Lemak yang terkandung di dalam minyak ikan lemuru dihidrolisis dalam larutan alkali menghasilkan garam karboksilat, kemudian garam karboksilat ini dicampur dengan onggok dan dikeringkan sehingga menghasilkan campuran garam karboksilat kering (CGKK). Pemberian pakan berupa konsentrat yang disuplementasi CGKK ini diharapkan mampu meningkatkan komponen karkas dan kualitas fisik dari daging sapi PO dan kerbau rawa.

Tujuan

(55)

3 TINJAUAN PUSTAKA

Sapi dan Kerbau

Sapi dan kerbau merupakan ternak ruminansia besar yang potensial untuk dikembangkan di Indonesia. Kedua ternak tersebut masuk ke dalam filum Chordata, klas Mamalia, ordo Artiodactyla, famili Bovidae, dan genus Bos. Namun, spesies antara sapi dan kerbau berbeda. Sapi masuk ke dalam spesies Bos taurus (sapi eropa), Bos indicus (sapi india), dan Bos sondaicus (banteng/sapi bali) sedangkan kerbau termasuk spesies Bubalus bubalis (Blakely dan Bade, 1991; Fahimmudin, 1975).

Sapi Peranakan Ongole (PO) merupakan ternak hasil persilangan antara sapi sumba Ongole (SO) dan sapi jawa. Sapi PO memiliki ciri-ciri yaitu warna kulit kelabu kehitam-hitaman, bagian kepala, leher, dan lutut berwarna lebih gelap dari sapi SO, tanduk pendek, bentuk tubuh besar, kepala relatif pendek, dahi cembung, punuk besar mengarah ke arah leher, serta memiliki gelambir. Sapi ini termasuk kedalam sapi pedaging dan pekerja. Ternak ini memiliki beberapa keunggulan yaitu tahan terhadap panas, tahan terhadap ekto dan endoparasit, serta menghasilkan persentase karkas dan kualitas daging yang baik (Hardjosubroto dan Astuti, 1993).

Ternak kerbau menurut asal-usulnya berasal dari India. Ternak ini dikenal sebagai hewan liar yang dapat hidup di rawa-rawa dan hutan-hutan yang berumput (Rukmana, 2003). Kerbau tidak hanya dimanfaatkan sebagai ternak pekerja saja, namun dalam upacara adat ternak ini mendapat nilai paling tinggi dibandingkan dengan ternak yang lainnya. Beberapa suku menganggap kekayaan seseorang dinilai dari banyaknya jumlah kerbau yang dimiliki, semakin banyak kerbau yang dimiliki maka semakin kaya orang tersebut (Puar, 1983).

(56)

4 2003). Sitorus dan Anggareni (2009) menyebutkan dalam hasil penelitiannya bahwa kerbau rawa didominasi dengan warna kulit abu-abu dan kerbau sungai berwarna hitam. Kerbau rawa (jantan dan betina) memiliki ukuran tubuh yang lebih kecil dibandingkan dengan kerbau sungai.

Ternak kerbau memiliki keunggulan yaitu mampu beradaptasi dengan baik dalam kondisi lingkungan kering dan memiliki kemampuan dalam mencerna serat kasar berupa jerami padi, rumput kering, limbah perkebunan dan rumput liar lebih baik dibandingkan dengan ternak sapi. Namun, kerbau tidak tahan terhadap terik panas matahari karena ternak ini hanya memiliki sedikit kelenjar keringat. Hal ini menyebabkan kerbau memerlukan tempat untuk berkubang seperti kubangan air atau lumpur agar kelangsungan fisiologinya tetap terjaga (Susilawati dan Bustami, 2009).

Populasi Kerbau dan Sapi di Indonesia

Menurut Kementerian Pertanian dan Badan Pusat Statistik (2011) populasi ternak kerbau tersebar merata di seluruh pulau di Indonesia dengan populasi terbesar yaitu di pulau Sumatera dengan jumlah 512,8 ribu ekor atau 39,29 persen dari total populasi kerbau Indonesia. Dilihat dari data populasi berdasarkan provinsi, populasi ternak kerbau paling besar terdapat di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) sebanyak 150 ribu ekor atau 11,50 persen dari populasi kerbau di Indonesia. Data populasi kerbau menurut provinsi dapat dilihat pada Tabel 1.

(57)

5 Tabel 1. Sebaran Populasi Kerbau, Sapi Potong dan Sapi Perah Menurut Provinsi

Berdasarkan Hasil Akhir PSPK 2011

Provinsi Sapi Potong Sapi Perah Kerbau

Populasi % Populasi % Populasi %

(58)

6 Sistem Pemeliharaan Ternak Kerbau

Menurut Hendayana dan Matodang (2010), di Indonesia pada umumnya ternak kerbau dipelihara dengan cara tradisional, dimana kerbau dilepas di padang penggembalaan pada siang hari dan digiring ke kandang pada malam harinya. Ada juga peternak yang membiarkan ternaknya di padang penggembalaan sepanjang hari yaitu pada siang dan malam hari. Disamping itu, peternak juga kurang memperhatikan kondisi kesehatan kerbau, misalnya pencegahan dan pengobatan penyakit. Kerbau yang sedang sakit biasanya hanya diobati dengan cara tradisional sehingga menyebabkan angka kematian kerbau semakin meningkat. Darminto et al. (2010) menambahkan bahwa ternak kerbau sebagian besar dipelihara dengan sistem ekstensif, dimana kerbau digembalakan di padang rumput dan dibiarkan mencari makanannya sendiri. Sistem ekstensif ini memberikan keuntungan bagi peternak yaitu dapat menggembalakan sekitar 15 ekor kerbau. Peternak yang memelihara kerbau dengan cara dikandangkan hanya mampu memelihara dua sampai tiga ekor ternak. Ada beberapa peternak memelihara kerbau dengan cara kombinasi yaitu kerbau digembalakan di padang penggembalaan pada siang hari dan di kandangkan pada malam hari. Sistem pemeliharaan dengan cara kombinasi ini ada di Kecamatan Rumpin, Kabupaten Bogor. Peternak menggembalakan kerbau pada siang hari di area persawahan atau diikat dan dipindah-pindahkan di lahan penggembalaan, sedangkan pada malam hari dikandangkan (Rusdiana dan Bamualim, 2010).

Pemeliharaan ternak kerbau secara ekstensif dan semi intensif dipengaruhi oleh musim. Di Kalimantan Timur pada musim kemarau kerbau digembalakan di hutan, sedangkan pada musim penghujan digiring ke kandang. Peternak kerbau pada saat musim penghujan memiliki kerja yang lebih tinggi dibandingkan pada saat musim kemarau, karena peternak harus mencari rumput untuk ternaknya (Hamdan dan Rohaeni, 2008).

Penggemukan Ternak

(59)

7 dipotong. Ternak yang digemukkan pada umumnya diberi pakan yang banyak mengandung energi seperti karbohidrat dan lemak(Parakkasi, 1999).

Proses penggemukan sebenarnya dapat dilakukan dengan berbagai macam pakan tergantung dari peternaknya. Namun, pakan yang diberikan harus dapat memberikan nutrisi dan kontribusi yang baik untuk menghasilkan pertambahan bobot badan pada ternak. Selain faktor pakan ada beberapa faktor yang mempengaruhi suatu usaha penggemukan yaitu bangsa, jenis kelamin, manajemen pemeliharaan, dan kondisi lingkungan sekitar (Yamin, 2001).

Karkas

Muchtadi dan Sugiyono (1992) menjelaskan bahwa karkas adalah daging dan tulang yang masih menyatu atau daging yang belum dipisahkan dari tulangnya. Karkas sapi menurut Lawrie (2003) adalah bagian tubuh yang tertinggal setelah darah, kepala, kaki, kulit, saluran pencernaan, jantung, trakea, paru-paru, ginjal, limpa, hati, dan jaringan lemak (yang melekat pada bagian tubuh tersebut) diambil. Karkas terdiri dari urat daging, jaringan lemak, tulang, jaringan ikat, pembuluh darah besar dan lain sebagainya. Soeparno (2005) menambahkan penyusun utama dari karkas adalah otot dan jaringan ikat. Jaringan ikat tersusun oleh serabut-serabut kolagen. Kolagen dari jaringan ikat memiliki kontribusi yang penting dalam kualitas suatu daging. Semakin banyak ternak melakukan aktivitas maka kolagen di dalam jaringan ikat semakin tinggi sehingga menyebabkan daging menjadi lebih alot.

Gambar

Tabel 1.  Sebaran Populasi Kerbau, Sapi Potong dan Sapi Perah Menurut Provinsi Berdasarkan Hasil Akhir PSPK 2011
Gambar 1. Ternak Sapi PO yang Digunakan dalam Penelitian
Gambar 2. Ternak Kerbau yang Digunakan dalam Penelitian
Gambar 3. Konsentrat Dicampur dengan Kulit Ari Kedelai
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa faktor umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, jumlah penghasilan, tipe rumah dan pengalaman menghadapi bencana longsor mempunyai

Program tersebut berperan dalam peningkatan kondisi kesehatan lansia yang mana dapat dikatakan dalam kondisi sehat dan tidak terdapat keluhan penyakit yang terlalu serius,

Kepercayaan diri ialah suatu sikap atau perasaan yakin akan kemampuan diri sendiri sehingga orang yang bersangkutan tidak cemas dalam bertindak, dapat merasa

Penerapan metode certainty factor untuk mendiagnosa dan pencegahan penyakit cacingan pada anak balita diharapkan mendapatkan solusi penanggulangan terbaik dan

Guna mendukung tercapainya tujuan Kementerian Kesehatan khususnya Ditjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit dalam Peningkatan pencegahan dan pengendalian penyakit dan

x Peran petugas dalam membantu pasien memperoleh rata-rata 2.63 dengan keterangan baik. Ditandai dengan petugas membantu pasien mulai dari administrasi sampai

Adapun biaya yang sudah terjadi ( sunk cost) tidak lagi dapat dipertimbangkan dalam pembuatan keputus- an. Untuk menghasilkan keputusan ini dapat digunakan perhitungan