• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kerbau merupakan hewan ruminansia dari sub family Bovinae yang berkembang di banyak bagian dunia dan diduga berasal dari daerah India (Hasinah dan Handiwirawan, 2006). Kerbau domestik (Bubalus bubalis) terdiri dari dua tipe yaitu kerbau rawa dan kerbau sungai. Kerbau Rawa adalah kerbau tipe pedaging sedangkan kerbau Sungai merupakan kerbau tipe perah. Taksonomi kerbau (Bubalus bubalis) menurut Fahimuddin (1975) adalah sebagai berikut:

Kerajaan : Animalia Filum : Chordata Kelas : Mamalia Ordo : Arthiodactyla Family : Bovidae Genus : Bos Sub genus: Bubaline Spesies : Bubalus bubalis

Kerbau Sungai (river buffalo) biasa digunakan sebagai ternak perah dan memiliki kebiasaan berkubang pada air jernih. Kerbau Sungai banyak terdapat di India, Pakistan, Mesir, dan daerah Mediterania. Kerbau Rawa (swamp bufallow) tersebar dalam jumlah yang besar di daerah Asia Tenggara. Kerbau Rawa biasanya digunakan sebagai penghasil daging dan hewan kerja. Kerbau sungai di beberapa Negara, dikembangbiakkan untuk produksi susu. Peran dan fungsi lain dari ternak kerbau adalah sebagai penghasil pupuk, sehingga ternak ini sering dijuluki dengan ternak multiguna (Muthalib, 2006).

Karakteristik Ternak Kerbau

Karakteristik dari ternak kerbau antara lain memiliki kulit tebal dengan warna kulit dan rambut hitam keabu-abuan, memiliki tanduk besar mengarah kebelakang serta memiliki sedikit kelenjar keringat, sehingga kurang tahan terhadap cuaca panas. Kerbau sering berendam atau melumuri tubuhnya dengan lumpur (berkubang pada lumpur). Hal ini bertujuan untuk mengurangi cekaman panas sehingga fungsi fisiologis tubuhnya dapat berjalan dengan normal. Umumnya pertambahan bobot

badan pada ternak kerbau sangat dipengaruhi oleh kesempatannya dalam berkubang (Zulbardi et al., 1982; Fahimuddin, 1975).

Kelemahan Ternak Kerbau

Kerbau merupakan salah satu jenis ternak ruminansia yang memiliki be- berapa kelemahan seperti rendah tingkat reproduksinya. Rendahnya tingkat reproduksi pada ternak ini disebabkan oleh beberapa faktor penghambat seperti proses deteksi estrus lebih sulit dan memiliki masa kebuntingan lebih lama dibandingkan dengan ternak sapi, serta ternak kerbau memiliki kemampuan terbatas dalam mengubah kelebihan energi atau tenaga menjadi jaringan lemak. Keterbatasan ternak kerbau dalam mengubah kelebihan energi/tenaga di dalam tubuhnya, me- nyebabkan rendahnya pertambahan bobot badan kerbau meskipun diberi pakan yang berkualitas bagus (Gunawan dan Romjali, 2010).

Kelemahan lain yang terdapat pada ternak kerbau adalah memiliki sistem perkawinan berulang. Sistem perkawinan sering berulang diantara spesies ternak kerbau menyebabkan terjadinya penurunan terhadap produktivitas dan juga populasinya, sehingga peningkatan terhadap populasi ternak kerbau akan sulit untuk ditingkatkan (Darminto et al., 2010; Utomo dan Prawirodigdo, 2010).

Kelebihan Ternak Kerbau

Kerbau merupakan salah satu jenis ternak ruminansia yang memiliki be- berapa kelebihan dibandingkan dengan ternak ruminansia lainnya. Kelebihan ternak kerbau antara lain yaitu mampu beradaptasi dengan baik pada lingkungan kering serta memiliki kemampuan cukup tinggi untuk mengatasi tekanan dan perubahan lingkungan yang ekstrim (Gunawan dan Romjali, 2010; Darminto et al., 2010).

Ternak kerbau dapat mengkonsumsi pakan berkualitas rendah yang tidak dimakan oleh sapi dan mampu memanfaatkannya untuk menghasilkan produksi daging. Hal ini dinyatakan karena kerbau mampu mencerna pakan berserat kasar tinggi secara lebih baik dibandingkan dengan sapi (Adiwinarti et al., 2010). Daya cerna kerbau terhadap selulosa mencapai dua kali lipat lebih tinggi daripada sapi. Kemampuan ternak kerbau dalam mencerna pakan berserat kasar tinggi dapat disebabkan oleh perbedaan spesifik mikroba rumen antara ternak kerbau dan sapi. Jumlah protozoa yang dimiliki ternak kerbau adalah ± 213.400/ml sedangkan sapi

hanya memiliki ± 94.600/ml protozoa, pada pH rumen 5,05-7,6, sehingga pencernaan pada kerbau dianggap lebih baik. Tingginya jumlah mikroba pada rumen kerbau menunjukkan bahwa lingkungan di dalam rumen kerbau diduga sangat baik untuk tempat tumbuh dan berbiak mikroorganisme rumen seperti protozoa, sehingga membantu proses pencernaan di dalam tubuh ternak (Chalmers dan White, 1993).

Pakan Ternak Kerbau

Pakan ternak kerbau umumnya tidak jauh berbeda dengan pakan sapi yang terdiri atas hijauan dan juga limbah hasil pertanian. Jerami padi, rumput lapang dan daun ubi jalar diberikan pada ternak kerbau sebagai pakan hijauan. Umumnya pakan tambahan jarang diberikan kepada ternak kerbau sehingga kebutuhan gizinya belum terpenuhi secara optimal. Faktor utama untuk meningkatkan produktivitas ternak kerbau adalah memberikan pakan hijauan berkualitas baik (Utomo dan Prawirodigdo, 2010).

Hijauan merupakan pakan utama ternak kerbau, terutama bagi ternak yang digembalakan. Pakan limbah pertanian digunakan sebagai pakan ternak kerbau pada saat proses pemeliharaan secara intensif (digemukkan). Limbah hasil pertanian me- miliki kandungan protein tinggi. Pakan penggemukan dapat memanfaatkan limbah hasil pertanian karena mampu memenuhi kebutuhan ternak, sehingga pertambahan bobot badan ternak mencapai target yang diinginkan dalam waktu relatif singkat. Umumnya beberapa peternak belum mengetahui bahwa limbah hasil per- tanian/perkebunan dapat digunakan sebagai pakan ternak (Indraningsih et al., 2006). Menurut Mayunar (2006), pemilihan pakan hijauan dan konsentrat untuk ternak dapat disesuaikan dengan ketersediaan bahan yaitu mudah dan murah untuk men- dapatkannya, serta sesuai dengan syarat kebutuhan dasar bagi ternak yang dipelihara.

Kualitas Pakan Ternak

Ternak diberikan pakan berkualitas baik dan memenuhi kebutuhan ternak agar dapat memproduksi daging secara optimal. Limbah pertanian dapat dimanfaat- kan sebagai pakan ternak ruminansia. Menurut Indraningsih et al. (2006), per- masalahan umum dalam menggunakan pakan limbah pertanian adalah faktor pengetahuan peternak, kualitas pakan limbah pertanian, faktor lingkungan (cemaran) dan pola penggembalaan ternak kerbau. Kualitas pakan ternak tergantung pada

komposisi dan kandungan nutrisi di dalamnya, terutama terhadap protein kasar, lemak kasar, serat kasar dan tingkat kecernaan. Produktivitas sapi potong tergantung pada pemberian pakan, oleh sebab itu ketersediaan, jumlah dan mutu harus diperhatikan dalam pemilihan pakan sebelum diberikan kepada ternak. Tabel 1 menunjukkan perbandingan nutrisi pakan limbah hasil pertanian terhadap standar mutu pakan untuk ternak dewasa.

Tabel 1. Perbandingan Nutrisi Limbah Pertanian/Perkebunan dengan Mutu Standar Pakan Untuk Sapi

No Parameter

Limbah

pertanian/perkebunan Kisaran nilai standar (%) Padi Jagung 1 Bahan kering (%) 66,0 21,0 80-90 2 Protein kasar (%) 3,9 3,3 12-15 3 Lemak kasar (%) 0,9 - 2-3 4 Serat kasar (%) 33,0 20,2 15-21 5 TDN 38,1 16,3 58-65

Sumber : Indraningsih et al. (2006)

Limbah hasil pertanian dapat digunakan sebagai pakan ternak, meskipun kandungan nutrisinya relatif rendah dibandingkan standar mutu pakan untuk sapi dewasa. Pakan limbah hasil pertanian digunakan sebagai pakan suplementasi hal ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi ternak. Suplementasi dilakukan karena umumnya limbah hasil pertanian mengandung protein lebih baik daripada hijauan pakan ternak. Limbah tanaman dapat digunakan sebagai pakan, namun perlu dilakukan pemilihan (seleksi), karena bertujuan untuk mengurangi efek samping terhadap kesehatan ternak. Seleksi dapat dilakukan dengan mengetahui kandungan nutrisi pakan limbah pertanian, kandungan toksin/kandungan zat antinutrisi di dalam tanaman.

Sistem Pemeliharaan Ternak Kerbau

Sistem pemeliharaan ternak kerbau oleh peternak masih sederhana, yakni dikandangkan dan digembalakan (semi intensif). Penggembalaan dilakukan ketika

lahan sawah tidak ditanami padi dan di lapangan penggembalaan. Saat sore hari ternak kerbau dikandangkan dan biasanya dimandikan terlebih dahulu (Rusdiana dan Herawati, 2009). Pemeliharaan ternak secara ekstensif apabila ditinjau dari segi usaha maka dinilai tidak merugikan, hal ini disebabkan karena hampir semua biaya produksi tidak ada. Sistem pemeliharaan dilakukan secara ekstensif sangat tidak diharapkan, jika bertujuan untuk memenuhi kebutuhan daging secara nasional. Hal ini disebabkan oleh lama waktu yang dibutuhkan untuk penggemukan sangat lama. Sistem pemeliharaan terhadap ternak kerbau secara ekstensif sangat bergantung pada ketersediaan dan penggunaan rumput alam sebagai pakan utama bagi ternak (Muthalib, 2006).

Penerapan pemeliharaan secara sistem intensif mampu menghasilkan produksi lebih efisien. Sistem pemeliharaan secara intensif dapat memungkinkan ternak mengkonsumsi ransum berkualitas baik, memanfaatkan hasil ikutan industri pertanian sebagai pakan tambahan, mempermudah pengawasan kesehatan ternak serta penggunaan lahan relatif lebih sedikit dibandingkan dengan sistem ekstensif. Peningkatan dalam usaha perkembangan ternak kerbau dapat dilakukan dengan perbaikan pola pemeliharaanya ke arah yang lebih intensif (Parakkasi, 1999; Muthalib, 2006).

Kendala Pemeliharaan Ternak Kerbau

Pemeliharaan ternak kerbau dilakukan oleh sebagian kecil petani-petani di Indonesia dengan metode yang masih sangat sederhana, yaitu menerapkan sistem semi intensif (Dania dan Poerwoto 2006). Kendala dalam melakukan usaha pemeliharaan ternak kerbau adalah keterbatasan dalam ketersediaan pakan saat musim kemarau dan keterbatasan lahan, sehingga kepemilikan ternak kerbau di wilayah pedesaan masih relatif sedikit. Menurut Indraningsih et al. (2006), kendala lain dalam memelihara ternak kerbau adalah keterbatasan bibit unggul, kesehatan ternak kurang diperhatikan, mutu pakan ternak masih relatif rendah, terjadinya perkawinan silang dalam dan kurangnya pengetahuan peternak dalam menangani produksi dan reproduksi ternak.

Perkembangan Ternak Kerbau

Secara umum populasi ternak kerbau mengalami penurunan (Tabel 2), hal ini disebabkan oleh perkembangbiakan ternak kerbau masih relatif lambat sehingga tingkat produktivitasnya rendah.

Tabel 2. Populasi Ternak (000) Ekor 2007-2010 Jenis ternak Tahun 2007 2008 2009 2010*) Sapi potong 11.515 12.257 12.760 13.633 Sapi perah 374 458 475 495 Kerbau 2.086 1.931 1.933 2.005 Kuda 401 393 399 409 Kambing 14.470 15.147 15.815 16.821 Domba 9.514 9.605 10.199 10.932 Babi 6.711 6.338 6.975 7.212 Ayam buras 272.251 243.423 249.964 268.957 Ayam petelur 111.489 107.955 99.768 103.841 Ayam pedaging 891.659 902.052 991.281 1.249.952 Itik 35.867 38.840 42.318 45.292

Keterangan : *Angka Sementara

Sumber : Direktorat Jendral Peternakan (2011)

Salah satu faktor penyebab utama dalam penurunan populasi ternak kerbau adalah penampilan reproduksinya relatif rendah karena ternak kerbau memiliki dewasa kelamin, periode birahi, masa kebuntingan panjang dan gejala birahi yang sulit untuk dideteksi (Putu et al., 1994). Faktor lain sebagai penyebab rendahnya populasi ternak kerbau adalah masalah perkembangbiakan, pakan, kesehatan ternak, tatalaksana pemeliharaan, serta perhatian peternak yang kurang baik dalam

manajemen pemeliharaannya (Lubis dan Sitepu, 1999; Diwyanto dan Handiwirawan, 2006). Oleh sebab itu, untuk memperbaiki kondisi tersebut diperlu-kan usaha peningkatan produksi dan mutu genetik ternak melalui berbagai upaya penerapan teknologi.

Penggemukan Ternak Kerbau

Usaha penggemukan ternak kerbau pada saat ini belum banyak dilakukan oleh peternak maupun oleh pihak swasta. Usaha ini memiliki prospek sangat baik apabila diikuti dengan perbaikan manajemen pemeliharaan, penggunaan sumberdaya lokal secara optimal dan teknologi tepat guna. Usaha penggemukan ternak kerbau telah dilakukan pada beberapa daerah salah satunya di Jawa Barat. Usaha peng- gemukan tersebut dilakukan selama 62 hari dengan menggunakan inovasi teknologi dan memanfaatkan jerami padi fermentasi. Proses penggemukan kerbau ini meng- gunakan empat macam perlakuan yaitu pemberian pakan basal berupa jerami segar dan jerami fermentasi, serta ditambahkan pakan penguat berupa konsentrat (Priyanti dan Saptati, 2006). Penggemukan ternak merupakan usaha untuk mempercepat dan meningkatkan bobot potong ternak ruminansia dalam waktu relatif singkat, karena ternak dipelihara pada suatu lokasi kandang dengan sistem pemberian pakan yang lebih baik (Dania dan Poerwoto, 2006).

Usaha penggemukan merupakan salah satu upaya untuk memperbaiki kualitas karkas/daging. Deposit lemak dalam karkas dapat mempengaruhi kualitas karkas/daging. Lama penggemukan dapat menyebabkan terjadinya peningkatan kadar lemak pada otot ternak. Semakin lama proses penggemukan maka jumlah kadar air pada otot ternak akan semakin menurun sedangkan kadar lemak akan semakin meningkat (Parakkasi, 1999). Menurut Hasinah dan Handiwirawan (2006), usaha penggemukan dilakukan untuk mengetahui keragaman produksi dan produk- tivitas ternak kerbau. Kemampuan produksi kerbau dapat dilihat dari beberapa indikator sifat-sifat produksi seperti bobot lahir, bobot sapih, bobot dewasa, laju pertambahan bobot badan dan sifat-sifat karkas (persentase karkas dan juga kualitas karkas).

Produksi Daging Kerbau

Produksi daging kerbau di Indonesia menurut Badan Pusat Statistik (2011), pada tahun 2010 hanya sebesar 37.299 ton, angka ini sangat kecil dibandingkan dengan kontribusi daging sapi yang sebesar 435.299 ton (Tabel 3). Kebutuhan ternak pedaging sebagai sumber daging (halal) utama, meningkat setiap tahunnya terutama di Indonesia. Kebutuhan daging sapi terus meningkat. Hal ini disebabkan oleh populasi dan pendapatan yang juga meningkat setiap tahunnya, akan tetapi tidak diikuti dengan peningkatan populasi ternak sebagai penghasil daging (Tabel 2). Besarnya peran ternak sapi sebagai penghasil daging disebabkan oleh pelaku industri dan pemerintah hanya memfokuskan kepada ternak ini saja sehingga potensi ternak lain sebagai sumber daging seperti kerbau menjadi kurang mendapat peluang untuk dioptimalkan. Agar dapat memenuhi kebutuhan daging di dalam negeri serta mengurangi impor daging dari luar negeri dapat dilakukan dengan menentukan ternak alternatif sebagai penghasil daging seperti kerbau dan juga ternak ruminansia lainnya. Kerbau merupakan salah satu alternatif ternak untuk dikembangkan karena memiliki potensi sebagai ternak penghasil daging (Indraningsih et al., 2006).

Tabel 3. Produksi Daging (ton) di Indonesia Tahun 2009-2010

Pulau Sapi Kerbau

2009 2010 2009 2010 Sumatera 78.529 82.035 16.338 17.336 Jawa 256.439 273.959 10.318 11.803 Bali 6.383 6.325 16 17 Nusa 13.053 13.909 3.015 3.040 Kalimantan 21.806 22.691 1.402 1.440 Sulawesi 27.414 30.217 3.205 3.294 Maluku 1.561 1.659 290 308 Papua 4.123 4.504 61 61 Indonesia 409.308 435.299 34.645 37.299 Sumber : Badan Pusat Statistik (2011)

Daging Kerbau

Daging kerbau belum popular, karena ternak ini dipotong pada umur tua (8-10 tahun) dan sering digunakan untuk membajak sawah serta menarik barang

(kendaraan). Akibatnya, menghasilkan daging kerbau tidak empuk, juiceness rendah, flavour kurang enak sehingga tidak memenuhi syarat sebagai daging yang bermutu baik (Direktorat Jendral Peternakan, 2005). Menurut Darminto et al. (2010), perbaikan kualitas daging kerbau dari ternak pekerja dapat dilakukan dengan me- nerapkan sistem pemeliharaan baru yaitu secara intensif. Daging berkualitas baik dapat dihasilkan apabila selama proses pemeliharaan ternak kerbau diberikan pakan yang baik, yaitu kombinasi antara hijauan dan konsentrat serta perbaikan dalam manajemen pemeliharaan.

Karakteristik Daging Kerbau dan Daging Sapi

Kerbau Lumpur menurut Darminto et al. (2010), digunakan sebagai ternak pekerja dan setelah itu dijual sebagai sumber daging. Karakteristik daging kerbau Menurut Diwyanto dan Handiwirawan (2006), yaitu lebih merah dibanding daging sapi karena memiliki pigmentasi lebih banyak dan memiliki lemak intramuskular yang rendah, sehingga daging yang dihasilkan menjadi lebih keras dan alot daripada daging sapi. Kelebihan daging kerbau daripada daging sapi yaitu memiliki kandung- an lemak daging yang rendah. Hal ini dapat disebabkan oleh kemampuan ternak kerbau yang terbatas dalam mengubah kelebihan energi atau tenaga menjadi jaringan lemak. Karakteristik daging kerbau tersebut menyebabkan beberapa konsumen ter- tentu yang memiliki masakan tradisional unik lebih menyukai daging kerbau, seperti masyarakat yang sebagian besar berada di wilayah Sumatera Barat, Jawa Barat, Sulawesi Selatan dll.

Penelitian yang dilakukan oleh Burhanudin et al. (2002) terhadap tingkat kesukaan daging kerbau membuktikan bahwa konsumen kurang menyukai daging kerbau disebabkan oleh dagingnya yang keras dan alot. Menurut Williamson dan Payne (1993), daging kerbau dengan karakteristik alot bukan disebabkan oleh pengaruh intrinsik, akan tetapi karena hewan ini dipotong pada umur tua.

Kandungan Nutrisi Daging Kerbau dan Daging Sapi

Daging adalah bahan pangan yang dilengkapi dengan komposisi protein seimbang namun terkadang bermasalah karena memiliki kadar lemak tinggi. Daging merupakan salah satu bahan pangan sebagai sumber protein hewani. Komposisi kimia daging sangat menentukan nilai nutrisi atau kualitas dari daging yang dihasil-

kan. Komposisi kimia daging kerbau dan sapi diperoleh dari hasil penelitian yang dilakukan oleh dua orang peneliti yang berbeda disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Perbandingan Karakteristik Daging Kerbau dan Sapi dengan Sistem Pemeliharaan yang Berbeda

Parameter Kerbau Sapi

Kadar Air (%) 74-78 77,64

Kadar Protein (%) 20,2-24,1 19,81

Kadar Abu (%) 1,00 1,08

Kadar Lemak (%) 0,9-1,8 5,98

Sumber : Kandeepan et al. (2009) dan Setiyono et al. (2006)

Tabel 4 diatas menunjukkan hasil analisa kandungan nutrisi daging kerbau yang dipelihara secara ekstensif dan sapi yang dipelihara secara intensif (digemukkan). Kedua jenis ternak tersebut dipelihara dengan manajemen yang ber- beda. Penelitian yang dilakukan oleh Kandeepan et al. (2009) dan Setiyono et al. (2006) menunjukkan bahwa kandungan nutrisi daging kerbau dan sapi memiliki persentase hampir sama, meskipun kedua jenis ternak tersebut berada pada sistem pemeliharaan yang berbeda. Kadar air, kadar protein dan kadar abu dari daging sapi hampir sama dengan daging kerbau. Berbeda terhadap kadar lemak daging yang menunjukkan bahwa kadar lemak daging sapi yang digemukkan lebih tinggi daripada daging kerbau yang dipelihara secara ekstensif (digembalakan pada lahan pastura).

Ternak kerbau umumnya dipelihara secara ekstensif (digembalakan) sedang- kan ternak sapi lebih sering dipelihara secara intensif (digemukkan). Kedua jenis ternak tersebut dipelihara pada sistem berbeda, sehingga tingkat asupan gizi dan juga nutrisi yang diperoleh juga berbeda. Menurut Rebak et al. (2010), perbedaan kandungan nutrisi daging kerbau dan sapi dari hasil penelitian tersebut, dapat di- sebabkan oleh perbedaan sistem pemberian pakan dan juga manajemen pemeliharaan dari kedua jenis ternak tersebut.

Otot pada mamalia umumya memiliki kadar air sekitar 75% dengan kisaran 68-80%, kadar protein sekitar 19% dengan kisaran antara 16-22%, dan kadar lemak sekitar 2,5% dengan kisaran 1,5-13% (Lawrie, 2003). Kerbau menghasilkan daging dengan kualitas serupa dengan daging sapi, namun daging kerbau lebih disukai di beberapa daerah karena kadar lemak daging kerbau relatif rendah. Daging

ruminansia memiliki kandungan nutrisi yang sedikit dipengaruhi oleh perbedaan spesies. Pada dasarnya Otot mamalia memiliki komposisi kimia yang sangat ber- variasi. Menurut Usmiati dan Priyanti (2006), daging dari ternak ruminansia memiliki variasi komposisi kimia atau kandungan nutrisi yang tergantung dari jenis spesies ternak, umur, jenis kelamin dan letak serta fungsi daging di dalam tubuh.

Asam Lemak Daging Kerbau dan Daging Sapi

Muchtadi et al. (2002), menyatakan bahwa lemak tersusun atas asam-asam lemak yang meliputi asam lemak jenuh (Saturated Fatty Acid) dan asam lemak tidak jenuh (Unsaturated Fatty Acid). Asam lemak jenuh yaitu apabila rantai hidrokarbon- nya tidak memiliki ikatan rangkap dan dijenuhi oleh hidrogen. Sedangkan asam lemak tak jenuh yaitu apabila rantai hidrokarbonnya tidak dijenuhi oleh hidrogen sehingga memiliki satu atau lebih ikatan rangkap. Tabel 5 berikut menunjukkan kandungan asam lemak pada daging kerbau dan daging sapi yang dihasilkan oleh peneliti yang berbeda.

Tabel 5. Komponen Asam Lemak Daging Kerbau dan Daging Sapi pada Sistem Pemeliharaan yang Berbeda

Parameter Daging sapi* Daging kerbau**

Asam lemak jenuh (%) 36,37 54,60

Asam lemak tak jenuh (%) 63,83 45,25

C20:5n-3 (%) - 0,04

C22:6n:3 (%) - 0,10

Sumber : Setiyono et al. (2006)* dan Juarez et al. (2010)**

Kadar asam lemak daging sapi dan kerbau diteliti oleh Setiyono et al. (2006) dan Juarez et al. (2010) menunjukkan bahwa dengan manajemen pemeliharaan secara intensif (digemukkan) menghasilkan daging dengan kandungan asam lemak jenuh lebih rendah dan kandungan asam lemak tak jenuh yang lebih tinggi. Hal ini berbeda terhadap ternak kerbau yang dipelihara secara ekstensif (digembalakan pada lahan pastura) yang menghasilkan daging dengan kandungan asam lemak jenuh lebih tinggi dan kandungan asam lemak tak jenuh lebih rendah.

Hasil penelitian yang diperoleh dari beberapa peneliti tersebut membuktikan bahwa terdapat perbedaan kandungan asam lemak jenuh dan tak jenuh pada daging sapi dan kerbau (Tabel 5). Hal ini disebabkan oleh perbedaan manajemen pe- meliharaan yang diberikan pada ternak selama proses penelitian. Perbedaan asam lemak jenuh dan tak jenuh yang terkandung di dalam daging sapi dan kerbau menurut Setiyono et al. (2006), dapat disebabkan oleh perbedaan faktor genetik antara kedua daging yang berasal dari spesies ternak yang berbeda.

Daging kerbau memiliki struktur komposisi kimia, nilai nutrisi, palatabilitas dan bagian karkas yang dapat dikonsumsi hampir sama dengan daging sapi. Daging kerbau dianggap oleh masyarakat memiliki kandungan kolesterol yang rendah, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai sumber pangan hewani yang sehat. Daging kerbau mengandung kadar kolesterol yang rendah, hal ini disebabkan oleh keter- batasan ternak kerbau dalam mengubah energi/tenaga menjadi jaringan lemak. Lemak daging kerbau terpusat di bawah kulit dan rongga tubuh sedangkan sedikit diantara daging. Daging kerbau memiliki jumlah lemak yang sedikit sehingga tingkat kolesterolnya lebih rendah dibandingkan dengan daging sapi (Usmiati dan Priyanti, 2006; Darminto et al., 2010; Gunawan dan Romjali, 2010). Menurut Muctadi et al. (2002), asam-asam lemak adalah komponen penyusun lemak. Rendahnya asam-asam lemak dapat disebabkan karena kadar lemak yang sedikit terdapat pada daging.

Pencernaan dan Penyerapan Lemak

Proses pencernaan dan penyerapan lemak pada ternak ruminansia dibantu oleh mikroba di dalam rumen. Semua lemak di dalam pakan akan dihidrolisis atau diuraikan menjadi lebih sederhana yaitu menjadi asam lemak bebas dan gliserol, sehingga dapat diserap oleh tubuh ternak. Pencernaan dan penyerapan lemak terjadi di dalam rumen. Penyerapan lemak dari usus halus di dalam plasma darah tidak dalam keadaan bebas karena sifat lemak yang tidak larut dalam air, sehingga membutuhkan zat pengangkut khusus seperti lipoprotein. Kadar lemak daging merupakan faktor yang mempengaruhi kualitas atau komposisi kimia daging. Daging memiliki kadar lemak yang sangat dipengaruhi oleh tingkat kejenuhan asam lemaknya (Tillman et al., 1991).

Teknologi Perlindungan Lemak

Proses perlindungan pakan yang mengandung asam lemak tak jenuh dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti proses saponifikasi (sabun kalsium), meng- gunakan formalin, melalui hidrolisis basa dan hidrolisis asam. Pembuatan Campuran Garam Karboksilat kering dilakukan secara kimiawi melalui hidrolisis asam. Minyak ikan lemuru diolah dengan proses hidrolisis asam karena memiliki waktu lebih singkat dibandingkan dengan hidrolisis basa, sehingga lemak tidak banyak ter- oksidasi. Pembuatan garam karboksilat dengan cara hidrolisis asam diawali dengan mereaksikan bahan lemak dengan larutan asam klorida (HCl). Minyak ikan merupa- kan lemak terhidrolisis oleh larutan HCl (Asam). Agar dapat memperoleh garam karboksilat, maka minyak ikan lemuru terhidrolisis dengan asam harus ditambah dengan larutan KOH. Campuran antara minyak ikan terhidrolisis dengan asam kemudian ditambah larutan KOH sehingga menghasilkan garam karboksilat. Setelah terbentuk menjadi garam karboksilat maka dicampurkan dengan onggok. Perbandingan antara jumlah onggok dan minyak ikan adalah 1 : 5 b/b. Kemudian campuran onggok garam karboksilat tersebut dikeringkan pada oven dengan suhu 320C, sehingga diperoleh Campuran Garam Karboksilat Kering (CGKK). Proses pengeringan dilakukan bertujuan untuk memperoleh CGKK dengan kadar air 15%

Dokumen terkait