• Tidak ada hasil yang ditemukan

MANAJEMEN PENGENDALIANINPUT LINGKUNGAN :

6. HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis Pasokan Bahan Baku Kawasan Minapolitan

Model Pasokan bahan baku kawasan Minapolitan yang dibangun, bertujuan untuk menganalisis volume pasokan bahan baku ke agroindustri udang dan memprediksi tingkat keberlanjutan pasokan bahan baku di kawasan Minapolitan. Model yang dibangun dengan menggunakan pendekatan dinamik dengan beberapa faktor inputan yang sifatnya dinamis.

Hasil observasi dilapangan, saat ini terdapat empat jenis pola budidaya udang Vannamei yaitu pola budidaya tradisional, tradisional plus, semi intensif dan intensif. Masing masing pola budidaya mempunyai luasan yang berbeda beda seperti ditunjukkan pada Tabel 9.

Tabel 9 Pola budidaya dan luasan Tambak No Pola Budidaya Luas (ha)

1 Tradisional 23.808

2 Tradisional Plus 8.594

3 Semi Intensif 43

4 Intensif 19

Pola budidaya tradisional merupakan pola budidaya udang vannamei yang mempunyai ciri padat tebar bibitnya rendah, satu petak lahan umumnya sangat luas, tidak ada inputan pakan selama proses budidaya, dan tidak adanya kincir atau pompa dalam pengaturan aerasi selama proses budidaya. Tebar bibit pola tradisional biasa kurang dari 7 ekor/ m2, sedangkan pakan bagi udang selama proses budidaya mengandalkan plankton yang hidup diperairan tambak udang.

Pola budidaya tradisional plus merupakan modifikasi dari pola tradisional. Tebar bibit pada pola ini lebih padat dibanding pola tradisional sekitar 7 sampai 15 ekor/ m2, dengan tebar bibit yang lebih padat maka perlu adanya inputan pakan selama proses budidaya. Pada pola tradisional plus terdapat pompa air atau satu kincir untuk aerasi selama proses budidaya. Pola budidaya udang vannamei semi intensif memiliki ciri padat tebar bibit 20 sampai 50 ekor/ m2. Pola ini memerlukan asupan pakan yang tinggi, kincir yang cukup untuk memenuhi sistem aerasi yang ideal dan manajemen budidaya yang bagus dalam mengelola tambak. Petakan luasan budidaya umumnya kecil biasanya seperempat hektar. Pola budidaya intensif merupakan pola budidaya dengan teknologi tinggi, modal besar namun jika berhasil keuntungan yang didapatkan juga tinggi. Pola ini juga beresiko terhadap pencemaran lingkungan jika limbah yang dihasilkan tidak ditangani dengan baik.

Luas budidaya yang diusahakan setiap tahunnya mengalami fluktuasi sehingga dalam model disimulasikan terdapat input proporsi lahan yang diusahakan. Analisis dilapangan menunjukkan bahwa proporsi pemanfaatan lahan masing-masing pola budidaya tertinggi adalah pola semi intensif 80%, tradisional plus 70%, tradisional 50% dan intensif 10%. Rendahnya proporsi pola intensif disebabkan biaya operasional yang tinggi sehingga umumnya petambak modal besar lebih memilih pola semi intensif yang biaya operasionalnya lebih rendah. Pola intensif dijalankan secara situasional jika prediksi harga dan kondisi lingkungan yang mendukung.

Volume produksi tambak dipengaruhi oleh produktifitas masing-masing pola budidaya yang digunakan. Hasil analisis dilapangan menunjukkan produktifitas pola tradisional berkisar 100 sampai 150 kg/ha. Pola tradisional budidaya udang sifatnya

60

polikultur dengan bandeng maupun ikan nila, sehingga tingkat pemeliharaan tidak optimal menyebabkan produktifitas budidaya udang rendah. Pola tradisional plus tingkat produktifitasnya berkisar 350 sampai 400 kg/ha. Pola semi intensif budidaya udang mempunyai tingkat produktifitas dikisaran 2000 kg/ha, kisaran ini mengacu ke penelitian yang dilakukan Adiwidjaya et al. (2008) dengan tebar bibit 25 ekor/m2 . Produktifitas pola intensif mengacu ke penelitian yang dilakukan oleh Syah et al.

(2008), dengan tebar bibit 50 ekor/m2 mampu memproduksi 5000-6000 kg/ha. Simulasi pertama dijalankan mengacu ke data di atas sebagai inputan model dinamik pasokan bahan baku agroindustri udang dalam kawasan Minapolitan saat ini. Simulasi pertama menunjukkan bahwa volume pasokan udang berkisar antara 3900 kg sampai 4200 kg per tahun. Hasil ini menunjukkan kesesuaian dengan kondisi nyata dimana pada tahun 2009 dan 2010 produksi udang Kabupaten Gresik sebesar 3369 kg dan 4257 kg. Kondisi volume pasokan udang dalam kawasan tersebut, dengan kapasitas produksi agroindustri udang di Kabupaten Gresik sebesar 10.000 ton pertahun maka tingkat pemanfaatan kapasitas pabrik berkisar antara 34% sampai 37% dari kapasitas terpasang. Kondisi tingkat pemanfaatan kapasitas pabrik dari pasokan bahan baku dalam kawasan Minapolitan, dapat dikatagorikan kurang berkelanjutan. Tingkat pemanfaatan kapasitas pabrik yang rendah jika ditambahkan pasokan bahan baku dari luar kawasan tentunya akan lebih besar dari kisaran tersebut. Pada tahun 2011 menurut data DKP Propinsi Jawa Timur, Kabupaten Gresik mampu mengekspor sebanyak 3.515.744 kg dengan nilai sebesar US$ 30.393.039. Ekspor udang tersebut jika diasumsikan rendemen bahan baku sebesar 63% maka kebutuhan pasokan bahan baku sebanyak 5.580.546 kg. Bahan baku tersebut tentunya dipasok dari dalam kawasan dan luar kawasan Kabupaten Gresik, dengan pasokan bahan baku dalam kawasan sebesar 3.387.982 kg maka pasokan dari luar kawasan sebesar 2.192.564 kg. Tambahan pasokan tersebut akan meningkatkan tingkat pemanfaatan kapasitas pabrik menjadi 56%.

Peningkatan pemanfaatan kapasitas pabrik dapat disimulasikan dalam model dinamik yang dibangun. Simulasi dilakukan dengan mengubah input yang tersedia pada program Powersim (Petunjuk penggunaan model pasokan bahan baku yang dibangun dalam Powersim Studio 2005 dapat dilihat pada Lampiran 2). Simulasi kedua dilakukan dengan meningkatkan proporsi pemanfaatan lahan menjadi 100%, yang berarti keseluruhan luas lahan melakukan proses budidaya. Hasil simulasi menunjukkan bahwa pasokan bahan baku ke agroindustri udang dalam kawasan Minapolitan mampu mencapai 5.952 ton per tahun. Pasokan udang ke agroindustri tersebut mampu meningkatkan tingkat pemanfaatan kapasitas pabrik sampai 60% dengan volume produksi udang agroindustri sebesar 3.760 ton. Kondisi demikian jika pasokan dari luar kawasan dimasukkan maka tingkat pemanfaatan kapasita pabrik akan semakin meningkat. Pada kondisi ini tingkat keberlanjutan pasokan bahan baku dalam kawasan dapat dikategorikan cukup berkelanjutan. Simulasi ketiga dijalankan dengan skenario mengubah tingkat produktifitas masing-masing masing pola budidaya. Pola tradisional dari beberapa penelitian mampu menghasilkan tingkat produktifitas sampai 200 kg/ha. Pola tradisional plus, mengacu pada penelitian Hendrajat et al. (2007) produktifitas pola tradisional plus mampu mencapai 835 kg/ha dengan tebar bibit 80000 ekor/ ha. Produktifitas pola budidaya semi intensif dan intensif dalam simulasi kedua kondisinya tetap seperti simulasi sebelumnya. Hasil simulasi ketiga menunjukkan pasokan bahan baku agroindustri udang dari dalam kawasan mampu mencapai 8.360 ton dengan tingkat keberlanjutan

61 pasokan bahan baku agroindustri udang dilevel 4 yang sangat berkelanjutan dengan tingkat pemanfaatan kapasitas pabrik sebesar 84%.

Model pasokan bahan baku agroindustri udang dalam kawasan dibangun dengan memperhatikan pengaruh harga udang terhadap pasokan. Pedagang pengumpul sebagai pemasok udang ke agroindustri tentunya akan melihat fluktuasi harga udang di dalam maupun di luar kawasan Minapolitan. Jika harga udang di luar kawasan lebih tinggi maka kecenderungan pedagang pengumpul akan memasarkan udangnya keluar kawasan begitu sebaliknya. Pada simulasi keempat, skenario yang dijalankan adalah mengetahui pengaruh harga terhadap pasokan udang ke agroindustri. Diasumsikan terjadi peningkatan harga udang Rp 10.000. Hasil simulasi menunjukkan pasokan bahan baku agroindustri udang dari dalam kawasan Minapolitan sebesar 6.975 ton pertahun dengan tingkat keberlanjutan pasokan udang berada pada level 3 yaitu cukup berkelanjutan. Jika harga udang dalam kawasan kurang dari harga yang ditetapkan misalnya 66 ribu maka aliran udang ke luar kawasan mencapai 49%, begitu sebaliknya jika harga udang di dalam kawasan 74 ribu maka prosentase udang kawasan yang dijual ke luar sebesar 32%. Rangkuman hasil simulasi pasokan bahan baku udang dalam kawasan ditunjukkan pada Gambar 34.

Gambar 34 Produksi udang dalam kawasan Minapolitan

Produksi udang dalam kawasan Minapolitan akan meningkat seiring dengan peningkatan luasan lahan budidaya dan produktifitas lahan budidaya. Peningkatan produktifitas mempunyai dampak positif lebih jika dibandingkan dengan peningkatan proporsi luas lahan yang diusahakan. Peningkatan produktifitas mampu meningkatkan produksi bahan baku sebesar 110%, sedangkan dengan penambahan luasan budidaya dengan produktifitas saat ini hanya mampu meningkatkan produksi bahan baku sebesar 58%. Kecenderungan produksi bahan baku menurun jika harga udang dalam kawasan lebih rendah dibandingkan di luar kawasan ini terlihat pada simulasi ke empat yang dijalankan. Walaupun pada simulasi ke empat terjadi peningkatan produksi bahan baku namun kecenderungan menurun drastis.

Tingkat pemanfaatan kapasitas agroindustri udang dipengaruhi oleh volume produksi budidaya udang dan harga jual udang dalam kawasan Minapolitan. Kondisi tersebut ditunjukkan pada Gambar 35.

0 2000 4000 6000 8000 10000 12000 0 5 10 P rodu ksi U da ng da la m K a w a sa n ( ton ) Tahun ke-

kondisi saat ini

perluasan lahan

peningkatan produktifitas

62

Gambar 35 Tingkat pemanfaatan kapasitas agroindustri

Simulasi skenario yang dijalankan menunjukkan, dengan peningkatan produktifitas lahan mampu meningkatkan pemanfaatan kapasitas pabrik sampai 80% atau berada di level 4 yang berarti sangat berkelanjutan. Tingkat keberlanjutan pasokan akan lebih meningkat jika ditambahkan pasokan bahan baku dari luar kawasan Minapolitan. Peningkatan pemanfaatan kapasitas agroindustri juga terjadi pada skenario peningkatan luas lahan namun hanya dikisaran 50-60% dari kapasitas terpasang. Pasokan bahan baku akan berkurang drastis jika terjadi perbedaan harga yang mencolok antara dalam kawasan dan luar kawasan Minapolitan. Semakin tinggi harga di luar kawasan maka pasokan bahan baku agroindustri dari dalam kawasan akan berkurang drastis. Penurunan pasokan bahkan bisa mencapai dibawah 40% kapasitas terpasang.

Peningkatan keberlanjutan pasokan bahan baku agroindustri seperti disimulasikan sebelumnya, dapat dilakukan dengan meningkatkan luasan lahan, peningkatan produktifitas dan menjaga disparitas harga antara dalam dan luar kawasan Minapolitan. Peningkatan produktifitas seperti ditunjukkan dalam simulasi yang dilakukan memberikan dampak yang lebih efektif, jika dibandingkan dengan skenario peningkatan luasan lahan dan harga udang. Peningkatan proporsi luas lahan dari tahun ke tahun akan banyak menghadapi tantangan, kebutuhan akan lahan permukiman, infrastruktur dan industri mempersulit peningkatan proporsi luas lahan budidaya. Peningkatan produksi dengan cara perluasan areal lebih sulit dilakukan, dikarenakan minimnya lahan produktif di Indonesia akibat konversi dan degradasi lahan (Darmardjati et al, 2005).Teknologi Informasi dan keberlangsungan usaha, menekan para pedagang pemasok bahan baku mempermainkan harga udang. Oleh karena itu pilihan peningkatan produktifitas budidaya menjadi prioritas. Namun demikian sinergitas ketiga faktor yang mempengaruhi pasokan bahan baku agroindustri udang, sangat diperlukan untuk meningkatkan keberlanjutan agroindustri udang dikawasan Minapolitan.

Peningkatan produktivitas sebagai fokus dalam meningkatkan keberlanjutan agroindustri udang, pada tahap selanjutnya akan berfokus pada aktivitas agen yang berpengaruh terhadap peningkatan produktifitas sebagai langkah dalam meningkatkan produksi udang di kawasan Minapolitan. Aktivitas agen merupakan terjemahan dari perilaku agen dalam merespon kejadian di lingkungan sekitarnya. Pengembangan model dengan melibatkan perilaku agen dalam upaya meningkatkan keberlanjutan agroindustri udang yang berfokus peningkatan produktifitas budidaya udang, dibangun menggunakan pendekatan model berbasis agen.

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 0 5 10 T in g ka t p e m a n fa a ta n K a p a si ta s p a b ri k (% ) Tahun ke-

kondisi saat ini

perluasan lahan

peningkatan produktifitas

63

Model Pengembangan Agroindustri Udang di Kawasan Minapolitan

Pendekatan berbasis agen digunakan untuk membangun model pengembangan agroindustri udang di kawasan Minapolitan. Pembangunan model dilakukan menggunakan pendekatan agen dengan kaidah SOARS (spot oriented

agent role simulator). Model yang dihasilkan merupakan sebuah model simulasi,

dimana user dapat melakukan perubahan input dan melihat perubahan nilai indikator keberlanjutan agroindustri udang di kawasan Minapolitan yang dikembangkan. (Petunjuk penggunaan simulasi model pengembangan agroindustri udang di kawasan Minapolitan yang dibangun dalam SOARS dapat dilihat pada Lampiran 3)

Pembangunan model dimulai dengan menganalisis kondisi nyata dan variabel-variabel yang digunakan dalam membangun model. Hasil simulasi awal dengan input variabel kondisi nyata, kemudian dilakukan proses verifikasi nilai indikator sesuai dengan kondisi nyata saat ini. Kesesuaian nilai indikator menunjukkan model yang dibangun telah dapat diimplementasikan. Model simulasi yang dibangun kemudian menjalankan beberapa skenario guna melihat dampak terhadap nilai indikator keberlanjutan. Perubahan nilai indikator sebagai dampak dijalankannya skenario, dijadikan sebagai dasar dalam penentuan strategi dalam pengembangan Agroindustri udang di kawasan Minapolitan.

Kinerja Agroindustri Udang di kawasan Minapolitan

Hasil pengamatan dan wawancara mendalam dengan beberapa pelaku dalam klaster Minapolitan didapat beberapa nilai variabel kondisi nyata, baik ditingkat petambak, pedagang kecil, pedagang besar maupun agroindustri. Simulasi dilakukan terhadap model dengan nilai variabel yang didapat. Hasil simulasi digunakan sebagai penilaian kinerja keberlanjutan Agroindustri udang di kawasan Minapolitan.

Aktivitas pertambakan di wilayah Minapolitan, dimulai dari budidaya udang ditambak. Beberapa komponen penyusun usaha budidaya vannamei pola tradisional plus diperlihatkan pada Tabel 10.

Tabel 10 Analisis usaha pertambakan tradisional plus udang Vannamei perhektar

Komponen biaya Jumlah satuan harga Total

Biaya investasi

1 sewa tambak 1 per tahun 5000000 5,000,000

2 sewa pompa 1 per tahun 1000000 1,000,000

Biaya operasional

1 pengolahan, perbaikan kontruksi paket 1500000 1,500,000

2 benih udang 100000 ekor 25 2,500,000

3 pakan buatan 450 kg 7500 3,375,000 4 pupuk organik 3000 kg 50 150,000 5 pupuk anorganik 150 kg 5000 750,000 6 dolomit 2500 kg 300 750,000 7 saponin 40 kg 5500 220,000 8 bahan bakar 110 lt 4500 495,000

9 biaya panen paket 500000 500,000

10 akomodasi dan konsumsi 4 bulan 100000 400,000

11 lain lain 500000 500,000

64

Seperti terlihat pada Tabel 10 aktivitas budidaya tradisional plus udang vannami membutuhkan biaya sekitar 14 juta dalam satu musim (pembiayaan budidaya tradisional plus lainnya sebagai pembanding ditunjukkan pada Lampiran 4). Aktivitas pertambakan saat ini, jika dilihat dari sisi ekonomi menunjukkan bahwa keuntungan petambak sedikit bahkan rentan mengalami kerugian. Keuntungan petambak masih relatif kecil jika dibandingkan dengan upah minimum regional yang ditetapkan pemerintah. Namun demikian secara ekonomi keuntungan yang didapat cukup layak, dengan tingkat rerata B/C ratio diatas 1. Keuntungan petambak tertinggi dikisaran 3 juta. Kondisi kinerja budidaya udang vannamei petambak sangat bergantung volume produksi udang yang bisa dihasilkan. Semakin banyak volume produksi udang, keuntungan yang didapat semakin tinggi. Kondisi saat ini produksi udang perhektarnya dikisaran 350 sampai 500 kg, kondisi ini rentan kerugian. Banyaknya penyakit, cuaca yang kurang mendukung, kualitas bibit, lingkungan perairan dan lain lain mempengaruhi produksi udang petambak.

Pedagang pengumpul kecil dalam melakukan aktivitasnya, selain melakukan aktivitas jual beli juga melakukan proses sortasi dan grading. Pedagang kecil diharuskan memiliki keahlian dalam memprediksi mutu udang yang dibeli. Kesalahan dalam memprediksi mutu menyebabkan kerugian. Keahlihan dalam penanganan komoditas udang, sortasi dan grading juga menjadi faktor penentu keuntungan yang didapat. Rerata keuntungan yang didapatkan sekitar Rp 500 perkilogram udang yang dibeli. Proses sortasi dan grading yang dilakukan pedagang pengumpul kecil, menghasilkan udang afkir, baik yang disebabkan kerusakan selama proses sortasi maupun ukuran udang yang tidak masuk dalam mutu udang yang dibeli pedagang pengumpul besar maupun agroindustri udang. Aktivitas perdagangan yang dilakukan oleh pedagang besar hampir sama dengan pedagang kecil. Keuntungan diperoleh tidak jauh berbeda dengan pedagang kecil, hasil pengamatan dilapang menunjukkan rerata keuntungan yang didapat sekitar Rp 500 perkilogram. Semakin banyak volume perdagangan yang dilakukan maka keuntungan semakin tinggi.

Aktivitas Minapolitan dari sisi sosial menunjukkan serapan tenaga kerja adanya aktivitas pertambakan udang cukup besar. Aktivitas budidaya dalam satu hektarnya membutuhkan tenaga kerja sekitar 11 orang. Minapolitan Kabupaten Gresik terdapat 8.594 hektar lahan budidaya udang maka jumlah tenaga kerja yang terserap sekitar 94.534 orang. Jumlah tersebut akan bertambah dengan adanya aktivitas perdagangan komoditas udang. Pedagang pengumpul kecil mempekerjakan 3 sampai 4 orang sedangkan pedagang pengumpul besar mempekerjakan 8 sampai 10 orang.

Potensi biaya sosial yang mungkin ditimbulkan adanya aktivitas Minapolitan adalah potensi pencemaran limbah. Aktivitas budidaya tambak udang dengan pola tradisional plus dapat menimbulkan pencemaran disebabkan sisa pakan udang yang tidak dimakan udang. Pencemaran akibat pakan terbuang menjadi tinggi apabila inputan pakan dalam tambak juga tinggi. Soewardi (2002) mengemukakan bahwa aktivitas budidaya tambak udang intensif dengan luasan lahan 5000 m2, dengan input pakan total 3.6 ton selama 120 hari pemeliharaan, dapat menghasilkan limbah TSS sebanyak 1.230 kg. Limbah pakan ini akan berpotensi menjadi penyebab biaya sosial dikarenakan untuk menetralisi membutuhkan biaya. Biaya yang dikenakan untuk menetralisi limbah pakan menjadi biaya sosial yang harus ditanggung masyarakat. Seandainya tidak ada aktivitas pemberian pakan pada budidaya tambak udang di

65 wilayah Minapolitan, maka biaya pengolahan limbah tersebut tidak akan ada. Biaya sosial adalah biaya yang ditanggung oleh masyarakat dari suatu peristiwa, tindakan, atau perubahan terhadap suatu aktivitas atau kebijakan. Potensi biaya sosial dari aktivitas pertambakan dihitung berdasarkan upaya yang dilakukan untuk menetralisis limbah tersebut.

Kinerja keberlanjutan disisi dimensi lingkungan dapat dilihat dari sisi volume produksi udang dan limbah yang ditimbulkan. Aktivitas Minapolitan menunjukkan indikator produksi udang di kawasan Minapolitan cukup mengkhawatirkan, hasil produksi udang vannamei dalam luasan satu hektar didapatkan sekitar 350 – 500 kg dengan ukuran udang vannamei yang dihasilkan berkisar antara 50–90 ekor per kilogram. Kondisi hasil produksi tersebut jika dihitung perbandingan jumlah bibit yang di tebar akan didapatkan sintasan budidaya udang vannamei secara tradisional plus sekitar 30 persen. Kondisi tingkat produksi demikian sangatlah kecil bahkan hampir dapat dikatakan rugi, jika terjadi kenaikan biaya aktivitas budidaya maka kemungkinan besar hasil produksi udang tidak mampu menutupi biaya produksi. Oleh karena itu perlu dilakukan upaya untuk menaikkan sintasan agar tingkat produksinya menjadi lebih baik.

Kontinuitas bahan baku berupa ketersediaan udang vannamei termasuk fluktuatif, tingkat kenaikan dan penurunan produksi dari tiap periode panen tinggi. Kontinuitas bahan baku dapat dikatakan baik jika rerata jumlah produksi stabil dan mengalami kecenderungan peningkatan. Saat ini produksi udang Fluktuasi, produksi tertinggi dikisaran 500 kg sedangkan terendah terkadang tidak mendapatkan hasil sama sekali karena mengalami kematian dini.

Kinerja keberlanjutan jika dilihat dari potensi limbah yang dihasilkan, menunjukkan bahwa potensi limbah dari hasil pengamatan di lapangan cukup mengkhawatirkan. Air bilasan hasil aktivitas pedagang langsung dibuang dan masuk ke saluran pembuangan air. Umumnya tempat pedagang berada dikawasan sekitar tambak sehingga saluran pembuangan air tersebut akan mencemari perairan tambak dan berdampak pada aktivitas budidaya tambak. Penggunaan air bilasan hasil aktivitas pedagang kecil maupun besar cukup besar yaitu rerata sekitar 2 liter dalam satu kilogram udang vannamei. Semakin banyak volume pembelian udang vannamei oleh pedagang maka potensi limbah cair yang dihasilkan juga akan semakin banyak. Semakin tinggi volume limbah, maka potensi pencemaran lingkungan akan semakin tinggi (Glavic P, dan Krajnc D. 2003; Glavic P dan Lukman R. 2007)

Simulasi Peningkatan Keberlanjutan Agroindustri Udang di Kawasan Minapolitan

Peningkatan keberlanjutan agroindustri udang di kawasan Minapolitan dilakukan dengan melakukan implementasi beberapa skenario berkaitan dengan aktivitas agen dalam kawasan Minapolitan. Pengubahan skenario lebih ditekankan kepada upaya yang berkaitan dengan aktivitas petambak dalam meningkatkan produksi udang, kesejahteraan pelaku dan kelestarian lingkungan. Peningkatan produksi udang merupakan hal penting, karena aktivitas dalam klaster Minapolitan berkaitan erat dengan volume produksi udang. Gairah aktivitas Minapolitan akan semakin meningkat jika produksi udang semakin meningkat. Peningkatan aktivitas

66

berdampak kepada nilai indikator keberlanjutan agroindustri udang di kawasan Minapolitan yang terdiri atas dimensi ekonomi, sosial dan lingkungan.

Selama ini kendala yang utama dalam aktivitas Minapolitan lebih pada rendahnya produksi udang Vannamei oleh petambak. Seperti pada penjelasan sebelumnya produksi udang vannamei di wilayah penelitian berkisar 350 sampai 500 kg dalam satu hektar dengan pola budidaya tradisional plus, padahal di beberapa penelitian dan ujicoba lapangan mampu menghasilkan udang sekitar 800 sampai 900 kg perhektarnya. Budidaya udang vannamei dengan pola tradisional plus di Kabupaten Maros dengan tebar bibit 80000 ekor per hektar mampu menghasilkan 835 kg udang, sedangkan ujicoba yang dilakukan Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau Jepara dengan pola budidaya yang sama mampu menghasilkan 950 kg udang dengan tebar bibit 75000 ekor per hektarnya (Adi, 2011).

Pemasaran udang vannamei di wilayah penelitian menunjukkan tidak ada kendala, masing masing agen mendapatkan keuntungan yang cukup tergantung berapa volume udang yang diperdagangkan. Pasar komoditas udang menganut sistem terbuka dimana semua pedagang berhak membeli udang tergantung kesepakatan antara penjualan dan pembeli. Transparansi harga udang bisa dilihat semua agen, membuat saling mengerti dan mengetahui perkiraan keuntungan yang didapat oleh masing masing agen. Sistem ini mampu menekan permainan harga udang oleh agen tertentu. Seberapapun volume udang yang diproduksi petambak selalu terserap oleh agroindustri pembekuan udang, malahan kondisi dilapangan menunjukkan kekurangan pasokan udang vannamei.

Permasalahan lingkungan khususnya limbah hasil aktivitas Minapolitan tidak terlalu mengkhawatirkan keberlanjutan kawasan Minapolitan. Limbah budidaya udang oleh petambak tidak terlalu mengkhawatirkan, mengingat pola yang diterapkan berupa pola tradisional plus dengan inputan pakan yang sedikit. Pakan udang merupakan komponen utama penyumbang limbah padatan tersuspensi pada budidaya udang vannamei. Peningkatan kewaspadaan apabila pola budidaya udang yang dijalankan adalah pola intensif. Luasan budidaya dengan pola intensif sekitar 0.058% atau sekitar 19 ha di wilayah Kabupaten Gresik. Hal lain yang perlu dicermati adalah limbah cair yang berasal dari bilasan udang hasil aktivitas pedagang kecil maupun pedagang besar. Limbah cair hasil bilasan udang akan meningkat seiring volume pembelian udang oleh pedagang.

Skenario peningkatan keberlanjutan Agroindustri udang di kawasan Minapolitan akan mengubah beberapa nilai variabel, kemudian dilakukan proses simulasi. Terdapat tiga Skenario simulasi yang dijalankan, walaupun sebenarnya dapat dilakukan lebih banyak dengan melakukan perubahan input variabel.variabel inputan berkaitan dengan aktivitas pertambakan udang dengan mengkombinasikan beberapa petambak dengan luasan lahan yang berbeda beda, penggunaan kualitas bibit dan skenario sintasan udang. Pada tingkatan pedagang pengumpul baik

Dokumen terkait